Sunday, May 20, 2007

Jangan Genit Pada Allah

(Sebuah Pengantar Ringan)


Saking agung dan besarnya ampunan Allah kepada hamba-hamba-Nya, sampai-sampai Nabi Muhammad SAW, bersabda; "Seandainya seluruh muka bumi ini tak ada manusia yang berdosa, maka Allah akan menciptakan makhluk manusia lain yang akan berbuat dosa. Dan ketika manusia itu bertobat, Allah pun terus mengampuni."

Betapa dahsyatnya ampunan Allah dan kekuasaan Allah. Seandainya manusia model Bush pun sirna di muka bumi, bahkan seluruh muka bumi bertobat kepada Allah, maka tak ada lagi perang, penjahat, dan preman.

Bahkan tak ada lagi pelacuran, perselingkuhan, perjudian, pembantaian, dan pemerkosaan. Allah akan tetap menciptakan manusia-manusia model Bush baru. Manusia-manusia Dajjal baru, bahkan para pemaksiat lainnya.

Inilah kebesaran Allah. Kebesaran bukan saja berujung basa-basi ritual, tetapi fakta semesta. Betapa memang peluang dan pintu taubat itu terbuka lebar-lebar, selebar keluasan Ilahi.

Anda jangan menyesali perbuatan keji Anda jika penyesalan Anda hanyalah ungkapan atas kesementaraan nafsu, kejahatan, dan birahi Anda. Karena itu penyesalan di dunia ini hanyalah keluhan atas "rasa hilang" dan "rasa bersalah" atas perjanjian manusia dengan Allah yang disepakati di zaman dahulu.

Kelak di akhiratlah penyesalan yang sesungguhnya terjadi. Semua orang menyesali hidupnya di dunia dan ingin dikembalikan ke dunia. Di akhiratlah sebuah pembenaran mutlak terjadi ketika semua manusia mengatakan; "Benarlah para rasul itu...."

Namun, ada juga manusia yang tidak menyesal. Yakni orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, orang yang tahu haknya sebagai hamba dan haknya terhadap sesama. Karena hal demikian merupakan kesimpulan dari ajaran agama.

Kalau sekadar menyesali kebejatan Anda, berarti Anda telah kehilangan rasa cinta. Kalau hanya menyesali birahi Anda yang liar di tempat maksiat, berarti Anda telah kehilangan titipan Allah dalam proses ujian peningkatan derajat Anda.

Kalau hanya menyesali tindak korupsi dan kemalingan Anda, maka Anda hanya akan terbuang dari interaksi sosial kemanusiaan yang harmoni. Kalau hanya menyesali perzinahan, pemerkosaan, pembunuhan, dan pembantaian Anda, maka Anda seperti kehilangan ke-Maha Indah-an Ilahi dalam maujud ekspresif sifat-sifat agung-Nya.

Untuk apa Anda menumpuk pahala jika Anda merasa hebat dengan amal Anda. Lalu Anda kehilangan Allah saat beramal. Allah tiba-tiba sirna dari hati Anda sebagai tumpuan segalanya. Karena Anda bertumpu pada amal Anda, prestasi ibadah Anda, dan keakuan Anda?

Untuk apa Anda menumpuk kejahatan dan dengan rasa kecewa serta frustasi, lalu Anda membangun lembaga hitam kejahatan. Jika sesungguhnya ampunan Allah itu lebih besar ketimbang kejahatan dunia seisinya?

Untuk apa Anda dikejar rasa bersalah, berdosa, putus asa untuk menghadap Allah, padahal sebelum Anda melakukan tindak dosa, Allah lebih dahulu melambaikan tangan agung-Nya. Allah menyapa dan menghampiri agar Anda minta ampun dengan segala cinta-Nya?

Ahh... di dunia ini jangan terlalu genit kepada Allah. Jangan terlalu su'udzon pada Allah. Jangan sering merasa hina dina sampai Anda ingin menjauh dari Allah. Sebab, terkadang Allah menakdirkan hamba-Nya berbuat maksiat agar si hamba justru lebih mendekat kepada-Nya.

A...B...C...Itu Adalah Allah

Suatu hari seorang sahabat Nabi bertanya; `Wahai Nabi, apabila Al-Qur'an itu bukan makhluk? Lalu apakah huruf hijaiyah, alif, ba', ta', sampai ya' itu makhluk atau bukan?"

"Huruf hijaiyah itu bukan makhluk," jawab Nabi SAW.

"Alif itu adalah salah satu dari nama Allah. Ba' juga nama Allah, ta' juga nama Allah....hingga ya'. Bahkan A...B...C...D...E..dan seterusnya itu juga nama-nama Allah."

Hadits ini dikutip oleh seorang wali besar Syeikh Abdul Qadir al-Jilany dalam kitabnya Al-Ghunyah.

Jadi, jika Allah saja bersembunyi di balik tirai huruf-huruf yang kelak dari huruf itu membentuk suku kata dan dari kata membentuk kalimat, maka setiap kalimat yang baik dan bermanfaat - yang bisa mengubah jiwa kita, pastilah tidak lepas dari rahasia Ilahi yang tersembunyi di balik huruf-huruf-Nya. Karenanya, jika Anda berkata jorok, berdusta, berbohong, menggunjing, memaki, menyakiti dengan ucapan, sesungguhnya Anda telah memanipulasi susunan kata-kata yang terdiri dari Asmaul Husna untuk sebuah kejorokan, kekejian, kejahatan, dan kedustaan. Itulah awal dari sebuah dosa yang muncul dari kata dan wacana.

Seorang sufi ketika ditanya apa anti ucapan-ucapan atau kalamullah dalam Al-Qur’an? Ia hanya akan menjawab; "Ooouh, artinya, semuanya Allah... Allah... Allah... Dari surat Al Fatihah sampai Al Falaq, An Naas, dan seterusnya, semuanya artinya Allah...." Kalimat seorang sufi ini meneguhkan betapa seluruh huruf dalam Al-Qur’an itu adalah Asmaul Husna. Karena itu kita harus suci lahir dan batin ketika membaca Al-Qur’an. Sebab kita sesungguhnya sedang berdzikir menyebut nama-nama Allah Ta'ala.

Keagungan cinta Allah, semakin luhur ketika Allah "sengaja" menirai di balik sesuatu yang tak pernah terduga oleh para hamba-Nya. Termasuk bersembunyi di balik huruf-huruf itu, sampai huruf itu menjadi simbol dari nama Allah.

Jika kita sadari bahwa seluruh suara dan ucapan kita sesungguhnya juga deretan nama-nama Ilahi, kita pasti akan berdzikir kepada Allah. Qiyaaman (ketika berdiri, aktif, dan bergerak), wa qu'uudan (ketika diam, sunyi, dan tak bergerak), wa'ala junuubihim (ketika kita tidur lelap dalam kefanaan hamba), hanya karena kita sadar betapa nafas, simbol, anugerah, dan cahaya Ilahi terus menerus mengitari gerak gerik hati kita, suara yang lahir dari mulut kita, bahkan keluar masuknya nafas kita.

Allah Itu Tidak Ghoib

Sejak kecil, begitu akrab di telinga kita yang menyebut bahwa Allah itu gaib. Bahkan sering orang menegaskan; "terserah yang gaib-lah!", dan sebagainya. Konotasi gaib karena Allah tidak bisa dilihat secara kasat mata oleh kita dan kelak kegaiban Allah sejajar dengan kegaiban hal-hal gaib lain.

Padahal, tidak satu pun asma dan Asmaul Husna (nama-nama agung Allah) yang menyebut bahwa Allah itu gaib, tahu bersifat gaib, atau punya nama al Gaibu di Asmaul Husna. Tidak ada.

Kegaiban Allah itu muncul hanya karena kegelapan kosmos spiritual kita saja yang membuat diri kita terhalang melihat Allah Yang Maha Nyata, Maha Jelas, Maha Dzohir, Maha Batin, Maha Terang Benderang, dan pemilik segala maha.

Sesungguhnya, tak satu pun di jagad semesta ini yang bisa menutupi Allah. Kita mengatakan Allah itu gaib hanya karena menutup diri sendiri saja sehingga tidak bisa melihat Allah. Oleh karenanya Ibnu Athaillah as Sakandary dalam kitab Al-Hikam menegaskan: Bagaimana bisa terbayang ada sesuatu yang menutupi Allah, padahal Dia tampak pada segala sesuatu. Bagaimana bisa dibayangkan sesuatu menutupi Allah, sedangkan Allah tampak di setiap sesuatu. Bagaimana bisa dibayangkan sesuatu bisa menutupi Allah, padahal Allah itulah yang hadir untuk segala sesuatu. Bagaimana dapat dibayangkan jika sesuatu itu menutup Allah, sedang Allah sudah ada sebelum segala sesuatunya ada.

Bagaimana segala sesuatu menutup Allah, sedangkan Allah itu lebih jelas ketimbang segalanya. Dia adalah Yang Maha Esa. Tak ada yang menandingi dan menyamai-Nya. Dia lebih dekat dari urat nadi Anda sekali pun.

Wacana di atas mempertegas betapa Allah itu tidak gaib. Yang gaib justru hawa nafsu kita ini. Manakala kita tidak bisa melihat Allah di balik jagad semesta ini, berarti mata hati kita sedang dikaburkan untuk melihat nurullah (cahaya Allah). Sebab itu, kita harus melihat Allah di mana-mana, kapan saja tiada batas waktu terhingga.

Nurullah adalah awal dari muroqobah kita dan muraqobah adalah awal dan musyahadah (penyaksian Allah dalam jiwa), dan kelak baru mengenal Allah dalam arti yang sesungguhnya. Inilah ma'rifatullah.

Pohon Kegelapan

"Dan ketika Kami katakan kepada Para malaikat, "Sujudlah kepada Adam!" Maka mereka pun bersujud, kecuali iblis. Ia membangkang dan merasa besar diri dan ia tergolong orang-orang yang kafir." (Qs Al Baqarah : 34)

Bahwa perintah sujud kepada Adam bukan bentuk penyembahan malaikat kepada Adam. Tetapi sebagai bentuk penghormatan karena kedudukan Adam lebih tinggi dibanding semua makhluk itu. Para malaikat taat dan tunduk kepada Adam.

Sementara iblis yang memiliki potensi keraguan dan kesangsian mengabaikan perintah Allah itu. Iblis mengabaikan perintah itu karena dia terhijab dari pemahaman hakikat Adam. Hijab itu adalah bentuk wujud Adam saja yang dilihat oleh iblis. Wujud formal dan tekstualnya sehingga iblis kehilangan hakikat Adam.

Padahal kalau iblis tahu akan makna-makna hikmah samawiyah pada diri Adam, pasti ia akan tetap dalam mahabbah menuju ridho Allah ta'ala.

Iblis sendiri termasuk kalangan jin, yaitu kelompok makhluk dari alam malakut paling bawah yang sudah berbaur dengan potensi-potensi kebumian. Ia tumbuh dan terdidik antara fenomena malaikat-malaikat langit untuk memahami makna-makna yang bersifat parsial. Kemudian ia dinaikkan sampai pada ufuk rasional. Karena itu tidaklah aneh jika ada sejumlah binatang yang memiliki "kecerdasan" mendekati manusia.

Iblis menolak terhadap perintah Allah justru karena iblis mengabaikan akal budi dan hikmah yang ada pada dirinya. Sehingga memunculkan sifat takabur terhadap format Adam yang terbuat dari tanah itu.

Iblis terhijab dari memandang hakikat-hakikat Adam dari balik gumpalan tanah itu. Sehingga ia tergolong orang yang kafir sejak azali yang terhijab dari cahaya-cahaya akal budi dan cahaya "perpaduan" ciptaan. Apalagi dan cahaya-cahaya kesatuan.

Maka dari itu, Allah ta'ala selanjutnya berfirman: Dan Kami katakan; "Wahai Adam, hunilah surga, dirimu dan isterimu, dan makanlah kalian berdua, makanan semau kalian. Dan janganlah kalian berdua mendekati pohon ini (Pohon khuldi), yang menyebabkan kalian berdua termasuk orang-orang yang zalim." (Al Baqarah 35)

Siapakah hakikat isteri Adam itu? Ia adalah nafsu yang namanya Hawa. Karena berinteraksi dengan jasad yang bersifat gelap. Hidup itu sendiri jika dimetaformakan pada warna adalah warna hitam. Sebagaimana hati disebut Adam, karena kata Adam itu berkaitan dengan fisik, tetapi tidak bersifat lazim pada karakter. Karena kata adamah berarti kelabu, yaitu warna yang diarahkan menuju warna hitam.

Sedangkan surga tempat ia diperintah untuk menghuninya itu adalah langit alam arwah yang menjadi raudhatul quds (taman suci). Di sanalah keduanya diperintahkan untuk mengkonsumi apa saja. Dari segala makna, hikmah, dan ma'rifah yang sesungguhnya merupakan konsumsi kalbu itu sendiri. Sekaligus menjadi hidangan ruhani dan segala maqam, martabat, derajat, dan tingkat-tingkat spiritual selamanya tanpa ada batas.

Pohon larangan yang secara hakiki tidak boleh didekati oleh Adam dan Hawa' merupakan pohon dzulmah (kegelapan). Karena seluruh elemen duniawi ada di dalam pohon tersebut.

Orang Bodoh dan Orang Pandai

Orang pandai adalah orang yang tidak pernah merasa pandai. Orang bodoh adalah orang yang tak pernah merasa bodoh. Orang pandai, akan menjadi bodoh ketika kejernihan pikirannya diracuni oleh ide-ide bodoh.

Dan orang bodoh manakah yang disebut bodoh ketika orang ini tidak pernah mengikuti hawa nafsunya? Seorang Sufi besar Ibnu Athaillah mengatakan; “Mana ada orang pandai kalau ia mengikuti nafsunya dan mana ada orang bodoh kalau ia mengekang nafsunya?”

Hari ini kebodohan tampak di mana-mana. Bahkan di ketiak setiap orang yang mengaku dirinya cendekia hanya karena ada satu virus hawa nafsu ketika menyelinap di urat nadi mereka. Lalu rakyat semakin bodoh ketika mereka terhempas dalam kepiluan putus asanya. Karena lapisan-lapisan kekecewaan telah menghimpit mereka.

Apalagi mereka terlalu trauma dengan senjata. Bahkan apa yang disebut dengan pendidikan bangsa ternyata mundur sekian puluh tahun dibanding pendidikan tetangga.

