Bertakwa adalah kemampuan mengontrol diri dari perbuatan perbuatan yang merugikan. Sebaliknya, mampu mengendalikan diri untuk selalu berbuat kebajikan yang membawa manfaat bagi semuanya.
Apa sajakah hal-hal yang mesti dikontrol dalam kehidupan kita? Secara umum ada 4 hal, yaitu yang bersifat fisik, yang bersifat psikis, yang bersifat sosial, dan yang bersifat spiritual.
1. Kontrol yang Berdampak Fisik.
Secara umum kontrol yang bersifat fisik ini meliputi dua hal, yaitu : diri sendiri dan lingkungan hidup kita. Yang berkait dengan diri sendiri adalah masalah kesehatan. Sedangkan yang berkait dengan lingkungan adalah terjaganya kelangsungan proses-proses yang memberikan kenyamanan hidup penghuninya.
Kedua hal di atas adalah sesuatu yang sangat berharga dalam kelangsungan hidup manusia. Jika kesehatan kita jelek, maka kualitas hidup kita pun menjadi jelek. Tidak ada artinya lagi jabatan, kekayaan, dan popularitas yang kita bangga banggakan. Karena semua itu tidaklah terasa nikmat ketika badan kita sedang sakit.
Bagaimana mungkin seseorang yang menderita sakit terus menerus bisa menikmati hidupnya? Meskipun dia seorang presiden. Meskipun dia kaya raya. Meskipun dia orang terpandang, cantik, tampan dan lain sebagainya. Kalau kita selalu sakit kepala, sakit gigi, sakit perut, dan berbagai jenis penyakit lainnya yang lebih serius; apakah kita bisa merasakan kenikmatan hidup? Tentu saja tidak.
Demikian pula jika lingkungan kita jelek. Kualitas hidup pun jadi menurun. Bayangkan, jika lingkungan kita penuh sampah, kotor, jorok, gersang, banjir, tanah longsor, panas menyengat, dan lain sebagainya. Betapa tidak enaknya hidup di lingkungan yang demikian. Karena itu, kenikmatan surga digambarkan dengan lingkungan yang menyejukkan. Bersih, sejuk, banyak pepohonan dan mata air, serta gemericiknya sungai-sungai yang mengalir di bawahnya.
Semua itu menggambarkan betapa kita mesti menjaga kualitas kesehatan badan dan lingkungan kita. Bagaimanakah menjaga kualitas keduanya? Ternyata, kuncinya ada pada kemampuan mengontrol diri, setiap kita.
Berbagai macam kerusakan yang terjadi pada diri sendiri maupun lingkungan kita berawal dari ketidakmampuan mengendalikan perbuatan. Di bawah ini ada beberapa ayat yang menggambarkan betapa ulah tangan manusia yang tidak terkontrol menyebabkan masalah yang serius pada diri dan lingkungan.
QS. Al Mukminuun (23) : 71
“Andaikata kebenaran ibi menuruti hawa nafsu mereka, pasti bihasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.”
QS. Ruum (30):41
“Telah nampak kerusahan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (kejalan yang benar).”
Betapa banyaknya orang-orang yang merusak dirinya sendiri, karena tidak mampu mengontrol perbuatannya. Secara umum Allah mengatakan dalam ayat di atas, bahwa dorongan nafsu yang menggebu nggebu, dan kemudian tidak mampu dikendalikan akan menyebabkan kerusakan yang sangat dahsyat pada diri seseorang maupun lingkungannya.
2. Kontrol yang Berdampak Psikis
Selain penyakit yang bersifat fisik, ketidak mampuan kita mengendalikan perbuatan juga akan menyebabkan penyakit batin. Apa sajakah penyakit batin kita? Agama Islam menyebut sejumlah penyakit batin yang bisa berdampak buruk pada kehidupan kita, di antaranya adalah di bawah ini.
1. Pemarah
2. Pendendam - Sulit memaafkan
3. Iri dan dengki
4. Possesive - serakah
5. Pelit
6. Egois
7. Ujub - riya' - sombong
8. Bergunjing - Fitnah
9. Berbohong
Asal muasal dari seluruh penyakit hati itu adalah sifat egois, alias mementingkan diri sendiri. Semua perbuatannya sekadar untuk menyenangkan diri sendiri. Inilah pangkal dari semua penyakit hati. Dan, ini sangat berkaitan dengan 'hawa nafsu'. Karena itu Allah memerintahkan kita untuk menundukkan diri sendiri alias hawa nafsu.
