Tidak Pernah Rasulullah, saw menangis sehebat itu. Bahkan ketika kehilangan orang-orang yang sangat dicintainya. Ataupun ketika beliau mengalami tekanan-tekanan yang sangat berat dari kaum kafir yang menentangnya. Tangisan Rasulullah yang berlangsung semalaman itu terjadi sesaat setelah beliau menerima wahyu dari Allah, Sang Maha Berilmu, Ali lmran 190 - 191:
“Sesungguhnya di dalam Penciptaan langit dan bumi dan di dalam pergantian siang dan malam hari terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi (orang yang disebut) ulil albab. Yaitu orang-orang yang selalu ingat kepada Allah dalam keadaan berdiri, duduk, dan berbaring dan ia selalu berpikir tentang penciptaan langit dan bumi. Kemudian dia rnengatakan : ya Tuhanku tidak ada yang sia-sia segala yang Kau ciptakan ini. Maha Suci Engkau, maka hindarkanlah kami dari siksa api neraka.”
Bagaimanakah kejadian itu berlangsung? Diceritakan, suatu ketika Bilal seperti biasa mengumandangkan adzan Subuh. Biasanya, sebelum adzan Subuh itu selesai, Rasulullah sudah berada di dalam masjid untuk kemudian memimpin shalat berjamaah bersama para sahabat. Namun, tidak seperti biasa, Rasulullah Muhammad belum juga hadir meskipun Bilal sudah menyelesaikan kalimat terakhir adzannya. Ditunggu beberapa saat oleh Bilal dan para sahabat, Rasulullah tidak juga muncul di masjid. Akhirnya, karena khawatir terjadi sesuatu, maka Bilal pun memutuskan menjemput nabi, Yang 'rumahnya' bersebelahan dengan masjid tersebut.
Pintu bilik rumah nabi diketuk-ketuk oleh Bilal sambil mengucapkan salam. Tidak langsung ada jawaban dari dalam bilik. Namun, sejurus kemudian, nabi muncul sambil menjawab salam. Dan kemudian mempersilakan Bilal masuk.
Apakah Yang dilihat oleh Bilal? la melihat nabi dalam keadaan yang sangat mengharukan. Air mata berlinangan di pipi beliau. Matanya sembab, menunjukkan betapa beliau telah menangis cukup lama, semalam.
Karena khawatir melihat kondisi nabi, maka Bilal pun bertanya kepada beliau. Ada apakah gerangan, sehingga Rasulullah menangis seperti itu. Apakah nabi sakit. Ataukah nabi ditegur oleh Allah? Ataukah ada kejadian hebat lainnya? Maka, Rasulullah menjawab, bahwa beliau semalam telah menerima wahyu dari Allah. Lantas beliau membacakan QS. Ali Imran : 190 - 191, tersebut di atas.
Saya membayangkan ekspresi Bilal pada saat itu. Barangkali, dia tidak bisa mengerti dan tidak habis pikir, kenapa Rasulullah bisa menangis sehebat itu ketika menerima wahyu tersebut. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Apalagi, kalau kita baca Firman Allah itu tidak bernada menegur, atau memerintah untuk menjalankan kewajiban tertentu, misalnya.
Ayat tersebut, lebih menonjolkan kesan ilmu pengetahuan dan sikap seorang ilmuwan dalam memahami fenomena alam semesta ketimbang sebuah perintah untuk beribadah. Tetapi kenapa hati sang nabi sampai bergetar demikian rupa, sehingga tak mampu membendung air matanya?
Marilah kita coba mencermati :
Di awal ayat itu, Allah mengatakan bahwa sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian siang dan malam hari, terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang yang disebut ulil albab. Yaitu, lanjutnya orang-orang yang selalu berpikir, baik dalam keadaan duduk, berdiri, bahkan berbaring pun masih selalu teringat kepada Allah dan segala ciptaanNya. Sampai ia mendapatkan suatu kesimpulan akhir, bahwa segala ciptaan Allah di alam semesta ini tidak ada yang sia sia...
