Saturday, March 3, 2007

Ada Apa Dibalik Puasa

Bukan Obat Yang Menyembuhkan

Siapakah yang menyembuhkan seseorang dari sakitnya? Apakah sang dokter? Ataukah obat yang diberikan kepada pasien? Ataukah diri pasien itu sendiri? Inilah pertanyaan yang sangat mendasar.
Coba kita, ambil contoh sederhana. Cermatilah
tangan yang sedang terluka. Jika tangan anda terluka, biasanya anda akan memberinya obat. Boleh jadi, dokter anda memberikan obat merah, betadine, tensoplast, handyplast, sofratul, dan lain sebagainya.

Apakah yang terjadi setelah itu? Beberapa hari kemudian luka anda sembuh. Luka yang terbuka itu merapat kembali. Tinggal bekasnya saja. Siapakah yang menyembuhkan luka anda, sehingga robekan luka itu merapat kembali? Apakah sang dokter? Ataukah obat yang diberikannya? Ataukah tubuh anda sendiri?

Mungkin anda akan menjawab: “Dokterlah yang menyembuh kan luka saya.” Tapi kita bertanya: “Apakah benar, dokter yang merajut robekan luka di tangan anda ?” Pasti anda bakal menjawab, bukan. Dan mengatakan, obat itulah yang menyebabkan dampak kesembuhan luka tersebut. “apakah benar obat itu yang menyatukan robekan luka itu?” Benarkah 'si obat' memiliki kemampuan merajut kulit yang sobek teriris ? Meskipun mulai ragu, tapi saya yakin anda akan menjawab kayaknya bukan obat itu yang berfungsi menyembuhkan luka dan ‘menjahit’ luka sehingga menyatu kembali.

Memang jawaban yang benar cuma satu : yang menyembuhkan luka di tangan kita ini sebenarnya adalah diri kita sendiri. Bukan obat, atau dokter penolong kita itu. Lho, lantas fungsi dokter itu apa?

Dia lewat pengetahuan dan keahliannya sekadar mengkondisi-kan agar luka tersebut bisa cepat sembuh. Sedangkan obat, berfungsi untuk menjaga agar proses penyembuhan yang dilakukan oleh mekanisme di dalam tubuh kita bisa berlangsung baik. Di antaranya, agar tidak tejadi infeksi. Atau, katakanlah, untuk membantu mempercepat terjadinya penyembuhan oleh badan kita sendiri.

Sebenarnya bukan hanya luka yang disembuhkan oleh mekanisme internal dalam tubuh kita, melainkan seluruh penyakit. Tubuh kita memiliki mekanisme yang luar biasa hebat yang oleh 'Sang Pencipta' sudah didesain sedemikian rupa sehingga menjaga kita agar tidak sakit. Kecuali kondisi tubuh kita sedang tidak seimbang.

Kedokteran

Selain kedokteran Barat, kita mengenal ilmu kedokteran Timur. Penyembuhan ala Timur ini kebanyakan berkembang di negara-negara 'tua', seperti China, India, dan Tibet. Konsep yang dijadikan pegangan sangatlah berbeda dengan kedokteran Barat.

Penyembuhan ala kedokteran Barat bertumpu pada obat dan pembedahan. Dan karena itu, menganggap fisik manusia bisa 'digarap' secara terpisah. Sedangkan kedokteran Timur bertumpu pada konsep keseimbangan dalam tubuh. Manusia dipandang sebagai satu kesatuan antara badan dan jiwanya. Karena itu, keduanya saling mempengaruhi, termasuk dalam proses penyembuhan penyakit. Dan tubuh manusia dipahami sebagai suatu sistem energi yang berkeseimbangan.

Maka, dalam konsep kedokteran Timur, seseorang dikatakan sakit ketika di dalam tubuhnya terjadi ketidak seimbangan energi atau sistem holistiknya, sehingga memunculkan keluhan tertentu.
Sedangkan dalam kedokteran Barat, seseorang dikatakan sakit ketika memunculkan gejala-gejala sakit secara fisik. Biasanya muncul berupa panas, rasa sakit, pembengkakan, dan keluhan-keluhan semacamnya, yang menandakan terjadinya gangguan pada ‘sistem organ’ tubuh seseorang.

Meskipun secara sepintas sama, keduanya memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Kedokteran Timur memandang tubuh manusia secara holistik jiwa raga, sedangkan kedokteran Barat memandang manusia secara fisik, yang bisa 'dipetak-petak' secara organik., Dan, perbedaan sudut pandang ini akhirnya berpengaruh kepada cara penyembuhan yang dilakukan.

Berikut ini adalah beberapa contoh sistem penyembuhan Timur, yang sudah populer kita ketahui.

1. Penyembuhan akupuntur

Penyembuhan ala Timur yang paling populer adalah tusuk jarum (accupuntur) dan pijat (accupressure). Metode penyembuhan yang berasal dari daratan China itu sudah berumur ribuan tahun, dan dikembangkan secara turun temurun, serta teruji secara klinis.

Konsep yang dianut sangatlah berbeda dengan metode Barat. Konsep accupunture didasarkan pada keseimbangan energi secara holistik. Bahwa tubuh memiliki mekanisme penyembuhan secara energial. Tubuh dikatakan sehat jika berada dalam keseimbangan energinya. Dan dikatakan sakit jika tidak seimbang sistem energinya.

Untuk menyeimbangkan sistem energi itulah, seseorang yang sakit perlu distimulasi di titik tertentu di tubuhnya. Cara menstimulasinya, bisa dengan tusukan jarum atau pun dengan pijatan. Titik titik accupuncture itu berjumlah ribuan di permukaan tubuh manusia, seiring dengan pengembangan dan ketelitiannya.

Stimulasi energi itu ternyata tidak mengikuti aliran darah, sebagaimana konsep Barat. Maksud saya, sistem aliran darah bukanlah satu-satunya sistem yang terkait dengan kesehatan manusia. Demikian pula sistem limfe alias getah bening. Mekanisme akupuntur melewati suatu sistem energi yang berada di luar perkiraan konsep Barat selama ini. Jalur stimulasi itu ternyata bergerak antar sel. Saya punya seorang kawan dokter spesialis radiologi di Surabaya. Entah mengapa, dia tertarik untuk mempelajari teknik akupuntur. Lantas, dia mengambil program S 3, doktoral, untuk bidang akupuntur. Sehingga disertasinya juga tentang akupuntur.

Dia ingin membuktikan bahwa mekanisme energial yang terjadi pada stimulasi akupuntur itu bisa dijelaskan dengan menggunakan konsep pemikiran Barat. Dan dia berhasil mempertahankan disertasinya di hadapan para profesor pengujinya. Bahwa, akupuntur memiliki dasar pijakan berpikir ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain, di dalam tubuh kita memang ada suatu sistem energial yang juga berfungsi dalam mekanisme keseimbangan untuk menjaga kesehatan manusia.

Bagian yang paling menarik adalah ketika dia bercerita tentang proses stimulasi energi. Lewat percobaan yang tergolong eksentrik, dia membuktikan bahwa stimulasi energi itu memang tidak melewati jalur peredaran darah. Dia membuktikan dengan cara menyuntikkan zat-zat radioaktif ke dalam tubuhnya sendiri. Zat radioaktif itu diperlukan agar dia bisa mendeteksi aliran pergerakannya.

Prinsipnya begini. Zat radioaktif memancarkan sinar Gama yang bisa dideteksi dengan menggunakan detektor. Maka, ketika zat radioaktif itu disuntikkan ke dalam tubuhnya, sinar itu tetap menembus ke permukaan kulit dan bisa diikuti pergerakannya dari luar tubuh dengan menggunkaan detektor Gama. Dia ingin membuktikan, apakah zat itu terbawa oleh aliran darah ataukah melewati sistem yang lain.

Maka disuntikkanlah cairan zat radioaktif itu ke titik-titik akupuntur tertentu di permukaan tubuhnya. Titik akupuntur itu merupakan refleksi dari organ-organ tertentu seperti ginjal, jantung, paru, liver dan lain sebagainya. Secara akupuntur, jika seseorang ditusuk jarum pada titik refleksi ginjal, maka stimulasi energi itu akan langsung masuk ke organ ginjal tanpa melewati mekanisme lain.

Ketika zat radioaktif itu disuntikkan ke titik akupuntur yang merupakan refleksi organ ginjal, ternyata benar dugaannya bahwa zat radioaktif itu tidak bergerak melewati peredaran darah, melainkan bergerak antarsel. Dengan sangat jelas lewat detektor dia bisa mengikuti pergerakan sinar Gama yang menembus jaringan antarsel.

Hal ini membuktikan bahwa ternyata ada pergerakan energi yang menghubungkan antara titik-titik akupuntur di seluruh tubuh dengan organ-organ di dalam tubuh yang tersusun secara sistemik. Itulah yang dikenal sebagai sistem keseimbangan energi. Dengan disertasinya itu, ia kini telah menjadi doktor. Dan, kemudian banyak diundang untuk memberikan kuliah sampai ke luar negeri. Memahami konsep kedokteran timur dengan menggunakan pendekatan konsep Barat.

Tidak lama sesudah itu, seorang kawan saya lainnya juga seorang doktor mengembangkan penelitian akupuntur itu lewat teknik pemijatan dan teknik laser. Bahwa, stimulasi energi itu bisa dilakukan tidak harus dengan tusuk jarum, melainkan dengan pemijatan atau penyinaran laser. Dan sekali lagi terbukti, banyak hal bisa dilakukan lewat teknik ini untuk berbagai tujuan. Mulai dari menyembuhkan pasien sakit, untuk perawatan kecantikan, sampai pada rekayasa peningkatan produktifitas di dunia peternakan.

2. Penyembuhan Prana

Akhir-akhir ini, kita melihat di Indonesia semakin berkembang latihan-latihan untuk menggali tenaga prana dari dalam tubuh. Banyak cara yang digunakan untuk menggalinya. Tapi intinya sama, yaitu menggunakan gerakan-gerakan tertentu untuk membangkitkan medan elektrostatik yang kemudian dikumpulkan lewat teknik berkonsentrasi, menuju pusat pusat energi di dalam tubuh.

Dengan cara itu diharapkan terbentuk suatu sistem energi yang bisa digunakan kapan pun sesuai kehendak si empunya. Energi itu bisa digunakan untuk menyembuhkan ketidakseimbangan di dalam diri sendiri. Maupun untuk menyembuhkan orang lain.

Seseorang dikatakan sakit jika sistem energi itu tidak berada dalam keadaan seimbang. Alias terjadi kekacauan pada sirkulasi energi. Sakit kepala, misalnya, adalah kekacauan energi di bagian kepala. Dengan menyelaraskan kembali sirkulasinya, maka sakit kepala itu akan berangsur angsur hilang dengan sendirinya.

Jadi, bekerjanya proses penyembuhan itu seperti penularan gelombang elektromagnetik. Ibaratnya, sepotong besi biasa adalah besi yang tidak memiliki keteraturan medan magnet. Maka, untuk menjadikan dia sebagai besi magnet diperlukan energi dari luar yang berfungsi untuk mengatur keseimbangan atau keteraturan energi di dalamnya.

Caranya, gosoklah besi biasa itu dengan besi magnet secara satu arah, maka pada gosokan ke sekian kali, besi itu akan berubah menjadi besi magnet. Karena medan magnetnya telah teratur sesuai dengan yang seharusnya. Sama dengan keseimbangan energi di dalam tubuh kita. Jika kita sakit, terjadi kekacauan sistem energinya. Maka kita harus menyelaraskan sistem energi itu dengan cara meresonansikan energi dari luar tubuh si sakit. Itulah yang dilakukan oleh para penyembuh lewat sistem prana. Dengan meresonansi secara berulang-ulang, maka ketidakseimbangan itu bakal berangsur-angsur lenyap. Dalam waktu bersamaan, rasa sakit kepala pun sima.

Bahkan, bukan hanya rasa sakit yang bisa disembuhkan dengan metode prana ini. Pada prinsipnya seluruh penyakit yang disebabkan oleh ketidakkeseimbangan fungsi organ yang berkait sistem energial, juga bisa disembuhkan, kecuali organ-organ tersebut telah mengalami kerusakan yang fatal.

3. Penyembuhan lewat aura

Hampir sama dengan penyembuhan lewat prana, seseorang yang sakit juga bisa disembuhkan lewat perubahan sistem aura tubuhnya. Aura adalah cahaya tipis yang terpancar dari badan seseorang. Cahaya yang terpancar itu menunjukkan kondisi badan ataupun kejiwaan seseorang.

Pada dasarnya, semua benda hidup maupun mati memancarkan aura. Cahaya aura itu terpancar dari struktur atomnya, akibat terjadinya loncatan-loncatan energi dari satu tingkatan ke tingkatan yang lain.

Sebagai contoh, NaCl alias garam dapur. Kalau anda melemparkan sedikit garam ke api, maka garam yang terbakar tersebut akan memercikkan cahaya berwarna kuning kemerahan. Itu adalah cahaya yang terjadi akibat loncatan energi di dalam struktur atomnya. Maka kita sebut aura garam adalah kuning kemerahan.

Demikian pula C02. Jika kita memasukkan C02 ke dalam tabung kaca, kemudian kita proses menjadi sinar laser, maka laser tersebut akan bercahaya merah. Aura C02 adalah merah. Lampu TL (neon) bercahaya putih. Dan seterusnya.

Aura muncul karena adanya tegangan listrik atau energi tertentu yang dimasukkan ke dalam struktur atomnya. Dan itu juga terjadi pada manusia. Badan manusia sebagai benda mati maupun makhluk hidup menyimpan potensial aura. Sebagai benda mati, aura itu menggambarkan susunan atom dan molekul yang menyusun badan manusia. Tetapi sebagai benda hidup, aura itu menggambarkan kondisi kejiwaan seseorang seiring dengan keseimbangan sistem energi di dalam tubuhnya.

Setidak-tidaknya ada dua informasi yang bisa diperoleh dengan mempelajari aura seseorang. Yang pertama informasi keseimbangan fisik. Dan yang kedua, informasi keseimbangan yang bersifat psikis.

Keseimbangan kondisi fisik seseorang bisa diprediksi dari pola auranya. Penelitian tentang aura yang semakin berkembang dewasa ini, memungkinkan kita untuk memotret aura itu dan mempelajari pola polanya.

Kita bisa melihat, betapa pola aura sangat berkait dengan kondisi kesehatan. Pada orang yang sehat, pola aura di ujung-ujung jari tangannya berbentuk sempurna. Akan tetapi, pada orang yang sakit, pola auranya tidak beraturan di beberapa bagian. Bergantung pada keluhan sakitnya.

Sakit jantung memberikan pola aura yang berbeda dengan sakit ginjal. Berbeda juga dengan pola aura orang sakit liver, sakit pencernaan, dan lain sebagainya. Dan menariknya, prediksi atau diagonis penyakit lewat pola aura tersebut menghasilkan kesimpulan yang sama dengan hasil laboratorium kimiawi.

Ini menunjukkan bahwa tubuh kita ini memiliki banyak 'jendela' untuk memahami sesuatu yang berada di dalamnya. Bisa lewat laboratorium kimiawi, bisa lewat foto aura, bisa lewat pijat refleksi, bisa lewat deteksi prana, bisa lewat iridologi, dan lain sebagainya.