Dalam hal ini Rasulullah saw pernah berkata, bahwa perang yang paling besar adalah perang melawan diri sendiri alias menundukkan hawa nafsu. Yaitu keinginan untuk selalu menyenang nyenangkan diri sendiri tanpa mau tahu kepentingan orang lain.
Jika ini yang kita lakukan dalam kehidupan kita, maka rusaklah seluruh tatanan. Bahkan Allah mengatakan rusak langit dan bumi dan segala isinya. Dalam kalimat yang berbeda, Rasulullah saw mengatakan : "Belum Islam seseorang, sampai dia bisa menundukkan hawa nafsunya."
Kenapa demikian? Karena, yang namanya hawa nafsu itu tidak mengenal batas. Sudah dapat satu, minta dua. Punya dua pingin sepuluh. Sudah sepuluh pun, pingin seratus. Disinilah posisi sentral agama. la mengatur dan mengendalikan keinginan keinginan yang bersifat egosentris (berpusat pada kepentingan diri sendiri) menjadi sosiosentris (berpusat pada kepentingan masyarakat), dan akhirnya spiritual sentris (berpusat pada kepentingan agama diri, masyarakat, dan ketuhanan).
Barulah kemudian akan tercipta yang namanya rahmatan lil 'alamin sebagai tujuan akhir dari kehidupan beragama Islam. (Karena Allah, dalam hal ini, ternyata 'lebih berpihak' kepada masyarakat luas dan lingkungannya, ketimbang diri orang per orang)
Coba cermati, dari ego yang berlebihan akan muncul sifat pemarah, pendendam, iri, dengki, rasa memiliki yang kelewatan, serakah, pelit, ujub (bangga diri), riya' (pamer), bergunjing, memfitnah, berbohong, dan akhimya kesombongan. Padahal sebagaimana kita tahu, jika ada kesombongan sebesar debu saja di hati kita maka bakal sulitlah kita masuk surga.
Rentetan penyakit hati itu demikian jelas saling mempengaruhi. Dan prosesnya tidak terasa, berkembang di dalam hati kita. Tiba-tiba sudah kronis. Maka, kita harus peka mendeteksi berkembanganya penyakit hati ini.
Dalam sudut pandang yang berbeda, saya pernah menyampaikan bahwa 'penyakit hati' itu bisa menyebabkan kualitas hati kita menurun, karena menjadi semakin 'keras'.
Ada lima tingkatan kualitas hati manusia. Yang pertama, adalah hati yang berpenyakit. Yang ke dua hati yang mengeras. Ke tiga hati yang membatu. Ke empat hati yang tertutup. Dan akhimya yang ke lima, adalah hati yang dikunci mati oleh Allah.
Kualitas 'terbaik' dari hati yang jelek itu adalah hati yang memiliki banyak penyakit. Suka berbohong, suka memfitnah, suka marah marah, pendendam, serakah, pelit, possesive (rasa memiliki yang berlebihan), dan biasanya menjurus pada kesombongan.
Jika orang yang memiliki hati seperti itu 'mengamalkan' terus penyakit hatinya, maka tidak lama kemudian hatinya akan mulai mengeras. Kelembutan dan kepekaannya tiba-tiba menurun. la menjadi suka berkata kasar dan menyakitkan. la juga hobi berbohong dan menipu. la merasa dirinya paling jago, dan menganggap remeh orang lain. Dan lantas menjadi orang yang sombong. Kekerasan hati orang yang seperti ini dijelaskan Allah dalam banyak firmanNya. Di antaranya adalah berikut ini.
QS. Al Hadiid : 16
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka) dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.”
Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik, kata Allah, dalam penutup ayat. Orang yang fasik adalah orang-orang yang berbuat kebajikan, namun juga berbuat hal-hal yang dilarang Allah. Mencampuradukkan kebaikan dan kejahatan. Termasuk di dalamnya adalah 'mengamalkan' berbagai macam penyakit hati. Maka orang-orang yang demikian itu, tanpa terasa, hatinya bakal mengeras.
