Lapar dan dahaga dipilih sebagai cara untuk mencapai tujuan puasa. Tetapi, lapar dan dahaga itu sendiri sebenarnya bukanlah tujuan berpuasa. Karena itu, jangan sampai kita keliru menjadikan lapar dan dahaga sebagai tujuan puasa. Baik secara sengaja maupun tidak sengaja.
Dalam konteks inilah kritik Rasulullah saw tentang orang yang hanya dapat lapar dan dahaga dalam berpuasa, harus kita pahami. Karena kecenderungan kita di dalam beragama ini terjebak pada: menjadikan 'tataGara' sebagai tujuan. Baik shalat, haji, zakat, maupun puasa.
Cobalah lihat ibadah shalat kita. Seringkali kita lupa, bahwa shalat itu bertujuan untuk dzikir (mengingat dan mendekatkan diri kepada Allah) dan berdo'a (memohon pertolongan) kepadaNya. Tetapi yang terjadi setiap kali kita shalat tidaklah begitu.
Dzikir kita di dalam shalat kalah intens dengan dzikir kita di luar shalat. Justru ketika melakukan shalat, pikiran kita melayang kemana mana. Bukan fokus kepada Allah. Dan sesudah shalat, barulah kita berdzikir. Itu pun seringkali bukan dzikir yang sesungguhnya yang menyentuh hati melainkan hanya 'dzikir mulut', sekedar berucap. Jadi, bukan berdzikir, tapi 'mengucapkan' kalimat dzikir.
Maka, yang terjadi adalah pembelokan 'cara' menjadi 'tujuan'. Tujuan yang sesungguhnya dzikir sebagai 'cara' untuk mendekatkan diri kepada Allah tidak tercapai. Berganti dengan 'rasa puas' atau lega ketika kita sudah melakukan shalat sebagai kewajiban belaka. Meskipun di dalamnya tidak terjadi dzikrullah. Tiba-tiba kita sudah terjebak, merasa sudah mencapai tujuan ibadah shalat kita, dengan menjalankan tatacaranya saja.
Demikian pula, fungsi shalat sebagai cara untuk berdo'a. Kita seringkali merasa lebih mantap berdo'a seusai shalat, dibandingkan dengan di dalam shalat itu sendiri. Ya, shalat kita jalankan sebagai kewajiban, dan sesudah itu kita menengadahkan tangan untuk berdo'a kepada Allah. Dalam pikiran kita, dengan shalat itu kita sudah memenuhi 'tuntutan Allah' untuk menyembahNya, dan karena itu, tiba giliran kita untuk minta tolong kepadaNya sebagai 'upah'. "Sudah selayaknya, kan ?" begitu pikir kita.
Sekali lagi kita. terjebak pada 'cara' menjadi 'tujuan'. Keinginan untuk menjadikan shalat sebagai 'cara' berdo'a kepada Allah telah bergeser menjadi 'memenuhi kewajiban' belaka. Do'anya sendiri kita lakukan di luar shalat. Padahal coba cermati firman AJIah berikut ini, bahwa shalat itu adalah ‘cara’ untuk berdoa.
QS. Al Badarah (2) : 45
“Dan mintalah pertolongan (kepadaAllah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat. Dan sesungguhnya yang demikan itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu”
Bukan hanya ibadah shalat, haji dan zakat kita juga seringkali begitu. Betapa banyaknya orang yang terjebak pada kekeliruan di atas. Seringkali ibadah haji kita hanya untuk memperoleh predikat Haji atau Hajah. Kemudian, kita tunjukkan dalam label nama kita, atau lebih jauh banyak juga yang lantas merubah nama aslinya. Atau, setidaknya, ritual haji itu sendiri yang dijadikan tujuan kedatangan dia di tanah suci.
Padahal, tujuan haji kan bukan itu. Tujuannya adalah memperoleh ‘pelajaran hidup’? dengan cara napak tilas perjuangan nabi Ibrahim, nabi Muhammad dan keluarga serta para sahabatnya. Sehingga selama di tanah suci itu terjadi perenungan-perenungan untuk memperoleh pelajaran. Mudah mudahan keikhlasan dan kegigihan perjuangan beliau-beliau itu bisa menular kepada kita, dan kita terapkan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Demikian pula zakat. la adalah sarana untuk membangun kepedulian sosial, sekaligus 'membunuh' kecintaan pada duniawi yang berlebihan. Bukan untuk ‘sekadar’ membersihkan harta, dengan maksud posessive atau memiliki lebih banyak lagi harta kekayaan. Kalau demikian tujuannya, maka lagi-lagi kita telah terjebak kepada 'sarana' sebagai tujuan. Padahal, tujuan akhir kita adalah Allah semata.