Ada beberapa kata kunci Yang bisa menuntun penafsiran kita dan kemudian memahami kenapa Rasulullah sampai menangis seperti itu, yaitu:
1. Penciptaan langit dan bumi
2. Pergantian siang dan malam hari
3 Tanda-tanda kebesaran Allah
4. Selalu berpikir tentang Allah
5. Tidak ada yang sia-sia
6. Maha Suci Allah
7. Hindarkan dari Api Neraka.
1. Penciptaan Langit Dan Bumi.
Apakah kehebatan penciptaan langit dan bumi ini sehingga Rasulullah menangisinya? Kenapa Allah memancing kita untuk mengamati dan memahami penciptaan langit dan bumi? Dan pernahkah kita terpancing untuk melakukannya? Kalau tidak, sungguh sayang sekali...
Sebenarnya Allah sedang memberikan jalan Yang luas dan lebar kepada hambaNya Yang ingin memahami dan berkenalan dengan Allah Sang Maha Pencipta. Bukankah Allah mengatakan, kalau kita ingin mengenali Allah, maka kenalilah ciptaanNya. Dan, ciptaan Allah yang bernama Langit dan Bumi ini ternyata sangatlah dahsyat, sehingga bisa menghantarkan kita untuk 'bertemu' dan menghayati Kebesaran Allah.
Bagaimana cara kita memahami proses penciptaan langit dan bumi itu. Bisakah hanya berdasarkan informasi-informasi dari Al Quran saja? Agaknya tidak bisa. Setidak-tidaknya kurang memuaskan. Mau tidak mau, kita harus melakukan pengamatan-pengamatan yang lebih mendalam tentang fakta yang tersebar di alam semesta ini. Harus bersifat empirik.
Namun, tidak semua kita memiliki kemampuan untuk melakukan penelitian ilmiah. Maka kita boleh membaca data-data dan analisis ilmu pengetahuan Astronomi yang sudah dilakukan oleh para ilmuwan agar bisa memahaminya. Semua data itu bisa diuji dan dibuktikan, meskipun pada gilirannya nanti tetap ada bagian-bagian yang harus disempurnakan secara ilmiah oleh generasi berikutnya. Tidak apa apa. Tidak menjadi masalah.
Akan tetapi, sebelum membahas tentang penciptaan langit dan bumi, terlebih dahulu saya ingin mengajak pembaca untuk memahami posisi kita di alam semesta yang sangat luas ini.
Seperti kita ketahui, lebih dari 5 miliar manusia hidup di sebuah planet yang bernama Bumi. Bentuknya hampir bulat. Agak pipih di bagian atas yang disebut sebagai Kutub Utara dan juga bagian bawah yang disebut Kutub Selatan. Bumi yang kita tumpangi bersama ini berputar kencang pada dirinya sendiri, dengan kecepatan sekitar 1.669 km per jam, di Equatornya. Namun kita tidak merasakannya, karena kita ikut berputar dalam sebuah kendaraan 'Bumi' yang sangat besar. Kita, bagaikan sedang berada di dalam sebuah pesawat angkasa luar yang berpusing.
Selain itu, Bumi juga mengitari matahari pada jarak sekitar 150 juta km, dengan kecepatan lebih dari 107.000 km per jam. Artinya, kendaraan angkasa luar kita yang bernama 'Bumi' ini sedang melaju, melesat mengembara di angkasa mengitari matahari.
Apa Yang menggerakkan bumi kita ini sehingga terus-menerus bergerak berputar pada dirinya sendiri, sekaligus mengitari matahari? Ternyata, ada sebuah gaya tarik yang sangat dahsyat yang terjadi antara matahari dan bumi, serta benda-benda langit lainnya. Mereka seperti terikat oleh sebuah tali yang tidak tampak, yang diputar-putar melingkar terpusat pada matahari. Pusatnya matahari, di sekelilingnya ada 9 planet, yaitu : Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Jupiter, Saturnus, Uranus, Neptunus, dan Pluto. Semuanya mengelilingi Matahari, sebagaimana Bumi.
QS. Luqman (31) : 10
“Dia telah menciptakan langit tanpa tiang sebagaimana kalian lihat, dan dia meletakkan gunung-gunung di bumi supaya bumi tidak Meng-guncangkan kamu dan memperkembangbiakkan padanya segala macam jenis binatang. Dan Kami turunkan air hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan padanya segala macam tumbuh-tumbuhan yang baik.”
Di planet Merkurius, yang paling dekat dengan Matahari tidak terdapat kehidupan, karena permukaan planetnya demikian panasnya. Bagaikan membara. Sedangkan di Pluto, yang terjauh dari Bumi, juga tidak terdapat kehidupan karena seluruh permukaan planetnya membeku, tertutup oleh es. Namun demikian, di planet-planet selain Bumi juga belum diketemukan kehidupan secara pasti. Apalagi manusia. Hanya di Bumi inilah makhluk yang bernama manusia ini bisa melangsungkan kehidupannya dengan baik. Tidak terlalu jauh dan tidak terlalu dekat dengan Matahari sebagai sumber energi kehidupan.