Dari pendekatan Fisika, hati yang berpenyakit akan memancarkan gelombang-gelombang 'kasar' yang menyebabkan hati mengeras. Marah, dendam, bohong, iri, dengki dan sebagainya itu memancarkan gelombang beramplitudo besar dengan frekuensi rendah. Jika diukur dengan alat perekam denyut jantung, misalnya, akan terlihat betapa pulsanya bergejolak tinggi-tinggi.
Suatu benda yang dikenai gelombang demikian secara terus menerus bakal mengeras, karena mengalami 'fatigue' atau 'kelelahan' dan menjadi semakin ‘fragile’ atau getas alias mengeras dan gampang pecah. Sama, hati kita juga akan semakin mengeras dan kemudian sulit bergetar sebagai efek dari gelombang kasar semacam itu.
Padahal, kata Allah, hati yang baik adalah hati yang mudah bergetar. Yang gampang menerima sinyal-sinyal lembut berfrekuensi tinggi. Yang dimiliki oleh orang-orang yang melakukan kebajikan dengan penuh kesabaran dan keikhlasan sebagaimana digambarkan dalam QS. 22:35.
Maka kembali kepada kontrol hati, kita melihat bahwa langkah yang keliru dalam menyikapi suatu persoalan bisa menyebabkan efek beruntun. Karena itu kita mesti hati-hati, jangan sampai masuk ke suatu perbuatan yang dilarang Allah, karena efek perbuatan itu bakal menyeret kita masuk semakin dalam.
Kenapa kita dilarang mendekat dekat zinah, misalnya? Karena perbuatan zina itu memiliki 'daya magnet' yang sangat kuat, yang bakal menyedot kita ke dalam pusaran negatif yang sangat berbahaya. Berbahaya buat diri kita pribadi, berbahaya buat keluarga, dan berbahaya buat masyarakat secara meluas. Karena itu, mendekat saja jangan. Dan itu, bukan hanya berkait dengan perzinahan, melainkan perbuatan keji pada umumnya. Disinilah kemampuan kontrol kita bakal berperan.
QS. Al lsraa' (17) : 32
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”
QS. Al An'aam : 151
“Katakanlah: ‘Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang lbu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah, melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar’ Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami”
3. Kontrol yang Berdampak Psikis
Kehidupan kita bukanlah kehidupan yang bersifat pribadi semata. Akan tetapi juga berkehidupan sosial. Dan akhimya berkehidupan spiritual. Orang yang berhenti pada kehidupan pribadi belaka, sesungguhnya dia berhenti pada level kehidupan yang paling rendah.
Orang yang semacam ini tidak akan menemukan kebahagiaan hidup yang sesungguhnya. Dia bakal merasakan bahwa hidupnya ternyata tidak lengkap. Ya, bagaimana mungkin seseorang bisa hidup sendirian sepanjang usianya?
Secara fitrah, manusia memang bukan sekadar makhluk individu. Dalam jiwanya telah tertanam 'software' sosial dan spiritual. Karena itu, orang yang tidak berkehidupan sosial dan spiritual, sama dengan orang yang tidak memenuhi kebutuhan dasar hidupnya sendiri. Ada yang tidak match antara bisikan jiwanya dengan realita yang dia jalani.
Kebahagiaan seorang manusia bakal tercapai ketika fitrahnya sesuai dengan kehidupan yang diajalani. Memang begitulah 'permainan' hidup yang didesain oleh Allah untuk manusia. Barangsiapa bisa menyearahkan fitrah yang dia bawa dengan amal perbuatan yang dia lakukan, maka dia bakal menemui kebahagiaan lahir dan batin. Sebaliknya, barangsiapa menyalahi fitrahnya, dia bakal menemukan problem-problem dalam hidupnya.
Kita terlahir membawa fitrah, dengan berbagai variasi talenta bakat dan kecenderungan. Selama dalam asuhan orang tua, didikan guru, dan pengalaman hidup dari lingkungan sekitar, kita mengalami pembentukan karakter jiwa alias kepribadian. Nah, karakter itu bisa 'pas' atau sesuai dengan fitrah dan talenta kita. Tapi juga bisa tidak. Sehingga kepribadian kita bersifat semu.
Jika sesuai fitrah dan talenta, kita akan menemukan hidup yang berkualitas dan bahagia. Tetapi jika tidak pas, kita akan bertemu dengan segala problem kehidupan yang menyebabkan penderitaan. Disinilah fungsi agama. Ia bertugas untuk memberikan rambu-rambu dan petunjuk agar hidup kita sesuai dengan fitrah dan talenta kita. Dan akhimya menemukan kebahagiaan kita. Dunia dan akhirat.