Sementara itu, pola aura di wajah seseorang bisa menggambar-kan kondisi kejiwaannya. Orang yang sedang marah, misalnya, memancarkan aura kemerahan. Bergantung pada tingkat kemarahannya. Sedangkan orang yang sabar dan ikhlas memancarkan warna kebiruan. Orang-orang yang mensucikan diri cenderung ke arah warna-warna terang, menuju ke arah warna putih.

Dengan demikian, teknik aura bisa membantu kita untuk memahami kualitas kejiwaan maupun kesehatan fisik seseorang. Sehingga, sebenarnya kita bisa melakukan pengukuran untuk mendeteksi berhasil tidaknya ibadah seseorang, lewat foto aura.

Dari berbagai foto aura yang saya analisis, saya menemukan suatu pola yang menarik yang bisa menggambarkan kualitas kejiwaan seseorang di dalam beragama. Di antara foto-foto itu termasuk foto aura saya sendiri, dan sahabat sahabat saya yang menjadi relawan untuk pengamatan ini.

Ternyata kualitas warna aura seseorang memiliki kemiripan dengan gradasi warna pelangi di dalam sinar matahari. Seperti kita ketahui, warna pelangi memiliki gradasi warna mulai dari Merah, Jingga, Kuning, Hijau, Biru, Nila, Ungu. Seluruh warna itu jika dicampur akan menghasilkan warna Putih.

Maka, sesuai dengan gradasi warna itu, aura seseorang juga menggambarkan tingkatan-tingkatan kualitas kondisi jiwanya atau bahkan spiritualitasnya. Aura merah menggambarkan tipikal paling egois, pemarah, pendengki, iri, pecemburu, posessive, atau secara umum menggambarkan 'gelora nafsu' dan ego tinggi.

Warna Jingga menunjukkan pergeseran ke arah warna Kuning yang menunjukkan bergesernya sifat individualistik ke arah sosial. Jika Merah menggambarkan sifat yang sangat egois, maka Jingga dan Kuning menunjukkan sifat yang semakin ramah dan mudah bergaul.

Tipikal Kuning adalah tipikal orang yang pandai mencari kawan. Namun, semua perkawanan dan persahabatannya masih ditujukan untuk kepentingan dirinya. Meskipun, tujuan itu bisa disembunyikannya secara rapi.

Tingkatan yang lebih tinggi adalah warna Hijau. Warna ini menggambarkan ego yang semakin rendah, berganti dengan kepedulian dan empati kepada orang lain. Hijau adalah tipikal dermawan. Orang yang memiliki aura berwarna Hijau biasanya suka menolong orang lain.
Jika ia punya harta, maka akan menolong orang dengan hartanya. Kalau ia orang berilmu, maka ia suka mengajarkan ilmunya kepada orang lain. Dan kalau ia orang yang berkuasa, maka akan menolong orang dengan kekuasaannya. Atau, jika ia seorang yang bisa mengobati, maka ia akan banyak memberikan bantuan penyembuhan kepada orang lain. Pendek kata, tipikal Hijau adalah tipikal yang suka menolong orang lain.

Semakin rendah ego seseorang, maka warna auranya akan semakin ke arah Biru. Aura ini menggambarkan karakter kontemplatif. Suka merenung mencari jati diri. Mencari jalan menuju kehidupan yang lebih hakiki. Hatinya cenderung ke arah kesabaran dan keikhlasan. Dan terus mencari ilmu-ilmu ‘hakikat’ di balik kehidupan dunia yang tampak menggiurkan banyak manusia.

Tipikal Biru, cenderung menjadi 'guru sejati' dalam kehidupan manusia. Bukan sekedar guru sebagai profesi. la mengajarkan ilmunya karena ingin terjadinya perubahan dalam kehidupan orang-orang di sekitarnya. Bukan karena mengejar gaji atau pun gengsi.

Meningkat lagi dari tipikal Biru adalah Nila dan Ungu. Aura dengan warna ini menunjukkan arah kepribadian yang semakin intensif dalam meninggalkan tujuan-tujuan yang bersifat pribadi individualistik. la menuju pada keseimbangan sosial. Kemaslahatan orang banyak.

Barangkali, ia bekerja keras dan mencari harta, tetapi harta yang dia dapatkan tidak untuk membahagiakan diri sendiri, melainkan untuk kebahagiaan orang banyak. Termasuk untuk menolong orang-orang yang menderita dan tidak beruntung, anak-anak yatim piatu, orang orang miskin, orang-orang yang terpinggirkan, dan lain sebagainya.

Demikian pula barangkali orang yang bertipikal ungu itu tetap terjun dalam dunia politik untuk mencari kekuasaan. Tetapi kekuasaan yang dia dapatkan bukan untuk kebahagiaan diri sendiri, melainkan dia gunakan untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur secara sosial. Dan boleh jadi juga, tipikal ini terus mencari ilmu pengetahuan, namun ilmu yang dia peroleh dia orientasikan untuk umat. Untuk membangun dan memberdayakan kecerdasan sosial.

Dan lebih dari semua itu, adalah tipikal manusia dengan aura Putih. Aura Putih menunjukkan orang-orang yang bisa mengendalikan seluruh karakter-karakter kemanusiaannya menuju kepada karakter Ketuhanan. Untuk tujuan-tujuan yang bersifat ilahiah.

Warna Putih adalah peleburan dari seluruh warna yang ada. Ini menunjukkan bahwa Putih adalah orang yang mampu menggabungkan seluruh potensi kemanusiaannya, dan kemudian melebur orientasinya hanya untuk berserah diri sepenuhnya kepada Sang Pencipta.

Ini adalah tingkatan tertinggi dalam perjalanan kehidupan seorang manusia. Yang oleh Rasulullah Muhammad saw disebut sebagai kemampuan untuk menundukkan hawa nafsunya, berganti dengan niat Lillaahi Ta’ala karena Allah semata. Itulah yang beliau maksudkan dengan kalimat : “belum Islam seseorang, sampai ia bisa menundukkan hawa nafsunya.”

Warna-warna aura di atas menggambarkan bahwa perjalanan kehidupan manusia adalah beranjak dari kepentingan-kepentingan yang bersifat 'individual', bergeser menjadi yang bersifat 'sosial', dan kemudian berakhir pada tujuan yang bersifat 'spiritual'.

4. Penyembuhan lewat Meditasi

Meditasi merupakan cara penyembuhan yang menggabungkan kekuatan fisik dan kekuatan psikis secara simultan. Meditasi bertumpu pada kekuatan jiwa untuk mengendalikan kondisi fisik. Termasuk melakukan perubahan-perubahan yang menuju pada keseimbangan alamiah.

Intinya, diyakini bahwa tubuh memiliki kemampuan self healing alias menyembuhkan diri sendiri. Kemampuan self healing itu sangat dipengaruhi kondisi batin. Karena itu batin harus berada dalam keseimbangannya sehingga bisa meresonsi kondisi badan. Begitulah prinsip dasarnya.

Dengan demikian, maka orang yang ingin melakukan penyembuhan diri lewat meditasi mesti melakukan proses penyeimbangan kondisi jiwa lewat tata cara tertentu yang biasanya menuju pada ketenangan dan relaksasi.

Ketenangan dan relaksasi mengambarkan keseimbangan. Ini sebenamya meniru mekanisme tidur, tetapi dalam kondisi sadar. Bisa dikatakan lidur dalam sadar. Atau, 'menidurkan' badan, dalam kondisi jiwa tetap terjaga.

Kenapa mesti menidurkan badan? Karena ternyata tubuh mengalami proses rehabilitasi atau recovery justru pada saat tidur. Reaksi metabolisme di dalam tubuh memperoleh keseimbangannya kembali lewat tidur. Rasa capek-capek juga hilang setelah tidur. Demikian pula jiwa yang resah, gelisah, takut, dan stress, bisa hilang karena tidur.

Oleh sebab itu, orang-orang yang mengalami gangguan secara kejiwaan dan biasanya berdampak pada kondisi badan juga 'diobati' dengan obat penenang yang fungsinya sama dengan efek tidur. Bahkan, sekalian dibuat tidur, lewat obat penenang itu.

Selain 'menenangkan badan', meditasi juga berfungsi menenangkan pikiran. Pikiran kalut, gelisah, dan stress ditenangkan serileks mungkin. Banyak cara yang digunakan untuk mempengaruhi ketenangan pikiran itu. Mulai dari menggunakan musik berirama slow, atau ada juga yang dibantu lewat sugesti orang lain penuntun meditasi, atau sampai kepada teknik-teknik yang bersifat melibatkan dimensi Ketuhanan.

Ujung ujungnya, menghasilkan ketentraman jiwa. Ketentraman itulah salah satu paramater keberhasilan meditasi seseorang. Jika jiwanya tentram, maka efek ketentraman itu bakal mengimbas kondisi badannya. Metabolisme dan fungsi-fungsi organ di dalam tubuh bakal berjalan secara seimbang. Demikian pula, rasa takut, khawatir, gelisah, dan stress pun sirna.

Dalam agama Islam, dzikir dan shalat adalah bentuk meditasi dengan melibatkan dimensi ilahiah. Inilah teknik bermeditasi yang paling tinggi. Dzikir dan shalat yang dilakukan secara benar, bakal memunculkan efek tentram. Dan kondisi tentram itulah yang menyebabkan terjadinya keseimbangan secara holistik di dalam tubuh kita. Hal ini dikemukakan oleh Allah di dalam firman berikut. QS. Ar Ra'd (13): 28
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah lah hati menjadi tenteram.”

5. Penyembuhan lewat Puasa

Teknik penyembuhan yang lain adalah lewat puasa. Teknik puasa sudah lama digunakan sebagai metode penyembuhan. Sudah berumur ribuan tahun. Dan kini diadaptasi di berbagai negara dengan berbagai modifikasinya. Bahkan di negara-negara. maju seperti Eropa dan AS telah berdiri ratusan klinik penyembuhan penyakit yang menggunakan metode puasa.

Intinya kurang lebih sama dengan prinsip dasar penyembuhan Timur lainnya, yaitu menyeimbangkan fungsi-fungsi di dalam tubuh kita dengan cara 'mengistirahatkan'. Dengan berpuasa itu, sistem pencernaan kita diistirahatkan atau 'ditidurkan'.

Diharapkan, dengan cara ini, tubuh akan merehabilitasi sendiri kerusakan-kerusakan yang terjadi di dalam tubuh. Dan kemudian menjadikannya seimbang secara alamiah. Lebih jauh, teknik puasa ini akan kita kembangkan dalam diskusi di bagian-bagian selanjutnya.

Akan tetapi secara. global, teknik puasa adalah metode penyembuhan yang sangat komplet dan memiliki dampak yang langsung bisa diamati perubahannya pada fisik dan psikis kita. Banyak penyakit yang tidak bisa disembuhkan dengan metode lain, bisa disembuhkan dengan metode puasa. Asalkan benar dalam menjalaninya...


HOMEOSTASIS, KESEIMBANGAN HOLISTIK

Konsep kedokteran Barat dan Timur, akhirnya bertemu di titik yang sama dalam konsep Homeostasis. Bahwa kesehatan tubuh manusia sangat bergantung kepada kondisi keseimbangan dalam dirinya. Hanya saja, persepsi tentang keseimbangan itu sendiri masih mengalami perbedaan.

Pada kedokteran Barat keseimbangan yang dimaksud adalah sistem organik tubuh. Sedangkan pada kedokteran Timur lebih luas melibatkan jiwa dan semangat.

Keseimbangan Sistem Organik

Sistem organik di dalam tubuh manusia beroperasi bagaikan sebuah orkestra. Organ satu dan lainnya beroperasi saling bekerjasama dalam sebuah harmoni yang luar biasa sangat mengagumkan, dengan 'dirigen'nya adalah otak.

Otak adalah sistem kendali seluruh aktivitas yang dilakukan oleh seorang manusia. Jika otak mengalami problem, maka bisa dipastikan manusia itu juga bakal mengalami problem dalam aktivitas hidupnya.

Seluruh gerakan motorik, proses berpikir, ingatan, perasaan, respon terhadap dunia luar, sampai pada aktivitas bawah sadar kita dikendalikan oleh otak. Dan semua itu dikoordinasikan dengan sangat canggih lewat berbagai mekanisme saraf, hormonal, otot, organ, dan berbagai fungsi jaringan. Sehingga badan manusia bisa beraktivitas secara harmonis. Jika tidak, maka kacaulah segala aktivitas kehidupan kita.

Sebagai contoh, proses apakah yang terjadi di dalam tubuh seseorang ketika dia menyetir mobilnya? Yang terjadi sungguh di luar dugaan kita. Terjadi jutaan proses di dalam tubuh kita yang berjalan secara harmonis dan terkendali, supaya ‘nyetir’ kita itu tidak nabrak sana dan tidak nabrak sini.

Yang pertama, seseorang yang mau menyetir mobil harus berada dalam keadaan sadar. Artinya, jiwa kita sedang dalam keadaan stabil dan tidak emosional. Yang kedua, fungsi fungsi organ tubuh seperti jantung, paru, ginjal, liver, saraf, mata, telinga dan lain sebagainya mesti berjalan baik. Jika tidak, bakal menimbulkan gangguan selama kita 'nyetir'

Yang ketiga, ketika kita mulai menjalankan mobil terjadi suatu proses koordinasi yang sangat canggih antara mata, telinga, perasaan, kaki, dan tangan. Dan semua itu dikendalikan lewat otak. Kecepatan proses yang terlibat di dalam aktivitas itu ordenya sepersekian detik, supaya respon kita tepat waktu dan tepat sasaran.

Coba bayangkan, ketika mulai menyetir mobil, mata kita menangkap bayangan di sekitar mobil kita. Bayangan berbagai benda itu ditangkap oleh retina mata dengan proses yang menakjubkan, lantas dikirim ke pusat penglihatan di otak. Saat itu, kita 'merasa' melihat benda-benda tersebut.

Setelah itu, ada proses kompleks yang terlibat di dalam otak kita untuk menyikapi penglihatan tersebut. Sehingga akhirnya kita memutuskan untuk menjalankan mobil atau tetap berhenti. Sampai di tingkat ini saja, sebenamya sudah terjadi ratusan proses untuk membuat keputusan awal.

Padahal kita tahu, bersamaan dengan berlangsungnya proses pembuatan keputusan awal itu, jantung terus berdenyut seirama dengan tugas paru-paru menyaring oksigen dari udara untuk mendukung otak dalam membuat keputusan. Dan proses pencernaan, beserta seluruh organ dalam tubuh juga sedang mensuplai pasokan gizi agar otak tetap memiliki energi untuk berpikir. Begitu pula berbagai macam hormon, enzim, dan seluruh jaringan otot dan saraf, semuanya mendukung terjadinya keputusan yang dibuat oleh otak tersebut.

Kalau semuanya berjalan lancar sesuai keinginan otak, maka proses pengambilan keputusan untuk 'menjalankan mobil atau tetap berhenti' itu bakal terjadi. Tetapi, jika ada trouble pada salah satu komponen pengambilan keputusan tersebut, maka otak bakal kesulitan memutuskan apa yang harus dilakukan. Dan hebatnya, proses yang sangat panjang itu hanya terjadi dalam orde detik!