Tapi betapa sombongnya mereka yang di atas pundak-pundak mereka itu ada kewajiban yang harus dipenuhi. Kesombongan yang membuat telinga dalam dada dan mata yang ada di balik dada, bahkan sentuhan dari kedalaman dada tersumpal semua oleh perasaan sombongnya. Kesombongan yang menuding orang lain bodoh dengan kacamata kebodohannya.

Tentu kita tidak ingin ada limbah kebodohan nasional ini membanjiri generasi berikutnva. Kalau kita jujur, man kita akui saja kebodohan itu. Kita akui pula kezaliman itu. Kita akui juga pula kelemahan itu. Semuanya agar kita bisa memasuki sebuah proses "pabrikan kecerdasan" bangsa. Yaitu tazkiyatun nafs atau pembersihan jiwa agar kita bisa meraih tathirul qulub (penyucian hati).

Mereka yang melakukan pembersihan jiwa berarti telah menyiapkan diri untuk menerima cahaya-Nya. Mereka yang membeningkan hati berarti akan siap menerima anugerah-anugerah-Nya. Mereka yang mengakui ketololan dan kebodohannya berarti siap menerima pencerahan-Nya. Mereka yang mengakui kezaliman dirinya berarti akan meraih ampunan-Nya.

Tapi siapakah yang mau mengakui semua itu di tengah-tengah arogansi psikologis yang membebal seperti saat ini? Siapakah yang berani mengakui kesalahannya di tengah-tengah tabir tebal dosa-dosanya yang menyelimuti ampunan-ampunan Tuhan? Siapakah yang mau mengakui kekotoran hatinya di saat kotoran menjadi makanan sehari-harinya. Masya Allah!

Melihat Allah di Gang Dolly

Gang Dolly di Surabaya sudah lama telah jadi ideologi besar dunia. Penganutnya telah ikut menebar virus di seantero nusantara. Karena Gang Dolly jadi ideologi syahwatisme, kultur, dan sebagian dijadikan sebagai "agama" para petualang syahwat.

Dan dari gang inilah, seorang mahasiswa peserta pengajian di tempat saya bertanya;
"Apakah seseorang bisa bertemu Allah dan menyaksikan Allah di Dolly atau di pusat perjudian Las Vegas?"


Tentu ini pertanyaan berani. Wajar, karena baru saja saya menjelaskan tentang bagaimana menyaksikan Allah itu. Bagaimana pula penampilan Allah dalam kehidupan jagad semesta ini, termasuk jagad baik dan jagad maksiat?

Jagad peradaban maupun jagad kriminal? Jagad ekstase Ilahiyah dan jagad eksotisme paha-dada koran seks?

"Bisa!" Saya katakan demikian.

Karena siapa pun harus bisa menyaksikan Allah di mana-mana. Termasuk di tempat tumpahnya sperma hina yang haram itu. Dolly misalnya atau sejenisnya. Di tingkat lokal, pinggir jalan, rel kereta, sampai di hotel berbintang, Dollisme sama sekali tidak bisa menghapus pandangan hati seseorang kepada Allah. Hanya saja, ketika kita menyaksikan Allah di masjid, di tempat ibadah, atau di tempat mana kebaikan ditaburkan, rasanya kita begitu jelas melihat Allah dengan keagungan-Nya. Maka di sanalah sesungguhnya penampilan Allah dengan baju nama-Nya: Yang Maha Kasih, Maha Melindungi, Maha Merahmati, Maha Mengampuni, Maha Lembut, dan Maha Mengangkat derajat hamba-Nya.

Tapi apakah Allah itu juga ada di Gang Dolly atau di perjudian Las Vegas? Sama saja! Tetap ada. Hanya saja nama Allah yang tampil di sana adalah nama-Nya Yang Maha Menghina, Maha Menyiksa, Maha Membalas atas perbuatan hamba-Nya, dan nama-nama-Nya yang memaksa.

Bagi manusia yang sadar, ia akan tahu ketika ia ingin meliarkan nafsunya. Maka ia akan tergugah, jangan-jangan Tuhan sedang menghina saya. Jangan-jangan Tuhan sedang menyiksa saya, lalu saya ditakdirkan mengikuti aliran Dollisme. Jangan-jangan Tuhan menyiksa dengan makian yang menjijikkan saya, ketika saya mau berjudi, mau korupsi, mau maling uang negara, atau mau menipu rakyat.

Maka, dengan kesadaran akan penampilan Allah di mana-mana, tanpa ada ikatan warna, ruang, waktu, dan bentuk, sesungguhnya Anda akan bisa mengendalikan diri Anda dalam segala hal.


Nah, belajarlah melihat Allah tidak hanya di tempat ibadah. Tetapi di balik ketiak para pelacur atau di balik tumpukan kertas setan dalam togel, bahkan di balik gambar angka yang penuh dengan api neraka, atau di balik uang korupsi.

Dan (gang) Dolly itu dalam bahasa Arab artinya orang yang tersesat. Tapi, toh pernah disebut agar kita bukan termasuk golongan orang yang tersesat. Waladh-Dholliyn.

Membersihkan Rumah Tuhan

Seluruh semesta raya ini tidak ada artinya apa-apa dibanding Allah. Berarti segala yang ada, tidak ada yang mampu menampung Allah. Segalanya tidak bisa menjadi tempat semayam Allah. Kecuali hati hamba-Nya yang beriman. Maka di sanalah Allah bersinggasana.

Hati orang yang beriman adalah rumah Allah. Dan karena itu, hati kita adalah amanah Ilahi untuk dijaga, dirawat, dan dirias agar menjadi elok. Hati kita adalah ruang di mana pertemuan dialogis (munajat) antara hamba dengan Rabb berlangsung.

Apabila hati kita tidak bersih, ruang jiwanya tidak bercahaya, sudut-sudutnya tidak aman dari ancaman syetan, tentu tidak ada lagi harapan untuk sebuah istana Ilahi dalam hati kita.

Dalam menjaga dan membangun rumah Tuhan dalam jiwa, ada dua cara yang dilahirkan oleh tradisi keagamaan kita yang agung.

Pertama tradisi tazkiyatun nafs yaitu tradisi membersihkan kejahatan jiwa yang dimulai dengan tobat. Dalam jiwa kita ada sisi gelap yang dipenuhi oleh virus-virus paling menjijikkan. Dimulai dengan virus iri-dengki, lalu berkembang menjadi virus takabbur, riya, ujub, mencintai dunia, kedzaliman, kefasikan, kemunafikan, dan kemudian akan menjurus pada kekufuran.

Semua virus itu harus dibersihkan melalui taubat dan dzikrullah. Dari sinilah muncul paradigma kedua melalui tathirul qulub. Yaitu menyucikan hati melalui riasan etika atau akhlak hamba dengan Allah ta'ala.

Penyucian hati berbeda dengan pembersihan jiwa. Kalau penyucian hati lebih menekankan pada riasan pasca pertobatan, lalu ia memasuki wilayah spiritual dengan riasan-riasan maqamat demi maqamat. Sedangan pembersihan jiwa adalah upaya untuk melakukan asketisme secara total. Baik lewat tobat, zuhud, wara', dan sebagainya.

Dua proses itu lama sekali tidak tergantung dengan lifestyle dan penampilan orang per orang. Orang yang dengan jubah dan jenggot serta tasbih di tangannya belum tentu ia orang suci atau sufi. Jangan-jangan karena ia pamer jubah dan jenggot malah muncul riya' dan takabur atas nama syiar. Siapa tahu justru mereka yang berpenampilan perlente dengan dasi dan jas dandy serta sepatu mengkilat malah lebih dekat dengan Allah ketimbang Anda yang memakai baju-baju religius?
Jangan-jangan mereka yang pakai rok mini itu memiliki keakraban asketik dengan Allah dibanding Anda yang berjilbab. Siapa tahu?

Dalam wilayah ruhani, baju dan bendera harus dibuang. Bahkan prestasi amaliyah sebagai tempat gantungan masa depan di akhirat pun harus dikubur habis-habis. Pada saat yang sama, hanya Allahlah tempat bergantung. Bukan amal, bukan prestasi, dan bukan pula hasrat-hasrat luhur. Bahwa kita memang sedang beramal bagus. Itulah indikator bahwa kita berada dalam lindungan Ilahi.

Tetapi sebaliknya ketika kita berbuat mungkar dan maksiat itu pertanda kita sedang dihina oleh Allah. Astaghfirullah!

Kelak jika dua cara pembersihan dan penyucian hati itu berlangsung, kita akan memasuki ruang zinatul asrar. Yaitu ruang rahasia yang menjadi manifestasi kemahaindahan Ilahi. Maka di sana rumah Tuhan, bukan saja bersih, tetapi telah menjadi arasy yang hakiki.

Di Sini Bunuh Diri, Di Sana Iblis Berpesta

Bunuh diri marak kembali di negeri ini. Tanda-tanda zaman kita telah mencapai nucleus gelapnya ketika iblis dengan bermilyar-milyar setannya menggerakkan pesta ritual melalui gebyar peradaban liar. Lalu limbah-limbahnya adalah keputusasaan, kekecewaan, frustrasi, lalu bunuh diri.

Saya tidak bisa membayangkan ketika Michael Jackson menyihir jutaan penonton, kemudian histeria itu telah mencapai orgasmeus ekstasenya. Kemudian dengan tiba-tiba ia berteriak; "Mari kita lakukan bunuh diri masal!" Apa ya, yang bakal terjadi?

Di Amerika Serikat, bunuh diri masal pernah dilakukan aliran sesat Kristiani dan begitu juga di beberapa negeri Afrika. Bahkan Asia juga pernah terjadi. Tapi bunuh diri individual, rupanya tak kalah pentingnya untuk disimak dengan segala kekecewaan kita. Kenapa mereka lakukan bunuh diri? Apa yang menjadi tujuan mereka yang bunuh diri?

Iblis memang mencekam. Pada hari-hari terakhir ini, dunia kita seakan mengerikan. Manusia puas ketika membunuh sesama manusia dan rasa puas itulah gema dari pesta-pora iblis dan setan-setannya. Puncak pesta itu justru datang ketika manusia membunuh dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain. Sebab, satu orang bunuh diri bisa memberikan energi besar yang luar biasa bagi milyaran setan.

Orang bunuh diri menganggap sebagai jalan terakhir atas keputusasaan pada kehidupan. Jalan terakhir yang semakin gelap yang diyakini sebagai cara mudah menyelesaikan masalah. Tetapi itulah jalan terakhir memasuki gerbang raksasa keputusasaan, sumber dari segala sumber masalah kehidupan itu sendiri.

Saat bunuh diri, manusia kehilangan Tuhan. Saat bunuh diri manusia telah menuhankan dirinya sendiri, lalu ia "membunuh" Tuhan yang bersemayam dalam kalbunya. Seketika kegelapan paling hitam mencekik rasa Ilahiyahnya sampai batas di mana berhala kegelapan adalah persembanhan atas kekecewaannya. Mereka yang bunuh diri menjadi kafir. Dia telah menciptakan berhala yang tentu saja anti-Tuhan. Bunuh diri ini berbeda dengan sebuah perlawanan terhadap diri sendiri atau membunuh ikon nafsunya.

Nabi pernah bersabda; "Matilah engkau sebelum engkau mati." Hadits ini bukan hadits untuk bunuh diri. Tapi hadits untuk hidup yang hakiki. Matikan nafsumu, sebelum nyawamu mati. Matikan egoismemu sebelum engkau kembali pada Aku yang hakiki. Agar dirimu bisa menikmati hayatul qalbi (hidupnya hati).

Orang yang mematikan hawa nafsunya berarti telah mampu mengendalikan nafsu itu sendiri. Juga mampu mengendalikan sekaligus jiwanya untuk hidup bersama Allah. Mereka yang bersama Allah senantiasa jauh dari imajinasi tentang bunuh diri, apalagi kekecewaan sampai pada batas; "Ingin mati saja!"

Bersama Allah berarti bersama cahaya Ilahi. Cahaya yang mengusir kegelapan, bahkan kegelapan paling mengerikan, bunuh diri!.

Pelacur pun Bisa Lebih Mulia

Pelacur jangan dihina. Walaupun ia telah melakukan aksi penjajahan syahwat Anda hingga Anda terjebur dalam sirkuit kebinatangan. Kenapa? Siapa tahu akhir hayatnya ia husnul khotimah (baik di akhir hayatnya), sedangkan Anda su'ul khotimah (buruk akhirnya). Hanya Allah yang tahu.

Seorang germo di Subaraya, Jawa Timur, benar-benar mengagetkan umat. Kenapa? Karena ia melakukan tindak penggermoan itu demi untuk pendidikan anak-anaknya. Dan anehnya anak-anak germo yang kini mantan pelacur itu menyekolahkan anak-anaknya semua di pesantren. Bahkan diantara putra putrinya mahir ilmu agama dan hafal Al-Qur’an. Tidak jelas, apakah anak-anaknya itu tahu pekerjaan ibunya seperti itu atau tidak. Namun ketika ditanya kenapa ia melakukan penggermoan itu? "Ini adalah pekerjaan, dari pada saya korupsi seperti pejabat-pejabat itu atau maling, kan lebih mulia seperti ini, sama-sama enaknya...."


Lain lagi di Madiun. Seorang pelacur meninggal 10 tahun silam. Ketika kuburnya digusur oleh pembangunan, tubuh dan kafannya masih utuh, mulus, dan tak sedikit pun berubah. Subhanallah. Entah taubatan nasuha seperti apa yang dilakukan pelacur itu, tetapi seluruh warga kampung itu menyaksikan bahwa ia memang seorang pelacur.

Para germo maupun pelacur di atas tentu hidupnya lebih luhur ketimbang seorang pejabat yang KKN, seorang pimpinan parpol yang mengatasnamakan kepentingan rakyat, tetapi sesungguhnya melakukan kejahatan terhadap rakyat. Pelacur itu lebih mulia, bahkan ketimbang kiai, yang melacurkan ilmu agamanya untuk dunia, menperjualbelikan ideologi dan keyakinannya untuk kepentingan sesaat belaka. Bahkan yang mencari popularitas untuk kepentingan perut dan keluarganya.

Tapi Anda jangan bercita-cita jadi pelacur atau penjahat. Mereka pun dalam hidupnya tak terbayang, sekali pun dalam mimpi, untuk menjadi pelacur dan penjahat. Kecuali para pejabat yang mengincar jabatan basah dan empuk demi meraih setoran dan peluang KKN di sana. Mereka ini memang sejak dini bercita-cita jadi raja KKN, cita-cita hina dina yang lebih hina ketimbang pelacur dan penjahat.