Apakah fitrah? Fitrah adalah karakter dasar kita sebagai makhluk berkecerdasan yang hidup sebagai pribadi, sosial sekaligus spiritual.
Lantas apa talenta? Tallenta adalah bakat dan kecenderungan untuk mengekspresikan fitrah kita secara khas. Talenta berbeda beda untuk setiap orang. Sedangkan fitrah, sama untuk semua orang. Maka, setiap orang diharapkan bisa mengekspresikan dirinya lewat talentanya untuk mencapai fitrah sebagai makhluk pribadi, makhluk sosial, dan makhluk spiritual...
QS. Ar Ruum (30): 30
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah (Itulah) agama yang lurus; Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”
4. Kontrol yang Berdampak Spiritual
Kualitas hidup tertinggi seorang manusia adalah dalam kadarnya sebagai makhluk spiritual. Bukan sekadar makhluk individu atau makhluk sosial. Boleh saja seseorang memilih menjadi makhluk individual atau makhluk sosial saja, tetapi bisa dipastikan dia bakal menemui problem kehidupan. Sebab dia telah bertindak tidak sesuai fitrahnya.
Tingkat mahkhluk individual adalah tingkatan terendah dalam pilihan hidup seseorang. Mana mungkin seseorang bisa hidup sendirian di muka bumi ini? Lha wong, lahirnya saja dia ditolong oleh orang lain dan berasal dari orang lain. Demikian pula ketika mati, dia pasti membutuhkan orang lain. Bahkan sepanjang hidupnya pun, dia membutuhkan orang lain. Karena itu, mau tidak mau, dia harus memposisikan dirinya dalam suatu komunitas. Baik skala kecil maupun skala yang lebih besar. Itulah makhluk sosial, yang membutuhkan berbagai aturan kehidupan tertentu.
Nah lebih tinggi dari itu, fitrah manusia yang ketiga adalah sebagai makhluk spritual. Bahwa kita memiliki jiwa yang tidak bakal 'mati dan lenyap' saat di dunia saja. Jiwa akan terus melanjutkan perjalanannya menuju kepada kehidupan kedua sesudah kematian kita nanti. la bakal dihidupkan kembali oleh suatu DZAT yang Maha Cerdas dan Maha Berkuasa, dalam kehidupan akhirat. Manusia bakal kembali kepada Penciptanya.
Inilah episode kehidupan yang seringkali dilupakan oleh kebanyakan manusia. Memang tidak mudah untuk bisa memahami dan menghayati fitrah kita yang tertinggi ini. Tetapi kalau kita jujur dan open mind dalam menyikapi kehidupan ini, insya Allah kita bakal menemukan fitrah tersebut. Hanya orang-orang yang sombong dan ingkar saja yang tidak bakal menemukannya, karena hatinya tertutup.
Namun dalam proses pencarian itu, kita tidak bisa melupakan fitrah kita yang lain, yaitu akal. Untuk bisa menemukan fitrah tertinggi, peran akal sangatlah sentral. Orang yang tidak menggunakan akalnya tidak akan menemukan fitrahnya secara sempuma. Karena, agama ini memang untuk orang orang yang berakal saja. Yang tidak sombong dalam memahaminya.
Di sinilah kontrol dan pengendalian diri kita berbicara. Sebuah pengendalian diri terus menerus yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas fitrah kita dari yang bersifat individual, menjadi sosial dan akhirnya spiritual. Apakah alat kontrol yang paling efektif? Adalah akal dan keterbukaan hati. Bukan fanatisme buta dan kesombongan.
Kenapa demikian? Karena sesungguhnya kita terlahir dengan hati yang terbuka dan kualitas akal tertentu yang 'bersih'. Namun seiring dengan pertambahan usia, jiwa kita menjadi 'terkotak kotak' dalam belenggu-belenggu fanatisme golongan dan pemikiran. Disinilah mulai muncul perbedaan antar berbagai kelompok dan golongan. Fitrah kita yang sebenarnya universal tidak membedakan ras maupun golongan itu tiba-tiba menjadi tidak jemih lagi.
Maka, kita harus mengembalikan jiwa kita yang
telah tersekat sekat dan terpengaruh oleh 'faham faham' di sekitar kita menjadi universal kembali. Supaya kita juga bisa mencapai tujuan universal agama kita, yaitu ral7matan lil 'alamiin.
