Selama ini, kita beranggapan bahwa sehat adalah bersifat fisik. Kalau saya bertanya kepada Anda :"Apakah Anda sedang sehat?", maka persepsi yang terbayang di benak anda adalah tertuju pada kesehatan badan. Bahwa anda tidak sedang sakit kepala, tidak sedang sakit perut, tidak sedang terganggu jantung, liver, pencernaan dan lain sebagainya.
Tetapi benarkah kesehatan hanya bersifat fisik saja? Agaknya tidak. Sebab, orang yang badannya sesehat apa pun kalau jiwanya sakit, sebenarnya dia juga tidak sehat. Katakanlah, badannya dicek. Diperoleh fungsi jantungnya baik, paru-parunya baik, pencernaanya juga baik, pokoknya seluruh fungsi organnya bekerja baik. Maka, bisa dikatakan secara fisik dia adalah orang yang sehat. Akan tetapi, jika karena tekanan jiwa yang berlebihan lantas dia menjadi linglung dan bahkan gila, maka dia tidak bisa dikatakan sebagai orang yang sehat. Ya, dia adalah orang yang sakit. Sakit Jiwa.
Di sisi lain, ada juga orang yang secara fisik dikatakan sehat, tetapi memiliki sifat-sifat yang 'aneh' dan 'menyimpang'. Misalnya, suka hal-hal yang sadistis, suka berbuat kriminal, suka melakukan penyimpangan seksual, dan lain sebagainya. Orang yang demikian juga dikatakan sakit. Maka, konsep sehat itu sebenarnya bukan hanya menyangkut kesehatan lahiriah saja, melainkan juga bersifat batiniah.
Lebih jauh, sebagaimana telah kita bahas di depan, bahwa badan dan jiwa pada diri manusia, bagaikan dua sisi yang berbeda dalam satu keping mata uang. Keduanya ada bersamaan dan saling berinteraksi serta memiliki pengaruh. Badan yang sehat memiliki kontribusi untuk memperoleh jiwa yang sehat. Tetapi sebaliknya, jiwa yang sehat juga memiliki kontribusi yang signifikan untuk menjadikan tubuh sehat.
Karena itu, jargon bahwa didalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat', tidaklah sepenuhnya benar. Karena banyak sekali contoh di sekitar kita yang menunjukkan bahwa di dalam tubuh yang sehat tidak selalu terdapat jiwa yang sehat. Barangkali, malah bisa sebaliknya, yaitu di dalam jiwa yang sehat terdapat tubuh yang sehat. Kenapa demikian? Karena kalau dibandingkan, antara jiwa dan badan, sebenarnya lebih kuat jiwa. Terlalu banyak contoh yang menggambarkan hal itu.
Mulai dari yang sederhana saja. Sesungguhnya badan kita ini tunduk kepada jiwa. Kalau kita menggerakkan tangan untuk mengambil gelas, misalnya, itu berarti otot-otot tangan kita tunduk pada kehendak jiwa. Demikian pula ketika kaki melangkah, kepala menoleh, mata berkedip, badan membungkuk, dan lain sebagainya. Semua itu bergerak karena perintah dari jiwa. Jadi, jiwa lebih berkuasa dibandingkan dengan badan. Karena itu mestinya kita lebih memperhatikan jiwa dibandingkan badan, sebab jiwa adalah penguasa badan.
Banyak, orang yang mengalami kesakitan bisa menahan rasa sakit itu dengan kekuatan jiwanya. Tetapi sebaliknya, banyak juga orang yang sebenarnya terluka tidak cukup menyakitkan tapi menangis meraung-raung, karena jiwanya yang lemah.
Atau lebih jauh, banyak orang bisa melatih kekuatan jiwanya, sehingga bisa mempengaruhi orang lain dengan cara memberikan sugesti, atau melakukan hipnotis. Seseorang bisa diperintah dengan kehendaknya, untuk melakukan sesuatu tanpa bisa melawan. Bahkan, pada tingkat tertentu ada seseorang yang bisa menggerakkan benda benda lewat kehendak belaka. Semua hal di atas menunjukkan betapa besarnya kekuatan psikis, jauh melampaui kekuatan benda yang bersifat fisik.