Di Bangunsari, Surabaya, setiap Kamis sore ada pengajian yang dihadiri ribuan pelacur. Mereka fasih membaca Al-Qur’an, berkerudung, dan berjilbab. Tapi aksi penjajahan syahwat itu mereka lakukan demi uang dan krisis ekonomi. Paling lama 10 tahun mereka melacur dan setelah mendapatkan jodoh atau modal ekonomi. Kemudian mereka berhenti.

Tentu, mengumpulkan modal ekonomi seperti mereka ini lebih mulia ketimbang wakil rakyat atau pejabat yang aji mumpung. Lalu mengumpulkan uang untuk kepentingan dirinya dan keluarganya. Sementara pelacur yang diwakili aspirasinya terbuang begitu saja.

Sayang sekali para pelacur itu tidak memiliki parpol. Jika ada pelacur yang jadi wakil rakyat, pasti banyak terkuak betapa pelacuran politik di Senayan lebih memuakkan ketimbang pelacuran di sepanjang rel kereta api.

Fakta di atas mengingatkan kejahatan-kejahatan George W Bush dan Tony Blair di Irak. Atas nama Tuhan dan kemanusiaan, mereka melakukan tindak kejahatan paling sadis sepanjang sejarah. Bahkan seorang penjahat atau pun seorang pelacur akan sangat menentang kejahatan dua manusia jahat itu. Tetapi memang demikianlah jalannya sejarah. Kita lihat saja bagaimana Allah meruntuhkan kekuatan Amerika dan Inggris yang bertahun-tahun hidup dalam keangkuhan dan kesombongan. Hingga akhirnya nanti kehancuran budaya, kemanusiaan, dan peradaban AS-Inggris lebih hina dibanding keruntuhan dan kekalahan politik.

Allah bersama orang-orang yang menjerit hatinya, yang tertindas posisinya, yang dilempar harkatnya. Bahkan Allah pun bersama seorang pelacur yang hatinya setiap malam menangis dan menjerit oleh ketertindasan sosial ekonomi, lalu jeritan itu didengar Tuhan, bahkan tangis taubatnya meluluhkan kasih sayang-Nya sebagaimana pelacur di Madiun itu.

Doa orang-orang tertindas, tersingkir, dan terjepit sangat mustajab (dikabulkan). Begitu juga doa orang-orang fuqoro' dan kaum miskin. Karena itu, jangan hina mereka, karena jika mereka enggan berdoa. Maka kalian para orang kaya, orang yang berkuasa yang sewenang-wenang, nanti Anda akan runtuh dalam kehinaan Anda sendiri.

Kejahatan Itu Takdir Juga

Sosio-psikologis kejahatan biasanya muncul dari watak potensial yang dikukuhkan oleh dorongan lingkungan kejahatan. Bisa karena protes terhadap kehidupan sosial atau karena ada DNA kejahatan yang mengalir pada dirinya. Tetapi sesungguhnya, apakah tindak kejahatan itu termasuk skenario Allah atau murni perbuatan manusia? Sebab, ada kalanya orang berbuat nekat karena protes pada sesama, protes pada kehidupan sosial, juga protes terhadap Tuhan. Ada gugatan yang mereka saksikan lewat aksi jahat itu sebagai protes, atau lebih banyak kejahatan itu muncul sebagai mafioso komunitas gelap dalam jiwa manusia.

Menurut logika syariat, kejahatan - dengan alasan apa pun juga - adalah bagian dari usaha dan rekayasa manusia. Karena itu manusia mendapat sanksi yang tegas dalam syariat. Dalam Al-Qur’an ditegaskan, "Apa saja yang buruk, itu datang dari dirimu, sedangkan apa saja yang baik, datang dari Allah." Artinya, jika seseorang itu tidak berselaras dengan kehendak Allah yang tertuang dalam aturan-aturan-Nya, maka pada saat yang lama kita terlempar di jurang kejahatan.

Tetapi menurut hakikat, tindakan baik dan buruk itu adalah takdir Allah sebagaimana kita yakini dalam rukun iman pada takdir. Baik dan buruk itu dari Allah. Tetapi dunia hakikat itu hanya wilayah Allah, bukan wilayah manusiawi. Wilayah manusiawi hanya bisa beraksi di syariat. Soal koordinasi dengan dunia hakikat, Allah sendiri yang mengaturnya.

Menurut hakikat Nabi Adam AS, semua itu tidak salah. Sebab beliau tidak bisa lepas dari skenario takdir Allah yang memang harus demikian sebagai lakon hidupnya. Tapi cara pandang ini hanya berlaku pada situasi dan kondisi yang berlalu dan terlewati. Sebesar apapun dosa yang kalau kita yakini sebagai bagian dari rencana dan takdir Allah, maka dosa itu akan kecil sekali. Tapi, sekecil apapun sebuah dosa yang kita rencanakan, lalu kita kaitkan sebagai takdir Allah, maka rencana itu pun sudah merupakan dosa yang amat besar.

Bagi para pelaku dosa besar di masa lalu, Anda jangan merasa bahwa yang sudah berlalu itu, Tuhan tidak akan campur tangan. Bahkan semuanya bagian dari cerita dalam riwayat hidup Anda yang sudah digaris Allah.

Agar apa? iya, agar Anda lebih optimistis menyambut masa depan Anda bersama Allah.

Kenapa ada ayat, bahwa semua yang jahat itu dari manusia, sedangkan yang baik dari Allah? Benar. Keburukan dari kita manakala ditinjau dari segi logika dan syariat. Bahkan puncak pemikiran logis pun akan menjustifikasi setiap perbuatan baik memang dari Allah.

Meskipun, menurut dunia batin dan hakikat batin kita yang menjadi wilayah iman kita, baik dan buruk itu dari Allah juga. Namun, dunia batin tidak bisa dilogika dalam akal. Hanya gerak-gerik batin saja yang memahami. Sehebat apa pun akal dan fikiran Anda pasti tidak akan menerima baik dan buruk itu dari Allah. Makanya jangan menyombongkan akal Anda, malah Anda nanti bisa jadi penjahat secara diam-diam.

Inul dan Kekasih Allah

Ainul Rokhimah, gadis Pasuruan, Jawa Timur, itu telah mengebor goyangnya sampai ke ubun-ubun kebudayaan. Lalu, limbah banjir dari aliran sungai seni bangsa kita menggeliat dengan bau anyir antara protes, keluhan, simpati, dan kebutuhan menikmati.

Mengapa Inul muncul di permukaan sekarang ketika para pemimpin kita sudah tidak waras lagi, para ulama dan ustadznya sudah terselubung duniawi, dan kesenian kita kehilangan hakikat keindahannya? Apakah Inul bagian dari setan atau justru sebaliknya? Apakah Inul memang diturunkan Tuhan untuk mengoyak kelelapan para tokoh, kealpaan para ulama, kesetanan para ahli KKN, atau kemunafikan para pemimpin kita?

Inul hadir tepat pada waktunya. Pas dengan puncak syahwat kebudayaan kita. Dia berdiri di titik poros antara dua gelembung; pantat nafsu kebinatangan kita, dan memutar bagai arus gelombang yang melemparkan akal sehat kita. Lalu sambil tertawa terbahak-bahak, seakan Inul melambaikan tangan; “Aku tidak ada urusan dengan jurang-jurang bencana yang kau gali dengan ambisi nafsumu. Aku bebas dan merdeka. Karena aku dihadirkan Tuhan untuk menyeleksi manusia yang masih punya peradaban dan manusia yang berselimutkan kegelapan.”

Lalu betapa dahsyatnya gelombang Inul bisa mengalahkan gelombang protes atas Amerika Serikat yang hendak menghantam Irak.

Inilah lambang dari Allah melalui Inul. Ketika Allah ingin menjerumuskan hamba-hamba-Nya dalam kehinaan, agar kekasih-kekasih Allah terpilih dalam radius yang jauh dari putaran bor pantat Inul.

Karena itu, Inul adalah sinisme terhadap keseharian kita, kesenian kita, politik kita, dan turut mewakili daya dorong atas kriminalitas kita, sekaligus penyimpangan yang sudah lama berkedok atas keindahan kita. Lalu kemunafikan kita dalam dua mata, satu tertutup untuk memprotes hadirnya tarikat syahwat Inul. Sementara satu mata kita menikmatinya sampai kita berani melawan instrumen Tuhan yang sesungguhnya.

Akuilah, kemunafikan telah menjadi rasa bangga Anda. Dan Anda pelihara bertahun-tahun dalam jubah alibi Anda.

Lebih munafik lagi mereka yang kontra Inul. Setiap hari dengan bangganya, memanfaatkan kehadiran Inul sebagai musuh bersama untuk kepentingan politik mereka atas nama kesucian Tuhan. Ini adalah kebusukan moral paling jahanam ketimbang goyang pantat atau pun kentut Inul sekali pun.

Semoga Inul menyadari dan punya pilihan. Betapa kehadirannya adalah lambang dan degradasi peradaban dan ia membawa misi besar dari Tuhan. Bahwa kehadirannya adalah untuk memperingatkan kealpaan dan kejahatan eksotisme yang menjadi industri ekonomi dan politik kita. Asal ia menyadarinya, siapa tahu, Inul kelak menjadi kekasih Allah.

Sebab setelah mission imposible-nya sukses, Inul kembali dalam goyangan dada yang tidak lagi mengebor magma setan dalam perut bukit pantatnya. Tetapi mengebor kedalaman hati untuk tahlil, yang maksyuk dalam tauhid alam semesta raya. Siapa tahu!

Gus Mus dan Inul

Masih soal Inul Daratista. Tampaknya, saat ini, di berbagai penjuru kota di tanah air ini, goyang Inul tidak hanya menciptakan Inulmania. Mahasiswa pun tak segan membahasnya. Dan hasilnya, Inul kini sudah jadi kiblat penyanyi dangdut di Indonesia.

Kontroversi Inul tidak hanya sekadar jadi kiblat dangdut saat ini. Tapi juga telah melahirkan sebuah mahakarya seorang ulama besar di negeri ini, KH Mustofa Bisri (Gus Mus). Gus Mus yang terkenal sebagai kiai dan budayawan, seniman serba bisa, telah mendapatkan ilham besar dengan menggoreskan lukisan Inul di atas kanvas. Saya jadi agak tersedak, bukan karena lukisan yang dianggap kontroversial, lebih dari kontroversi Inul. Tetapi saya ingat tulisan saya beberapa saat lalu, "Inul dan Kekasih Allah." Siapa tahu, kelak Inul justru yang menjadi kekasih Allah.

Dalam maha karya Gus Mus, Inul sedang menari, meliuk-liuk, sementara dalam goyangan itu, ia dikelilingi para kiai yang sedang berdzikir. Sungguh luar biasa, bagaimana kritik Gus Mus terhadap dunia ulama mutakhir Indonesia. Khususnya pada MUI yang paling punya hobi berteriak; haram! haram! haram! Layaknya seorang pesilat yang baru saja belajar beberapa jurus, sudah petentang petenteng kayak ayam jago yang menantang siapa saja dengan kokoknya.

Justru kalau kita menyimak karya Gus Mus itu, mestinya para ulama menangisi dirinya sendiri. Bagaimana seharusnya mereka tafakkur dan tadzakkur, taqarrub dan mujahadah di hadapan Allah, memohon ampun, dan ridho-Nya. Malah yang terjadi sebaliknya. Mereka lebih banyak mengumbar arogansi dan retorika seperti taman kanak-kanak di DPR.

Kalau toh nama Allah sering disebut, dzikir digelar, mereka tak lebih dari dzikir syahwat, taqarrub nafsu dengan bibir dan fakir menyebut nama Allah, tetapi hatinya mabuk dalam syahwat duniawi, mengikuti goyang pantat syaithani, serta setumpuk proposal yang disodorkan kepada Tuhan. Seakan-akan mereka paling berhak mendapatkan prioritas "sowan" kepada-Nya. Sungguh ironis!

Maka benarlah Gus Mus dengan goresan ke-Inulannya. Ternyata, dengan mudahnya, Allah menyeleksi kualitas ulama kita melalui goyang Inul. Dan yang paling rendah kualitasnya justru yang paling protes terhadap Inulisme. Jangan-jangan ini ibarat kotoran ayam yang semakin dibungkus-bungkus malah semakin merebak. Semakin menandingi goyang Inul lewat protesnya, semakin menunjukkan kerendahan kualitas spiritualnya di depan Allah. Jangan-jangan begitu.

Lalu apa bedanya Inul dengan Gus Mus? Sama. Artinya sama-sama kontroversial, sama-sama NU-nya, sama-sama seniman, sama-sama memiliki kemampuan menggoyang, sama-sama hobi berdzikir. (Ah, Anda kan tidak tahu bagaimana gemuruh hati Inul dalam taqarrub di hadapan Allah? Yang Anda tahu hanya pantatnya bukan?)

Perbedaannya? Bedanya hanya tipis antara Gus Mus dengan Inul. Gus Mus adalah sosok yang datang mewakili gugusan cahaya keindahan dan keagungan Ilahi untuk merobek kemunafikan budaya keagamaan, sementara Inul datang juga membeberkan sebuah lanskap budaya yang menunjukkan betapa munafiknya mereka yang sok mengharamkan Inul. Jika Inul bisa bergandeng tangan dengan Gus Mus, orang-orang yang arif justru akan memandang dengan mata sejuk dan bibir tersenyum: "Teater Ilahiyah, memang dahsyat!"

Gus Mus menggoyang budaya melalui ketajaman penanya, kuas-kuasnya, dan mutiara katanya. Sedangkan Inul menggoyang budaya melalui pantatnya untuk menunjukkan betapa para pemimpin dan tokoh-tokoh kita seringkali menggunakan pantat dan sekitarnya dalam menyelesaikan perjuangan bangsa ini.
Seperti Joko Tingkir dengan Kebo Ndanunya yang mengamuk itu. Kerbau Joko Tingkir adalah lambang betapa para raja, para pemimpin ketika itu tak lebih bodoh dari kerbau, dan hal demikian hari ini bisa kita lihat.

Apa bedanya sekitar pantat Inul dengan wajah pemimpin kita, bahkan sebagian tokoh agama kita? Nah sekali lagi, jangan-jangan Inul diciptakan Tuhan untuk membuka mata kita karena mungkin dia sudah jadi kekasih Tuhan.

Sadisme, Dakwah dan Kesenian Kita

Sadisme ternyata tidak hanya merambah masyarakat preman, tetapi muncul premanisme di kesenian kita. Kalau sadisme preman memang kasar, fisik, dan kelihatan oleh mata kepala.