Apa sajakah hal-hal yang mesti dikontrol dalam kehidupan kita? Secara umum ada 4 hal, yaitu yang bersifat fisik, yang bersifat psikis, yang bersifat sosial, dan yang bersifat spiritual.
1. Kontrol yang Berdampak Fisik.
Secara umum kontrol yang bersifat fisik ini meliputi dua hal, yaitu : diri sendiri dan lingkungan hidup kita. Yang berkait dengan diri sendiri adalah masalah kesehatan. Sedangkan yang berkait dengan lingkungan adalah terjaganya kelangsungan proses-proses yang memberikan kenyamanan hidup penghuninya.
Kedua hal di atas adalah sesuatu yang sangat berharga dalam kelangsungan hidup manusia. Jika kesehatan kita jelek, maka kualitas hidup kita pun menjadi jelek. Tidak ada artinya lagi jabatan, kekayaan, dan popularitas yang kita bangga banggakan. Karena semua itu tidaklah terasa nikmat ketika badan kita sedang sakit.
Bagaimana mungkin seseorang yang menderita sakit terus menerus bisa menikmati hidupnya? Meskipun dia seorang presiden. Meskipun dia kaya raya. Meskipun dia orang terpandang, cantik, tampan dan lain sebagainya. Kalau kita selalu sakit kepala, sakit gigi, sakit perut, dan berbagai jenis penyakit lainnya yang lebih serius; apakah kita bisa merasakan kenikmatan hidup? Tentu saja tidak.
Demikian pula jika lingkungan kita jelek. Kualitas hidup pun jadi menurun. Bayangkan, jika lingkungan kita penuh sampah, kotor, jorok, gersang, banjir, tanah longsor, panas menyengat, dan lain sebagainya. Betapa tidak enaknya hidup di lingkungan yang demikian. Karena itu, kenikmatan surga digambarkan dengan lingkungan yang menyejukkan. Bersih, sejuk, banyak pepohonan dan mata air, serta gemericiknya sungai-sungai yang mengalir di bawahnya.
Semua itu menggambarkan betapa kita mesti menjaga kualitas kesehatan badan dan lingkungan kita. Bagaimanakah menjaga kualitas keduanya? Ternyata, kuncinya ada pada kemampuan mengontrol diri, setiap kita.
Berbagai macam kerusakan yang terjadi pada diri sendiri maupun lingkungan kita berawal dari ketidakmampuan mengendalikan perbuatan. Di bawah ini ada beberapa ayat yang menggambarkan betapa ulah tangan manusia yang tidak terkontrol menyebabkan masalah yang serius pada diri dan lingkungan.
QS. Al Mukminuun (23) : 71
“Andaikata kebenaran ibi menuruti hawa nafsu mereka, pasti bihasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.”
QS. Ruum (30):41
“Telah nampak kerusahan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (kejalan yang benar).”
Betapa banyaknya orang-orang yang merusak dirinya sendiri, karena tidak mampu mengontrol perbuatannya. Secara umum Allah mengatakan dalam ayat di atas, bahwa dorongan nafsu yang menggebu nggebu, dan kemudian tidak mampu dikendalikan akan menyebabkan kerusakan yang sangat dahsyat pada diri seseorang maupun lingkungannya.
2. Kontrol yang Berdampak Psikis
Selain penyakit yang bersifat fisik, ketidak mampuan kita mengendalikan perbuatan juga akan menyebabkan penyakit batin. Apa sajakah penyakit batin kita? Agama Islam menyebut sejumlah penyakit batin yang bisa berdampak buruk pada kehidupan kita, di antaranya adalah di bawah ini.
1. Pemarah
2. Pendendam - Sulit memaafkan
3. Iri dan dengki
4. Possesive - serakah
5. Pelit
6. Egois
7. Ujub - riya' - sombong
8. Bergunjing - Fitnah
9. Berbohong
Asal muasal dari seluruh penyakit hati itu adalah sifat egois, alias mementingkan diri sendiri. Semua perbuatannya sekadar untuk menyenangkan diri sendiri. Inilah pangkal dari semua penyakit hati. Dan, ini sangat berkaitan dengan 'hawa nafsu'. Karena itu Allah memerintahkan kita untuk menundukkan diri sendiri alias hawa nafsu.