Namun demikian memang tidak semua kehendak kita bisa mengendalikan diri kita sendiri. Misalnya, terhadap fungsi-fungsi tertentu di dalam tubuh. Selain otot-otot yang bisa dikendalikan secara sadar, di dalam tubuh kita terdapat banyak otot dan proses kehidupan yang tidak bisa dikuasai oleh alam sadar kita.
Misalnya, denyut jantung, proses pencernaan, fungsi berbagai kelenjar dalam tubuh, kerja liver, ginjal, dan seterusnya sampai pada proses di tingkat molekul dan atomik. Ada suatu kerja terprogram yang berfungsi secara otomatis, tanpa melewati kehendak kita. Bagaimanakah hal itu bisa terjadi.
Secara umum, di sini saya hanya ingin menegaskan bahwa jiwa kita sebenarnya lebih dominan dibandingkan dengan badan kita. Tetapi, meskipun demikian, pada tingkat tertentu kualitas jiwa kita juga dipengaruhi oleh kualitas badan. Kerusakan pada struktur badan bisa berpengaruh pada kualitas jiwa. Misalnya, kerusakan struktur otak bakal menyebabkan kerusakan pada fungsi jiwa. Hal ini terlihat pada orang orang yang mengalami stroke. Atau bahkan juga pada orang gila, ternyata mereka juga mengalami kerusakan pada sel-sel tertentu di dalam otaknya.
Karena itu, kalau bicara tentang kesehatan yang paripurna, kita tidak bisa meninggalkan keterkaitan antara jiwa dan badan. Sehat yang sesungguhnya memiliki makna lahir dan batin sekaligus. Agar sehat, kita harus berusaha menyehatkan badan sekaligus jiwa. Kalau hanya sehat salah satu, itu namanya belum sehat. Keseimbangan antara jiwa dan raga itulah yang harus kita raih, karena menjadi kunci kesehatan yang sesungguhnya
Tetapi benarkah kesehatan hanya bersifat fisik saja? Agaknya tidak. Sebab, orang yang badannya sesehat apa pun kalau jiwanya sakit, sebenarnya dia juga tidak sehat. Katakanlah, badannya dicek. Diperoleh fungsi jantungnya baik, paru-parunya baik, pencernaanya juga baik, pokoknya seluruh fungsi organnya bekerja baik. Maka, bisa dikatakan secara fisik dia adalah orang yang sehat. Akan tetapi, jika karena tekanan jiwa yang berlebihan lantas dia menjadi linglung dan bahkan gila, maka dia tidak bisa dikatakan sebagai orang yang sehat. Ya, dia adalah orang yang sakit. Sakit Jiwa.
Di sisi lain, ada juga orang yang secara fisik dikatakan sehat, tetapi memiliki sifat-sifat yang 'aneh' dan 'menyimpang'. Misalnya, suka hal-hal yang sadistis, suka berbuat kriminal, suka melakukan penyimpangan seksual, dan lain sebagainya. Orang yang demikian juga dikatakan sakit. Maka, konsep sehat itu sebenarnya bukan hanya menyangkut kesehatan lahiriah saja, melainkan juga bersifat batiniah.
Lebih jauh, sebagaimana telah kita bahas di depan, bahwa badan dan jiwa pada diri manusia, bagaikan dua sisi yang berbeda dalam satu keping mata uang. Keduanya ada bersamaan dan saling berinteraksi serta memiliki pengaruh. Badan yang sehat memiliki kontribusi untuk memperoleh jiwa yang sehat. Tetapi sebaliknya, jiwa yang sehat juga memiliki kontribusi yang signifikan untuk menjadikan tubuh sehat.