Itu baru satu proses pengambilan keputusan awal. Belum proses yang lebih rumit yaitu ketika di jalan tol Anda ngebut memacu mobil menuju suatu tempat. Maka selama proses menyetir mobil itu seluruh organ dan jaringan di dalam tubuh bakal terlibat untuk mendukung keputusan keputusan otak dari detik ke detik, dari menit ke menit berikutnya.

Sekali lagi semuanya dikendalikan otak dengan kecepatan dan kecanggihan proses yang luar biasa. Jika, seluruh organ, jaringan, dan berbagai kelenjar tidak mengikuti proses tersebut, alias berjalan sendiri sendiri, maka tubuh kita bakal mengalami proses kehancuran yang sangat dramatis...

Keseimbangan sistem Holistik

Kita bakal lebih takjub lagi ketika mencoba memahami, betapa keseimbangan itu temyata tidak berhenti pada sistem organik saja, melainkan terkait erat dengan sistem jiwa.

Banyak hal yang tidak bisa dijelaskan dengan sekadar memahami sistem organik. Di antaranya adalah beberapa penyakit psikosomatik, yaitu penyakit yang muncul akibat stress, depresi, kegelisahan atau ketakutan yang berlebihan.

Seseorang, misalnya, bisa mengalami sakit maag, dikarenakan kegelisahan yang berlebihan. Sakit seperti ini tidak mempan ‘diobati’ dengan obat maag, karena sumbernya memang bukan sekadar masalah organik, melainkan di jiwa. Maka yang harus diobati adalah jiwanya. Barulah kemudian gejala sakitnya hilang secara permanen. Jika tidak, maka gejala sakit itu bakal muncul berulang-ulang.

Stress dan depresi juga bisa memicu munculnya berbagai macam gejala sakit, seperti sakit kepala berkepanjangan, atau veltigo (hilang keseimbangan) dan dimensia (pikun). Apalagi pada orang-orang yang kemampuan fisiknya sudah menurun, seperti pada orang berusia lanjut.

Nah, hal hal tersebut mulai sulit untuk dijelaskan dengan pendekatan sistem organik semata. Pendekatan yang bersifat holistik akan lebih pas kita gunakan dalam memahami kasus semacam itu.

Dalam pendekatan sistem holisfik, kita memandang manusia sebagai satu kesatuan antara jiwa dan raga. Antara lahir dan batin. Sehingga kondisinya menjadi sangat dinamis. Manusia tidak hanya bergantung pada sistem organiknya saja, melainkan juga pada kekuatan jiwanya.

Hal ini bisa kita gunakan untuk memahami, kenapa ada seseorang yang dinyatakan sudah sangat parah sakitnya, tetapi dia masih mampu bertahan karena memiliki semangat yang besar untuk hidup. Saya sendiri menemui kasus semacam itu beberapa kali.

Ada seorang yang menderita kanker otak pada stadium 4. Dia dinyatakan oleh dokter tidak akan bertahan lebih dari 3 bulan. Sebagai tanda tingkat keparahannya, kawan saya ini mengalami kejang-kejang yang semakin hari semakin meningkat frekuensinya. Dia pun lantas putus asa untuk bisa mengatasi penyakitnya. Dalam kondisi demikian, ada seseorang yang menasehatinya agar pasrah dan mengikhlaskan saja untuk menerima cobaan tersebut. Karena segala penyakit datangnya dari Allah. Kalau Dia menghendaki sakit, maka tidak ada yang bisa menolaknya. Sebaliknya, jika Dia menghendaki kesembuhan, juga tidak ada yang bisa menghalangi.

Dan kemudian, orang itu menyarankan kepadanya agar ‘kontak’ sendiri dengan Allah untuk mohon kesembuhan, lewat shalat tahajjud dan memperbanyak dzikrullah. Akhimya, karena sudah tidak melihat jalan lain lagi, maka ia lantas menjalani saran itu.

Dan, ini yang penting, dia benar-benar melakukan itu sepenuh hati agar diijinkanNya untuk memiliki umur yang lebih panjang. Tidak ada keraguan sedikit pun di hatinya bahwa Allah tidak akan mengabulkan do'anya. la yakin seyakin-yakinnya, Allah bakal menolongnya. Atau, kalaupun tidak, dia sudah ikhlas menyerahkan hidup dan matinya kepada Sang Penguasa Kehidupan.

Maka, yang terjadi sungguh sangat menakjubkan. Kepasrahan dan keikhlasannya yang luar biasa dalam menyongsong 'saat-saat kematiannya' itu mulai membuahkan hasil. Semakin dekat dengan 'garis kematiannya' justru kondisi fisiknya menjadi semakin membaik.

Yang tadinya mulai kejang-kejang, dengan frekuensi sering; kini frekuensinya menjadi semakin jarang. Dan semakin hari, semakin jarang.

Sehingga suatu ketika dia merasa bersyukur, karena 3 bulan berlalu, dia bukannya 'tutup usia' seperti ramalan dokter yang menanganinya, melainkan berangsur-angsur tambah sehat. Dan setahun kemudian, dia benar-benar sehat seperti sedia kala.

Dalam kasus ini, saya hanya ingin mengatakan betapa prediksi dokter yang melakukan kalkulasi melalui pendekatan sistem organik meleset. Secara medis, sangat jelas bahwa sistem organik di dalam tubuhnya mengalami penurunan kondisi terus menerus secara signifikan. Dan bisa dilihat trennya. Namun, ternyata kekuatan psikologisnya mampu mendongkrak kembali kondisi yang semakin parah itu, berbalik arah menjadi membaik.

Kita melihat betapa dahsyatnya kekuatan psikologis bisa mengalahkan dominasi fisiknya. Bahkan memiliki daya menyembuhkan yang jauh lebih hebat dibandingkan teknik-teknik modem mana pun yang pemah dia jalani. Ya, temyata mekanisme di dalam tubuhnya sendiri bisa mengatasi ketidakseimbangan sistem yang terjadi lewat kanker otak itu.

Dengan sudut pandang yang lain, kita juga bisa melihat betapa penyembuhan penyakit fisik tidak selalu harus dilakukan lewat pendekatan organik. Pendekatan yang bersifat psikis atau spirit ternyata bisa juga memberikan dampak yang signifikan. Asalkan kita faham mekanisme yang terjadi di dalam tubuh kita. Intinya, semua harus menuju pada keseimbangan sistem holistik di dalam tubuh. Lebih jauh, akan kita bahas kemudian.

Berpuasa Lebih Baik Bagimu

Baik manakah, berpuasa atau tidak berpuasa? Pasti ada beragam jawaban. Setidak-tidaknya, secara garis besar ada 3 macam jawaban. Yang pertama, ada yang bakal mengatakan bahwa lebih baik tidak berpuasa, karena badan berada dalam kondisi paling fit. Bisa makan dan minum untuk memasok kebutuhan energi bagi aktivitas sehari-hari, kapan pun diperlukan.

Yang kedua, adalah yang ragu-ragu. Mereka merasa tidak memiliki informasi yang akurat tentang perbandingan puasa dan tidak berpuasa. Yang jelas, mereka merasakan bahwa dalam kesehariannya, berpuasa membutuhkan niat dan kesungguhan. Dan itu tidaklah ringan. Tapi, di sisi lain, mereka mendengar dengar informasi bahwa puasa itu menyehatkan. Jadi, mereka ragu-ragu.

Sedangkan kelompok yang ketiga, adalah mereka yang merasa yakin bahwa berpuasa memiliki manfaat yang jauh lebih besar dibandingkan tidak berpuasa. Maka, mereka dengan yakin mengatakan bahwa berpuasa adalah lebih baik dibandingkan dengan tidak berpuasa.

Yang menarik, Allah juga membuat slatement yang senada di dalam al Qur'an bahwa berpuasa adalah lebih baik. Hal itu disampaikan oleh Allah dalam ayat berikut.

QS. Al Baqarah (2):184.
“(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang orang yang berat menjalan-kannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”

Sebagai orang yang beriman kepada Allah dan rasulNya, kita pasti tidak ada keraguan sedikit pun tentang kebenaran informasi itu, bahwa berpuasa adalah lebih baik dibandingkan tidak berpuasa. Namun, bagaimanakah hal itu bisa dijelaskan? Itulah yang menjadi concern kita untuk membuka rahasianya. Dan kemudian memperoleh pelajaran darinya.

Statement Allah itu memang menarik untuk dicermati. Kalimat penutup ayat tersebut berbunyi : Dan berpuasa lebih bak bagimu, jika kamu mengetahui. Ini sungguh menggelitik, karena ayat tersebut diakhiri dengan kalimat “jika kamu mengetahui”.

Artinya, berpuasa itu sebenarnya memang lebih baik dibandingkan tidak berpuasa, asalkan kita tahu caranya. Sayangnya selama ini kita tidak mengetahuinya. Atau tidak ingin mengetahuinya. Maka, dengan adanya ayat ini, sebenarnya kita dianjurkan untuk mencari informasi sebanyak banyaknya tentang hal itu. Setelah eksplorasi itu, dijamin kita bakal memahami bahwa berpuasa memang lebih baik dari tidak berpuasa ...

Benarkah Berpuasa Lebih Sehat?

Pada kebanyakan kita, telah melekat anggapan bahwa berpuasa itu 'membebani'. Baik secara fisik, maupun secara psikis/kejiwaan. Kondisi yang kita anggap cocok dan bermanfaat buat kehidupan kita sehari-hari adalah kondisi tidak berpuasa. Sedangkan berpuasa adalah kondisi 'di luar kebiasaan' yang bersifat tambahan.

Sebenarnya, ini terjadi bukan hanya pada ibadah puasa. Melainkan, juga pada ibadah shalat, haji, zakat, dan lain sebagainya. Secara umum, kita selalu merasa 'terbebani' oleh ibadah-ibadah dalam agama. Padahal, ibadah-ibadah itu bukan sesuatu yang bersifat tambahan di luar kebiasaan. Justru, itu adalah sesuatu yang mestinya kita jalankan secara rutin dan berkala, dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sistem kehidupan beragama kita. Karena, sesungguhnya ia berfungsi menyeimbangkan aktivitas kurang baik dalam keseharian, yang tidak kita sadari.

Salah faham ini, sebenarnya terjadi semata mata 'karena kita tidak tahu' bahwa. semua ibadah itu sangat bermanfaat buat menyeimbangkan kembali kondisi kehidupan kita. Persis seperti statement Allah di dalam ayatNya.

Dalam kalimat yang berbeda, ibadah-ibadah itu bisa diumpamakan sebagai 'saat-saat perawatan' terhadap mobil milik kita. Kalau kita punya mobil yang kita pakai setiap hari, selain mengoperasikannya harus baik, mobil harus memiliki jadwal untuk perawatan. Jangan sampai mobil cuma dipakai saja, tapi tidak pernah dirawat. Apalagi jika beban operasionalnya tinggi. Mobil bakal cepat rusak.

Secara berkala, mobil mesti dicek minyak remnya, radiator, minyak power steering, ganti oli, timing belt dan lain sebagainya. Jika tidak, bisa dipastikan mobil kita bakal rusak sebelum waktunya. Jadi, kegiatan perawatan itu adalah bagian dari suatu 'keharusan' dalam mengoperasikan mobil. Bukan sesuatu yang membebani. Bukan sesuatu yang luar biasa. ia adalah sebuah 'kewajiban', tapi bukan sebuah 'keterpaksaan'.

Puasa kita adalah sebuah 'kewajiban', yang bukan 'keterpaksaan'. Fungsinya persis seperti perawatan mobil di atas. Jika kita tidak pernah melakukan puasa sepanjang hidup kita, maka bisa dipastikan kita bakal mengalami problem dalam kesehatan yang bersifat fisik maupun psikis.

Ada sebuah penelitian yang sangat menarik yang dilakukan oleh Dr Paavo Airola, pakar Nutrisi Biokimiawi dari Finlandia. Dia mengatakan bahwa stress (tekanan) yang terjadi pada seseorang secara berkepanjangan bisa menyebabkan daya tahan tubuhnya menurun. Daya tahan tubuh yang menurun, menunjukkan ia bakal gampang terserang penyakit.

Dari penelitiannya itu ia menyimpulkan, jika seseorang bekerja terus menerus tanpa istirahat yang cukup, selama beberapa pekan, maka badannya bakal mengalami tekanan (stress) yang berlebihan. Jika, dia tidak segera menyeimbangkan tekanan itu, bisa dipastikan daya tahan tubuhnya bakal menurun. Dan ketika daya tahan tubuh turun, bisa dipastikan ia bakal gampang terserang penyakit.

Yang menarik, stress yang dia maksudkan bukan hanya bersifat fisik melainkan juga kejiwaan. Dalam kesimpulannya ia juga mengatakan, jika hari ini kita mengalami stress karena pekerjaan kantor yang menumpuk. Besok, stress lagi karena masalah rumah tangga. Lusanya, stress lagi karena bertengkar sama teman. Hari berikutnya kita stress karena situasi ekonomi, sosial, dan politik yang tidak menentu. Dan, begitu seterusnya selama beberapa pekan, maka bisa dipastikan, daya tahan tubuh kita juga bakal menurun. Dan ketika daya tahan tubuh menurun, giliran berikutnya kita. bakal mudah terserang oleh penyakit.

Padahal sebagaimana kita tahu, kehidupan modern telah membawa kita kepada situasi yang memiliki potensial stress dan tekanan berlebihan dalam bekerja. Irama kerja yang semakin tinggi, volume pekerjaan yang menumpuk, bermunculannya variasi masalah yang demikian meluas, semua itu memberikan tekanan yang besar kepada fisik dan jiwa kita. Karena itu, orang modern memiliki potensial risiko yang sangat besar untuk memperoleh tekanan terhadap fisik dan jiwanya.


Dan merupakan bagian dari stress itu, ternyata adalah pola makan orang modern. Kita memiliki pola makan yang cenderung memberikan stress kepada badan. Badan memiliki 3 tahapan dalam memproses makanan yang masuk ke tubuh. Yaitu, mencerna pada siang hari, menyerap dan metabolisme pada malam hari, dan akhirnya membuang sampah hasil metabolisme pada pagi hari.

Tetapi, kenyataan yang kita alami tidak demikian. Siang hari kita makan banyak, maka badan kita berfungsi mencerna. Malam hari, mestinya menyerap dan metabolisme, ternyata kita makan malam, bahkan terlalu larut. Badan kita juga ditugasi mencerna. Dan esoknya, ketika badan seharusnya bekerja membuang sampah metabolisme, kita makan pagi tedalu berat. Sehingga, badan kita lagi lagi ditugasi untuk mencerna.

Jika hal ini terjadi demikian terus berulang-ulang, maka badan kita sesungguhnya bakal mengalami stress. Badan mengalami tekanan berlebihan, karena tidak memiliki jeda untuk menjalankan fungsi alamiahnya. Bahkan, juga tidak sempat beristirahat. Yang terjadi, bukannya tambah sehat melainkan malah sakit karena badan mengalami penurunan daya tahan tubuh.