Tetapi sadisme kesenian kita? Tidak kasat mata, tiba-tiba seorang seniman sudah terluka jiwanya, terbunuh karakternya, dan terkulai masa depannya. Ini tentu lebih sadis lagi.

Sadisme juga muncul di dunia politik ketika seorang yang kritis harus terpasung tangan kakinya. Terbungkam mulutnya dan terkekang aktivitasnya. Sadisme juga muncul dalam agama. Ketika pemikiran agama harus divonis hukuman mati oleh tokoh yang mengatasnamakan tokoh agama atau dengan membunuh karakter pemikiran itu.

Rupanya sudah banyak orang yang tidak sabar untuk mengikuti langkah sadisme George W. Bush yang telah membunuh secara sadis lewat alibi perangnya di Irak. Rupanya, hobi membunuh ini telah benar-benar nyata sebagaimana diramalkan oleh para malaikat. Di saat mereka protes kepada Allah, kenapa harus manusia yang punya hobi menumpahkan darah dan merusak tatanan bumi yang harus dijadikan khalifah?

Mungkin, memang sudah banyak manusia yang keburu nafsu ingin menjadi Tuhan.

Nah, kini banyak orang terpasung karakternya secara sadis oleh kesombongan dan kemunafikan. Inilah yang disebut sebagai amar ma'ruf nahi mungkar sepihak.

Sepihak yang lain, berisi lahan kekuasaan dan wilayah sakralnya. Banyak iri dan dengki atas nama amar ma'ruf nahi mungkar. Bahkan atas nama Tuhan.

Banyak atas nama rakyat lalu rakyat jadi perasan keringat untuk dijadikan pestanya. Banyak jubah lengket di tubuh, tetapi hanyalah kain gombal yang dipenuhi dengan bau apek kebusukan hatinya.
Banyak tasbih diputar-putar di tangan dan dipamerkan atas nama tetapi ternyata hanya ingin menyiarkan kebanggaan hatinya atas amal perbuatan riaknya. Ini sungguh sadis.

Apakah itu sebuah kejahatan? Anda bisa menilai sendiri. Kira-kira kejahatan paling sadis itu yang ada di sebelah mana?

Setiap perjuangan memang membawa dampak iri dan dengki. Setiap kesuksesan juga membuahkan sikap segolongan orang yang sinis. Setiap kejatuhan juga tidak jarang membuahkan sorak sorai pesta para pendengki.

Kesenian kita sesungguhnya telah lama ternoda. Yang menodai adalah para penikmat, industri, dan para seniman itu sendiri. Dan noda paling menyedihkan adalah noda kefasikan dalam dunia seni. Yaitu, seni dan seniman yang hanya mengumbar kata dan kreasi. Tetapi tanpa ruh dan hati, apalagi filosofi masih kosong.

Kesenian yang mengumandangkan ayat-ayat Al-Quran dan dzikir dalam teaterikal sembari menangis-nangis pun bisa lebih berbahaya dan membahayakan eksistensi agama. Karena agama dijadikan alat profanisme, propaganda, dan pelampiasan emosi.

Tentu masyarakat kita akan menilai, bahwa keindahan yang luhur saat ini tidak ada yang melebihi kejujuran dan ketulusan. Dan jika seni disampaikan dengan tidak jujur dan tulus, justru menjadi bagian dan kriminalitas seni itu sendiri.

Dan para seniman mesti bersatu untuk memboikot premanisme psikologis terhadap kreativitas seni. Anda bisa bayangkan, jika Anda seniman, lalu sudah banyak seniman menjadi dewa, tuhan-tuhan kecil, dan berhala. Lalu secara diktator ia menyiapkan penjara, terali besi jiwa, dan pedang-pedang keangkuhannya untuk membabat seluruh kesenian. Itulah tradisi kekuasaan kesenian.

Berkesenianlah yang indah dan merdeka. Karena itu para ulama dan kiai, jika berdakwah mesti dengan seni yang tinggi. Bukan seni yang mengerikan dan sadis.

Malah dakwah Anda akan ditinggal lari umat manusia sebagaimana dalam Al-Quran. Memang, kita sudah kehilangan rasa cinta dan kasih sayang, rasa maaf dan ampunan. Termasuk dalam kesenian kita.

Allah dan Keringat Pembantu

Berita sepekan lalu di media ibu kota seputar sadisme angkara murka, antara juragan pada pembantu rumah tangga, sangat menjijikkan. Rupanya para juragan, tuan, dan majikan sudah mulai kebelet jadi Tuhan, dengan kesewenangannya mereka menyiksa pembantunya, bahkan ada yang memperkosa, menyetrika punggungnya, dan mengepruk kepalanya.

Ketika kisah Sumanto, sang kanibalis itu digelar, bangsa kita merana. Lalu ketika muncul rentetan penyiksaan pada PRT, kita juga benar-benar sudah tersudut. Baik secara moral, harga diri, maupun kemanusiaan. Padahal; “Keringat pembantu, buruh, atau pekerja itu jika ditimbang nilainya sama dengan darah para syuhada.” Allah senantiasa membelai rambut pembantu, mengelus dadanya, memijit tangannya, dan mengusap keringatnya.

Tiba-tiba seorang juragan menyiksa pembantunya dengan menyuruh menjilati muntahan dari bekas muntaber anak juragan itu. Begitu juga hanya karena masalah kecil kepala pembantu kena kepruk kasar majikannya. Ini benar-benar zaman gila, edan, setan.

Coba renungkan wahai para juragan, majikan, dan tuan, jika Anda dulu ditakdirkan jadi pembantu rumah tangga, mendapatkan majikan dan juragan seperti Anda, apa yang hendak Anda perbuat? Tapi untunglah kalian ditakdirkan jadi manusia. Padahal mestinya juragan dan majikan seperti Anda ditakdirkan jadi binatang.

Kita ini hanyalah budak, buruh, dan abdi Tuhan. Sekaya apa pun harta Anda, setinggi apa pun kedudukan Anda, sehebat apa pun kekuatan Anda, secantik apa pun rupa Anda, seterkenal apapun nama Anda, sesungguhnya Anda juga seorang budak, seorang abdi dan hamba Tuhan. Anda dan pembantu Anda sama di depan Allah. Yang membedakan Anda adalah ketakwaan.

Ketika Anda membenci pembantu Anda, pada saat yang sama Anda telah membenci Allah. Karena pelupuk Allah senantiasa menggenangkan air matanya ketika para pembantu dengan ketulusan jiwanya bekerja pada Anda dan di malam-malam yang dingin ia diselimuti kelelahan dan rasa sunyi yang mencekam jiwanya.

Tentu, jika Allah menilai para hamba-Nya dengan ketulusan dan kecintaan hamba, maka Anda para majikan mesti memandang para pembantunya sebagai sesama hamba dan yang paling dicintai Tuhan adalah yang paling mencintai sesamanya. Karena itu jadikanlah pembantu itu seperti keluarga dan darah daging Anda. Tanpa mereka, Anda adalah tuan rumah sekaligus seorang pembantu.

Para majikan biasanya tak mau disalahkan. Walaupun anda benar, kalau Anda merasa paling benar sendiri, berarti kesombongan dan kecongkakan menjadi kenikmatan Anda. Pada saat yang sama sesungguhnya Allah sedang menghina diri Anda, lebih hina dari setan sekalipun.

Kita perlu etos kerja yang saleh. Baik antara pembantu dan majikan, pengusaha dengan karyawan, atau buruh dengan juragan. Para juragan selalu banyak menuntut kesalehan buruhnya, sementara buruh juga sering menuntut keadilan dan kemuliaan hati juragan. Inilah yang harus dicarikan titik temu agar gairah kerja dan kemanusiaan memiliki arti yang mulia dalam sejarah peradaban pembantu dan juragan.

Sabda Nabi; “kefakiran itu menjurus kekufuran”.

Jika kefakiran buruh terus dieksploitasi juragan, pertanda juragan telah menumpuk kekufurannya. Begitu juga kekayaan itu menjurus kesombongan. Jika kekayaan tidak merata, maka tak akan terdengar lagi doa-doa orang yang tak berpunya.

Nikmatnya Selingkuh, Muaknya Dosa

Selingkuh itu nikmat," kata para peselingkuh. Kenapa? Sebab dalam perselingkuhan ada tantangan dan petualangan. Dalam petualangan, ada pemanjaan terhadap nafsu yang dikeluarkan dari kerangkeng kebenaran dan kejujuran.

Lalu ada dosa yang dijubahi oleh rasa takut dan khawatir. Ada rasa nikmat yang disembunyikan dalam kesemuan dan penyimpangan. Itulah nikmatnya kegelapan.

Dalam statistik perselingkuhan pria lebih menonjol. Walau pun sesungguhnya para wanita juga menginginkan perselingkuhan ketika rumah tangganya mulai tidak harmonis. Pria pun berselingkuh disebabkan adanya faktor elementer dalam hubungan suami istri mulai keropos.

Ada yang berselingkuh karena sekadar iseng atau menikmati kejenuhan. Ada juga yang berselingkuh dengan serius sampai tenggelam dalam selimut nafsunya. Ada yang berselingkuh karena memang ia petualang eksotis. Ada yang berselingkuh karena perselingkuhan tidak lagi menjadi norma tetapi memang menjadi bagian dari ideologi liberalisme. Dan yang paling aneh adalah jika berselingkuh itu sebagai status sosial dan label kejantanan.

Rumahku adalah syurgaku. Kata itu paling populer dalam agama. Elemen-elemen surgawi di era modern telah sirna dari tiang-tiang penyangganya. Para penghuni rumah itu telah merobohkan sendiri melalui pengeroposan psikologisnya setiap saat, setiap hari, setiap minggu, dan seterusnya. Lalu roboh diam-diam. Bahkan kekecewaan itu ia bangun dengan kekecewaan berikutnya: perselingkuhan.

Tetapi, sesungguhnya juga bukan karena surga rumah tangga yang utuh itu dirobohkan oleh penghuninya. Namun juga oleh tetangga, teman di kantor, eksotisme di luar, industri eksotisme, dan fasilitas yang memanjakan.
Sudah waktunya pasangan-pasangan membangun masa depan muthmainnah (ketentraman dan kedamaian). Syaratnya sederhana. Memulai pandangan hidup dengan mengembalikan usaha, ikhtiar, dan kegagalan kepada Allah.

Ketentraman dan kedamaian akan terus sirna manakala jiwa Anda tidak pernah kembali kepada Allah sebagai tujuan hidup. Bahkan ketika Anda masih mengembalikan prestasi yang Anda peroleh saat ini sebagai upaya dan daya Anda sendiri. Bukan sebagai Anugerah Allah dan Anda pun akan terus digoda oleh perselingkuhan.

Perselingkuhan, karenanya adalah eksploitasi dari nafsu lawwamah. Nafsu yang ambisius terhadap hal-hal yang hedonis, materialistis dan kemewahan lainnya. Apalagi dunia lawwamah telah muncul dalam tawaran pesonanya melalui goyang para inulmania, pusar perut Para wanita, seksisme yang berbunga di sejuta trotoar dan etalase, dalam prostitusi kebudayaan kita.

Ibu-ibu sangat membenci perselingkuhan. Kaum perempuan lajang yang sedang berpacaran juga paling dendam dengan perselingkuhan. Dan sesungguhnya, kaum pria juga membencinya setengah mati jika pasangannya berselingkuh. Tetapi kesimpulan dan semua perselingkuhan di dunia ini hanya karena seluruh pasangan telah kehilangan Tuhan dalam harmoninya.

Membangun kejujuran itu sulit. Menjadi tidak sulit ketika Anda mulai belajar jujur. Jujurlah kepada Allah dengan mengatakan apa adanya kepada-Nya. Minus dan plus diri Anda. Katakan dosa-dosa Anda kepada Allah, niscaya Allah memeluk Anda dengan pelukan yang lebih membahagiakan ketimbang keinginan bahagia semu di balik perselingkuhan itu.

Istri Cerewet dan Karomah Kyai

Konon hiduplah seorang kyai yang sangat alim. Di dalam dirinya jauh dari penyakit hati. Sifat sombong, rakus, iri, dengki, adigang-adigung adiguno, dan kikir sedikit pun tak berani menempel dalam relung hatinya.

Sebaliknya, yang selalu terlihat bersinar-sinar menyilaukan seperti sinar lentera di kegelapan malam adalah semua sifat-sifat utama. Sabar, narimo, tawakal, jujur, loman, dan ngalah.

Dalam setiap muthola'ah di serambi masjid kecil di pesantrennya, sang kiai tak henti-hentinya mengingatkan ratusan santri yang berguru kepadanya. Mereka menasihatkan ngugemi sifat-sifat utama itu.

"Orang itu harus sabar dan ngalah," kata sang kiai suatu ketika.

Kemudian dua sifat utama itu diuraikan dengan penuh kebajikan dan waskita. Kata kiai, hakikat sabar itu adalah Sejating Amalan kang Biso ‘Alaf Rahmat (Allah).

Sedangkan ngalah, bermakna Ngawula marang gusti Allah. Itu artinya, orang bisa ngawula atau menghamba bahwa tidak ada kekuatan yang kuat sejati, selain kekuatan itu datangnya dari Allah. Bahwa, manusia itu hanyalah sak dermo. Tak memiliki kekuatan apapun di hadapan Allah Yang Qowiyyu dan Yang Matin.

Kiai itu terus menjelaskan dua sifat mulia ini dengan contoh-contoh sehari-hari di masyarakat. Sementara ratusan santrinya semakin meyakini kemuliaan hati sang kiai.

Mereka juga menyaksikan bagaimana setiap hari karomah yang dipancarkan dari diri sang kiai semakin bertambah. Bukan hanya di hadapan santri, karomah itu juga muncul di hadapan makhluk-makhluk lain.

Pernah suatu hari, ketika sang kiai pergi ke hutan, binatang-binatang penghuninya tampak tawadlu' memberi salam dan hormat pada sang kiai. Bahkan hewan-hewan itu mengantarkan langkahnya sampai ke pintu rumah.

Begitulah! Bila keheningan hari ini selalu disinari sifat-sifat terpuji, siapa pun segera bisa menari dengan cahaya Ilahi.
Tapi suatu ketika sang kiai ini tidak seperti biasanya. Beliau tampak termenung di serambi masjid pesantrennya. Sinar karomah yang menyala-nyala tampak redup. Dia tampak teramat sedih.