Karena itu, jargon bahwa didalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat', tidaklah sepenuhnya benar. Karena banyak sekali contoh di sekitar kita yang menunjukkan bahwa di dalam tubuh yang sehat tidak selalu terdapat jiwa yang sehat. Barangkali, malah bisa sebaliknya, yaitu di dalam jiwa yang sehat terdapat tubuh yang sehat. Kenapa demikian? Karena kalau dibandingkan, antara jiwa dan badan, sebenarnya lebih kuat jiwa. Terlalu banyak contoh yang menggambarkan hal itu.
Mulai dari yang sederhana saja. Sesungguhnya badan kita ini tunduk kepada jiwa. Kalau kita menggerakkan tangan untuk mengambil gelas, misalnya, itu berarti otot-otot tangan kita tunduk pada kehendak jiwa. Demikian pula ketika kaki melangkah, kepala menoleh, mata berkedip, badan membungkuk, dan lain sebagainya. Semua itu bergerak karena perintah dari jiwa. Jadi, jiwa lebih berkuasa dibandingkan dengan badan. Karena itu mestinya kita lebih memperhatikan jiwa dibandingkan badan, sebab jiwa adalah penguasa badan.
Banyak, orang yang mengalami kesakitan bisa menahan rasa sakit itu dengan kekuatan jiwanya. Tetapi sebaliknya, banyak juga orang yang sebenarnya terluka tidak cukup menyakitkan tapi menangis meraung-raung, karena jiwanya yang lemah.
Atau lebih jauh, banyak orang bisa melatih kekuatan jiwanya, sehingga bisa mempengaruhi orang lain dengan cara memberikan sugesti, atau melakukan hipnotis. Seseorang bisa diperintah dengan kehendaknya, untuk melakukan sesuatu tanpa bisa melawan. Bahkan, pada tingkat tertentu ada seseorang yang bisa menggerakkan benda benda lewat kehendak belaka. Semua hal di atas menunjukkan betapa besarnya kekuatan psikis, jauh melampaui kekuatan benda yang bersifat fisik.
Namun demikian memang tidak semua kehendak kita bisa mengendalikan diri kita sendiri. Misalnya, terhadap fungsi-fungsi tertentu di dalam tubuh. Selain otot-otot yang bisa dikendalikan secara sadar, di dalam tubuh kita terdapat banyak otot dan proses kehidupan yang tidak bisa dikuasai oleh alam sadar kita.
Misalnya, denyut jantung, proses pencernaan, fungsi berbagai kelenjar dalam tubuh, kerja liver, ginjal, dan seterusnya sampai pada proses di tingkat molekul dan atomik. Ada suatu kerja terprogram yang berfungsi secara otomatis, tanpa melewati kehendak kita. Bagaimanakah hal itu bisa terjadi.
Secara umum, di sini saya hanya ingin menegaskan bahwa jiwa kita sebenarnya lebih dominan dibandingkan dengan badan kita. Tetapi, meskipun demikian, pada tingkat tertentu kualitas jiwa kita juga dipengaruhi oleh kualitas badan. Kerusakan pada struktur badan bisa berpengaruh pada kualitas jiwa. Misalnya, kerusakan struktur otak bakal menyebabkan kerusakan pada fungsi jiwa. Hal ini terlihat pada orang orang yang mengalami stroke. Atau bahkan juga pada orang gila, ternyata mereka juga mengalami kerusakan pada sel-sel tertentu di dalam otaknya.
Karena itu, kalau bicara tentang kesehatan yang paripurna, kita tidak bisa meninggalkan keterkaitan antara jiwa dan badan. Sehat yang sesungguhnya memiliki makna lahir dan batin sekaligus. Agar sehat, kita harus berusaha menyehatkan badan sekaligus jiwa. Kalau hanya sehat salah satu, itu namanya belum sehat. Keseimbangan antara jiwa dan raga itulah yang harus kita raih, karena menjadi kunci kesehatan yang sesungguhnya