Jadi jangan dikira, makan teratur pagi, siang, malam itu pasti menjadikan kita bertambah sehat. Boleh jadi malah sebaliknya. Jika jumlah, jenis dan komposisinya tidak benar, proses pencernaan bisa menjadi tidak baik, penyerapan dan metabolisme berjalan tidak sempura, dan pembuangan sampah-sampah hasil pencernaannya tidak berjalan normal. Maka yang terjadi adalah penumpukan zat-zat beracun di dalam tubuh kita.

Orang yang mengalami kondisi demikian terus-menerus dalam kesehariannya, sampah beracun di dalam tubuhnya bisa menumpuk 2 sampai 5 kilogram dalam setahun. Jadi jangan bergembira dulu, jika berat badan anda bertambah 5 kg setahun. Jangan jangan itu adalah racun semua...!

Sampah metabolisme itu menyebar di seluruh jaringan tubuh kita dalam bentuk radikal-radikal bebas, kelebihan lemak, kolesterol, asam urat, dan berbagai macam zat yang tidak berguna bagi tubuh. Bahkan cenderung membebani fungsi organ-organ vital.

Hal ini semakin buruk pada orang-orang yang memiliki pola makan dan pola hidup yang jelek sepanjang tahun, merokok, minum minuman keras, gila kerja, kurang istirahat, dan seringkali stress akibat tekanan lingkungan yang berlebihan secara terus-menerus.

Badannya selalu berada dalam ketidakseimbangan yang memunculkan akumulasi zat-zat beracun bagi tubuhnya. Dampak jelek itu baru akan terasa setelah 10 - 20 tahun kemudian berupa gangguan fungsi organ-organ vital di dalam tubuhnya. Bisa berupa gangguan liver, paru, jantung, ginjal, persendian, dimensia, dan lain sebagainya.

Nah, hal-hal yang kita bahas di atas menunjukkan kepada kita bahwa kondisi tidak berpuasa yang kita jalani setiap hari itu bukan berarti membawa kita pada kualitas kesehatan yang prima. Justru, ketidaktahuan kita telah menyebabkan kita memiliki persepsi yang keliru dengan menganggap 'tidak berpuasa' adalah lebih baik dibandingkan 'berpuasa'.

Padahal, kondisi tidak berpuasa itu tenyata telah 'membantu' terjadinya penumpukan racun-racun tubuh yang membahayakan kesehatan kita dalam jangka panjang. Ada ayat di dalam Al-Quran yang memberikan gambaran sangat menarik tentang bahayanya pola makan yang buruk.

QS. Thahaa: 81
“Makanlah diantara rezeki yang baik yang telah Kami berikan kepadamu, dan janganlah melampaui batas padanya, yang menyebabkan kemurkaanKu menimpamu. Dan barangsiapa ditimpa kemurkaanKu, maka sesungguhnya binasalah ia.”

Kalau kita cermati ayat di atas, Allah memberikan pemahaman tentang pola makan yang baik. Yang pertama, Allah mengatakan, 'makanlah di antara rezeki yang baik yang telah Kami berikan kepadamu'. Di sini terkandung dua maksud, yaitu bahwa segala rezeki yang kita butuhkan itu sebenarnya sudah ada di sekitar kita. Karena semua itu memang sudah disediakan dan diberikan Allah buat manusia. Kita tinggal memilih saja. Tentu saja dengan berusaha.

Kemudian yang kedua, dari semua yang sudah tersedia di muka Bumi ini, pilihlah rezeki yang baik-baik saja. Jangan memilih rezki atau makanan yang tidak baik. Dalam hal makanan, sebenarnya Allah menyediakan kriteria 'baik dan halal' untuk kita. Hal ini, Dia sampaikan di ayat berikut.
QS. Al Baqarah (2) :168
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu”

Firman ini ditujukan kepada seluruh umat manusia. Bukan hanya umat Islam. Artinya, isi ayat ini berlaku umum sesuai karateristik kesehatan tubuh manusia pada umumnya.

Allah mengatakan kepada kita semua agar memakan makanan yang halalan thayyba alias halal dan baik. Dua kata terakhir ini memiliki arti yang berbeda. Kata 'halal', bermakna sesuatu yang diperbolehkan untuk kita makan lewat petunjuk yang jelas. Artinya, makanan tersebut tidak haram ataupun dilarang. Kalau suatu makanan dikatakan halal, maka itu sudah sangat jelas bahwa makanan tersebut boleh dimakan. Hukumnya jelas.

Sedangkan makanan yang ‘baik’ adalah makanan yang 'cocok' untuk kondisi tertentu. Kata 'baik' memiliki arti yang lebih lentur. 'Baik' bagi saya belum tentu 'baik' bagi anda. 'Baik' untuk orang dewasa, belum tentu 'baik' bagi anak balita.'Baik’ bagi laki-laki, belum tentu baik bagi wanita hamil. Dan seterusnya. Kata thayyiba atau baik, mengandung makna agar kita memahami peruntukan gizinya bagi siapa yang memakannya.

Maka dalam kata thayyiba itu terkandung 'perintah' untuk belajar ilmu gizi, agar kita bisa menerapkan bagi kebaikan siapa saja sesuai dengan kebutuhan. Dengan kata thayyba tersebut Allah menginginkan agar kita memiliki kefahaman tentang mekanisme pencernaan, metabolisme, dan berbagai fungsi-fungsi organ yang terkait dengannya. Selain itu, lantas juga, kefahaman dalam hal kandungan gizi makanan.

Sementara itu, makanan yang terlarang sudah dijelaskan oleh Allah di dalam al Quran. Yaitu, darah, bangkai, daging babi, binatang yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah, dan binatang yang terbunuh tanpa mengalirkan darah. Hal itu dikemukakanNya dalarn firman firman berikut ini. QS Al Baqarah (2):173
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binalang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang

QS Al Maidah (5): 3
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah (mengundi nasib dengan anak panah ini) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kapadaKu. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku cukupkan kepadamu nikmatKu dan telah Kuridhai Islam jadi agama bagimu. Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berboat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Kembali kepada QS. Thaahaa : 81, selain mengajarkan untuk memakan yang 'baik', Allah juga mengajarkan agar tidak 'melampaui batas' dalam hal makan dan minum. Konotasi 'melampaui batas' itu lebih mengarah kepada jumlah makanan yang kita konsumsi setiap harinya. Jangan sampai porsi makan kita melampaui kebutuhan. Dalam arti, setiap kali makan, ataupun akumulasi makan dalam kurun waktu tertentu.

Sedangkan, kata 'baik' lebih mengarah kepada jenis dan komposisi menu. Kita mesti mencocokkan antara kebutuhan badan kita dengan zat zat gizi yang harus kita konsumsi setiap harinya.

Yang menarik, dalam QS. Thaahaa: 81 tersebut Allah mengatakan bahwa makan yang melampaui batas, bisa menyebabkan 'kemarahan' Allah menimpa kepadanya. Kenapa bisa demikian? Dan bagaimanakah wujud 'kemarahan' Allah itu?

Sebagaimana telah bahas di depan, bahwa orang yang makan berlebihan bakal menyebabkan problem dalam proses; pencernaannya. Proses; pencernaan yang kurang baik bakal menimbul problem pada proses penyerapan dan metabolismenya. Dan, selanjutnya, metabolisme yang berjalan tidak sempurna bakal menghasilkan sampah-sampah yang bersifat racun bagi tubuh.

Jadi, 'kemarahan' yang dimaksudkan oleh Allah dalam ayat tersebut secara riil berwujud penyakit yang muncul akibat pola makan yang jelek. Dari data medis, kita memperoleh informasi, begitu banyak penyakit modern yang berasal dari pola makan yang jelek itu termasuk makan yang berlebih-lebihan. Mulai dari asam urat, kolesterol, diabetes, aterosklerosis, stroke, gangguan fungsi jantung, liver, kanker, dan berbagai dampak dari obesitas alias kegemukan.

Di Amedka Serikat saja sekitar 61 % penduduknya mengalami gejala-gejala sakit akibat obesitas. Dan tak kurang dari 300 ribu orang setiap tahunnya meninggal akibat penyakit penyakit yang berkait dengan kelebihan makanan. Demikian pula di seluruh dunia, diperkirakan 29 persen angka kematian disebabkan oleh penyakit jantung yang terkait dengan problem obesitas. Angkanya berkisar hampir 15 juta orang per tahun. Itulah barangkali yang dimaksudkan dengan 'kemarahan' Allah.

Sebab, informasi tentang 'kemarahan' Allah itu, lantas dilanjutkan dengan kalimat: “barangsiapa ditimpa kemarahan Allah, maka dia bakal binasa”. Dan begitulah kenyataannya, banyak orang yang binasa alias meninggal disebabkan penyakit-penyakit yang terkait dengan pola makan yang buruk.

Demikianlah logika-logika yang bisa kita ambil untuk menjelaskan bahwa tidak berpuasa ternyata memiliki potensi terjadinya berbagai macam penyakit. Apalagi, jika saat 'tidak berpuasa' itu pola makannya tidak baik.

Baiklah, sekarang kita telah memperoleh argumentasinya secara gamblang, bahwa tidak berpuasa berpotensi membawa pada problem kesehatan. Lantas, bagaimanakah menjelaskan bahwa berpuasa adalah lebih baik daripada tidak berpuasa? Berikut ini kita akan membahasnya lebih mendetil.

1. Alarm Tubuh dan Antisipasi Alamiah
Sebelum saya melangkah lebih jauh, saya ingin mengajak pembaca untuk memahami sebuah mekanisme unik di dalam tubuh kita, yaitu Alarm Tubuh. Allah menciptakan suatu mekanisme peringatan di dalam tubuh kita yang bertujuan mengatur keseimbangan sistem tubuh. Sebagai contoh, jika suatu saat kita mengalami kekurangan cairan dalam tubuh, maka kita akan merasa kehausan.

Rasa haus itu sebenarnya adalah alarm yang mengingatkan kita agar menambah cairan tubuh, dengan cara minum. Jika kita tidak mempedulikan alarm itu, maka badan akan mengalami ketidak seimbangan yang bisa merugikan sistem kesehatan kita. Bahkan, pada suatu ketika, bisa berakibat fatal karena badan mengalami dehidrasi.

Demildan pula dengan makanan. Rasa lapar adalah alarm tubuh. Alarm itu aktif, ketika glukosa dalam darah kita kadarnya menurun. Dengan kata lain, badan sedang membutuhkan gizi tambahan. Jika alarm tersebut tidak dihiraukan, maka badan akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan itu dengan mengambil cadangan yang ada di dalam tubuh. Sehingga, berat badan kita akan berkurang. Tapi, pada suatu ketika, jika cadangan di dalam tubuh sudah habis terpakai, tubuh bakal mengalami ketidak seimbangan yang bisa berakibat fatal. Meskipun pada setiap orang bisa berbeda daya tahan tubuhnya. Sebagai contoh ada orang yang bisa bertahan tidak makan sampai 40 hari, dengan hanya minum saja. Atau, ada orang di India yang bisa bertahan tidak makan dan tidak minum selama berhari-hari. Akan tetapi, secara umum kekurangan air dan makanan bisa berakibat fatal bagi kesehatan. Dan untuk itulah alarm di dalam tubuh kita 'berbunyi'.

Alarm lainnya adalah rasa ngantuk. Jika badan kita sudah menurun kondisinya akibat kurang tidur atau terlalu capai, maka alarm ini bakal berbunyi. Kadang berbarengan dengan munculnya rasa pegal-pegal dan capai di sekujur badan kita, sebagai akibat munculnya asam laktat ke jaringan otot-otot tubuh.

Jika ini terjadi, maka. ini adalah peringatan agar kita menghentikan aktivitas kita atau melakukan antisipasi tertentu, agar tidak membahayakan. Bayangkan jika kita sedang menyetir mobil di jalan tol, kemudian alarm ngantuk 'berbunyi'. Jika tidak diantisipasi, akibatnya bisa fatal karena sangat boleh jadi bakal terjadi kecelakaan.

Dan masih banyak lagi alarm alarm tubuh yang berfungsi mengingatkan untuk melakukan antisipasi yang tepat terhadap kondisi badan yang mulai menurun performancenya. Termasuk mata terasa berat ketika kita terlalu banyak baca, dan lain sebagainya.

Dengan membahas hal tersebut, saya hanya ingin mengatakan bahwa badan kita sebenarnya memiliki sistem yang sangat canggih dalam mengelola keseimbangan sistem tubuh. Alarm itu hanyalah salah satu dari mekanisme di dalam tubuh yang berfungsi untuk selalu menjaga keseimbangan.

Jika Alarm tersebut tidak dihiraukan, ternyata masih muncul mekanisme berikutnya, yang bersifat darurat, berupa 'penyelamatan'. Di antaranya, pengambilan cadangan makanan dari dalam tubuh sendiri, ketika alarm lapar 'berbunyi', tapi kita tidak segera makan.

Akan tetapi, yang ideal sebenarnya adalah mengikuti 'perintah' alarm tersebut. Artinya, ketika kita merasa haus, ya sebaiknya minum. Ketika merasa lapar, sebaiknya kita makan, ketika capai, mestinya segera istirahat, dan ketika mata ngantuk, sebaiknya ditidurkan.

Cuma sayang, ritme kehidupan modern mengarahkan kita pada proses; penyelesaian yang bersifat instan. Artinya, seringkali kita menjumpai orang-orang yang tidak mengantisipasi secara alamiah terhadap munculnya alarm tubuh tersebut.

Misalnya, jika kita ngantuk. Mestinya kita melakukan antisipasi dengan cara beristirahat ataupun tidur. Meskipun, barangkali hanya beberapa menit untuk menghilangkan rasa kantuk itu. Namun yang terjadi pada kita seringkali tidak demikian. Dengan alasan masih banyak pekerjaan, dan lain sebagainya, kita justru melawan kantuk itu dengan minum kopi. Ini artinya kita melawan mekanisme alamiah di dalam tubuh kita sendiri.

Contoh lain adalah ketika kita mengalami capai. Mestinya, cara memulihkannya adalah dengan beristirahat cukup, sesuai kebutuhan. Namun bukan demikian yang terjadi, kita banyak melihat orang-orang mengantisipasi dengan minum energy drink alias minuman berenergi. Sekali lagi ini melawan mekanisme alamiah tubuh. Dan sebagainya. Dan seterusnya.

Orang-orang modern terbiasa melawan mekanisme alamiah tubuhnya. Mereka selalu mencari solusi instan terhadap berbagai problemnya. Sehingga, tubuh selalu dalam keadaan terpacu dan lepas dari keseimbangannya. Dalam jangka pendek, efek perilaku seperti ini memang tidak begitu terasa. Bahkan, seakan-akan membantu kita untuk mengatasi masalah secara cepat. Padahal dalam jangka panjang, ini akan menciptakan problem serius di belakang hari bagi kesehatan kita.

2. Mekanisme pemulihan
Selain mekanisme alarm, di dalam diri kita ada mekanisme pemulihan kondisi tubuh secara alamiah. Penelitian tentang hal ini dilakukan oleh J. Kellberg dan Reizenstein dari Finlandia.
Berdasar penelitiannya, mereka menyimpulkan bahwa tubuh kita memiliki kemampuan untuk menyembuhkan diri sendiri alias memulihkan kondisi menuju pada keseimbangan alamiahnya. Asalkan diberi kesempatan!

