Saturday, March 3, 2007

Dimensi Fisik dan Jiwa

Puasa bukan cuma menahan lapar dan menahan haus. Sebab, jika hanya menahan lapar dan dahaga saja, maka kita telah terjebak pada dimensi fisik belaka. Puasa lebih condong pada dimensi kejiwaan. Atau lebih tepat lagi, memadukan dimensi fisik dan dimensi kejiwaan.

Dalam berbagai penelitian tentang puasa memang disepakati bahwa puasa adalah aktivitas yang melibatkan dimensi fisik, jiwa dan spiritual sekaligus. Atau dalam bahasa yang lebih sederhana: puasa adalah aktivitas yang bersifat 'lahir dan batin'. Dengan puasa itu, seseorang harus menjalani aktivitas mulai dari niatan yang bersitat spiritual, menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu termasuk makan dan minum dan memperbanyak komunikasi dengan Tuhan.

Lantas, apakah sebenarnya yang menjadi tujuan puasa? Aktivitas puasa awal mulanya, memang 'dikenalkan' sebagai aktivitas keagamaan. Karena itu, untuk memahami tujuan puasa kita mesti mendengarkan informasi dari agama yang memerintahkan.

Secara umum kita bisa menangkap tujuan puasa dari berbagai penelitian yang kini marak dilakukan di negara-negara maju. Bahwa puasa adalah sebuah aktivitas untuk menyeimbangkan kembali kondisi badan seseorang. Dalam skala lahiriah maupun batiniah. Sehat lahir maupun sehat batin.

Terlibatnya dimensi kejiwaan dalam berpuasa memberikan efek yang lebih mendalam dibandingkan sekedar diet. Diet adalah sebagian dari aktivitas berpuasa. Sebab, faktor jiwa ternyata memegang peranan penting dalam berpuasa. Penekanannya bukan puasa fisik (diet) melainkan lebih pada pengendalian yang bertumpu pada keikhlasan.

Sebelumnya telah kita bahas, bahwa jiwa memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap fisik. Bahkan pengaruh jiwa lebih dominan dibandingkan fisik. Segala aktivitas fisik kita bersumber dari jiwa. Baik yang kita kehendaki secara sadar maupun yang berada di luar kesadaran alias alam bawah sadar. Sebab jiwa adalah software kehidupan kita.

Dalam tinjauan medis, emosi kita memiliki pengaruh yang besar terhadap keluarnya zat-zat tertentu yang bisa berdampak pada kesehatan. Dalam hal pencernaan misalnya. Sistem pencernaan kita ternyata sangat peka terhadap perubahan emosi. Secara umum pencernaan dipengaruhi oleh 3 faktor gaya hidup, yaitu tidur / istirahat, kegiatan fisik, serta keadaan emosional.

Tidur & istirahat, sebagaimana telah kita bahas di depan memberikan 'kesempatan' kepada mekanisme alamiah di dalam sistem pencernaan kita untuk mengembalikan keseimbangan. Termasuk pemeliharaan, perbaikan, dan pengeluaran sisa-sisa pencernaan yang dapat mengganggu saluran cerna.

Kegiatan fisik diperlukan untuk mengencangkan otot-otot agar tidak kendor dan bisa berfungsi secara baik, dalam pencernaan. Banyak otot-otot yang terlibat di dalam proses pencernaan, di antaranya otot otot di sekitar lambung dan di daerah anus.

Sedangkan emosi sangat berpengaruh pada kegiatan hormon dan urat saraf. Proses pencernaan di dalam tubuh kita sangat kompleks dengan melibatkan mekanisme hormon dan sensor-sensor saraf. Kekacauan emosi bisa menyebabkan gangguan pada pengeluaran hormon dan enzim, yang kemudian mempengaruhi efektifitas pencernaan dan penyerapan.

Sebagai contoh, orang yang sedang stress bisa menyebabkan keluarnya asam lambung secara berlebihan. Maka, orang yang sering stress, biasanya terserang oleh sakit maag dalam berbagai skalanya. Ada yang ringan dan ada yang sampai terluka lambungnya. Ada yang kambuhan saat stress saja, tapi ada juga yang terlanjur permanen.

Karena itu, pada saat makan, kita dianjurkan untuk tenang dan relaks, karena akan berpengaruh pada sistem pencernaan. Bahkan sebenarnya, bukan hanya saat makan saja, melainkan sepanjang hari. Bukankah pencernaan, metabolisme dan pembuangan terjadi dalam skala 24jam?

Selain itu rasa marah, takut dan khawatir yang berlebihan juga bakal mengaktifkan kelenjar-kelenjar tertentu di dalam tubuh, misalnya medula kelenjar adrenal. Kelenjar ini mengeluarkan zat adrenalin atau epinefrin yang berfungsi di antaranya untuk meningkatkan kadar gula darah. Selain itu, juga bisa memacu kerja jantung sehingga berdetak detak tidak beraturan. Jika ini terjadi berulang-ulang dalam skala yang meninggi, maka ini bisa berbahaya buat kesehatan jangka panjang.

Dengan contoh-contoh di atas, kita memperoleh gambaran betapa jiwa sangat berpengaruh pada fisik. Jika jiwa tidak stabil, maka ia akan mengganggu keseimbangan sistem kesehatan di dalam tubuh kita. Sebaliknya, jika stabil, tenang dan tentram, maka ia menjadikan sistem tubuh kita dalam keseimbangan. Alias sehat.