Nah, demikian pula puasa. Tujuan utamanya adalah untuk mengubah kualitas jiwa kita agar menjadi lebih controlable alias lebih terkendali. Atau, dalam istilah agamanya lebih bertakwa.
Sarana yang dipakai adalah dengan menciptakan kondisi lapar dan haus, plus beberapa pantangan yang mesti dijalankan dengan kefahaman dan keikhlasan.
Maka, janganlah kita mengulang kesalahan yang sama, dengan menjadikan 'cara' sebagai tujuan. Tujuannya adalah mengubah kemampuan kontrol diri kita, bukan sekadar menjalankan kewajiban. Atau, apalagi sekadar ikut-ikutan.
Lantas, kenapa untuk melatih kemampuan kontrol diri, kita mesti melalui proses lapar dan haus? Disinilah kita mesti melihat korelasinya, yang nanti akan kita bahas lebih mendalam dan mendetil. Akan tetapi, secara umum kita melihat korelasinya, antara lain sebagai berikut.
1. Lapar dan haus adalah sebuah proses yang membawa kesehatan kita mencapai kondisi yang seimbang kembali, setelah sekian lama dibebani metabolisme yang berlebihan. (Dimensi fisik)
2. Lapar dan haus adalah kondisi kritis manusia dalam memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, yang bisa digunakan untuk melatih pengendalian diri secara kejiwaan. Di sini kita bisa berlatih keteguhan jiwa dalam suasana krisis. (Dimensi psikis)
3. Lapar dan haus juga digunakan untuk mengingatkan kita tentang kondisi orang-orang yang terpinggirkan dan kurang beruntung di sekitar kita. (Dimensi sosial).
4. Lapar dan haus menyebabkan kita teringat terus bahwa kita sedang dalam kondisi 'berlatih' untuk meningkatkan kualitas ketakwaan kita yang berujung pada penyerahan diri kepada Allah, Sang Pencipta Yang Maha Agung. (Dimensi Spiritual).
Dalam konteks inilah kritik Rasulullah saw tentang orang yang hanya dapat lapar dan dahaga dalam berpuasa, harus kita pahami. Karena kecenderungan kita di dalam beragama ini terjebak pada: menjadikan 'tataGara' sebagai tujuan. Baik shalat, haji, zakat, maupun puasa.
Cobalah lihat ibadah shalat kita. Seringkali kita lupa, bahwa shalat itu bertujuan untuk dzikir (mengingat dan mendekatkan diri kepada Allah) dan berdo'a (memohon pertolongan) kepadaNya. Tetapi yang terjadi setiap kali kita shalat tidaklah begitu.
Dzikir kita di dalam shalat kalah intens dengan dzikir kita di luar shalat. Justru ketika melakukan shalat, pikiran kita melayang kemana mana. Bukan fokus kepada Allah. Dan sesudah shalat, barulah kita berdzikir. Itu pun seringkali bukan dzikir yang sesungguhnya yang menyentuh hati melainkan hanya 'dzikir mulut', sekedar berucap. Jadi, bukan berdzikir, tapi 'mengucapkan' kalimat dzikir.
Maka, yang terjadi adalah pembelokan 'cara' menjadi 'tujuan'. Tujuan yang sesungguhnya dzikir sebagai 'cara' untuk mendekatkan diri kepada Allah tidak tercapai. Berganti dengan 'rasa puas' atau lega ketika kita sudah melakukan shalat sebagai kewajiban belaka. Meskipun di dalamnya tidak terjadi dzikrullah. Tiba-tiba kita sudah terjebak, merasa sudah mencapai tujuan ibadah shalat kita, dengan menjalankan tatacaranya saja.