Problemnya, selama ini kebanyakan kita tidak memberi kesempatan kepada badan untuk memulihkan kondisi. Contoh di atas, memberikan bukti kebenaran asumsi tersebut. Bahwa, ketika ngantuk seringkali kita melawan mekanisme tubuh kita dengan memberikan minuman kopi. Atau, dalam hal kelelahan, kita seringkali mengantisipasinya dengan minum energy drink.

Dengan kata lain, sebenarnya kita tidak memberikan kesempatan kepada badan untuk melakukan pemulihan atas ketidakseimbangan kondisi tubuh. Yang kita lakukan justru memacu agar aktivitas kita naik lagi. Ternyata, ini tidak baik.

Sebenarnya, dengan tidur saja di dalam tubuh kita akan terjadi proses alamiah yang berfungsi menyeimbangkan kembali kondisi kelelahan atau ngantuk tersebut. Bangun dari tidur, insya Allah badan telah kembali segar, Rasa kantuk, lemas, dan menurunnya daya pikir, biasanya berangsur lenyap dengan pulihnya kondisi badan.

Ada suatu mekanisme 'bawah sadar' yang sangat canggih, berfungsi menyeimbangkan kembali kondisi-kondisi tersebut, tanpa melewati kehendak kita. Kuncinya sederhana saja, yaitu berilah 'kesempatan' kepada badan untuk 'istirahat'. Yang paling efektif memang dengan cara tidur. Dengan tidur itu meskipun sebentar kita mengistirahatkan fungsi-fungsi sadar kita. Dan kemudian yang beroperasi secara efektif adalah fungsi 'bawah sadar'.

Dan ternyata, proses pemulihan (recovery) itu bukan hanya. terjadi pada saat kelelahan seperti di atas. Fungsi ini, juga berjalan secara holistik terhadap fungsi organ-organ fisik sekaligus kejiwaan. Bahkan, termasuk mengantisipasi dampak-dampak negatif dari pola makan dan pola hidup yang buruk selama ini.

Bagaimanakah cara memulihkan kondisi yang terlanjur memburuk akibat pola makan dan pola hidup yang jelek? Sekali lagi, kuncinya sederhana saja : berilah 'kesempatan' pada badan untuk terlepas dan beristirahat dari ritme keseharian kita. Jika kita terbiasa bekerja keras, maka istirahatlah dari bekerja keras itu untuk kurun waktu tertentu. Maka, badan akan menyusun kembali keseimbangan sistem di dalam tubuh.

Jika kita terbiasa makan banyak, dalam frekuensi yang tinggi atau tidak teratur. Maka, cobalah untuk merubah pola yang sudah menjadi kebiasaan kita tersebut, menjadi pola yang meringankan beban sistem pencernaan. Maka mekanisme 'bawah sadar' kita bakal menyusun dan merehabilitasi kembali menuju pada. keseimbangan alamiahnya.

Nah, dalam konteks inilah puasa memiliki mekanisme untuk menyeimbangkan kembali sistem di dalam badan kita. Puasa adalah sebuah mekanisme untuk memberikan 'kesempatan' kepada badan setelah selama setahun kita membebani sistem pencernaan secara maraton.

Ada tiga proses yang terjadi saat kita berpuasa. Yang pertama adalah proses detoksifikasi alias penggelontoran racun-racun sisa metabolisme. Yang kedua, proses rejuvenasi atau peremajaan kembali. Dan yang ketiga adalah stabilisasialias pemantapan sistem.

Ketiga proses itu memang bergantung kepada berapa lama kita menjalani puasa. Jika puasa dijalankan dalam waktu yang relatif singkat, maka fungsi puasa lebih kepada detoksifikasi alias penggelontoran racun-racun. Dan inilah yang kebanyakan dirasakan oleh orang-orang yang berpuasa.

Namun, jika kita melakukan puasa dalam kurun waktu yang relafif panjang dengan kombinasi makanan yang baik, maka proses detoksifikasi itu akan berjalan lebih lanjut dengan proses peremajaan sel sel yang tua dan rusak.

Dan selanjutnya, mengarah pada pemantapan sistem-sistem di dalam tubuh yang selama ini telah kacau. Badan akan berusaha mencapai keseimbangannya kembali secara alamiah.

Proses detoksifikasi sendiri sebenarnya membutuhkan waktu yang beragam antara satu dengan lain orang. Lama waktu detoksifikasi itu bergantung kepada banyak tidaknya sampah-sampah metabolisme yang harus disingkirkan dari dalam tubuh.

Pengalaman yang ada di berbagai klinik penyembuhan lewat metode puasa menggambarkan hal itu. Penyembuhan lewat metode puasa temyata disesuakan dengan berat ringannya penyakit yang diderita pasien.

Ada yang cuma membutuhkan puasa 3 hari, karena kondisi sakitnya tergolong ringan. Ada juga yang membutuhkan waktu 1 minggu. Ada yang 2 minggu, 1 bulan atau bahkan ada yang sampai 80 had. Bergantung kepada kondisi si pasien. Cara berpuasanya pun beragam. Ada yang bersambung terus menerus selama beberapa hari. Ada juga yang loncat hari, atau terputus-putus. Namun, pada intinya logika berpuasa adalah menggelontor toksin-toksin atau racun-racun yang mengendap di seluruh tubuh kita. Hal ini mirip dengan orang yang beristirahat dengan cara tidur.

Jika kita seharian bekerja keras, badan bakal merasa capai. Kenapa? Karena energi yang kita keluarkan dalam jumlah besar itu telah mendorong tubuh kita untuk melakukan metabolisme alias pembakaran secara besar-besaran pula. Dari pembakaran itu muncul sampah-sampah hasil metabolisme yang menjadi racun bagi tubuh. Apalagi jika proses pembakaran itu tidak berjalan sempurna, maka jumlah sampah yang bersifat toksin itu semakin banyak.

Di antaranya adalah 'sampah sementara' yang disebut sebagai asam laktat. Asam laktat itu menumpuk di sekitar jaringan otot-otot tubuh,dan menyebabkan rasa lelah serta pegal-pegal atau bahkan rasa sakit.

Asam laktat terjadi karena seseorang bekerja keras dalam kondisi kekurangan oksigen. Artinya, badan kita mengeluarkan energi di luar kemampuan paru-paru atau jantung dalam menyediakan oksigen di dalam darah, atau di luar kernampuan mengeluarkan C02 dari sistem pernafasan kita. Dengan kondisi demikian, terjadilah proses pembakaran tidak sempurna yang menyebabkan munculnya asam laktat.

Jika kita mengalami kondisi demikian, maka kita harus segera mengurangi porsi aktivitas kita, atau segera beristirahat. Dengan beristirahat itu, asam laktat yang menumpuk bakal dibawa aliran darah menuju ke hati untuk diubah menjadi glukosa. Dan kemudian menghasilkan energi kembali.

Istirahat yang paling efektif adalah tidur. Dengan tidur, mekanisme 'bawah sadar' akan mengatur keseimbangan tubuh kita secara alamiah. Asam-asam laktat diangkut secara cepat, karena badan memang sedang tidak dibebani oleh 'pekerjaan' berat lainnya. Maka, dalam waktu yang relatif singkat badan kita bakal segar kembali.

Mekanisme semacam inilah yang terjadi pada orang yang sedang berpuasa. Dalam setahun, kita mengalami aktivitas yang menyebabkan menumpuknya berbagai sampah beracun di dalam tubuh. Maka, ketika berpuasa, badan diberi kesempatan untuk menggelontor semua sampah sampah tersebut.

Sesungguhnya, Allah telah menciptakan sistem yang sangat sempurna lewat keseimbangan alamiah, di dalam tubuh. Kita tinggal mengikuti saja sistem itu. Jika keseimbangan sistem tersebut kita langgar, badan akan berkerja secara tidak sempurna, dan kemudian menghasilkan ekses yang merugikan. Namun, jika kita mengikuti mekanisme alamiah itu, badan akan bekerja dalam suatu sistem keseimbangan. Dan badan kita pun sehat.

Tentang adanya sistem keseimbangan di dalam tubuh manusia itu, Allah menjelaskan dalam ayat berikut.
QS Al Infithaar (82) : 7
“Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh) mu seimbang”

Jadi sistem keseimbangan itu memang telah didesain oleh Allah sebagai sistem kesempurnaan dalam kehidupan manusia. Selama kita bisa menjaga dan mengikuti sistem keseimbangan, maka hidup kita insya Allah akan sehat secara alamiah.

Sebagai contoh, kalau kita terluka, maka sistem keseimbangan itulah yang akan memulihkan kembali luka itu. Jika kita terlalu capek, maka dengan cara beristirahat, sistem keseimbangan itu pula yang bakal mengembalikan. Demikian pula, ketika kita mendapat serangan penyakit dari luar tubuh, sistem itu jugalah yang melawan penyakit dan kemudian menyembuhkan. Termasuk, jika di dalam jaringan tubuh kita banyak menumpuk racun-racun metabolisme, maka tubuh kita juga yang bakal menggelontornya dengan mekanisme puasa.

Sistem keseimbangan ini didesain oleh Allah bukan hanya di dalam tubuh manusia, melainkan juga di seluruh jagad raya semesta. Mekanisme inilah yang selama bermilyar-milyar tahun, sampai detik ini, menjaga kelangsungan hidup dan keseimbangan seluruh penjuru alam semesta.
QS. Al Mulk (67): 3 - 4
“Yang telah menciptakan tujuh langlt berlapis-lapis kamu sekali kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?”

“Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan payah.”

Dimensi Fisik dan Jiwa

Puasa bukan cuma menahan lapar dan menahan haus. Sebab, jika hanya menahan lapar dan dahaga saja, maka kita telah terjebak pada dimensi fisik belaka. Puasa lebih condong pada dimensi kejiwaan. Atau lebih tepat lagi, memadukan dimensi fisik dan dimensi kejiwaan.

Dalam berbagai penelitian tentang puasa memang disepakati bahwa puasa adalah aktivitas yang melibatkan dimensi fisik, jiwa dan spiritual sekaligus. Atau dalam bahasa yang lebih sederhana: puasa adalah aktivitas yang bersifat 'lahir dan batin'. Dengan puasa itu, seseorang harus menjalani aktivitas mulai dari niatan yang bersitat spiritual, menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu termasuk makan dan minum dan memperbanyak komunikasi dengan Tuhan.

Lantas, apakah sebenarnya yang menjadi tujuan puasa? Aktivitas puasa awal mulanya, memang 'dikenalkan' sebagai aktivitas keagamaan. Karena itu, untuk memahami tujuan puasa kita mesti mendengarkan informasi dari agama yang memerintahkan.

Secara umum kita bisa menangkap tujuan puasa dari berbagai penelitian yang kini marak dilakukan di negara-negara maju. Bahwa puasa adalah sebuah aktivitas untuk menyeimbangkan kembali kondisi badan seseorang. Dalam skala lahiriah maupun batiniah. Sehat lahir maupun sehat batin.

Terlibatnya dimensi kejiwaan dalam berpuasa memberikan efek yang lebih mendalam dibandingkan sekedar diet. Diet adalah sebagian dari aktivitas berpuasa. Sebab, faktor jiwa ternyata memegang peranan penting dalam berpuasa. Penekanannya bukan puasa fisik (diet) melainkan lebih pada pengendalian yang bertumpu pada keikhlasan.

Sebelumnya telah kita bahas, bahwa jiwa memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap fisik. Bahkan pengaruh jiwa lebih dominan dibandingkan fisik. Segala aktivitas fisik kita bersumber dari jiwa. Baik yang kita kehendaki secara sadar maupun yang berada di luar kesadaran alias alam bawah sadar. Sebab jiwa adalah software kehidupan kita.

Dalam tinjauan medis, emosi kita memiliki pengaruh yang besar terhadap keluarnya zat-zat tertentu yang bisa berdampak pada kesehatan. Dalam hal pencernaan misalnya. Sistem pencernaan kita ternyata sangat peka terhadap perubahan emosi. Secara umum pencernaan dipengaruhi oleh 3 faktor gaya hidup, yaitu tidur / istirahat, kegiatan fisik, serta keadaan emosional.

Tidur & istirahat, sebagaimana telah kita bahas di depan memberikan 'kesempatan' kepada mekanisme alamiah di dalam sistem pencernaan kita untuk mengembalikan keseimbangan. Termasuk pemeliharaan, perbaikan, dan pengeluaran sisa-sisa pencernaan yang dapat mengganggu saluran cerna.

Kegiatan fisik diperlukan untuk mengencangkan otot-otot agar tidak kendor dan bisa berfungsi secara baik, dalam pencernaan. Banyak otot-otot yang terlibat di dalam proses pencernaan, di antaranya otot otot di sekitar lambung dan di daerah anus.

Sedangkan emosi sangat berpengaruh pada kegiatan hormon dan urat saraf. Proses pencernaan di dalam tubuh kita sangat kompleks dengan melibatkan mekanisme hormon dan sensor-sensor saraf. Kekacauan emosi bisa menyebabkan gangguan pada pengeluaran hormon dan enzim, yang kemudian mempengaruhi efektifitas pencernaan dan penyerapan.

Sebagai contoh, orang yang sedang stress bisa menyebabkan keluarnya asam lambung secara berlebihan. Maka, orang yang sering stress, biasanya terserang oleh sakit maag dalam berbagai skalanya. Ada yang ringan dan ada yang sampai terluka lambungnya. Ada yang kambuhan saat stress saja, tapi ada juga yang terlanjur permanen.

Karena itu, pada saat makan, kita dianjurkan untuk tenang dan relaks, karena akan berpengaruh pada sistem pencernaan. Bahkan sebenarnya, bukan hanya saat makan saja, melainkan sepanjang hari. Bukankah pencernaan, metabolisme dan pembuangan terjadi dalam skala 24jam?

Selain itu rasa marah, takut dan khawatir yang berlebihan juga bakal mengaktifkan kelenjar-kelenjar tertentu di dalam tubuh, misalnya medula kelenjar adrenal. Kelenjar ini mengeluarkan zat adrenalin atau epinefrin yang berfungsi di antaranya untuk meningkatkan kadar gula darah. Selain itu, juga bisa memacu kerja jantung sehingga berdetak detak tidak beraturan. Jika ini terjadi berulang-ulang dalam skala yang meninggi, maka ini bisa berbahaya buat kesehatan jangka panjang.

Dengan contoh-contoh di atas, kita memperoleh gambaran betapa jiwa sangat berpengaruh pada fisik. Jika jiwa tidak stabil, maka ia akan mengganggu keseimbangan sistem kesehatan di dalam tubuh kita. Sebaliknya, jika stabil, tenang dan tentram, maka ia menjadikan sistem tubuh kita dalam keseimbangan. Alias sehat.

Apakah Sehat Itu

Selama ini, kita beranggapan bahwa sehat adalah bersifat fisik. Kalau saya bertanya kepada Anda :"Apakah Anda sedang sehat?", maka persepsi yang terbayang di benak anda adalah tertuju pada kesehatan badan. Bahwa anda tidak sedang sakit kepala, tidak sedang sakit perut, tidak sedang terganggu jantung, liver, pencernaan dan lain sebagainya.