Kelompok 9 planet yang berpusatkan Matahari itu dinamakan Tatasurya. Ternyata, tatasurya kita ini bukanlah satu satunya tatasurya di alam. semesta. Ada miliaran, bahkan triliunan tatasurya yang terserak di jagad semesta.
Kalau kita ingin mengetahui lebih lanjut, cobalah keluar rumah malam hari. Di tempat yang terbuka dan sedikit gelap arahkan pandangan ke langit. Kalau langit sedang cerah, kita akan bisa melihat bintang-bintang bertaburan di angkasa raya.
Pernahkah kita bayangkan bahwa bintang-bintang itu sebenarnya adalah matahari, seperti matahari yang kita miliki di tatasurya kita. Karena begitu jauhnya jarak Matahari, itu dengan Bumi kita, maka ia kelihatan sangat kecil dan berkedip-kedip. Tapi, sesungguhnya bintang itu adalah matahari. Bahkan banyak yang ukurannya jauh lebih besar dari matahari kita.
Matahari Yang kita miliki ini, diameternya sekitar 200 kali bumi. Isinya adalah gas Hidrogen yang sedang bereaksi secara termonuklir menjadi gas Helium. Sedangkan bintang-bintang itu ada yang besarnya berpuluh kali atau beratus kali dibandingkan dengan besarnya matahari kita. Yang paling besar diketemukan oleh ilmuwan Astronomi adalah bintang Mu-cepe, yaitu sekitar 1.500 kali matahari, alias ratusan ribu kali besarnya bumi yang kita diami!
Begitu besar ukurannya. Tetapi kelihatan demikian kecilnya. Ya, semua itu karena jarak bintang-bintang itu sangat jauh dari bumi. Berapakah jarak bintang yang paling dekat dengan bumi? Informasi Astronomi mengatakan, jaraknya sekitar 8 tahun cahaya. Apakah artinya? Artinya, cahaya saja membutuhkan waktu tempuh 8 tahun untuk menuju bintang yang paling dekat itu. Jadi berapa kilometer ? Tinggal hitung saja.
Kecepatan cahaya adalah 300.000 km per detik. Jadi kalau cahaya membutuhkan waktu 8 tahun untuk sampai ke bintang itu, berarti jaraknya adalah 8 th x 365 hari x 24 jam x 60 menit x 60 detik x 300.000 km = 75.686.400.000.000 km atau sekitar 75 triliun kilometer. Sungguh jarak yang tidak pernah terbayangkan dalam kehidupan kita!
Bisakah kita pergi ke sana? Di atas kertas, mungkin saja. Tetapi, memakan waktu berapa lama? Marilah kita hitung. Semuanya bergantung pesawat yang kita gunakan. Andaikan saja kita naik pesawat, ulang alik seperti Challenger atau Columbia Ya berkecepatan 20 ribu km per jam. Berapa lama kita akan sampai di bintang tersebut?
Sehari, sebulan, setahun, sepuluh tahun, seratus tahun. Kita mati di tengah jalan, ternyata kita belum sampai di bintang yang paling dekat itu. Setelah 428 tahun kemudian, barulah kita sampai di sana. Kita membutuhkan 5 - 6 generasi untuk sampai di sana. Subbanallaah...
Padahal, tadi saya katakan, jumlah bintang di alam semesta ini triliunan. Setiap 100 miliar bintang membentuk gugusan yang disebut galaksi. Gugusan bintang yang kita tempati ini bernama galaksi Bimasakti. Di sebelah Bimasakti ada galaksi Andromeda, dan seterusnya, ada miliaran galaksi di jagad semesta ini. Dan, yang lebih dahsyat lagi, setiap 100 miliar galaksi membentuk gugusan galaksi yang disebut Superkluster. Dan seterusnya, jagad semesta ini belum diketahui batasnya.
Berapakah jarak gugusan bintang bintang itu? Bermacam macam. Ada yang berjarak 100 tahun cahaya. Artinya cahaya saja membutuhkan waktu 100 tahun. Ada yang 1000 tahun cahaya. Ada juga yang 1 juta tahun cahaya. Dan yang paling jauh, diketemukan oleh ilmuwan Jepang, berjarak 10 miliar tahun cahaya.