Dalam hal ini Rasulullah saw pernah berkata, bahwa perang yang paling besar adalah perang melawan diri sendiri alias menundukkan hawa nafsu. Yaitu keinginan untuk selalu menyenang nyenangkan diri sendiri tanpa mau tahu kepentingan orang lain.
Jika ini yang kita lakukan dalam kehidupan kita, maka rusaklah seluruh tatanan. Bahkan Allah mengatakan rusak langit dan bumi dan segala isinya. Dalam kalimat yang berbeda, Rasulullah saw mengatakan : "Belum Islam seseorang, sampai dia bisa menundukkan hawa nafsunya."
Kenapa demikian? Karena, yang namanya hawa nafsu itu tidak mengenal batas. Sudah dapat satu, minta dua. Punya dua pingin sepuluh. Sudah sepuluh pun, pingin seratus. Disinilah posisi sentral agama. la mengatur dan mengendalikan keinginan keinginan yang bersifat egosentris (berpusat pada kepentingan diri sendiri) menjadi sosiosentris (berpusat pada kepentingan masyarakat), dan akhirnya spiritual sentris (berpusat pada kepentingan agama diri, masyarakat, dan ketuhanan).
Barulah kemudian akan tercipta yang namanya rahmatan lil 'alamin sebagai tujuan akhir dari kehidupan beragama Islam. (Karena Allah, dalam hal ini, ternyata 'lebih berpihak' kepada masyarakat luas dan lingkungannya, ketimbang diri orang per orang)
Coba cermati, dari ego yang berlebihan akan muncul sifat pemarah, pendendam, iri, dengki, rasa memiliki yang kelewatan, serakah, pelit, ujub (bangga diri), riya' (pamer), bergunjing, memfitnah, berbohong, dan akhimya kesombongan. Padahal sebagaimana kita tahu, jika ada kesombongan sebesar debu saja di hati kita maka bakal sulitlah kita masuk surga.
Rentetan penyakit hati itu demikian jelas saling mempengaruhi. Dan prosesnya tidak terasa, berkembang di dalam hati kita. Tiba-tiba sudah kronis. Maka, kita harus peka mendeteksi berkembanganya penyakit hati ini.
Dalam sudut pandang yang berbeda, saya pernah menyampaikan bahwa 'penyakit hati' itu bisa menyebabkan kualitas hati kita menurun, karena menjadi semakin 'keras'.
Ada lima tingkatan kualitas hati manusia. Yang pertama, adalah hati yang berpenyakit. Yang ke dua hati yang mengeras. Ke tiga hati yang membatu. Ke empat hati yang tertutup. Dan akhimya yang ke lima, adalah hati yang dikunci mati oleh Allah.
Kualitas 'terbaik' dari hati yang jelek itu adalah hati yang memiliki banyak penyakit. Suka berbohong, suka memfitnah, suka marah marah, pendendam, serakah, pelit, possesive (rasa memiliki yang berlebihan), dan biasanya menjurus pada kesombongan.
Jika orang yang memiliki hati seperti itu 'mengamalkan' terus penyakit hatinya, maka tidak lama kemudian hatinya akan mulai mengeras. Kelembutan dan kepekaannya tiba-tiba menurun. la menjadi suka berkata kasar dan menyakitkan. la juga hobi berbohong dan menipu. la merasa dirinya paling jago, dan menganggap remeh orang lain. Dan lantas menjadi orang yang sombong. Kekerasan hati orang yang seperti ini dijelaskan Allah dalam banyak firmanNya. Di antaranya adalah berikut ini.
QS. Al Hadiid : 16
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka) dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.”
Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik, kata Allah, dalam penutup ayat. Orang yang fasik adalah orang-orang yang berbuat kebajikan, namun juga berbuat hal-hal yang dilarang Allah. Mencampuradukkan kebaikan dan kejahatan. Termasuk di dalamnya adalah 'mengamalkan' berbagai macam penyakit hati. Maka orang-orang yang demikian itu, tanpa terasa, hatinya bakal mengeras.
Dari pendekatan Fisika, hati yang berpenyakit akan memancarkan gelombang-gelombang 'kasar' yang menyebabkan hati mengeras. Marah, dendam, bohong, iri, dengki dan sebagainya itu memancarkan gelombang beramplitudo besar dengan frekuensi rendah. Jika diukur dengan alat perekam denyut jantung, misalnya, akan terlihat betapa pulsanya bergejolak tinggi-tinggi.