Tetapi benarkah kesehatan hanya bersifat fisik saja? Agaknya tidak. Sebab, orang yang badannya sesehat apa pun kalau jiwanya sakit, sebenarnya dia juga tidak sehat. Katakanlah, badannya dicek. Diperoleh fungsi jantungnya baik, paru-parunya baik, pencernaanya juga baik, pokoknya seluruh fungsi organnya bekerja baik. Maka, bisa dikatakan secara fisik dia adalah orang yang sehat. Akan tetapi, jika karena tekanan jiwa yang berlebihan lantas dia menjadi linglung dan bahkan gila, maka dia tidak bisa dikatakan sebagai orang yang sehat. Ya, dia adalah orang yang sakit. Sakit Jiwa.

Di sisi lain, ada juga orang yang secara fisik dikatakan sehat, tetapi memiliki sifat-sifat yang 'aneh' dan 'menyimpang'. Misalnya, suka hal-hal yang sadistis, suka berbuat kriminal, suka melakukan penyimpangan seksual, dan lain sebagainya. Orang yang demikian juga dikatakan sakit. Maka, konsep sehat itu sebenarnya bukan hanya menyangkut kesehatan lahiriah saja, melainkan juga bersifat batiniah.

Lebih jauh, sebagaimana telah kita bahas di depan, bahwa badan dan jiwa pada diri manusia, bagaikan dua sisi yang berbeda dalam satu keping mata uang. Keduanya ada bersamaan dan saling berinteraksi serta memiliki pengaruh. Badan yang sehat memiliki kontribusi untuk memperoleh jiwa yang sehat. Tetapi sebaliknya, jiwa yang sehat juga memiliki kontribusi yang signifikan untuk menjadikan tubuh sehat.

Karena itu, jargon bahwa didalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat', tidaklah sepenuhnya benar. Karena banyak sekali contoh di sekitar kita yang menunjukkan bahwa di dalam tubuh yang sehat tidak selalu terdapat jiwa yang sehat. Barangkali, malah bisa sebaliknya, yaitu di dalam jiwa yang sehat terdapat tubuh yang sehat. Kenapa demikian? Karena kalau dibandingkan, antara jiwa dan badan, sebenarnya lebih kuat jiwa. Terlalu banyak contoh yang menggambarkan hal itu.

Mulai dari yang sederhana saja. Sesungguhnya badan kita ini tunduk kepada jiwa. Kalau kita menggerakkan tangan untuk mengambil gelas, misalnya, itu berarti otot-otot tangan kita tunduk pada kehendak jiwa. Demikian pula ketika kaki melangkah, kepala menoleh, mata berkedip, badan membungkuk, dan lain sebagainya. Semua itu bergerak karena perintah dari jiwa. Jadi, jiwa lebih berkuasa dibandingkan dengan badan. Karena itu mestinya kita lebih memperhatikan jiwa dibandingkan badan, sebab jiwa adalah penguasa badan.

Banyak, orang yang mengalami kesakitan bisa menahan rasa sakit itu dengan kekuatan jiwanya. Tetapi sebaliknya, banyak juga orang yang sebenarnya terluka tidak cukup menyakitkan tapi menangis meraung-raung, karena jiwanya yang lemah.

Atau lebih jauh, banyak orang bisa melatih kekuatan jiwanya, sehingga bisa mempengaruhi orang lain dengan cara memberikan sugesti, atau melakukan hipnotis. Seseorang bisa diperintah dengan kehendaknya, untuk melakukan sesuatu tanpa bisa melawan. Bahkan, pada tingkat tertentu ada seseorang yang bisa menggerakkan benda benda lewat kehendak belaka. Semua hal di atas menunjukkan betapa besarnya kekuatan psikis, jauh melampaui kekuatan benda yang bersifat fisik.
Namun demikian memang tidak semua kehendak kita bisa mengendalikan diri kita sendiri. Misalnya, terhadap fungsi-fungsi tertentu di dalam tubuh. Selain otot-otot yang bisa dikendalikan secara sadar, di dalam tubuh kita terdapat banyak otot dan proses kehidupan yang tidak bisa dikuasai oleh alam sadar kita.

Misalnya, denyut jantung, proses pencernaan, fungsi berbagai kelenjar dalam tubuh, kerja liver, ginjal, dan seterusnya sampai pada proses di tingkat molekul dan atomik. Ada suatu kerja terprogram yang berfungsi secara otomatis, tanpa melewati kehendak kita. Bagaimanakah hal itu bisa terjadi.

Secara umum, di sini saya hanya ingin menegaskan bahwa jiwa kita sebenarnya lebih dominan dibandingkan dengan badan kita. Tetapi, meskipun demikian, pada tingkat tertentu kualitas jiwa kita juga dipengaruhi oleh kualitas badan. Kerusakan pada struktur badan bisa berpengaruh pada kualitas jiwa. Misalnya, kerusakan struktur otak bakal menyebabkan kerusakan pada fungsi jiwa. Hal ini terlihat pada orang orang yang mengalami stroke. Atau bahkan juga pada orang gila, ternyata mereka juga mengalami kerusakan pada sel-sel tertentu di dalam otaknya.

Karena itu, kalau bicara tentang kesehatan yang paripurna, kita tidak bisa meninggalkan keterkaitan antara jiwa dan badan. Sehat yang sesungguhnya memiliki makna lahir dan batin sekaligus. Agar sehat, kita harus berusaha menyehatkan badan sekaligus jiwa. Kalau hanya sehat salah satu, itu namanya belum sehat. Keseimbangan antara jiwa dan raga itulah yang harus kita raih, karena menjadi kunci kesehatan yang sesungguhnya

Puasa Yang Paling Rendah

Setelah membahas puasa dari sisi pendekatan medis, sekarang marilah kita membahasnya dari sisi agama. Menurut para sufi, puasa yang paling rendah tingkatannya adalah yang sekadar menahan lapar dan haus. Boleh jadi, meskipun berpuasa, perbuatan dan perkataannya belum menggambarkan kualitas orang yang berpuasa. Masih berkata bohong, masih suka membual, masih sering berkata yang menyakitkan, dan juga masih selalu berbuat hal-hal yang tergolong tidak baik di dalam kategori agama. Puasa semacam ini kata mereka, masih tergolong ibadah puasa, tetapi menempati peringkat yang paling rendah.

Namun, kalau kita cermati sabda nabi saw, justru puasa yang semacam itu adalah cara berpuasa yang sangat disayangkan. Dan, celakanya, itu banyak terjadi pada kita. "Banyak diantara orang berpuasa, cuma mendapat lapar dan dahaga saja," sabda nabi saw.
Artinya, beliau mensinyalir sebagian besar kita ternyata melakukan puasa dengan cara tingkatan terendah itu. Yaitu, puasa yang hanya menahan lapar dan haus. Alias sekadar tidak makan dan tidak minum saja.

Barangkali anda lantas bertanya: "Iho, bukankah yang namanya puasa itu memang usaha menahan diri untuk tidak makan dan tidak minum, mulai dari fajar sampai terbenamnya matahari?' Jadi apa yang salah dengan lapar dan dahaga kita, selama puasa?

Tidak salah. Tetapi, ternyata juga belum sepenuhnya benar. Meskipun, banyak juga di antara kita yang mempersepsi puasa sebagai sekadar tidak makan dan tidak minum dalam waktu tertentu. Contohnya, jika kita mau periksa darah ke laboratorium kesehatan. Petugasnya biasanya mengatakan: 'bapak/ibu puasa du1u 8 jam, setelah itu baru diambil darahnya untuk keperluan check up."

Dalam dialog itu tergambar, bahwa puasa memang diidentikan dengan sekedar tidak makan dan tidak minum. Tidak harus sehari, seperti puasanya umat Islam. Bisa saja menjalani puasa cuma beberapa jam, untuk berbagai keperluan. Ada pula yang menjalani puasa selama sehari semalam, atau bahkan lebih panjang misalnya 3 hari 3 malam mengikuti kepercayaan yang mereka anut.

Berpuasa kadang juga digunakan untuk berpantang terhadap makanan tertentu. Misalnya, puasa ‘mutih’ digunakan untuk orang yang hanya makan nasi putih dan minum air tawar. Selain itu, kata 'puasa' juga digunakan dalam pengertian 'berpantang'. Misalnya puasa bicara. Artinya dia memutuskan untuk tidak bicara dalam kurun waktu tertentu. Puasa berpolitik, tidak terjun dalam kancah politik untuk sementara waktu. Dan lain sebagainya.

Jadi, karena kefahaman yang beragam itulah maka muncul persepsi yang seringkali menjebak kita. Dan yang paling sering kita temui adalah persepsi bahwa puasa adalah sekadar berpantang makan dan minum, mulai dari fajar hingga terbenamnya matahari. Padahal justru kefahaman inilah yang 'dikritik' oleh Rasulullah saw dalam hadits di atas. Jangan sampai puasa kita haanya menghasilkan lapar dan dahaga belaka...

Puasa Bukanlah Diet.
Jika puasa hanya diartikan sebagai berpantang untuk tidak makan dan tidak minum, maka apa bedanya dengan diet? Diet, juga sebuah upaya untuk tidak makan dan tidak minum sesuatu dalam waktu tertentu. Sesuai program yang diberikan.

Biasanya, diet dilakukan oleh orang-orang yang memiliki problem dengan berat badannya, atau karena sakit tertentu yang mengharuskan dia berpantang makan dan minuman tertentu.

Tujuannya adalah mengurangi masuknya jumlah kalori atau jenis zat tertentu ke dalam tubuhnya. Teknik yang digunakan adalah dengan mengurangi jumlah yang masuk, baik dalam jumlah porsinya maupun frekuensi makannya. Misalnya, biasanya makan 2 piring, dikurangi menjadi 1 piring setiap makannya. Biasanya makan 3 kali sehari, kini diubah menjadi 2 kali saja. Bahkan yang lebih detil, menggunakan timbangan untuk mengukur jumlah makanan yang harus dikonsumsi.

Pada teknik yang lebih baik, mereka menggunakan kombinasi jenis makanan tertentu untuk memperoleh hasil yang maksimal. Selain mengurangi porsi dan frekuensinya, juga mengatur kombinasi zatnya. Misalnya mengurangi kandungan gula dan karbohidrat, tapi meningkatkan kadar serat dan mineral-mineral dalam makanannya.
Banyak teknik diet dikembangkan untuk program penyembuhan, di antaranya adalah : diet untuk menurunkan kegemukan pada penderita obesitas, diet untuk mengurangi kadar gula pada penderita diabetes, dan diet kombinasi alias food combining.

Beberapa penelitian menyimpulkan terjadinya kegagalan diet pelangsingan disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat psikologis. Banyak orang mengikuti program pelangsingan, tetapi merasa tidak puas, karena setelah program pelangsingan usai, bobot mereka naik lagi.

Manfaat Lapar dan Dahaga

Lapar dan dahaga dipilih sebagai cara untuk mencapai tujuan puasa. Tetapi, lapar dan dahaga itu sendiri sebenarnya bukanlah tujuan berpuasa. Karena itu, jangan sampai kita keliru menjadikan lapar dan dahaga sebagai tujuan puasa. Baik secara sengaja maupun tidak sengaja.
Dalam konteks inilah kritik Rasulullah saw tentang orang yang hanya dapat lapar dan dahaga dalam berpuasa, harus kita pahami. Karena kecenderungan kita di dalam beragama ini terjebak pada: menjadikan 'tataGara' sebagai tujuan. Baik shalat, haji, zakat, maupun puasa.

Cobalah lihat ibadah shalat kita. Seringkali kita lupa, bahwa shalat itu bertujuan untuk dzikir (mengingat dan mendekatkan diri kepada Allah) dan berdo'a (memohon pertolongan) kepadaNya. Tetapi yang terjadi setiap kali kita shalat tidaklah begitu.

Dzikir kita di dalam shalat kalah intens dengan dzikir kita di luar shalat. Justru ketika melakukan shalat, pikiran kita melayang kemana mana. Bukan fokus kepada Allah. Dan sesudah shalat, barulah kita berdzikir. Itu pun seringkali bukan dzikir yang sesungguhnya yang menyentuh hati melainkan hanya 'dzikir mulut', sekedar berucap. Jadi, bukan berdzikir, tapi 'mengucapkan' kalimat dzikir.

Maka, yang terjadi adalah pembelokan 'cara' menjadi 'tujuan'. Tujuan yang sesungguhnya dzikir sebagai 'cara' untuk mendekatkan diri kepada Allah tidak tercapai. Berganti dengan 'rasa puas' atau lega ketika kita sudah melakukan shalat sebagai kewajiban belaka. Meskipun di dalamnya tidak terjadi dzikrullah. Tiba-tiba kita sudah terjebak, merasa sudah mencapai tujuan ibadah shalat kita, dengan menjalankan tatacaranya saja.

Demikian pula, fungsi shalat sebagai cara untuk berdo'a. Kita seringkali merasa lebih mantap berdo'a seusai shalat, dibandingkan dengan di dalam shalat itu sendiri. Ya, shalat kita jalankan sebagai kewajiban, dan sesudah itu kita menengadahkan tangan untuk berdo'a kepada Allah. Dalam pikiran kita, dengan shalat itu kita sudah memenuhi 'tuntutan Allah' untuk menyembahNya, dan karena itu, tiba giliran kita untuk minta tolong kepadaNya sebagai 'upah'. "Sudah selayaknya, kan ?" begitu pikir kita.

Sekali lagi kita. terjebak pada 'cara' menjadi 'tujuan'. Keinginan untuk menjadikan shalat sebagai 'cara' berdo'a kepada Allah telah bergeser menjadi 'memenuhi kewajiban' belaka. Do'anya sendiri kita lakukan di luar shalat. Padahal coba cermati firman AJIah berikut ini, bahwa shalat itu adalah ‘cara’ untuk berdoa.
QS. Al Badarah (2) : 45
“Dan mintalah pertolongan (kepadaAllah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat. Dan sesungguhnya yang demikan itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu”

Bukan hanya ibadah shalat, haji dan zakat kita juga seringkali begitu. Betapa banyaknya orang yang terjebak pada kekeliruan di atas. Seringkali ibadah haji kita hanya untuk memperoleh predikat Haji atau Hajah. Kemudian, kita tunjukkan dalam label nama kita, atau lebih jauh banyak juga yang lantas merubah nama aslinya. Atau, setidaknya, ritual haji itu sendiri yang dijadikan tujuan kedatangan dia di tanah suci.

Padahal, tujuan haji kan bukan itu. Tujuannya adalah memperoleh ‘pelajaran hidup’? dengan cara napak tilas perjuangan nabi Ibrahim, nabi Muhammad dan keluarga serta para sahabatnya. Sehingga selama di tanah suci itu terjadi perenungan-perenungan untuk memperoleh pelajaran. Mudah mudahan keikhlasan dan kegigihan perjuangan beliau-beliau itu bisa menular kepada kita, dan kita terapkan dalam kehidupan kita sehari-hari.

Demikian pula zakat. la adalah sarana untuk membangun kepedulian sosial, sekaligus 'membunuh' kecintaan pada duniawi yang berlebihan. Bukan untuk ‘sekadar’ membersihkan harta, dengan maksud posessive atau memiliki lebih banyak lagi harta kekayaan. Kalau demikian tujuannya, maka lagi-lagi kita telah terjebak kepada 'sarana' sebagai tujuan. Padahal, tujuan akhir kita adalah Allah semata.