Ya, cahaya saja membutuhkan waktu 10 miliar tahun. Apalagi kita. Usia kita tidak ada artinya apa-apa dibandingkan kebesaran alam semesta ini.
Bahkan planet bumi yang kita tinggali bersama miliaran manusia ini juga tidak ada apa-apanya. Bumi bagaikan sebuah debu di hamparan Jagad ‘Padang Pasir’ Semesta. Di atas bumi yang bagaikan debu itulah miliaran manusia hidup dengan segala aktifitas dan kesombongannya! Masya Allah, sungguh begitu kecil kita, dan luar biasa dahsyat Sang Maha Perkasa...
Lantas bagaimana kita membayangkan Keperkasaan Allah yang menciptakan hamparan jagad semesta itu? Disinilah Allah memperkenalkan Dirinya lewat ciptaanNya yang benama Langit dan Bumi. Dan kita dipancingNya untuk memahami itu lewat firmanNya di QS. Ali Imran 190 191.
Ada lagi yang sangat unik ketika kita mengamati bintang bintang di angkasa. Sebagaimana telah saya sampaikan di muka, bahwa bintang-bintang yang bertaburan itu jaraknya sangat beragam, mulai dari matahari yang jaraknya 8 menit cahaya, bintang yang berjarak 8 tahun cahaya, sampai yang berjarak 10 miliar tahun cahaya.
Pernahkah Anda bayangkan, bahwa matahari yang kita lihat setiap pagi itu adalah matahari 8 menit yang lalu? Bukan matahari yang sekarang! Kenapa demikian? Ya, karena sinar matahari memerlukan waktu 8 menit untuk mencapai bumi, yang berjarak 150 juta km dari matahari. Berarti, matahari yang kita lihat pada saat itu adalah matahari 8 menit yang lalu! Aneh bukan?
Begitu juga ketika kita melihat kepada bintang yang berjarak 8 tahun cahaya. Bintang yang sedang kita amati itu bukanlah bintang saat ini, melainkan bintang pada saat 8 tahun yang lalu. Karena, sinar yang sampai di mata kita itu adalah sinar yang sudah melakukan perjalanan sejauh 8 tahun cahaya. Bukankah sinar butuh waktu untuk menempuh jarak?
Tidak berbeda dengan bintang-bintang yang berjarak lebih jauh lagi. Kalau kita sedang mengamati bintang berjarak 100 juta tahun cahaya, maka sebenarnya bintang yang sedang kita amati itu adalah kondisi 100 juta tahun yang lalu!
Jadi, kalau malam-malam kita sedang mengamati langit, sebenarnya kita bukan melihat langit yang sekarang saja. Tetapi pada saat yang bersamaan sedang melihat langit sekarang, langit 1000 tahun yang lalu, langit 1 juta tahun yang lalu, dan bahkan langit 10 Miliar tahun yang lalu ... ! Masya Allah, kita jadi merasa aneh dengan alam kita sendiri.
Lebih jauh, kalau kita ingin memahami kedahsyatan ciptaan Allah di alam semesta, marilah kita baca ayat berikut ini.
QS. Al Anbiyaa 30,
“Apakah orang-orang kafir itu tidak tahu bahwa langit dan bumi itu dulunya padu, lalu Kami pisahkan keduanya dengan kekuatan, dan Kami jadikan dari air setiap yang hidup, apakah mereka tidak percaya?”
Ayat di atas memberikan gambaran kepada kita bahwa alam semesta yang luar biasa besarnya itu dulunya satu, alias berimpit. Dikatakan bahwa langit yang berupa ruang angkasa dan bumi itu pernah tidak terpisahkan. Lantas, pada suatu ketika Allah memisahkan keduanya dengan kekuatan yang sangat dahsyat. Sehingga jadilah alam semesta seperti yang kita lihat sekarang.
Tetapi, sekali lagi, pemahaman yang baik baru bisa kita peroleh kalau kita melakukan pengamatan terhadap alam semesta dalam kegiatan empiris atau ilmu pengetahuan. Baik secara langsung maupun lewat informasi Astronomi.
Bagaimana mungkin kita bisa memahami bahwa langit dan bumi itu dulunya padu, kalau kita tidak mempelajari ilmu Astronomi. Firman Allah ini ternyata memang bisa kita pahami setelah kita membaca teori Big Bang alias teori ‘Ledakan Besar’.