Melihat kiainya seperti itu, datang seorang santri dan berkata;

"Kiai! Beberapa hari ini engkau tampak sedih. Selalu termenung sendiri. Kadang saya menyaksikan engkau menangis. Saya juga menyaksikan, sekarang tak ada lagi hewan-hewan hutan berucap salam kepada kiai. Sesungguhnya apa yang terjadi kiai?"

Sang kiai berucap, "Aku memang sedang bersedih. Ketahuilah santriku, aku sangat khawatir tak bisa mendekati nur Allah. Karena tujuh hari ini, semenjak aku beristrikan nyai (sebutan santri untuk istri kyai), tak seorang pun menguji kesabaranku. Istriku sekarang orangnya penyabar, tawakkal, jujur, dan loman. Tak pernah ada kata kasar yang keluar dari bibirnya. Sebaliknya, yang ada hanya kerendahan hati, dia nurut pada saya."

"Sementara nyai yang pertama dulu, sebelum meninggal dunia, dia orangnya cerewet. Sedikit saja saya salah, pasti ditegurnya. Sedikit ada yang tidak sesuai dengan dia, pasti marah. Mungkin karena aku jauh dari ujian itu, apa yang engkau saksikan dulu tentang aku lalu sekarang mulai menjauh dariku."

Memang benar. Karomah dan pancaran kemuliaan tak begitu saja muncul dalam diri manusia. Untuk mendapatkan ini, setiap saat kita harus diuji. Ujian bisa datang dari diri kita sendiri. Dan anak dan istri, atau lingkungan kita.

Bahkan kalau memang ujian itu sebagai jalan menuju kesempurnaan hakikat diri, harusnya tak dihindari. Sebaliknya harus dijalani.

Seperti juga kiai kita ini. Beliau bersedih, karena tak pernah lagi diuji.

Lalu, di hadapan santri ini, kiai ini berpesan; "Kesempurnaan lelaku sabar, narima, tawakkal, jujur, dan ngalah adalah ketika bertanding dengan lelaku marah dan menang-menangan. Maka jangan engkau bersedih hati bila waktunya diuji. Berucaplah: Lahaula wala quwwata illa billah. Tidak ada daya dan kekuatan sejati, kecuali dari dan dengan Allah. Insya Allah!"

Asal Usul Stress

Dari mana sesungguhnya asal usul stres? Para psikolog dan agamawan mencari solusi. Dan jutaan judul buku memasuki era industrinya hanya karena stres publik. Situasi demikian dimanfaatkan scbagai komoditi. Ada komoditas intelektual, ada juga komoditas obat-obatan, ada komoditas paranormal, dan juga ada komoditas instan untuk menanggulangi stres.

Alhasil, para sufi ikut unjuk gigi. Stres menurut para sufi disebabkan oleh nuansa paling sederhana. Yaitu; "Urusan duniawi masuk dalam wilayah Ketuhanan. Atau urusan hidup sehari-hari dimasukkan dalam hati kita. Maka hati jadi tertekan dan benturan psikologis menimbulkan konflik dalam diri sendiri."

Anda mungkin bertanya, bisakah urusan dunia ini tidak masuk dalam hati kita? Mungkinkan kita mengurus kehidupan ini tanpa campur tangan hati kita?

Bisa dan sangat mungkin. Kenapa? Hati adalah rumah Ilahi (qalbul mukmini baitullah). Hati orang beriman itu rumahnya Allah. Oleh sebab itu, rumah Allah harus bersih, bercahaya, bahkan mencahayai fikiran dan akal kita, mencahayai langkah kehidupan kita. Dunia dan seisinya ini cukup diurus oleh ikhtiar kita. Ikhtiar itu tempatnya ada dalam akal, fikiran, dan jasad kita.

Jika ikhtiar masuk dalam hati, maka hati akan ternodai. Bahkan terkotori oleh kontaminasi konflik yang sangat menyesakkan jiwa.

Oleh karenanya, setiap hari manusia harus bisa memisahkan mana yang harus diurus di dalam kamar hati, mana yang harus diurai oleh bilik akal, dan mana yang harus diperhitungkan oleh pikiran kita dan alat apa yang bisa mengendalikan nafsu kita.

Coba Anda renungkan dengan membuka jendela masa lalu Anda. Kenapa stres itu muncul dan kenapa ketakutan itu muncul justru disebabkan oleh hantu ketakutan itu sendiri? Coba Anda ingat, sejak bangun tidur hingga saat Anda membaca tulisan ini sudah berapakali Anda berterima kasih kepada Allah? Kenapa Anda merasa kurang mendapat nikmat Allah, sedangkan ketika Allah melimpahkan nikmat-Nya justru Anda enggan menjaga nikmat itu?

Nah, anatomi stres ini perlu kita bedah. Bukan melalui uraian akademis, tetapi melalui amaliyah dan praktik psikologis kita sehari-hari dalam menyikapi suatu problem. Dan ketika problem itu masuk dalam hati kita, sesungguhnya di sanalah munculnya hawa nafsu kita. Persinggungan antara wilayah hati dengan wilayah duniawi adalah awal tumbuhnya nafsu kita. Baik nafsu yang memunculkan ketamakan dan harapan atau pun nafsu suka cita yang melebihi kewajaran. Bahkan nafsu marah yang membakar dada kita. Nah!

Egoisme Itu Hijab

Egoisme itu adalah ideologi yang sebanding dengan hijabisme yang dikembangkan oleh peradaban iblis. Hijabisme merupakan tirai penghalang antara hamba dengan Allah. Karena itu hijabisme paling primordial adalah keakuan, egoisme, dan sikap mengandalkan prestasi amaliyah di depan Tuhan.

Amaliyah Anda, karena itu, sama sekali bukan andalan untuk Anda jadikan sebagai visa atau tiket masuk surga. Dan sebaliknya dosa-dosa kita bukan pula sebagai paspor ke neraka. Dosa dan ibadah kita tidak ada hubungan langsung dengan masuknya hamba ke surga atau terjerumusnya hamba ke neraka.

Justru seseorang yang mengandalkan amalnya, nanti akan merasa paling banyak amalnya. Jika merasa amalnya sebagai penyelamat dirinya. Ia akan takabur dan riya’ karena ia merasa paling islami, paling hebat, dan paling dekat dengan Allah. Perasaan paling itulah yang menyebabkan ia takabur, dan takabur itu bisa melebur seluruh pahala Anda.

Oleh sebab itu Ibnu Athaillah as-Sakandary mengingatkan; “Tanda-tanda orang yang mengandalkan prestasi amalnya, seseorang itu akan pesimis terhadap rahmat Allah setelah ia melakukan perbuatan dosa.”

Jadi, apakah Anda tergolong manusia egois atau bukan. Ukurlah dengan standar apakah Anda masih menggantungkan pada amal Anda atau tidak. Jika Anda habis berbuat salah, lalu Anda merasa kehilangan harapan untuk bertemu Allah, berarti Anda masih mengandalkan amal Anda sekaligus Anda masih terhijab oleh ego Anda di depan Allah.

Egoisme itulah yang menghalangi ma’rifat Anda dengan Allah. Karena Anda merasa ada di depan Allah. Jika Anda merasa ada. Allah tidak akan tampak di depan Anda. Sebaliknya jika Anda tiada dan yang ada hanya Allah, saat itulah Anda mengalami kefanaan. Tahap awal dari penghadapan diri Anda di hadirat Allah.

Nah, sejarah membuktikan, kelompok umat partai atau ormas yang mengandalkan amal historisnya pasti roboh. Sebab mereka terdiri dan kaum yang penuhi dengan egoisme.

Keremangan Yang Menyakitkan

Mulai hari ini Anda harus memilih dengan segenap ketegasan Anda. Yakni memilih antara terang atau gelap, hitam atau putih, haq atau bathil.

Jangan sampai Anda berada di antara dua wilayah yang bertentangan itu, yang saya rebut sebagai wilayah remang-remang, wilayah ketidakjelasan dan kemunafikan wilayah yang bisa membelah jiwa kita dalam dua kehidupan, wilayah yang penuh dengan kepura-puraan. Dan itulah remang-remang dalam hati kita.

Kenapa kita harus tegas? Ya, kalau memang mau jadi orang jahat, jalan kejahatan sudah jelas. Mau jadi orang baik, jalan kebaikan juga sudah membentang. Tapi jalan remang-remang adalah jalan kemunafikan di mana seseorang bisa berbaju terang, sedangkan tubuh dan dalamnya adalah gelap.

Ada yang menjadi koruptor kakap, penindas rakyat, tapi berjubah dengan jubah sosial, jubah kepedulian terhadap kemiskinan, dan bahkan memakai jubah Tuhan di mana-mana. Inilah prototype manusia remang-remang.

Hari ini, siapa pun yang tegas di dunia terang akan merasakan karakter terangnya. Dan itu pilihan terbaik. Tapi jika kita berada dalam keremangan, justru kita benar-benar tersiksa. Hati kita jadi tidak jujur, kita jadi munafik dan fasik, kita jadi musuh bagi diri sendiri, dan kita dikejar dosa di mana-mana dan kapan saja.

Bagaimana mereka yang ada di kegelapan? Wah, jika Anda bercita-cita jadi manusia gelap, itu lebih baik jika Anda memang jujur di sana. Anda harus siap jadi musuh bersama, jadi tokohnya iblis, jadi aparatnya setan, dan nafsu Anda. Tapi terang-terangan saja, di dunia gelap nanti akan Anda temukan suasana yang lebih baik dari di dunia remang.

Hari ini pula Anda resah, gelisah, takut, dan khawatir. Mengapa? Itu karena Anda tidak pernah tegas untuk mengambil pilihan hidup. Anda akan semakin tersiksa jika remang-remang dalam dada Anda itu melemparkan din Anda ke jurang keputusasaan.

Negeri ini rusak karena betapa banyak jumlah topeng untuk menutupi keremangan hatinya. Bangsa ini hancur karena bangsa ini lebih senang mengikuti remang-remang kehidupannya dibanding kejelasannya, pilih baik atan pilih jahat. Maka kehancuran bangsa dan umat ini lebih banyak diawali ketika keremangan hidup melemparkan kita ke padang keraguan. Hingga kemudian kita kehilangan rasa yakin kepada Allah.

Keremangan adalah keraguan. la muncul dari industri setan. Kemudian dipasarkan dalam bursa duniawi dengan para konglomeratnya yang terdiri dari kefasikan, kedzaliman, kemunafikan, kekufuran, dll, yang bisa melemparkan kita dari dunia terang kemudian menyeruak ke dalam jurang.

Apakah yang diuntungkan oleh keremangan hidup kita hanya hidup yang semu, gamang, dan langkah kaki yang tidak menyentuh tanah dan bumi kita? Makanya, saya mengajak agar setelah keimanan kita tumbuh, keyakinan kita juga harus tumbuh agar setan tidak bisa lagi menggoda lewat remang-remang itu.

Industri Tangis Menangis

Kini sudah mulai muncul industri tangis menangis. Ada yang membisniskan tangis untuk ritual kematian. Ada juga tangis beneran ketika rakyat kelaparan dan bencana dibiarkan oleh para elit penguasa, seperti yang terjadi di Pasar Besar Malang (PBM) pasca kebakaran Senin, 3 Maret 2003. Ada lagi sungai yang dipenuhi air mata buaya, agar tangisnya menjadi komoditas politik. Ada tangisan para penjahat di sudut penjara karena menyesal. Dan bahkan ada sejuta tangisan yang masih tak terhingga macamnya.

Bangsa kita diselimuti oleh kriminal, syahwat, dan air mata. Lalu, ironisnya, muncul industri tangis atas nama dzikir nasional. Lihat saja, suasana teaterikal sehari sebelum 1 Muharam lalu atau pas saat Matahari Dept. Store ludes terbakar dan menghanguskan kios milik orang kecil. Semuanya diekspos di sebuah TV swasta.

Bahkan, kemudian muncul gerakan ritual tangis di mana-mana dengan metode psikoterapi yang mengejutkan syaraf-syaraf tangis. Lalu nafsu tangis memaksa seseorang untuk menekan dada agar air mata keluar, membelah pipi dengan senggukan-senggukan, kemudian seakan-akan senggukan itu adalah puncak spiritual.

Tangis dalam dunia sufi adalah akibat, bukan rekayasa. Tangis yang mulia adalah kelembutan dan keharuan jiwa. Dan itu pun muncul karena dua hal. Kalau tidak karena cinta dan kasih sayang, bisa karena penyesalan. Tetapi penyesalan tidak harus dieksploitir pula, karena bisa timbul nafsu penyesalan.

Silakan Anda menangis jika tangisan itu bukan tangisan semu. Beda antara tangis semu dengan tangis yang sesungguhnya. Seperti beda antara bumi dan langit. Ketika Anda berusaha menangis melalui prosesi ritual dramatis yang diusahakan melalui gerak dan retorika, pastilah hasilnya tangisan semua. Penuh dengan riya' dan emosi kekanak-kanakan.

Sedangkan tangis yang hakiki adalah tangis keharuan air mata yang muncul dari telaga sirrul asrar (rahasia hakikat batin). Karena kefanaan hamba di depan Allah. Air mata yang menurut Ibnu Araby menjadi bahan utama terciptanya jagad semesta.

Anda sedang menonton sinetron? Film di layar lebar? Dengan kisah emosional yang mengharukan, lalu salah satu penonton basah pipinya dengan senggukan dada. Tiba-tiba seluruh gedung menumpahkan air matanya. Apakah itu pertanda Anda sedang menangisi puncak spiritual? Sekali pun yang Anda hadirkan adalah dimensi Ketuhanan?

Memang, bangsa kita hari ini sedikit sekali yang menangis terhadap nasib kebangsaan dan ummat. Termasuk para elit, pejabat, dan tokohnya sudah tidak ada lagi yang menangis. Kalau yang ini memang tidak mampu menangis - bahkan juga Anda - karena hati telah mengeras bagai batu. Hatinya membatu, otaknya tumpul, dan nafsunya liar.

Tetapi sangat menyedihkan kalau tangisan itu dijadikan industri publik dalam bungkus ritual. Lebih ironis lagi.

Kesimpulannya, Anda jangan terpesona dan terbengong-bengong dengan tangisan. Kecuali memang tangisan itu adalah anugerah Ilahi. Bukan "ditangis-tangiskan" seperti ketoprak dan sinetron di TV. Sebab rekayasa tangis itu akan memunculkan refleksi bahwa Anda merasa bisa menangis, lalu Anda merasa paling menyesal, paling berhamba kepada Tuhan, paling basah hatinya, paling hebat jiwanya.