Nah, demikian pula puasa. Tujuan utamanya adalah untuk mengubah kualitas jiwa kita agar menjadi lebih controlable alias lebih terkendali. Atau, dalam istilah agamanya lebih bertakwa.

Sarana yang dipakai adalah dengan menciptakan kondisi lapar dan haus, plus beberapa pantangan yang mesti dijalankan dengan kefahaman dan keikhlasan.

Maka, janganlah kita mengulang kesalahan yang sama, dengan menjadikan 'cara' sebagai tujuan. Tujuannya adalah mengubah kemampuan kontrol diri kita, bukan sekadar menjalankan kewajiban. Atau, apalagi sekadar ikut-ikutan.

Lantas, kenapa untuk melatih kemampuan kontrol diri, kita mesti melalui proses lapar dan haus? Disinilah kita mesti melihat korelasinya, yang nanti akan kita bahas lebih mendalam dan mendetil. Akan tetapi, secara umum kita melihat korelasinya, antara lain sebagai berikut.

1. Lapar dan haus adalah sebuah proses yang membawa kesehatan kita mencapai kondisi yang seimbang kembali, setelah sekian lama dibebani metabolisme yang berlebihan. (Dimensi fisik)

2. Lapar dan haus adalah kondisi kritis manusia dalam memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, yang bisa digunakan untuk melatih pengendalian diri secara kejiwaan. Di sini kita bisa berlatih keteguhan jiwa dalam suasana krisis. (Dimensi psikis)

3. Lapar dan haus juga digunakan untuk mengingatkan kita tentang kondisi orang-orang yang terpinggirkan dan kurang beruntung di sekitar kita. (Dimensi sosial).

4. Lapar dan haus menyebabkan kita teringat terus bahwa kita sedang dalam kondisi 'berlatih' untuk meningkatkan kualitas ketakwaan kita yang berujung pada penyerahan diri kepada Allah, Sang Pencipta Yang Maha Agung. (Dimensi Spiritual).

Berpuasa, Mudah-mudahan Bertaqwa

Seperti pernah kita singgung sebelumnya, bahwa proses keagamaan kita ini sebenamya bakal menapaki 3 tingkatan kualitas. Tingkat yang pertama adalah Beriman (memperoleh keyakinan). Tingkat kedua Bertakwa (memperbanyak amalan). Dan tingkat ketiga adalah BerIslam (berserah diri kepada Allah). Hal ini difirmankan Allah dalam ayat berikut.
OS. Ali Imran (3):102
“Hai Orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepadaNya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam (berserah diri)”

Tingkat beriman adalah tingkatan terendah dalam proses keagamaan.Tingkat ini menggambarkan sebuah proses 'pencarian', yang dilanjutkan dengan 'pernahaman' dan kemudian diakhiri dengan 'keyakinan'. Maka, pada tingkat ini seorang muslim akan banyak berkutat dengan 'pergulatan pemikiran' yang sangat intens.

Seseorang yang tidak pernah mengalami proses pergulatan pemikiran jatuh bangun di dalamnya, maka hampir bisa dipastikan kualitas imannya tidak cukup tangguh. Contoh pergulatan pemikiran dan proses jatuh bangun itu juga dialami para rasul kita: sejak nabi Adam, Ibrahim, Yunus, Ayyub, Sulaiman, Yusuf, Musa, Isa, sampai Muhammad saw. Dan yang sangat banyak disebut kemudian juga dijadikan contoh bagi kita adalah nabi Ibrahim as.
QS. An Nisaa': 125
“Dan siapakah yang 1ebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya”

Tingkat yang ke dua adalah Bertakwa. Inilah tingkatan aplikasi atau amalan. Keyakinan yang telah diperoleh mesti diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Bukanlah hal mudah untuk menjalankan keyakinan kita secara istiqomah atau konsisten. Itulah yang dimaksudkan dengan kalimat ittaqullaaha haqqatuqaatihi bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benamya takwa.

Konsistensi butuh perjuangan sangat keras untuk menegak kannya. Orang yang tidak berusaha keras dalam menegakkan ketakwaannya, bakal banyak tergoda dan kemudian tergelincir dari petunjuk Allah. Maka, dalam beristiqomah itu kita harus memiliki kemampuan untuk mengendalikan diri yang sangat prima.

Tingkatan yang ke tiga adalah aslam atau berserah diri. Inilah buah dari perjuangan yang sangat panjang, istiqomah konsisten. Orang orang yang dapat dengan mudah dan penuh keikhlasan dalam menjalankan dan menjalani agamanya. Orang-orang yang matinya dalam keadaan muthmainnah, sebagaimana digambarkan dalam ayat berikut ini.
QS. Al Fajr (89): 27 - 30
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai Nya. Maka masuklah ke dalam jannah hamba-hamba Ku, dan masuklah ke dalam surga Ku.”

Berkaitan dengan hal tersebut, puasa adalah tatacara ibadah yang bertujuan untuk menjadikan pelakunya menjadi orang yang bertakwa. Yaitu tingkatan kedua di dalam proses beragama kita. Hal itu disebutkan Allah di dalam firmanNya berikut ini.
QS. Al Badarah (2) : 183
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajiban atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”

Ayat diatas dengan sangat gamblang menggambarkan kepada kita bahwa puasa adalah suatu proses untuk meningkatkan kualitas 'iman' menjadi 'takwa'. Karena itu, yang dipanggil untuk memenuhi kewajiban puasa adalah orang-orang yang beriman.

Ada pengertian yang tersirat di dalam ayat tersebut. Yang pertama, kewajiban puasa ini ternyata hanya diperuntukkan orang-orang yang beriman. Kenapa demikian, karena orang-orang beriman adalah orang-orang yang telah memperoleh keyakinan atas dasar 'pencarian' dan kefahaman. Bukan orang yang sekadar ikut-ikutan.

Inilah kata kunci pertama yang menggiring keberhasilan kita menjalankan puasa, dalam arti yang sesungguhnya. Orang-orang yang tidak masuk dalam kategori beriman sangat boleh jadi akan mengalami 'kegagalan' dalam menjalani puasanya.

Dengan kata lain, sebenarnya kita bisa mengatakan bahwa orang orang muslim harus berpuasa dengan kefahaman. Bukan ikut-ikutan, alias asal menjalankan saja. Jika ikut-ikutan yang dilakukan, maka prediksi nabi bahwa puasa kita hanya memperoleh lapar dan dahaga saja, bakal terjadi pada kita.

Dalam haditsnya, bahkan Rasulullah saw memberikan penjelasan yang lebih rinci. Man shaama ramadhaana imaanan wahtisaaban ghufiralahu maa taqaddama mindanbihi. Barangsiapa berpuasa dalam bulan Ramadan dengan iman dan penuh perhitungan, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan akan datang.

Di dalam sabdanya itu Rasulullah memberikan penekanan kepada orang yang berpuasa dengan kata imanan wahtisaaban iman dan penuh perhitungan. Jadi bukan hanya beriman, tetapi ditekankan lagi supaya penuh perhitungan dan evaluasi diri. Insya Allah, Dia bakal mengampuni segala dosa kita yang lalu maupun yang akan datang. Sebuah gambaran tentang berhasilnya puasa kita.

Makna tersirat yang kedua dari QS. 2 : 183 terkandung dalam kata 'diwajibkan' (kutiba 'alaikum). Kenapa puasa ini mesti diwajibkan untuk dijalani manusia. Kenapa bukan disunnahkan saja. Atau bahkan di'boleh'kan (mubah) saja.

Disini terkandung makna bahwa puasa itu demikian pentingnya buat manusia. Segala ibadah wajib, sebenamya bukanlah untuk Allah, melainkan untuk kepentingan diri kita sendiri. Karena, Allah adalah Dzat yang tidak memerlukan sesuatu pun. Hal itu ditegaskanNya dalam berbagai firmanNya, di antaranya berikut itu.

QS. An Nisaa'(4):131

“Dan kepunyaan Allah lah apa yang di langit dan yang di bumi, dan sesungguhnya Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah. Tetapi jika kamu kafir, maka (ketahuilah), sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”

Dengan kata lain, Dia tidak membutuhkan sesuatu pun karena segala sesuatu memang sudah menjadi milikNya. Maka, seandainya pun seluruh manusia tidak menyembah Allah, Dia tidak akan berkurang sedikit pun KeagunganNya. Sebaliknya, manusia itu sendiri yang akan mengalami kerugian, karena sesungguhnya desain penciptaannya tidak bisa dilepaskan dari Eksistensi Allah.

QS. Ibrahim (14): 8
“Dan Musa berkata jika kamu dan orang-orang yang ada di muka bumi semuanya mengingkari (Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”

QS. Al An'aam (6):133
“Dan Tuhanmu Maha Kaya lagi mempunyai rahmat jika Dia menghendaki niscaya Dia memusnahkan kamu dan menggantimu dengan siapa yang dikehendaki Nya setelah kamu (musnah), sebagaimana Dia telah menjadikan kamu dari keturunan orang-orang lain.”

Jadi, makna ibadah wajib itu haruslah kita fahami secara benar, bahwa semua itu untuk kepentingan mendasar manusia. Yang jika kita tidak melakukan itu akan mengalami problem dalam kehidupan kita.

Begitulah puasa. lbadah ini bukan untuk kepentingan Allah, karena Allah memang tidak perlu 'dipuasai'. Justru puasa adalah untuk kepentingan manusia itu sendiri. Yang jika tidak melaksanakannya, kita bakal mengalami problem dalam kehidupan kita. Baik secara fisik, psikis, sosial, maupun spiritual.

Dengan demikian, perintah puasa ini justru adalah salah satu bentuk Kasih Sayang Allah kepada kita. Allah mewajibkan puasa karena Dia menyayangi kita. Karena Dia tidak ingin hidup kita menderita dan menemui berbagai kesulitan. Hal ini kita bahas lebih mendetil dalam bab-bab lain, bahwa puasa sebenamya memiliki manfaat yang luar biasa bagi kehidupan manusia.

Makna tersirat yang ketiga dalam QS. 2 : 183 terdapat pada kelompok kata kamaa kutiba alladziina min qablikum (sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu).

Kita lantas bertanya-tanya, kenapa puasa ini juga diwajibkan kepada orang-orang terdahulu? Hal ini semakin menegaskan kepada kita bahwa puasa memang penting untuk manusia secara universal. Bukan hanya umat nabi Muhammad saja. Karena itu, jangan heran jika kita menemui perintah puasa itu juga sudah dijalankan sejak manusia pertama ada.

Dan sampai sekarang, kita menemui berbagai umat manusia di belahan bumi dari berbagai macam bangsa dan agama juga mengenal dan menjalankan ibadah puasa. Meskipun dalam tatacara yang agak berbeda. Tetapi esensinya sama, yaitu pengendalian diri dan berpantang terhadap hal-hal tertentu.

Bahkan di beberapa negara Timur, seperti India, China dan Tibet misalnya, selama ribuan tahun puasa digunakan sebagai teknik pengobatan terhadap berbagai macam penyakit. Dengan demikian kita merasakan, betapa puasa memang adalah ibadah universal bagi manusia di muka bumi ini. Dan sekali lagi, diyakini memiliki manfaat yang amat besar.

Makna yang ke empat yang tersirat dalam ayat tersebut adalah kelompok kata yang terakhir, yaitu la'allakum tattaquun mudah mudahan kamu menjadi orang yang bertakwa. Alias orang yang memiliki pengendalian diri prima.

Inilah tujuan dari beribadah puasa. Untuk menjadi orang yang bertakwa alias memiliki kontrol diri yang prima. Orang-orang yang selalu berbuat kebajikan, dan mampu mengendalikan diri untuk terlepas dari perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah.

Yang menarik, kata bertakwa itu didahului dengan kalimat mudah mudahan. Artinya, tidak semua orang yang berpuasa bakal menjadi orang-orang yang bertakwa. Hanya orang-orang yang mengikuti cara Rasulullah saw saja yang bakal mencapai keberhasilan tujuan puasa, yaitu yang imanan wahtisaaban dengan kefahaman dan evaluasi terus menerus.

Orang yang demikian bakal menjadi orang yang bertakwa. Atau dalam terminologi hadits tersebut, dikatakan sebagai orang yang diampuni dosa-dosa masa lalunya dan dosa masa depannya. Hal ini persis dengan yang difirmankan Allah di dalam al Qur'an berikut ini.
QS. Thalaaq (65): 5
“Itulah perintah Allah yang diturunkan Nya kepada kamu, dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipatgandakan Pahala baginya.”

Jadi yang disebut orang bertakwa adalah orang yang memiliki kemampuan mengendalikan diri secara sempurna. Sehingga, karenanya, dia mengalami pertobatan nasuha, yaitu pertobatan yang sempurna. Orang yang demikian ini tidak akan dengan sengaja berbuat kesalahan lagi. Apalagi pembangkangan terhadap fitrahnya sendiri mengabdi kepada Allah.

Tentu saja, Allah akan menghapus dosa-dosa masa depannya, karena ia adalah orang yang mampu mengontrol perbuatan-perbuatan di masa depan. Kalau pun berbuat salah, itu adalah kesalahan yang tidak disengaja ...

Taqwa, Kontrol Paripurna

Bertakwa adalah kemampuan mengontrol diri dari perbuatan perbuatan yang merugikan. Sebaliknya, mampu mengendalikan diri untuk selalu berbuat kebajikan yang membawa manfaat bagi semuanya.
Apa sajakah hal-hal yang mesti dikontrol dalam kehidupan kita? Secara umum ada 4 hal, yaitu yang bersifat fisik, yang bersifat psikis, yang bersifat sosial, dan yang bersifat spiritual.

1. Kontrol yang Berdampak Fisik.
Secara umum kontrol yang bersifat fisik ini meliputi dua hal, yaitu : diri sendiri dan lingkungan hidup kita. Yang berkait dengan diri sendiri adalah masalah kesehatan. Sedangkan yang berkait dengan lingkungan adalah terjaganya kelangsungan proses-proses yang memberikan kenyamanan hidup penghuninya.

Kedua hal di atas adalah sesuatu yang sangat berharga dalam kelangsungan hidup manusia. Jika kesehatan kita jelek, maka kualitas hidup kita pun menjadi jelek. Tidak ada artinya lagi jabatan, kekayaan, dan popularitas yang kita bangga banggakan. Karena semua itu tidaklah terasa nikmat ketika badan kita sedang sakit.

Bagaimana mungkin seseorang yang menderita sakit terus menerus bisa menikmati hidupnya? Meskipun dia seorang presiden. Meskipun dia kaya raya. Meskipun dia orang terpandang, cantik, tampan dan lain sebagainya. Kalau kita selalu sakit kepala, sakit gigi, sakit perut, dan berbagai jenis penyakit lainnya yang lebih serius; apakah kita bisa merasakan kenikmatan hidup? Tentu saja tidak.

