Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Tumpengan merupakan warisan tradisi Hindu-Buddha. Di dalamnya terkandung maksud sesaji untuk para dewa yang dimuliakan oleh mereka, tepatnya sebelum Islam masuk ke Indonesia. Tumpengan memiliki hubungan yang erat dengan peribadatan mereka. Dimasak dari hasil bumi (padi), dibentuk sedemikian rupa seperti bangunan ruang kerucut, diberi hiasan, dibumbui wewangian agar para dewa yang diberi sesaji senang menerimanya.
Inilah salah satu segi budaya yang masih melekat erat sampai sekarang. Sampai-sampai kelekatan itu masih membekas tatkala agama berganti Islam. Yang menjadi pertanyaan saya adalah, saya lihat, masih ada orang Islam yang membuat tumpeng pada acara-acara tertentu. Bolehkah tradisi itu masuk dalam Islam, dan kalau Islam menerima apakah ada dasarnya? Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Arbain
Jawaban:
Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Masalah nama tumpeng itu sesuai dengan nama dan budaya satu daerah dengan daerah yang lain. Tidak selamanya masalah tumpengan muncul dari agama Hindu atau Buddha saja. Cuma adat itu bisa macam-macam. Sebab waktu itu, sebelum Islam masuk ke sini, di Indonesia khususnya, tidak semua penduduk memeluk agama Hindu atau Buddha. Karena saat itu sudah ada animisme dan kepercayaan lainnya.
Ajaran Hindu atau Buddha saat itu memang sangat mewarnai kehidupan masyarakat sehingga muncul istilah tumpengan, dan sebagainya. Dengan cara-cara sesuai dengan aturan agama yang mereka anut waktu itu. Kebudayaan ini sudah mengakar pada penganutnya, sedang ajaran Islam sendiri sangat bijak. Ia tidak berusaha untuk serta merta membuang kebudayaan itu, seperti halnya membalikkan tangan.
Karena itu, para wali yang masuk ke Indonesia khususnya, tidak langsung mengubah hal tersebut. Mereka mengubahnya sedikit demi sedikit. Dan selagi kultur itu sesuai dengan pandangan agama dan tidak bertentangan, itu hanya akan disempurnakan dan diluruskan.
Kalau tumpengan itu dianggap sesaji untuk para dewa waktu itu, Islam sendiri memiliki pandangan yang lebih luas dari sekadar anggapan tersebut. Seperti, misalnya, "Ashshadaqatu bala" (sedekah itu untuk menolak bala), dan sedekah itu seperti doa. Sementara "ad-du'a sayf al mukmin" (doa itu pedang seorang mukmin). Mungkin ada doa yang kurang makbul. Tapi, karena didukung sedekah, menjadi makbul.
Adakalanya doa itu dipanjatkan secara bersama-sama. Kalau mungkin secara perorangan atau individu, belum tentu cepat diterima. Maka muncullah ajakan para ulama dengan cara berdoa bersama, berjemaah. Shalat menjadi contoh hal tersebut. Jika dalam shalat berjamaah ada shalat yang tidak diterima, karena ada yang lain diterima, shalat semua yang berjemaah itu diterima semuanya. Bahkan jikalau seluruh imam dan makmum shalat itu tidak diterima shalatnya, shalat mereka akan tetap diterima oleh Allah, karena dilakukan dengan cara berjemaah. Hal itu juga berlaku dalam doa.
Ditambah lagi misalnya dengan membuat tumpengan karena adatnya, tapi tidak memasukkan niat sebagaimana orang-orang terdahulu, namun justru dipakai untuk sedekah. Jadi acara seperti tumpengan itu, tergantung niatnya. Tidak semua tumpengan jelek atau salah. Kalau kita mau menjadikan tumpengan sebagai alat dakwah, agar orang-orang yang belum mengerti Islam dan sebagainya bisa tertarik pada agama ini, mengapa tidak kita lakukan? Artinya, niatnya kita alihkan, yang tadinya menjurus ke syirik, menjadi sarana untuk mengajak kepada tauhid. Itu saja yang penting. Tumpengan, walaupun di dalam ajaran agama Islam tidak ada, kita jadikan saja sebagai sarana sedekah. Bukan tumpengnya yang diutamakan, tapi sedekahnya itu yang kita jadikan niat yang utama.