Dengan kondisi bersamaan, mereka yang tidak menangis di ritual itu dianggap sebagai orang yang hatinya keras membatu. Bisa jadi justru yang tidak menangis itu, malah diselamatkan Allah dari drama air mata profanika. Masya Allah!

Teknologi Porno

Tiba-tiba menguap seperti bau bangkai ketika tiga artis melaporkan seseorang ke Polda Metro Jaya soal VCD curian dari kamar ganti. Rachel Maryam, Sarah Azhari, dan Femmy. Lalu sederet publik figur, khususnya para artis merinding bulu kuduknya. Eksploitasi seperti itu lebih mengerikan ketimbang virus SARS. Sulit diobati, karena trauma dan pelecehan itu menvonis seumur hidup artis.

Siapa yang salah? Para pengintip itu? Kameramannya? Atau artis itu sendiri? Bahkan publik juga bersalah? Para penikmat? Teknologinya?

Salah semua. Pengintip dan perekam itu memiliki kesalahan akbar, lebih dari dosa Akbar Tanjung. Kamera? Kalau Anda bisa mendengar suara ruh kamera, ia akan berteriak sambil mengucapkan istighfar hingga menembus langit ke tujuh.

Si artis? Salahnya sendiri, suka memamerkan keindahan tubuh di luar batas. Sehingga publik dan pengintip merasa tubuh-tubuh yang menonjol penuh dengan gairah eksotis itu seperti etalase. Tipis sekali bedanya dengan prostitusi. Lalu publik? Para penikmat gambar porno, VCD, dan hal-hal eksklusif dari pornografi adalah publik yang sedang mabuk dalam syahwat kebinatangannya.

Ketika kita memasuki abad milenium, semua merayakan kemenangan humanisme dan peradaban komunikasi serta informasi. Tetapi saya sendiri menangisi peradaban ini. Karena milenium ini diawali dengan abad kejahatan, pornografi, dan dehumanisasi serta penghinaan terhadap keindahan manusia. Para artis mestinya juga instropeksi, apakah keindahan itu sebatas mulusnya kulit atau sintalnya pantat dan dada? Oh, kalau itu memang keindahan yang sudah diindustrikan oleh para setan untuk dipasarkan di mal-mal kegelapan. Tidak percaya? Atau Anda akan sinis? Terserah Anda.


Gampangnya begini. Kalau Anda dan para artis, bahkan para penikmat dan pengusaha eksotisme terus menerus memproduksi "estetika kebinatangan" (karena binatang tak pernah berpakaian dan hanya meluapkan syahwat makan dan seksual), itu pertanda bahwa Allah sedang menghina peradaban yang akan Anda bangun. Pada saat yang lama, kemanusiaan Anda hilang, bahkan cahaya keimanan dalam diri Anda sirna.

Peradaban sehari-hari manusia Indonesia adalah peradaban populer hari ini. Peradaban sabun, peradaban kandang sapi, peradaban kebun binatang, di mana publik menikmati binatang itu di kebun raya televisi, film, media massa elektronik maupun cetak.

Teknologi apapun hebatnya bukanlah barang haram. Ilmu pengetahuan termasuk dari kaum kafir sekali pun juga bukan ilmu yang haram. Tetapi ketika teknologi itu ada di tangan para binatang peradaban, ia berubah menjadi instrumen yang dehumanistik, liar, dan memuakkan. Bahkan menghancurkan.

Dunia seni, dunia keindahan, dunia kelembutan, dan kehalusan juga memberi dua pilihan. Apakah estetikanya mengandung keindahan yang bisa menyadarkan akan estetika yang berbudi atau sebaliknya, justru di luar kontrol hati nurani paling dalam. Sebab binatang dengan ketelanjangannya menjadi indah. Tetapi sebaliknya, ketika manusia menjadi telanjang seperti binatang, justru hilang keindahannya. Karena ia bukan lagi manusia yang sesungguhnya.

Zaman Kanibal

Inilah zaman kanibal, di negeri kanibal, pada era global, dengan polisi dunia yang haus darah. Sumanto, si raja kanibal dari Purbalingga, pasti terngiang nama itu, apalagi bagi masyarakat Purbalingga, Jawa Tengah. Baru ingat namanya raja sudah mengerikan, lebih dari drakula. Apa komentar para malaikat?

Manusia kanibal itu sesungguhnya hanyalah "bayangan" dari kanibalisme maniak yang sudah hampir jadi ideologi. Para penjahat begitu puas ketika melihat korbannya kelojotan (menggelepar). George W Bush begitu menikmati kalau bisa menumpahkan darah di Irak. Dulu, pada zaman orba banyak darah hampir jadi sungai kita. Dan hari ini, bencana dianggap sebagai kebiasaan alam, rutinitas, dan dengan nikmatnya para penguasa memandang dengan darah dingin, mengerikan.

Para Malaikat berkomentar, “Apakah Engkau jadikan manusia sebagai khalifah yang punya hobi merusak bumi dan menumpahkan darah? Kami hanya bertasbih kepada-Mu, dan menyucikan-Mu...” Lalu Tuhan menjawab, “Aku lebih tahu dari sekadar apa yang kalian ketahui..”

Kebuasan dan kebinatangan adalah dua senyawa yang menempel nafsu manusia. Lalu senyawa ini dipelajari oleh para setan, baik dari kalangan jin maupun manusia untuk dijadikan industri hororisme, syahwatisme, dan kanibalisme.

Banyak cara manusia - yang sesungguhnya hanyalah kerangka tengkorak tetapi bernyawa setan - meraih segala cara secara instan dengan segala metodenya untuk memenuhi syahwat kebinatangan. Dan Sumanto hanyalah satu dari jutaan manusia yang lebih sadis lagi.

Sumanto, George W. Bush, dan manusia haus darah dari Rumania, bahkan mungkin Anda yang puas dengan darah serta keringat rakyat, adalah representasi setan itu sendiri. Anda telah menenggelamkan derajat Anda sebagai eksistensi makhluk Allah yang paling mulia menjadi makhluk paling hina.

Dan inilah pertarungan paling menjijikkan dalam sejarah manusia. Pertarungan antara mereka yang memasuki gerbang-Nya lalu menjadi khalifah-Nya dan mereka yang memasuki gerbang kegelapan, lalu menjadi khalifahnya setan.

Mudah sekali. Apakah Anda juga tidak lebih sadis dari Sumanto? Jika Anda tidak pernah gemetar ketika nama Tuhan disebut, ketika kebajikan ditawarkan di depan Anda, ketika keadilan diajukan di meja Anda, bahkan dengan sombongnya Anda tertawa sampai menembus mega hitam. Itulah sesungguhnya kalau Anda adalah Sumanto dengan topeng yang lain.

Inilah perlunya sebuah revolusi moral untuk menghalau para kanibalis yang selalu berpesta dengan setan kegelapan, memeras keringat rakyat, lalu terbahak-bahak sambil menghisap darahnya, dan menyantap daging-dagingnya.

Inilah perlunya merobohkan berhala-berhala kebuasan dan kebinatangan yang hakekatnya tampak pada wajah para tokoh, ketika mereka berada dalam satu barisan gelombang jahiliyah, bersama kaum hipokrit yang senantiasa berpetualang dalam kejahatan bangsa.

Inilah saatnya Anda memurnikan air mata dari mata air jiwa paling dalam. Bukan dari mata buaya yang membuka mulut-mulut bencana. Inilah saatnya Anda menyadari bahwa Anda tak lebih dari hamba sahaya Allah, bukan menyeret Allah untuk kepentingan nafsu Anda. Janganlah Anda lumuri rumah Allah, bendera Allah, dan syiar-syiar Allah dengan darah drakula yang menyelinap dalam bilik kebuasan ambisi Anda.

Negeri Kegelapan Kita

Apakah negeri, bangsa, dan kehidupan sehari-hari kita sudah sedemikian gelap oleh tebalnya mega-mega sejarah? Jika benar, apakah kegelapan ini warisan masa lampau, ataukah kebodohan dan kezaliman masa kini? Jika tidak demikian, apakah sesungguhnya proses kehidupan berbangsa kita, memang baru (maaf) dalam tahap muallaf sehingga perlu dibimbing seorang mursyid bangsa?

Mari kita melihat dan merespon peta global sejenak. Amerika Serikat yang menjadi pusat gravitasi politik dunia, membuat ulah luar biasa. Secara syariat ada titik utama yang paling terkena imbasnya dari bagian Timur hingga Barat. Kesombongan AS yang membabi buta, Akan berpengaruh pada titik nadi utama di ujung Timur, Indonesia dan Baghdad. Lalu kelak negeri-negeri muslim lainnya. Bagaimana cara orang lain meremukkan bangsa kita? Sebagaimana zaman Orba dulu, penguasa telah meruntuhkan derajat para ulama kita?

Jawabnya mudah saja. Jika suatu bangsa ingin menzalimi bangsa lain, atau seorang penguasa ingin menzalimi publiknya, maka kaum munafik bangsa itu dijadikan boneka. Lalu mereka berteriak seakan-akan mereka adalah reformis, demokrat dan pembaharu, untuk menutupi kebusukan hipokritnya. Ketika seorang penguasa ingin menghancurkan para ulama, maka para ulama yang munafik dijadikan berhala-berhala kecil agar mudah dijadikan boneka untuk memusuhi sesama ulama.

Lalu hari ini, apakah situasi yang sesungguhnya menimpa bangsa ini? Tentu saja, bangsa ini adalah bangsa yang sedang bangkit dari keruntuhan. Sementara ketika ingin membangun rumah agungnya, bangsa ini hanya menggunakan sisa-sisa keruntuhan itu. Lalu bangunan itu lebih parah ketimbang bangunan masa lalu.

Inilah nuansa paling sederhana, yang secara moral kita terjebak dalam sarang rimba yang paling anarkis. Kita sebut anarkis, karena para elit kita, politisi kita, tokoh-tokoh penguasa kita, telah benar-benar dihantui ketakutan terhadap kebenaran dan keadilan. Mereka, jangankan memandang cahaya kebenaran, baru melihat kilatan cahaya itu saja, mereka sudah menutup mata hatinya. Menutup daun-daun telinganya, lari mencari selamat atas nasib keluarga dan kelompoknya.

Begitu pula kaum munafik di negeri ini telah terbagi menjadi dua belahan yang melapisi kegelapan ini. Lapisan pertama, mereka yang meraih posisi baik di parlemen maupun di birokrasi. Lapisan kedua, memang mereka adalah kekuatan laten munafiqin, terdiri para penguasa hitam, petualang politik, dan mereka yang sakit jiwa. Mereka selalu menggerakkan massa untuk dijadikan alibi politik rakyat. Allah di mata dua lapisan ini, adalah Allah dalam kertas, Allah dalam verbalisme dan teriakan takbir belaka, Allah dalam spanduk dan yel-yel, belaka. Cahaya Allah terkuci rapat dalam lorong nafsu kegelapannya.

Hanya segelintir ulama dan kiai yang bisa di hitung dengan jari. Ulama yang masih memiliki cahaya ruhani, lalu menaburkan cahaya itu dalam kegelapan bangsa ini. Segelintir itulah yang memunajatkan keselamatan bangsa ini, bukan keselamatan diri dan keluarganya. Mereka memang minoritas di kalangan kiai dan ulama, tapi mereka yang melihat kehidupan semesta dengan mata hatinya. Mata hati yang melihat cahaya, lalu cahaya itu berkata bahwa semesta bangsa ini sesungguhnya telah gelap gulita. Siapa yang memandang lapisan kebangsaan ini, tapi tidak melihat Allah di sana, maka kekaburan telah menyekat jadi tirai antara mereka dengan Tuhannya. Kekaburan cahaya itu tertutup oleh mega-mega ambisi duniawi. Mereka terseret oleh arus pusat gravitasi dzulumat (kegelapan) yang paling mengerikan.

Jika Anda tidak yakin, bertanyalah pada para pemimpin dan elit bangsa ini. Di manakah Allah berada ketika mereka sedang berbuih sampah di antara kemunafikan dirinya? Di manakah Allah ketika mereka sedang ketakutan yang memojokkan krisis psikologinya? Saya yakin, yang Anda dengar dari jawaban mereka adalah kegagapan, kegalauan, dan alibi-alibi untuk menutupi kecurangannya.

Setan dan Tentaranya

Gemuruh takbir bersahutan menjelang hari lebaran. Makna Idul Fitri, berarti kembali pada fitrah yang suci. Kembali pada suasana kefitrahan kita ternyata harus dikejutkan oleh sesuatu yang dahsyat. Kita memang harus menang dalam peperangan melawan setan. Takbir di hari lebaran diawali dengan tiga kali takbir, maka takbir pertama sesungguhnya kita menakbiri setan dan bala bantuan, tentara dan pasukannya yang hendak mengancam kemenangan kita dalam 29 atau 30 hari peperangan kita.

Takbir terhadap setan dan tentaranya sangat dibutuhkan, karena setan sangat takut dengan takbir yang dikumandangkan hamba Allah. Kalau kita hayati maknanya, berarti Allah Maha Besar. Dalam pandangan Allah, semua makhluk termasuk kita, setan dan segala hal yang berbau makhluk akan kecil dan tak berarti apa-apa. Karena itu kita setiap hari akan terus bertakbir. Kala itu setan bergelimpangan dari muka bumi. Termasuk bumi di hati kita.

Setan yang dibelenggu selama sebulan, akan melakukan balas dendam luar biasa setelah hari raya. Karena itu takbir terus bergema setelah hari raya sampai tiga hari lamanya agar elemen-elemen setan benar-benar sirna dari diri kita. Ancaman setan tidak mau kembali ke benak kita. Karena itu hayati dan renungkan makna takbir itu sedalam-dalamnya, sebab kesetanan dalam diri kita akan segera tiba manakala kita tidak segera dan sering mengucapkan takbir.

Bahkan dalam salah satu wirid dari sebuah tarikat di dunia ini, ada bacaan takbir sebanyak 100 kali setiap hati. Berarti dalam diri kita ada sejuta setan bahkan milyaran yang setiap hari lahir.

Allahu Akbar! Hati-hati, ketika takbir berkumandang, setan juga pandai. Ia seringkali berselingkuh dengan hawa nafsu kita untuk memanfaatkan takbir demi kepentingannya. Maka muncullah takbir politik, takbir bisnis, takbir nafsu, takbir riya', takbir pamer, dan sebagainya. Nah, jika setan mulai menguasai nafsu kita, maka takbir kita hanyalah takbir hura-hura. Karena itu hati-hati bertakbir, jangan sampai setan gundul memanfaatkan takbir kita, hingga gundul kita sendiri seakan-akan sudah religius, tetapi ternyata penuh dengan massa setan di atas kepala kita. Nah!