Suatu benda yang dikenai gelombang demikian secara terus menerus bakal mengeras, karena mengalami 'fatigue' atau 'kelelahan' dan menjadi semakin ‘fragile’ atau getas alias mengeras dan gampang pecah. Sama, hati kita juga akan semakin mengeras dan kemudian sulit bergetar sebagai efek dari gelombang kasar semacam itu.
Padahal, kata Allah, hati yang baik adalah hati yang mudah bergetar. Yang gampang menerima sinyal-sinyal lembut berfrekuensi tinggi. Yang dimiliki oleh orang-orang yang melakukan kebajikan dengan penuh kesabaran dan keikhlasan sebagaimana digambarkan dalam QS. 22:35.
Maka kembali kepada kontrol hati, kita melihat bahwa langkah yang keliru dalam menyikapi suatu persoalan bisa menyebabkan efek beruntun. Karena itu kita mesti hati-hati, jangan sampai masuk ke suatu perbuatan yang dilarang Allah, karena efek perbuatan itu bakal menyeret kita masuk semakin dalam.
Kenapa kita dilarang mendekat dekat zinah, misalnya? Karena perbuatan zina itu memiliki 'daya magnet' yang sangat kuat, yang bakal menyedot kita ke dalam pusaran negatif yang sangat berbahaya. Berbahaya buat diri kita pribadi, berbahaya buat keluarga, dan berbahaya buat masyarakat secara meluas. Karena itu, mendekat saja jangan. Dan itu, bukan hanya berkait dengan perzinahan, melainkan perbuatan keji pada umumnya. Disinilah kemampuan kontrol kita bakal berperan.
QS. Al lsraa' (17) : 32
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”
QS. Al An'aam : 151
“Katakanlah: ‘Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang lbu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah, melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar’ Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami”
3. Kontrol yang Berdampak Psikis
Kehidupan kita bukanlah kehidupan yang bersifat pribadi semata. Akan tetapi juga berkehidupan sosial. Dan akhimya berkehidupan spiritual. Orang yang berhenti pada kehidupan pribadi belaka, sesungguhnya dia berhenti pada level kehidupan yang paling rendah.
Orang yang semacam ini tidak akan menemukan kebahagiaan hidup yang sesungguhnya. Dia bakal merasakan bahwa hidupnya ternyata tidak lengkap. Ya, bagaimana mungkin seseorang bisa hidup sendirian sepanjang usianya?
Secara fitrah, manusia memang bukan sekadar makhluk individu. Dalam jiwanya telah tertanam 'software' sosial dan spiritual. Karena itu, orang yang tidak berkehidupan sosial dan spiritual, sama dengan orang yang tidak memenuhi kebutuhan dasar hidupnya sendiri. Ada yang tidak match antara bisikan jiwanya dengan realita yang dia jalani.
Kebahagiaan seorang manusia bakal tercapai ketika fitrahnya sesuai dengan kehidupan yang diajalani. Memang begitulah 'permainan' hidup yang didesain oleh Allah untuk manusia. Barangsiapa bisa menyearahkan fitrah yang dia bawa dengan amal perbuatan yang dia lakukan, maka dia bakal menemui kebahagiaan lahir dan batin. Sebaliknya, barangsiapa menyalahi fitrahnya, dia bakal menemukan problem-problem dalam hidupnya.
Kita terlahir membawa fitrah, dengan berbagai variasi talenta bakat dan kecenderungan. Selama dalam asuhan orang tua, didikan guru, dan pengalaman hidup dari lingkungan sekitar, kita mengalami pembentukan karakter jiwa alias kepribadian. Nah, karakter itu bisa 'pas' atau sesuai dengan fitrah dan talenta kita. Tapi juga bisa tidak. Sehingga kepribadian kita bersifat semu.
Jika sesuai fitrah dan talenta, kita akan menemukan hidup yang berkualitas dan bahagia. Tetapi jika tidak pas, kita akan bertemu dengan segala problem kehidupan yang menyebabkan penderitaan. Disinilah fungsi agama. Ia bertugas untuk memberikan rambu-rambu dan petunjuk agar hidup kita sesuai dengan fitrah dan talenta kita. Dan akhimya menemukan kebahagiaan kita. Dunia dan akhirat.