Dalam teori tentang penciptaan alam semesta itu dikatakan bahwa langit dan bumi itu memang dulunya padu. Bagaimana kesimpulan itu diperoleh? Ternyata, dalam pengamatan teleskop Hubble, diketahui bahwa berbagai benda langit seperti planet, matahari, dan bintang-bintang semuanya sedang bergerak menjauh.
Kita melihat ke atas, benda-benda langit menjauh. Melihat ke ‘bawah’ di balik bumi benda-benda langit tersebut juga menjauh. Melihat ke kiri kanan, muka belakang, semua benda langit sedang menjauh. Apakah artinya?
Artinya, karena benda-benda langit itu kini sedang bergerak saling menjauhi ke segala arah, maka mestinya dulu, benda benda itu saling dekat. Lebih dulu lagi, benda-benda itu semakin dekat. Dan pada suatu ketika, miliaran tahun yang lalu, semua benda langit tersebut berkumpul di suatu titik yang sama, alias padu dan berimpit. Persis seperti yang dikatakan Al Quran.
Nah, dari hipotesa itulah, disusun sebuah teori yang disebut teori ‘Big Bang’. Teori itu mengatakan bahwa seluruh material dan energi alam semesta ini dulunya termampatkan ke dalam suatu ‘Titik’ di pusat alam semesta. Demikian Pula ruang dan waktu, semuanya dikompres ke dalam sebuah ‘Titik’ yang menjadi cikal bakal alam semesta, yang disebut sebagai Sop Kosmos.
Sop Kosmos itu, sangat tidak stabil karena mengandung energi, material, ruang, dan waktu yang demikian besarnya, sehingga akhimya meledak dengan kekuatan yang sangat dahsyat. Ledakan itu telah melontarkan material, energi, ruang dan waktu ke segala penjuru alam semesta hingga kini. Usianya sudah mencapai sekitar 12 miliar tahun.
Dalam kurun waktu sekitar 12 miliar tahun itulah tercipta benda benda langit secara berangsur-angsur. Mulai dari gugusan bintang bintang, matahari, planet-planet, dan bulan. Termasuk Bumi yang kita huni ini. Dipekirakan usia Bumi kita sekitar 5 miliar tahun.
Dan kemudian, di bumi yang semakin mendingin itu diciptakanlah kehidupan lewat sebuah proses evolusi kehidupan dari makhluk yang berderajat rendah satu sel sampai yang berderajat tinggi seperti manusia. Kehidupan pertama, oleh Allah dimulai dari perairan dari jenis ikan-ikanan, yang kemudian beralih ke daratan lewat proses kehidupan ampibi dan jenis hewan reptilia.
QS. Al Anbiyaa : 30
“…dan Kami jadikan dari air (permulaan) semua makhluk bidup …”
Sedangkan kehidupan manusia modern diperkirakan baru sekitar 50 ribu tahun yang lalu, berdasarkan fosil Cro Magnon yang ditemukan di daerah Timur Tengah. Fosil-fosil manusia modem inilah yang diperkirakan sejaman dengan kehidupan Nabi Adam As.
Kalau hipotesa ini memang benar, maka berarti usia kehidupan manusia ini dibandingakn dengan usia alam semesta sangatlah sebentar. Usia alam semesta sudah sekitar 12 miliar tahun, sedangkan usia peradaban manusia baru sekitar 50 ribu tahun.
Nah, jadi kembali kepada kata kunci yang pertama dalam QS. Ali Imran 190-191, kita kini memahami betapa dahsyat informasi yang terkandung dalam kalimat: “...inna fii khalqis samaawaati wal ardli...”
Rasulullah saw bisa memahami makna kalimat tersebut tanpa harus belajar ilmu Astronomi. Kenapa bisa demikian? Ada dua hal yang menjadi penyebabnya. yang pertama, setiap kali Allah menurunkan wahyu kepada nabi Muhammad, Allah langsung memasukkan makna wahyu itu ke dalam kalbu beliau. Wahyu tidak turun ke nabi melalui otak beliau, melainkan langsung ke dalam hati. Jadi, seperti ada sebuah tayangan video yang diputar di hadapan beliau, sehingga beliau langsung bisa memahami seluruh makna wahyu itu. yang kedua, harus diingat bahwa wahyu tersebut turun kepada Rasulullah pada periode Madinah. Artinya, Rasulullah sudah mengalami perjalanan Isra' Mi'raj. Jadi beliau telah mengalami sendiri perjalanan mengarungi jagad semesta. Maka, ketika menerima wahyu tersebut beliau bagaikan sedang 'bernostalgia' melakukan perjalanan Isra' Mi'raj. Sungguh tergambar secara nyata makna dari firman Allah tentang penciptaan langit dan bumi.