Hawa Nafsu dan Syahwatnya

Jangan-jangan usai lebaran ini nafsu kita semakin liar. Karena itu harus ditakbiri lagi, agar nafsu kita menghilang di sudut sampah kotoran kita. Nafsu kita harus kita jadikan sebagai musuh bersama. Karena itu nafsu juga paling takut dengan takbir. Ia bisa gemetaran ketika berhadapan dengan takbir.

Nafsu kita bisa liar ketika unsur kejahatan dibiarkan tumbuh menjamur. Nafsu turut mendorong untuk memuaskan setan, si tuan nafsu. Setan memperbudak nafsu untuk tujuan penyesatan manusia.

Nafsu kita bisa ditransformasikan, ketika kita teriakan takbir diteriakkan secara mendalam. Nafsu ammarah dan lawwamah, yang menjerumuskan kita pada kejahatan dan kesenangan sia-sia. Ketika takbir dikumandangkan, maka setan bisa sirna dan lahirlah nafsu sejati yang diawali dengan muthmainnah, nafsu yang tenang dan tenteram bersama Allah. Ketika sudah tenang bersama Allah, nafsu akan lahir kesekian-kalinya menjadi nafsu yang murji'ah (kembali terus kepada Allah), lahir kembali menjadi nafsu rodliyah (nafsu yang senantiasa hanya menginginkan ridho Allah). Lalu muncullah nafsu mardliyyah (nafsu yang terus menerus dalam atmosfir ridho Allah). Baru kemudian nafsu mulhamah (nafsu yang terus menerus dilimpahi ilham Allah). Muncul kemudian nafsu kasyifah (nafsu yang dibukakan rahasia Ilahiyah). Puncak kesempurnaan nafsu itu muncul menjadi nafsu 'arifah (nafsu yang terus menerus memandang dan melihat Allah dalam kema'rifatan Allah).

Nah, hebat bukan takbir kita itu. Baru menakbiri kedua kali saja, setan dan nafsu sudah berantakan. Apalagi ketika Anda sedang dibelai terali besi, berada di diskotik, di sisi perempuan semlohe. Cobalah ucapkan takbir, pasti nafsu Anda jadi beringsut dan ketika itu pula, Anda rnenyadari bahwa apa yang Anda lakukan hanyalah akibat dari liarnya hawa nafsu Anda, yang menjerumuskan kita dan kepentingan Allah.

Sering-seringlah mengucapkan takbir, terutama untuk diri sendiri, agar nafsu kita terkendali. Ketika nafsu kita rnengalami perubahan pemurnian yang luar biasa selayaknya kita lahir dalam fitrah suci.

Akhir dari segala keparipurnaan adalah takbir itu sendiri. Takbir adalah puncak sebutan hamba Allah kepada Allah. Di situlah makna substansi takbir yaitu sebagai manifestasi dari kefanaan hamba Allah. Tiada daya dan upaya kecuali Allah. Allahu Akbar. Maka hanya bagi Allah saja yang memiliki hak pujian. Wali llahilHamd.

Dunia Akhirat dan Seisinya

Kenapa dunia perlu ditakbiri? Kenapa pula akhirat harus ditakbiri? Ya, karena dunia dan akhirat adalah sesuatu selain Allah. Jika dunia ini tidak kita takbiri, kita bisa menyembah dunia. Ketika dunia kita sembah, kita telah menjadikan dunia sebagai berhala.

Dunia ini tampak lebih besar dibanding Allah, karena itu peradaban kita hari ini lebih banyak memberhalakan dunia ketimbang menyembah Allah. Kita diam-diam telah lama jadi budak dunia. Kita menghalalkan segala cara demi Tuhan kita yang duniawi itu. Kita telah lama menyembah dunia walaupun kita mengaku sebagai hamba Allah. Dunia setelah kita bangun tidur sudah tampak di depan kita. Mari kita sembah yang menciptakan dunia ini, bukan dunianya yang kita sembah. Sebab manusia manapun di muka bumi punya kepentingan untuk menjadikan dunia sebagai berhalanya.

Allahu Akbar! Dunia mesti sirna dari hati kita. Hati kita itu rumah Allah. Jangan ada sesak-sesak dunia, sekalipun di pinggir hati kita. Biarlah dunia ini urusan pikiran dan nafsu kita. Biarlah dunia ini kita jadikan budak kita, jangan kita dibudakkan dunia. Dunia boleh kita tumpuk setinggi bukit, tapi jangan jadi tempat berhala kita. Caranya? Jangan tempelkan hati kita pada dunia lagi? Kita bentak dunia dengan gema takbir yang sekeras-kerasnya. Biar dunia lari terbirit-birit dari diri kita, biar dunia tidak datang dengan tipu dayanya, dan biar dunia menjadi alat untuk akhirat kelak.

Nah, kenapa akhirat harus ditakbiri? Bukankah akhirat itu mulia? Bukankah kita harus mencari kehidupan akhirat? Ya. Kalau kita beribadah hanya untuk kepentingan akhirat nanti yang tampak adalah surga, pahala, bidadari, siksa neraka, dan sebagainya. Lama-lama kita tidak lagi memandang Allah, tapi memandang nikmat-nikmat Allah. Allah seakan-akan sirna dari hati kita, kita jadi hedonis dengan akhirat. Karena itu akhirat harus kita takbiri, agar kita lebih mulia lagi, lebih hebat lagi, lebih muttaqin lagi.

Semua Sirna Kecuali Allah

Wah, kali ini diri kita begitu fana, karena yang baka, abadi, yang berhak dipandang hanyalah Allah. Karena itu segala hal selain Allah termasuk kecil, dan untuk memperkecil itu harus ditakbiri. Allahu Akbar.

Takbir Anda di sini adalah takbir ma'rifat kepada Al1ah. Takbir keabadian Allah. Takbir yang menyirnakan segala hal selain Allah. Takbir dari lampu merah menuju lampu hijau, dari lampu hijau menjadi lampu yang terang benderang tanpa warna. Sebab segala hal yang berwarna pasti bukan Allah.

Allahu Akbar! Kita sudah berada di arasy Allah, yaitu kemandirian kalbu kita bersama Allah. Hati kita penuh asma Allah. Jantung kita berdetak menyebut Allah. Darah mengalir berbunyi Allah. Pori-pori dan daging kita terbentuk dari bahan-bahan yang berdzikir penuh Allah.

Nah, Anda adalah manusia khalifatullah. Jangan coba-co Anda merasa jadi khalifatullah sebelum Anda menakbiri segala hal selain Allah. Banyak orang merasa jadi khalifah-Nya, tetapi hatinya masih penuh dengan dunia, nafsu dan setan. Pada saat itu anda sesungguhnya khalifahnya setan. Khalifahnya dunia dan khalifah selain Allah.

Usul punya usul, sesungguhnya Anda sudah pernah menakbiri selain Allah atau belum? Menurut sensus alam akhirat sana, ternyata yang sudah menakbiri selai Allah itu hanyalah kecil sekali jumlahnya. Tetapi jika memang belum pernah Anda lakukan, mbok mulai hari ini Anda belajar menakbiri selain Allah. Pertama menakbiri setan dan iblis, kedua hawa nafsu kita, ketiga dunia dan akhirat, keempat apa saja selain Allah, dan seterusnya. Di tulisan berikutnya dapat Anda lihat, Anda harus menakbiri apa lagi...

Ya, setelah kita menakbiri segala hal selain Allah, lalu kita mau apa? Kita terus bertakbir. Takbir itu ibadah. Takbir itu sebagai perwujudan sekaligus deklarasi setiap hari, bahwa kita hanyalah hamba Allah saja.

Benarkah kita hanya hamba Allah? Bertakbirlah sekali lagi, Anda baru sadar bahwa Anda hanyalah hamba Allah. Kalau takbir kita jadikan wirit setiap hari, maka takbir akan terus membendung segala usaha di luar diri kita yang hendak memperbudak kita. Karena itu Anda harus jadi hamba Allah yang kuat. Hamba Allah yang kuat bukan preman, juara berantem, jago ngesek, tukang perkosa, tukang nipu rakyat, bukan pula presiden yang suka menggencet rakyat dan seterusnya.

Hamba Allah yang kuat adalah hamba Allah yang bisa melawan segala hal selain Allah. Hamba Allah yang kuat adalah hamba Allah yang tidak suka mencla-mencle, glundung semprong, mengalir saja menurut arus kehidupan tanpa prinsip. Hamba Allah yang kuat adalah hamba Allah yang justru menikmati kemerdekaan dirinya, kebebasan dari ikatan hawa nafsunya, bebas dari rasa takut, gelisah dan sudah, bebas dari rasa khawatir dan angan-angan yang menyeret khayalannya.

Hamba Allah yang kuat adalah hamba yang tidak pernah merasa paling hebat, benar, kuat, top, islami, meniru Nabi, dan paling hebat agamanya. Kalau rasa superior, hanya paling-paling saja. Tak lebih dari hamba Allah yang loyo, lemah dan mudah menyerah, akhirnya jadi hamba Allah yang putus asa.

Takbir itu solusi krisis, ketakutan, kekhawatiran, putus asa, dan solusi frustrasi. Para penjahat tidak akan pernah melakukan kejahatan manakala ia lebih dahulu mengucapkan takbir. Kalau ada kejahatan diawali dengan takbir. Pasti kejahatan paling maniak, karena takbirnya hanyalah takbir untuk nafsunya.

Nah, mari kita bertakbir untuk menjalani kehambaan kita, bukan merasa kita jadi Tuhan, bukan kita menuhan-kan segala yang kita inginkan dan kita impikan. Kalau begitu anda lama-lama lepas dari jabatan Anda sebagai hamba Allah. Nah!

Paha, Dada, dan Ayam Goreng

Ketika dunia merayakan abad milenium, seorang kawan bingung, "Kenapa abad rusak ini harus dirayakan?" Ya, biar saja dirayakan. Hak penjahat merayakan pesta kegelapannya. Hak penjaja seks merayakan syahwatnya. Hak politisi merayakan penipuan terhadap rakyatnya. Hak pemimpin dunia merayakan kezalimannya. Hak ulama dan kiai merayakan keprihatinannya. Memangnya kenapa? Ya, kalau sudah demikian mau apa lagi.

Yang jelas milenium kita ini juga dirayakan dengan pamer udel, paha dan dada. Inilah abad "bupati" alias buka paha tinggi-tinggi. Selanjutnya terserah Anda, sebab jalan yang lurus sudah lempang, jalan yang bengkok sudah gamblang.

Dalam suatu wacana sufi, Ibnu Athaillah menegaskan, “Kalau Allah ingin menghina suatu kaum, bangsa dan seseorang, maka kaum, bangsa dan individu itu ditakdirkan menuruti sahwat dan hawa nafsunya.”

Karena itu jika nafsu Anda bergejolak hari ini, ingatlah jangan-jangan Allah sedang menghina Anda. Jika suatu peradaban sudah memamerkan udel, paha dan dada jangan-jangan itulah cara Allah menghina suatu peradab bangsa.

Dan menikmati hinaan Allah adalah pertanda bahwa Anda berada dalam satu jalan bengkok.

Pada waktu yang lama terdengar musik konser yang digelar oleh iblis dan suku-sukunya untuk menguatkan kekuasaan lebih besar di muka bumi ini. Bagaimana soal hukum, soal syariat, soal aturan tertib kehidupan yang beradab? Bagi iblis itu kecil. Sebab, soal syariat pun ia gampang melakukan manipulasi. Atas nama syariat, iblis bisa berpidato dan menyelenggarakan seminar penerapan syariat di mana-mana.

Tapi soal jiwa, soal mereka yang sudah mapan qalbu di hadirat Allah, iblis memang angkat tangan. Karena itu peradaban harus dibangun melalui Qalbu Force (kekuatan hati) bukan Intellectual Force (kekuatan intelektual). Kekuatan akal telah gagal membangun peradaban kecuali ia bangun gedung pencangkar langit dan segala show of force nya, tetapi ternyata keropos fondasinya.

Kalau dunia gelap sudah banyak yang mulai menengok dunia terang, apakah Anda yang sudah di dunia terang juga ingin menengok, coba-coba merasakan dunia gelap? Itu pun terserah Anda. Kebanyakan orang yang coba-coba menikmati dunia gelap akan tersungkur di sana dalam kondisi yang mengerikan. Tetapi mereka yang mencoba membuka jendela dunia terang biasanya akan bertobat dan terus menjadi manusia yang berjuang untuk kebajikan.

Yah, sekedar soal paha, pipi, udel, pantat, dan dada, ternyata berakhir dengan kegelapan yang mengerikan. Na'udzubillah. Tapi ironisnya masyarakat kita yang sedang gila dengan titik-titik itu. Mereka malah menikmati, melahap ayam goreng. Mereka sangat menikmatinya. Bahkan muncul industri pers yang mengkonsumsi kegelapan itu untuk dijual di pasar setan.

Menghamba Karena Cinta

Suatu ketika Imril Qoesh merasa sangat kesepian. Berbulan-bulan lamanya dia tak bertemu sang kekasih tercinta. Laila Majnun namanya.

Pagi hari tiba. Imril mengendap–endap di balik semak dekat rumah Laila. Toh, Laila tak pernah lagi duduk di batu sungai itu. Siang hari, Imril terlihat tergopoh–gopoh menyelinap di gubug sawah milik orang tua Laila. Lagi lagi Laila tak pernah lagi mengantar rantang makan siang untuk para petani di sawah itu.

Petang hari, Imril kembali munduk-munduk di balik semak dekat rumah Laila. Tapi toh Laila tak ada di pancuran air tempat dia biasa mengambil air wudlu. sungai, pematang sawah, pancuran air wudlu, kebun anggur, beranda rumah, toh lagi–lagi Laila tak ada di sana.

Imril gelisah. Cintanya sirna entah ke mana. Imril meratap. Dia menangis tersedu-sedu. Makanan yang tersedia di meja, tak disentuhnya. Imril benar-benar puasa! Tapi sekali lagi Laila tak ada di tempat.

Sampai akhirnya, pemuda "gila cinta" ini nekat, mendekat ke rumah Laila. Di dekapnya dinding kamar Laila. Di situlah, entah berapa kali lamanya, Imril menyebut kekasihnya; Laila, Laila, Laila.....(konon ada menyebut, 2 tahun, tapi banyak yang mengatakan sepanjang sisa hidupnya, Imril masih terlihat menempel di dinding kamar kekasihnya).