Demikian pula, fungsi shalat sebagai cara untuk berdo'a. Kita seringkali merasa lebih mantap berdo'a seusai shalat, dibandingkan dengan di dalam shalat itu sendiri. Ya, shalat kita jalankan sebagai kewajiban, dan sesudah itu kita menengadahkan tangan untuk berdo'a kepada Allah. Dalam pikiran kita, dengan shalat itu kita sudah memenuhi 'tuntutan Allah' untuk menyembahNya, dan karena itu, tiba giliran kita untuk minta tolong kepadaNya sebagai 'upah'. "Sudah selayaknya, kan ?" begitu pikir kita.
Sekali lagi kita. terjebak pada 'cara' menjadi 'tujuan'. Keinginan untuk menjadikan shalat sebagai 'cara' berdo'a kepada Allah telah bergeser menjadi 'memenuhi kewajiban' belaka. Do'anya sendiri kita lakukan di luar shalat. Padahal coba cermati firman AJIah berikut ini, bahwa shalat itu adalah ‘cara’ untuk berdoa.
QS. Al Badarah (2) : 45
“Dan mintalah pertolongan (kepadaAllah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat. Dan sesungguhnya yang demikan itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu”
Bukan hanya ibadah shalat, haji dan zakat kita juga seringkali begitu. Betapa banyaknya orang yang terjebak pada kekeliruan di atas. Seringkali ibadah haji kita hanya untuk memperoleh predikat Haji atau Hajah. Kemudian, kita tunjukkan dalam label nama kita, atau lebih jauh banyak juga yang lantas merubah nama aslinya. Atau, setidaknya, ritual haji itu sendiri yang dijadikan tujuan kedatangan dia di tanah suci.
Padahal, tujuan haji kan bukan itu. Tujuannya adalah memperoleh ‘pelajaran hidup’? dengan cara napak tilas perjuangan nabi Ibrahim, nabi Muhammad dan keluarga serta para sahabatnya. Sehingga selama di tanah suci itu terjadi perenungan-perenungan untuk memperoleh pelajaran. Mudah mudahan keikhlasan dan kegigihan perjuangan beliau-beliau itu bisa menular kepada kita, dan kita terapkan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Demikian pula zakat. la adalah sarana untuk membangun kepedulian sosial, sekaligus 'membunuh' kecintaan pada duniawi yang berlebihan. Bukan untuk ‘sekadar’ membersihkan harta, dengan maksud posessive atau memiliki lebih banyak lagi harta kekayaan. Kalau demikian tujuannya, maka lagi-lagi kita telah terjebak kepada 'sarana' sebagai tujuan. Padahal, tujuan akhir kita adalah Allah semata.
Nah, demikian pula puasa. Tujuan utamanya adalah untuk mengubah kualitas jiwa kita agar menjadi lebih controlable alias lebih terkendali. Atau, dalam istilah agamanya lebih bertakwa.
Sarana yang dipakai adalah dengan menciptakan kondisi lapar dan haus, plus beberapa pantangan yang mesti dijalankan dengan kefahaman dan keikhlasan.
Maka, janganlah kita mengulang kesalahan yang sama, dengan menjadikan 'cara' sebagai tujuan. Tujuannya adalah mengubah kemampuan kontrol diri kita, bukan sekadar menjalankan kewajiban. Atau, apalagi sekadar ikut-ikutan.
Lantas, kenapa untuk melatih kemampuan kontrol diri, kita mesti melalui proses lapar dan haus? Disinilah kita mesti melihat korelasinya, yang nanti akan kita bahas lebih mendalam dan mendetil. Akan tetapi, secara umum kita melihat korelasinya, antara lain sebagai berikut.
1. Lapar dan haus adalah sebuah proses yang membawa kesehatan kita mencapai kondisi yang seimbang kembali, setelah sekian lama dibebani metabolisme yang berlebihan. (Dimensi fisik)
2. Lapar dan haus adalah kondisi kritis manusia dalam memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, yang bisa digunakan untuk melatih pengendalian diri secara kejiwaan. Di sini kita bisa berlatih keteguhan jiwa dalam suasana krisis. (Dimensi psikis)
3. Lapar dan haus juga digunakan untuk mengingatkan kita tentang kondisi orang-orang yang terpinggirkan dan kurang beruntung di sekitar kita. (Dimensi sosial).
4. Lapar dan haus menyebabkan kita teringat terus bahwa kita sedang dalam kondisi 'berlatih' untuk meningkatkan kualitas ketakwaan kita yang berujung pada penyerahan diri kepada Allah, Sang Pencipta Yang Maha Agung. (Dimensi Spiritual).