Maka tidak heranlah kita, Rasulullah tak mampu membendung air matanya ketika menerima wahyu tersebut. Gemetar seluruh jiwa raganya mengingat Kebesaran Allah di alam semesta. Dirinya menjadi begitu kecil dan tak berarti di hadapan Allah, Dzat Sang Maha Perkasa...
2. Pergantian Siang Dan Malam Hari
Kini kita mulai bisa memahami kenapa Rasulullah menangis ketika diingatkan Allah tentang penciptaan Langit dan Bumi. Lantas, bagaimanakah dengan “pergantian siang dan malam hari”? Saya jadi teringat firman Allah di dalam ayat berikut ini.
QS. Al Qashas (28) : 71-72.
“Katakan: terangkan kepadaku jika Allah Menjadikan untukmu malam terus sampai hari kiamat, siapa Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan sinar terang kepadamu? Maka apakah kami tidak mendengar?”
“’Katakan.’ terangkan kepadaku jika Allah merjadikan untukmu siang terus sampai hari kiamat, siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan malam kepadamu yang kamu beristirahat padanya? Maka apakah kamu tidak memperhatikan?”
Bisakah kita menjawab pertanyaan Allah ini? Atau, setidak tidaknya inginkah kita memberikan jawaban atas pertanyaan: “apa jadinya kalau bumi ini mengalami siang terus atau malam terus sampai hari kiamat ?” Saya kira ini sebuah pertanyaan yang sangat menggelitik untuk dianalisis.
Marilah kita cermati :
Misalkan saja kita ambil kondisi kota Surabaya. Suhu pada umumnya pagi hari di kota Surabaya, berkisar di bawah 30 derajat Celsius. Ketika siang mulai menjelang, maka suhu beranjak di atas 30 derajat. Dan puncaknya pada jam 12 siang sampai jam 14 siang, suhu udara bisa mencapai 33-34 derajat, atau bahkan lebih.
Pernahkah kita memperhatikan aspal jalan raya Surabaya pada siang hari. Di permukaannya terlihat mengepul uap tipis, dan aspalnya menjadi lembek. Diperkirakan panas permukaan jalan raya itu di atas 50 derajat. Kalau disiramkan air di sana, tak berapa lama kemudian air itu akan menguap, dan jalanan itu pun kering kembali.
Kita lihat contoh di atas. Hanya dalam kurun waktu setengah hari saja, panas udara dan permukaan bumi bisa mengalami peningkatan suhu yang demikian tinggi. Apa jadinya kalau matahari tidak bergeser ke arah barat, tetapi tetap berada di atas kita terus-menerus?
Diperkirakan, dalam waktu 100 jam, air di permukaan bumi akan mulai, mendidih, dan banyak yang mulai menguap. Dan kemudian apa yang terjadi 100 jam berikutnya? Diperkirakan seluruh air di muka bumi sudah habis menguap, dan darah di tubuh kita pun ikut mendidih, Dengan kata lain, tidak ada kehidupan yang tahan di bumi yang hanya punya siang terus-menerus!
Lho, jadi tidak perlu menunggu sampai hari kiamat seperti retorika Allah dalam. firmanNya tersebut di atas? Ya, begitulah, cukup dengan 200 jam saja!
Sebenarnya Allah sudah tahu secara pasti bahwa seluruh kehidupan di muka bumi ini akan mengalami kemusnahan kalau di bumi hanya ada siang terus-menerus. Akan tetapi, Allah mempertanyakan kepada kita, dengan maksud untuk memancing perhatian kita. Dan kemudian memahami betapa besar kasih sayang Allah yang dicurahkan untuk kita semua ...
Sebaliknya, apakah yang terjadi jika Allah hanya menciptakan malam terus di bumi? Cobalah lihat suhu udara di daerah padang pasir, sebutlah di Arab Saudi. Pada keadaan normal, siang hari di sana bisa mencapai 50 derajat celsius, sedangkan malam hari bisa mencapai 14 derajat. Puncaknya adalah antara jam 12 malam sampai sekitar 2 dini hari.