Demikian pula jika lingkungan kita jelek. Kualitas hidup pun jadi menurun. Bayangkan, jika lingkungan kita penuh sampah, kotor, jorok, gersang, banjir, tanah longsor, panas menyengat, dan lain sebagainya. Betapa tidak enaknya hidup di lingkungan yang demikian. Karena itu, kenikmatan surga digambarkan dengan lingkungan yang menyejukkan. Bersih, sejuk, banyak pepohonan dan mata air, serta gemericiknya sungai-sungai yang mengalir di bawahnya.

Semua itu menggambarkan betapa kita mesti menjaga kualitas kesehatan badan dan lingkungan kita. Bagaimanakah menjaga kualitas keduanya? Ternyata, kuncinya ada pada kemampuan mengontrol diri, setiap kita.

Berbagai macam kerusakan yang terjadi pada diri sendiri maupun lingkungan kita berawal dari ketidakmampuan mengendalikan perbuatan. Di bawah ini ada beberapa ayat yang menggambarkan betapa ulah tangan manusia yang tidak terkontrol menyebabkan masalah yang serius pada diri dan lingkungan.

QS. Al Mukminuun (23) : 71
“Andaikata kebenaran ibi menuruti hawa nafsu mereka, pasti bihasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.”

QS. Ruum (30):41
“Telah nampak kerusahan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (kejalan yang benar).”

Betapa banyaknya orang-orang yang merusak dirinya sendiri, karena tidak mampu mengontrol perbuatannya. Secara umum Allah mengatakan dalam ayat di atas, bahwa dorongan nafsu yang menggebu nggebu, dan kemudian tidak mampu dikendalikan akan menyebabkan kerusakan yang sangat dahsyat pada diri seseorang maupun lingkungannya.

2. Kontrol yang Berdampak Psikis
Selain penyakit yang bersifat fisik, ketidak mampuan kita mengendalikan perbuatan juga akan menyebabkan penyakit batin. Apa sajakah penyakit batin kita? Agama Islam menyebut sejumlah penyakit batin yang bisa berdampak buruk pada kehidupan kita, di antaranya adalah di bawah ini.
1. Pemarah
2. Pendendam - Sulit memaafkan
3. Iri dan dengki
4. Possesive - serakah
5. Pelit
6. Egois
7. Ujub - riya' - sombong
8. Bergunjing - Fitnah
9. Berbohong

Asal muasal dari seluruh penyakit hati itu adalah sifat egois, alias mementingkan diri sendiri. Semua perbuatannya sekadar untuk menyenangkan diri sendiri. Inilah pangkal dari semua penyakit hati. Dan, ini sangat berkaitan dengan 'hawa nafsu'. Karena itu Allah memerintahkan kita untuk menundukkan diri sendiri alias hawa nafsu.

Dalam hal ini Rasulullah saw pernah berkata, bahwa perang yang paling besar adalah perang melawan diri sendiri alias menundukkan hawa nafsu. Yaitu keinginan untuk selalu menyenang nyenangkan diri sendiri tanpa mau tahu kepentingan orang lain.

Jika ini yang kita lakukan dalam kehidupan kita, maka rusaklah seluruh tatanan. Bahkan Allah mengatakan rusak langit dan bumi dan segala isinya. Dalam kalimat yang berbeda, Rasulullah saw mengatakan : "Belum Islam seseorang, sampai dia bisa menundukkan hawa nafsunya."

Kenapa demikian? Karena, yang namanya hawa nafsu itu tidak mengenal batas. Sudah dapat satu, minta dua. Punya dua pingin sepuluh. Sudah sepuluh pun, pingin seratus. Disinilah posisi sentral agama. la mengatur dan mengendalikan keinginan keinginan yang bersifat egosentris (berpusat pada kepentingan diri sendiri) menjadi sosiosentris (berpusat pada kepentingan masyarakat), dan akhirnya spiritual sentris (berpusat pada kepentingan agama diri, masyarakat, dan ketuhanan).

Barulah kemudian akan tercipta yang namanya rahmatan lil 'alamin sebagai tujuan akhir dari kehidupan beragama Islam. (Karena Allah, dalam hal ini, ternyata 'lebih berpihak' kepada masyarakat luas dan lingkungannya, ketimbang diri orang per orang)

Coba cermati, dari ego yang berlebihan akan muncul sifat pemarah, pendendam, iri, dengki, rasa memiliki yang kelewatan, serakah, pelit, ujub (bangga diri), riya' (pamer), bergunjing, memfitnah, berbohong, dan akhimya kesombongan. Padahal sebagaimana kita tahu, jika ada kesombongan sebesar debu saja di hati kita maka bakal sulitlah kita masuk surga.

Rentetan penyakit hati itu demikian jelas saling mempengaruhi. Dan prosesnya tidak terasa, berkembang di dalam hati kita. Tiba-tiba sudah kronis. Maka, kita harus peka mendeteksi berkembanganya penyakit hati ini.

Dalam sudut pandang yang berbeda, saya pernah menyampaikan bahwa 'penyakit hati' itu bisa menyebabkan kualitas hati kita menurun, karena menjadi semakin 'keras'.

Ada lima tingkatan kualitas hati manusia. Yang pertama, adalah hati yang berpenyakit. Yang ke dua hati yang mengeras. Ke tiga hati yang membatu. Ke empat hati yang tertutup. Dan akhimya yang ke lima, adalah hati yang dikunci mati oleh Allah.

Kualitas 'terbaik' dari hati yang jelek itu adalah hati yang memiliki banyak penyakit. Suka berbohong, suka memfitnah, suka marah marah, pendendam, serakah, pelit, possesive (rasa memiliki yang berlebihan), dan biasanya menjurus pada kesombongan.

Jika orang yang memiliki hati seperti itu 'mengamalkan' terus penyakit hatinya, maka tidak lama kemudian hatinya akan mulai mengeras. Kelembutan dan kepekaannya tiba-tiba menurun. la menjadi suka berkata kasar dan menyakitkan. la juga hobi berbohong dan menipu. la merasa dirinya paling jago, dan menganggap remeh orang lain. Dan lantas menjadi orang yang sombong. Kekerasan hati orang yang seperti ini dijelaskan Allah dalam banyak firmanNya. Di antaranya adalah berikut ini.
QS. Al Hadiid : 16
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka) dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.”

Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik, kata Allah, dalam penutup ayat. Orang yang fasik adalah orang-orang yang berbuat kebajikan, namun juga berbuat hal-hal yang dilarang Allah. Mencampuradukkan kebaikan dan kejahatan. Termasuk di dalamnya adalah 'mengamalkan' berbagai macam penyakit hati. Maka orang-orang yang demikian itu, tanpa terasa, hatinya bakal mengeras.

Dari pendekatan Fisika, hati yang berpenyakit akan memancarkan gelombang-gelombang 'kasar' yang menyebabkan hati mengeras. Marah, dendam, bohong, iri, dengki dan sebagainya itu memancarkan gelombang beramplitudo besar dengan frekuensi rendah. Jika diukur dengan alat perekam denyut jantung, misalnya, akan terlihat betapa pulsanya bergejolak tinggi-tinggi.

Suatu benda yang dikenai gelombang demikian secara terus menerus bakal mengeras, karena mengalami 'fatigue' atau 'kelelahan' dan menjadi semakin ‘fragile’ atau getas alias mengeras dan gampang pecah. Sama, hati kita juga akan semakin mengeras dan kemudian sulit bergetar sebagai efek dari gelombang kasar semacam itu.

Padahal, kata Allah, hati yang baik adalah hati yang mudah bergetar. Yang gampang menerima sinyal-sinyal lembut berfrekuensi tinggi. Yang dimiliki oleh orang-orang yang melakukan kebajikan dengan penuh kesabaran dan keikhlasan sebagaimana digambarkan dalam QS. 22:35.

Maka kembali kepada kontrol hati, kita melihat bahwa langkah yang keliru dalam menyikapi suatu persoalan bisa menyebabkan efek beruntun. Karena itu kita mesti hati-hati, jangan sampai masuk ke suatu perbuatan yang dilarang Allah, karena efek perbuatan itu bakal menyeret kita masuk semakin dalam.

Kenapa kita dilarang mendekat dekat zinah, misalnya? Karena perbuatan zina itu memiliki 'daya magnet' yang sangat kuat, yang bakal menyedot kita ke dalam pusaran negatif yang sangat berbahaya. Berbahaya buat diri kita pribadi, berbahaya buat keluarga, dan berbahaya buat masyarakat secara meluas. Karena itu, mendekat saja jangan. Dan itu, bukan hanya berkait dengan perzinahan, melainkan perbuatan keji pada umumnya. Disinilah kemampuan kontrol kita bakal berperan.
QS. Al lsraa' (17) : 32
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”

QS. Al An'aam : 151
“Katakanlah: ‘Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang lbu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah, melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar’ Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami”

3. Kontrol yang Berdampak Psikis
Kehidupan kita bukanlah kehidupan yang bersifat pribadi semata. Akan tetapi juga berkehidupan sosial. Dan akhimya berkehidupan spiritual. Orang yang berhenti pada kehidupan pribadi belaka, sesungguhnya dia berhenti pada level kehidupan yang paling rendah.
Orang yang semacam ini tidak akan menemukan kebahagiaan hidup yang sesungguhnya. Dia bakal merasakan bahwa hidupnya ternyata tidak lengkap. Ya, bagaimana mungkin seseorang bisa hidup sendirian sepanjang usianya?

Secara fitrah, manusia memang bukan sekadar makhluk individu. Dalam jiwanya telah tertanam 'software' sosial dan spiritual. Karena itu, orang yang tidak berkehidupan sosial dan spiritual, sama dengan orang yang tidak memenuhi kebutuhan dasar hidupnya sendiri. Ada yang tidak match antara bisikan jiwanya dengan realita yang dia jalani.

Kebahagiaan seorang manusia bakal tercapai ketika fitrahnya sesuai dengan kehidupan yang diajalani. Memang begitulah 'permainan' hidup yang didesain oleh Allah untuk manusia. Barangsiapa bisa menyearahkan fitrah yang dia bawa dengan amal perbuatan yang dia lakukan, maka dia bakal menemui kebahagiaan lahir dan batin. Sebaliknya, barangsiapa menyalahi fitrahnya, dia bakal menemukan problem-problem dalam hidupnya.

Kita terlahir membawa fitrah, dengan berbagai variasi talenta bakat dan kecenderungan. Selama dalam asuhan orang tua, didikan guru, dan pengalaman hidup dari lingkungan sekitar, kita mengalami pembentukan karakter jiwa alias kepribadian. Nah, karakter itu bisa 'pas' atau sesuai dengan fitrah dan talenta kita. Tapi juga bisa tidak. Sehingga kepribadian kita bersifat semu.

Jika sesuai fitrah dan talenta, kita akan menemukan hidup yang berkualitas dan bahagia. Tetapi jika tidak pas, kita akan bertemu dengan segala problem kehidupan yang menyebabkan penderitaan. Disinilah fungsi agama. Ia bertugas untuk memberikan rambu-rambu dan petunjuk agar hidup kita sesuai dengan fitrah dan talenta kita. Dan akhimya menemukan kebahagiaan kita. Dunia dan akhirat.

Apakah fitrah? Fitrah adalah karakter dasar kita sebagai makhluk berkecerdasan yang hidup sebagai pribadi, sosial sekaligus spiritual.

Lantas apa talenta? Tallenta adalah bakat dan kecenderungan untuk mengekspresikan fitrah kita secara khas. Talenta berbeda beda untuk setiap orang. Sedangkan fitrah, sama untuk semua orang. Maka, setiap orang diharapkan bisa mengekspresikan dirinya lewat talentanya untuk mencapai fitrah sebagai makhluk pribadi, makhluk sosial, dan makhluk spiritual...
QS. Ar Ruum (30): 30
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah (Itulah) agama yang lurus; Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”

4. Kontrol yang Berdampak Spiritual
Kualitas hidup tertinggi seorang manusia adalah dalam kadarnya sebagai makhluk spiritual. Bukan sekadar makhluk individu atau makhluk sosial. Boleh saja seseorang memilih menjadi makhluk individual atau makhluk sosial saja, tetapi bisa dipastikan dia bakal menemui problem kehidupan. Sebab dia telah bertindak tidak sesuai fitrahnya.

Tingkat mahkhluk individual adalah tingkatan terendah dalam pilihan hidup seseorang. Mana mungkin seseorang bisa hidup sendirian di muka bumi ini? Lha wong, lahirnya saja dia ditolong oleh orang lain dan berasal dari orang lain. Demikian pula ketika mati, dia pasti membutuhkan orang lain. Bahkan sepanjang hidupnya pun, dia membutuhkan orang lain. Karena itu, mau tidak mau, dia harus memposisikan dirinya dalam suatu komunitas. Baik skala kecil maupun skala yang lebih besar. Itulah makhluk sosial, yang membutuhkan berbagai aturan kehidupan tertentu.

Nah lebih tinggi dari itu, fitrah manusia yang ketiga adalah sebagai makhluk spritual. Bahwa kita memiliki jiwa yang tidak bakal 'mati dan lenyap' saat di dunia saja. Jiwa akan terus melanjutkan perjalanannya menuju kepada kehidupan kedua sesudah kematian kita nanti. la bakal dihidupkan kembali oleh suatu DZAT yang Maha Cerdas dan Maha Berkuasa, dalam kehidupan akhirat. Manusia bakal kembali kepada Penciptanya.

Inilah episode kehidupan yang seringkali dilupakan oleh kebanyakan manusia. Memang tidak mudah untuk bisa memahami dan menghayati fitrah kita yang tertinggi ini. Tetapi kalau kita jujur dan open mind dalam menyikapi kehidupan ini, insya Allah kita bakal menemukan fitrah tersebut. Hanya orang-orang yang sombong dan ingkar saja yang tidak bakal menemukannya, karena hatinya tertutup.

Namun dalam proses pencarian itu, kita tidak bisa melupakan fitrah kita yang lain, yaitu akal. Untuk bisa menemukan fitrah tertinggi, peran akal sangatlah sentral. Orang yang tidak menggunakan akalnya tidak akan menemukan fitrahnya secara sempuma. Karena, agama ini memang untuk orang orang yang berakal saja. Yang tidak sombong dalam memahaminya.

Di sinilah kontrol dan pengendalian diri kita berbicara. Sebuah pengendalian diri terus menerus yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas fitrah kita dari yang bersifat individual, menjadi sosial dan akhirnya spiritual. Apakah alat kontrol yang paling efektif? Adalah akal dan keterbukaan hati. Bukan fanatisme buta dan kesombongan.

Kenapa demikian? Karena sesungguhnya kita terlahir dengan hati yang terbuka dan kualitas akal tertentu yang 'bersih'. Namun seiring dengan pertambahan usia, jiwa kita menjadi 'terkotak kotak' dalam belenggu-belenggu fanatisme golongan dan pemikiran. Disinilah mulai muncul perbedaan antar berbagai kelompok dan golongan. Fitrah kita yang sebenarnya universal tidak membedakan ras maupun golongan itu tiba-tiba menjadi tidak jemih lagi.

Maka, kita harus mengembalikan jiwa kita yang
telah tersekat sekat dan terpengaruh oleh 'faham faham' di sekitar kita menjadi universal kembali. Supaya kita juga bisa mencapai tujuan universal agama kita, yaitu ral7matan lil 'alamiin.