Itulah Imril. Itulah si pemuja cinta. Dia benar-benar mencintai cinta. Apapun akan dilakukannya demi cinta.
Pepatah mengatakan; man ahabba syaeq, katsura dzikruh. Waman ahabba syaeq, fahuwa abduh. Barang siapa mencintai sesuatu, dia akan sering menyebut sesuatu itu. Dan barang siapa mencintai sesuatu, dia pasti akan menjadi hamba sesuatu itu.

Imril pasti sangat mencintai Laila. Karena itu dia pasti sering menyebutnya. Imril pasti juga mencintai Laila. Karena itu, dia pasti mau rnenjadi hamba Laila.

Lalu saya, panjenengan semua, siapa yang kita cinta? Umat Islam, pada bulan Ramadan yang pada malam hari banyak menyebut dan berdzikir pada pencipta, yang pada siang harinya banyak beristighfar pada Tuhannya, yang mau diwajibkan menahan lapar dahaga, menahan nafsu, menahan tak berkata kotor. Yang dalam tingkah lakunya dilarang menyakiti, apalagi jotos–jotosan sesama kawan, yang di dalam politiknya dilarang bertanding, tapi memperbanyak bersanding, yang di dalam hatinya dilarang ada iri dan dengki, dan sebagainya.

Dan yang ada dalam dirinya tak boleh ada rasa menang sendiri, pasti mereka-mereka itu tergolong para pecinta itu. Pasti mereka–mereka itu mencintai pencipta, karena setiap kali manusia berdzikir kepada–Nya.

Dan pasti! Mereka–mereka itu mencintai Allah Tuhannya. Karena manusia mau menjadi hamba-Nya Mau diperintahkan untuk puasa, menahan nafsu, dan tidak berkata kotor.

Dan yang pasti mereka itu juga mencintai dzat yang memang patut dicintai. Karena mereka-mereka itu mau meninggalkan apa yang dilarang. Mereka tak pernah tinju–tinjuan, mereka juga tak pernah ingin menang-menangan, apalagi menyombongkan diri.

Karena memang mereka itu; mencintai!

Lalu, saya dan panjenengan semua, sudahkan mencintai dzat yang memang patut dicintai? Sudahkah, kita menyayangi dzat yang agung karena sifat sayangnya? Kalau begitu mari kita terus berdzikir kepada-Nya.

Kalau begitu, mari juga kita menjadi hamba-Nya. "Barangsiapa mencintai Allah, dia pasti akan selalu berdzikir asma-Nya. Dan barang siapa mencintai-Nya, maka dia akan menjadi hambanya."

Ajal Sang Pecundang

Siapakah sesungguhnya pecundang di muka bumi ini? Jangan-jangan Anda adalah pecundang itu. Jangan-jangan mereka yang seringkali teriak maling adalah maling itu sendiri. Jangan-jangan yang suka membuat isu perdamaian justru yang membuat kekacauan. Jangan-jangan yang suka meneriaki teroris justru biangnya teroris. Jangan-jangan mereka yang ingin jadi pahlawan itu, justru para pecundang.

Mari kita renungkan bagaimana perjudian marak? Kenapa dan bagaimana semua bisa terjadi? Hanya satu jawabannya. “Memang demikianlah watak dunia, karena itu Anda jangan merasa asing dengan remang-remang dunia, kerumitan dan kegelapan dunia, sepanjang Anda masih ada di dunia.”

Para pecundang adalah mereka yang menganggap dunia merupakan kehidupan abadi. Dunia adalah kehidupan yang selama-lamanya bisa dihuni, karena itu mereka menumpuk harta, mengoleksi wanita, menjadikan syahwatnya liar, dan mereka guyur jiwanya dengan miras-miras yang bisa menambah kemabukan di tengah keremangan duniawi ini.

Para pecundang sesungguhnya berada di antara batas radar atau tidak, bahwa hidup ini terbatas, dan setelah itu hanya kuburan. Hanya saja mereka tidak tahu, bahwa ajal yang berakhir dengan kiamat bagi dunia ini, berakhir secara su'ul khotimah (akhir yang gelap). Seandainya dunia ini pun penuh dengan kebajikan, dan kegelapan tersingkir jauh-jauh dari dunia, jelas dunia pun kiamat, karena dunia tidak akan mampu menahan kebajikan yang penuh. Sebaliknya jika dunia ini penuh dengan kegelapan, tanpa peradaban dan cahaya, pasti dunia juga kiamat.

Hanya saja garis hitam bagi dunia adalah akhir dari kehidupan sang pecundang yaitu tergolek dalam kegelapan. Ketika kegelapan memayungi atmosfir dunia secara total, tibalah apa yang disebut dengan kiamat.

Maka, para pecundang mesti bercermin lagi, bukan dengan membalik kaca cermin, atau bercermin di mosaik yang retak-retak. Jangan bercermin pada cermin bening di tengah malam gelap gulita! Tapi harus bercermin pada cermin yang benar, ada cahaya, dan tidak ada lagi hambatan yang bisa menghadang antara pantulan wajahnya dengan kenyataan hidupnya.

Teriakan ajal sang pecundang selalu mengerikan, sia-sia, sangsi, dan sangat menjijikkan jika didengar oleh hati yang hidup. Sebab hati para pecundang sudah mati, sudah menjadi fosil yang yang membatu, dan hanya menjadi makian sepanjang sejarah.

Teologi (Musibah)

Bumi, tempat manusia membangun kekhalifahannya, ternyata sarat dengan sejarah musibah dan bencana. Hubungan bencana dengan perspektif ketuhanan, mencapai puncaknya di zaman Nabi Nuh AS, dimana kisah-kisah drama teologis memiliki akibat-akibat terhadap lingkungan ketika itu, berakhir dengan tenggelamnya bumi di negeri Nabi Nuh. Kisah Nabi Nuh yang monumental itu, pasti tidak berdiri sendiri sebagai peristiwa historis dari jagad bumi, tetapi mengandung penafsiran, baik dari segi geologis, meteorologis, maupun teologis. Dari sana akan banyak terpantul hubungan lingkungan hidup dengan teologi. Begitu juga di zaman Luth, ketika para Malaikat menjungkir balikkan negeri kaumnya itu akibat sodomi dan perzinaan.

Sebuah pemahaman yang memerlukan eksplorasi lebih lauh, hubungan antara kualitas spiritual umat manusia dengan fenomena alam lingkungannya. Sebagaimana pernah tercetus dalam hadits Nabi SAW, “Dunia ini tidak akan kiamat, manakala masih ada seorang yang mengingat (dzikr) nama Allah”.
Hadits ini memantulkan makna betapa erat hubungan gravitasi spiritual dengan dunia material, khususnya dalam menjaga keseimbangan bumi.

Dalam Al-Qur'an disuratkan posisi manusia sebagai khalifah, namun juga memiliki potensi destruktif, sebagaimana diprediksi oleh malaikat tentang ulah manusia yang bisa merusak lingkungan bumi dan menumpahkan darah. Ibnu Araby, seorang ulama sufi terbesar abad 13 dari Spanyol, dalam tafsir sufinya memberikan penafsiran mengenai prediksi malaikat seputar potensi destruktif manusia dalam dua sifat negatif; Sifat nafsu kebinatangan (hewaniyah) yang berujung pada perusakan peradaban bumi di satu sisi; dan di sisi lain munculnya nafsu kebuasan (sabu'iyah) yang memproduksi kekejaman dan peperangan.

Sejauh itu, manusia juga memiliki potensi "kedekatan teologis" paling sempurna di antara makhluk Allah - lebih dekat daripada Malaikat - sehingga manusialah satu-satunya makhluk Allah yang memiliki otoritas peradaban bumi (khalifah) itu. Tetapi untuk membangun peradaban diperlukan adanya aturan-aturan bumi yang universal, dan karenanya kitab-kitab suci diturunkan, agar kelangsungan sejarah bumi tidak anarkis. Karena ketika terbukti anarkisme muncul, baik secara teologis, sosial maupun lingkungan, senantiasa diikuti oleh paradok-paradok alamiah yang sangat berpengaruh bagi ketentraman psikologi dan kehidupan sosio-kultural bumi.

Tinjauan sufistik ketika musibah baik gempa maupun banjir melanda wilayah negeri kita, khususnya di ibukota. Kita dibuat terjengah. Sudah sedemikian parahkah etika peradaban di ibukota? Masih adakah yang "menyaksikan Allah" di tengah air bah yang membanjiri rumah, sawah ladang dan jalan-jalan kita? Tanah longsor, dan gunung meletus, serta hutan yang terbakar, yang menimpa kebanyakan rakyat kecil. Lalu apakah mereka masih punya hak protes keadilan, kepada Allah atau kepada para elit? Pertanyaan-pertanyaan teologis di atas, akan semakin terbuka ketika kita membuka kembali lembaran-lembaran teosofik, sebagaimana wacana para sufi menggambarkan tentang musibah, nikmat, ibadah dan maksiat.

Sebab di sanalah ada nucleus peradaban paling "dini". Ketika kita ingin menelusuri hubungan psikologi manusia dengan Tuhan dan alam semesta. Perspektif sufi yang memandang musibah, termasuk banjir, secara teologis dikembalikan pada solusi "dari dalam", yaitu dari dimensi Ilahiyah. Banjir dan musibah mana pun merupakan "pesta spiritual" bagi kaum sufi. Karena sesungguhnya pada saat yang sama manusia harus menjenguk kembali benang merah spiritual yang tenggelam oleh carut marut ulahnya selama ini. Disebut "pesta" karena eksodus spiritual menuju kepada Allah terkadang muncul ketika musibah menjadi pintu masuknya. Sebagaimana As-Sakandary, Shohibul Hikam, memaparkan, “Terkadang Allah mentakdirkan sang hamba untuk berbuat dosa, agar sang hamba lebih dekat denganNya”.

Dengan kata lain, terkadang ketika kepatuhan-kepatuhan ruhani sebagai pendekatan yang menghubungkan manusia dengan Allah tidak lagi berjalan efektif dengan berbagai alibi penyimpangan spiritual, Allah "memaksakan" sifat-sifatNya yang tampil di bumi, melalui sifat-Nya Yang Maha Perkasa, Yang Maha Menyiksa, Yang Maha Besar, Yang Maha Adil dan Yang Maha Menghina. Sifat-sifat tersebut muncul di saat "bisikan-bisikan halusNya" tidak direspon dengan hormat oleh para hambaNya, maka Allah menyuarakan "bentakan-Nya", demi peradaban manusia itu sendiri. Dalam perspektif sufiologis, ada tiga matra yang bisa kita tampilkan, agar Allah senantiasa "tampak", sekali pun di atas genangan musibah banjir, sebagaimana kita alami saat ini. Ketika manusia menjalani kepatuhan ibadah kepadaNya, mereka harus melihat bahwa kemampuan ibadah itu semata karena karuniaNya yang muncul dalam gerak spiritual hamba. Bukan klaim usaha pcnghambaan, ikhtiar amal, atau pun jerih payahnya. Sebab klaim itu bisa menimbulkan dampak psikologis yang negatif, sehingga seseorang merasa paling agamis, paling suci, paling benar dan paling berprestasi spiritualitasnya.

Boneka Kriminil

Walaupun penjahat Amerika Serikat dan sekutunya telah selesai memborbardir rakyat tak berdosa Irak, tetapi mengapa kejahatan hampir di seantero dunia, termasuk Indonesia juga terus marak. Tidak jelas benar, adakah hubungan struktural antara Bush dengan penjahat dalam negeri kita? Atau setidak-tidaknya apakah ada boneka-boneka kejahatan yang mengalir ke Bush dari negeri ini?

Anehnya para penjahat kita juga sangat menyenangi membaca berita perang, ada juga yang menjagokan AS dan sekutunya, ada pula yang menjagokan Saddam Husein. Tapi mereka tidak selalu sebagai antek-antek kedua tokoh itu. Dalam kriminologi (ilmu tentang kejahatan), proses-proses tumbuhnya kejahatan biasanya karena tiga faktor. Kriminologi klasik menganggapnya sebagai kejahatan turunan yang muncul dari DNA jahat, sehingga watak jahatlah yang menimbulkan potensi kejahatan seseorang. Namun menurut kriminologi modern, kejahatan tumbuh karena lingkungan yang mendorong seseorang untuk jahat, balas dendam, tekanan materi, karena kecemburuan sosial, politik, ekonomi. Bisa juga karena harus melakukan tugas kejahatan demi meneladani kejahatan atasannya.

Pintarnya para penjahat tentu tidak lepas dari pintarnya iblis yang puluhan ribu tahun telah mempelajari manusia dalam laboratorium kejahatannya. Manusia memasuki arena gelap gulita. Mereka bersorak kelak di atas neraka. Allah sudah memberi wadah khusus berupa surga para penjahat, neraka! Rupanya neraka telah memberikan tempat yang nyaman pada setan, karena setan akan terpuaskan dengan kegelapan-kegelapan yang menyelimutinya.

Setan terus mengobarkan permusuhan, konflik, distabilisasi, demi kepentingan politiknya. Karena itu apakah Anda sendiri adalah setan atau bukan, sangat tergantung apakah Anda telah melakukan eksploitasi sifat-sifat jahat Anda untuk kepentingan hawa nafsu Anda?

Apakah Anda boneka-boneka kejahatan yang dengan bangganya Anda menjadi agen-agen penjahat dunia? Itu juga sangat tergantung apakah Anda merasa puas dengan sadisme yang Anda miliki di satu sisi dan hedonisme serta syahwatisme liar yang Anda manjakan.

Dan kesimpulannya, apakah Anda terus menerus menghindar dari Allah. Kemudian membangun alibi-alibi tertentu agar Anda tampak sebagai manusia yang berada sebagaimana dilakukan oleh Bush dan sekutunya? Jika demikian adanya, Anda telah memasuki lorong gravitasi penderitaan yang mengerikan di dunia ini. Sebab tak ada yang lebih menderita dibanding mereka yang menjauhi Allah dari atmosfir kehidupannya. Dan tak ada yang lebih hina dibanding mereka yang menerobos batas-batas Ilahiyah demi kepuasan nafsunya.

Kita bangun dunia kebajikan, tetapi tidak akan bisa memusnahkan kejahatan. Tugas kita memang memusnahkan kejahatan, dan bukan memberi hidayah pada para penjahat.