Apakah yang terjadi dalam kurun waktu 100 jam setelah suhu terendah itu? Jika, matahari tidak pernah muncul lagi, alias malam terus, maka dalam kurun waktu itu suhu akan terus-menerus turun hingga mencapai 0 derajat, dimana air akan mulai membeku. Dan ketika diteruskan sampai 100 jam berikutnya, maka seluruh air di muka bumi akan membeku, termasuk cairan tubuh kita!
Jadi, sungguh sangatlah dahsyat dampak dari pergantian siang dan malam hari. Sebuah rutinitas yang tidak semua kita pernah memikirkannya. Karena itu Allah memancing kita untuk memahami. Apakah tujuan utamanya? Tak lain, agar kita sadar bahwa di balik terjadinya rutinitas pergantian siang dan malam hari itu terdapat sesuatu yang luar biasa yang berkait dengan Sebuah Kekuatan Besar yang mengendalikan alam sekitar kita, yaitu Sang Maha Perkasa.
Bahkan, kalau kita lihat lebih jauh.tentang pergerakan matahari, dampaknya bukan hanya pada pergantian siang dan malam hari saja. Pergerakan matahari sebenarnya ditentukan oleh dua hal : yang pertama oleh perputaran bumi pada porosnya atau pada dirinya sendiri. Dan yang kedua disebabkan oleh perputaran bumi pada orbitnya, yaitu perputaran bumi mehgelilingi matahari.
Perputaran bumi pada dirinya sendiri disebut juga Rotasi bumi. Sekali berputar, bumi membutuhkan waktu 24 jam. Inilah yang disebut sehari semalam. Akan tetapi jika kita amati lebih jauh, lamanya malam dan lamanya siang selalu bergeser-geser. Kadang lebih panjang malamnya. Kadang lebih panjang siangnya. Kenapa bisa demikian? Ini disebabkan oleh pergerakan bumi mengelilingi matahari, yang juga disebut Revolusi Bumi.
Satu kali revolusi bumi membutuhkan waktu 3651/4 hari. Atau disebut juga sebagai waktu setahun.
QS. Luqman (31):29
“Tidakkah kamu memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah memasukkan malam kepada siang dan memasukkan siang kepada malam, dan Dia tundukkan matabari dan bulan masing-masing berjalan sampai waktu yang ditentukan, dan sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”
Efek dari pergerakan bumi mengelilingi matahari ini adalah terjadinya musim di permukaan bumi. Kita lihat, di negara-negara tropis terjadi musim hujan dan musim kemarau. Sedangkan di negara-negara sub tropis terjadi musim Salju, musim Semi, musim Panas dan musim Gugur. Kehidupan manusia di muka bumi menjadi demikian indah dan dinamis.
Pergerakan musim ini juga menyebabkan terjadinya waktu panen dan berbuah yang berbeda-beda. Di sekitar musim kemarau misalnya bermunculanlah buah-buah yang mengandung banyak air seperti Mangga, Belimbing, Melon, Semangka, Jeruk, dan lain sebagainya. Sedangkan di sekitar musim Hujan banyak buah-buahan seperti Durian, Apokat, Salak, Nangka, dan lain sebagainya. Semua buah-buahan itu bermanfaat bagi kehidupan dan kesehatan manusia, sesuai dengan musimnya.
3. Tanda-Tanda Kebesaran Allah
Saya kira semua sependapat, bahwa Allah tidak bisa kita lihat, tidak bisa kita dengar, atau kita observasi dengan seluruh panca indera kita. Kenapa demikian? Ya, karena panca indera kita sangat terbatas kemampuannya.
Jangankan melihat Allah, melihat matahari saja mata kita akan langsung buta! Jangankan mendengar Allah, mendengar ledakan petasan di dekat telinga saja, kita akan tuli. Jadi begitu lemahnya panca indera kita. Maka, jangan berharap kita bisa ‘bertemu’ Allah dengan menggunakan panca indera kita. Allah hanya bisa kita ‘lihat’ sekaligus kita ‘dengar dan rasakan’ hanya dengan hati atau kalbu. ‘Penglihatan’ dengan hati ini akan kita bahas di bagian lain.