Apakah fitrah? Fitrah adalah karakter dasar kita sebagai makhluk berkecerdasan yang hidup sebagai pribadi, sosial sekaligus spiritual.
Lantas apa talenta? Tallenta adalah bakat dan kecenderungan untuk mengekspresikan fitrah kita secara khas. Talenta berbeda beda untuk setiap orang. Sedangkan fitrah, sama untuk semua orang. Maka, setiap orang diharapkan bisa mengekspresikan dirinya lewat talentanya untuk mencapai fitrah sebagai makhluk pribadi, makhluk sosial, dan makhluk spiritual...
QS. Ar Ruum (30): 30
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah (Itulah) agama yang lurus; Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”
4. Kontrol yang Berdampak Spiritual
Kualitas hidup tertinggi seorang manusia adalah dalam kadarnya sebagai makhluk spiritual. Bukan sekadar makhluk individu atau makhluk sosial. Boleh saja seseorang memilih menjadi makhluk individual atau makhluk sosial saja, tetapi bisa dipastikan dia bakal menemui problem kehidupan. Sebab dia telah bertindak tidak sesuai fitrahnya.
Tingkat mahkhluk individual adalah tingkatan terendah dalam pilihan hidup seseorang. Mana mungkin seseorang bisa hidup sendirian di muka bumi ini? Lha wong, lahirnya saja dia ditolong oleh orang lain dan berasal dari orang lain. Demikian pula ketika mati, dia pasti membutuhkan orang lain. Bahkan sepanjang hidupnya pun, dia membutuhkan orang lain. Karena itu, mau tidak mau, dia harus memposisikan dirinya dalam suatu komunitas. Baik skala kecil maupun skala yang lebih besar. Itulah makhluk sosial, yang membutuhkan berbagai aturan kehidupan tertentu.
Nah lebih tinggi dari itu, fitrah manusia yang ketiga adalah sebagai makhluk spritual. Bahwa kita memiliki jiwa yang tidak bakal 'mati dan lenyap' saat di dunia saja. Jiwa akan terus melanjutkan perjalanannya menuju kepada kehidupan kedua sesudah kematian kita nanti. la bakal dihidupkan kembali oleh suatu DZAT yang Maha Cerdas dan Maha Berkuasa, dalam kehidupan akhirat. Manusia bakal kembali kepada Penciptanya.
Inilah episode kehidupan yang seringkali dilupakan oleh kebanyakan manusia. Memang tidak mudah untuk bisa memahami dan menghayati fitrah kita yang tertinggi ini. Tetapi kalau kita jujur dan open mind dalam menyikapi kehidupan ini, insya Allah kita bakal menemukan fitrah tersebut. Hanya orang-orang yang sombong dan ingkar saja yang tidak bakal menemukannya, karena hatinya tertutup.
Namun dalam proses pencarian itu, kita tidak bisa melupakan fitrah kita yang lain, yaitu akal. Untuk bisa menemukan fitrah tertinggi, peran akal sangatlah sentral. Orang yang tidak menggunakan akalnya tidak akan menemukan fitrahnya secara sempuma. Karena, agama ini memang untuk orang orang yang berakal saja. Yang tidak sombong dalam memahaminya.
Di sinilah kontrol dan pengendalian diri kita berbicara. Sebuah pengendalian diri terus menerus yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas fitrah kita dari yang bersifat individual, menjadi sosial dan akhirnya spiritual. Apakah alat kontrol yang paling efektif? Adalah akal dan keterbukaan hati. Bukan fanatisme buta dan kesombongan.
Kenapa demikian? Karena sesungguhnya kita terlahir dengan hati yang terbuka dan kualitas akal tertentu yang 'bersih'. Namun seiring dengan pertambahan usia, jiwa kita menjadi 'terkotak kotak' dalam belenggu-belenggu fanatisme golongan dan pemikiran. Disinilah mulai muncul perbedaan antar berbagai kelompok dan golongan. Fitrah kita yang sebenarnya universal tidak membedakan ras maupun golongan itu tiba-tiba menjadi tidak jemih lagi.
Maka, kita harus mengembalikan jiwa kita yang
telah tersekat sekat dan terpengaruh oleh 'faham faham' di sekitar kita menjadi universal kembali. Supaya kita juga bisa mencapai tujuan universal agama kita, yaitu ral7matan lil 'alamiin.