Lantas apa yang bisa kita perbuat dengan panca indera berkaitan dengan pendekatan kita kepada Allah? Yang bisa kita observasi lewat panca indera dan akal kita hanyalah ‘tanda-tandaNya’ atau dalam bahasa Al Quran disebut ‘ayat-ayatNya’.
Suatu ketika, nabi Musa as pernah ingin melihat Allah, agar hatinya semakin yakin. Allah sudah mengatakan bahwa Musa tidak akan mampu melihat Allah. Tetapi beliau 'ngotot' untuk bisa melihatNya. Maka, Allah pun memenuhi keinginan nabi Musa.
Tapi apa yang terjadi? Allah baru menampak kan cahayaNya saja, gunung Sinai tempat berpijak nabi Musa mengalami gempa vulkanik yang luar biasa dahsyat. Sehingga Musa pun terpental dan pingsan. Setelah siuman, beliau baru menyadari bahwa manusia tidak mungkin melihat Allah dengan panca inderanya. Jangankan manusia, alam semesta pun tidak mampu menerima Eksistensi Dzat Yang maha Besar dan Maha Agung itu.
QS. Al A'raaf : 143
“Dan ketika Musa datang untuk (bermunajat kepada Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman kepadanya, berkatalah Musa .. Ya Tuhanku, nampakkanlah (DiriMu) kepadaku agar aku dapat melibatMu. Tuhan berfirman : Kamu sama sekali tidak akan mampu melibatKu, tapi lihatlah bukit itu, jika ia tetap di tempatnya, maka kamu akan mampu melihatKu. Ketika Tuhan menampakkan Diri kepada gunung itu, maka hancurlah gunung itu, dan Musa pun pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata : Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepadaMu dan aku adalah orang yang pertama-tama beriman.”
QS. Asy Syuura : 51
“Dan tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengannya kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir, atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizinNya apa yang Dia kehendak. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.”
Jadi, manusia demikian ringkihnya di hadapan Allah. Kalau manusia ingin berkenalan dengan Allah, itu bisa dilakukan melalui ‘tanda tanda’ yang tersebar di alam semesta dan termaktub di dalam Al Quran. Yang pertama disebut sebagai Ayat Kauni dan yang kedua disebut sebagai Ayat Qurani. Kedua-duanya berfungsi sama, yaitu menuntun kita untuk lebih memahami Allah, mengenalNya, berinteraksi, dan lantas kembali : menyatu dengan Dzat Yang Maha Tunggal lagi Maha Agung.
Apakah bentuk tanda-tanda itu? Kalau yang berada di dalam Al Quran, kita bisa langsung membacanya. Kemudian menganalisisnya sesuai dengan ilmu bahasa dan tafsir. Akan tetapi, sebagaimana telah saya sampaikan sebelumnya, bahwa penafsiran Quran dari sisi bahasa saia tidaklah cukup untuk mengenal Allah. Kita harus memadukannya dengan ayat-ayat yang tersebar di alam semesta.
Coba bayangkan bagaimana kita bisa memahami langit yang tujuh, misalnya, kalau kita tidak belajar ilmu Astronomi. Atau, bagaimana pula kita bisa beriman kepada hari kiamat, kalau kita tidak memahami mekanisme kiamat tersebut dari data-data empirik ilmu pengetahuan. Dan, bagaimana juga kita bisa menafsirkan QS. Al Ma'arij : 4, Yang bercerita tentang relativitas waktu malaikat dan manusia, kalau kita tidak belajar rumus-rumus relativitasnya Einstein, dst. Begitu banyaknya ayat-ayat Allah di dalam Al Quran yang tidak bisa kita pahami, tanpa memadukannya dengan data-data ilmu pengetahuan modern.
Selain melakukan pendekatan lewat ayat-ayat Quran, kita juga bisa langsung mengobservasi ayat-ayat tersebut dari ayat Kauniah yang tersebar di seantero alam ini. Hal inilah yang dilakukan oleh nabi Ibrahim, ketika mencari Tuhan. Akhirnya beliau bertemu dengan Allah setelah bereksperimen secara trial and error, seperti digambarkan Allah berikut.
QS Al An'aam : 76-79
“Ketika malam telah menjadi gelap dia melibat sebuab bintang (lalu) dia berkata : Injah Tuhanku. Tapi tatkala bintang itu tenggelam, dia berkata aku tidak suka kepada yang tenggelam.
“Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit, dia berkata : Inilah Tuhanku. Tapi setelah bulan itu terbenam dia berkata : Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku pastilah aku termasuk orang orang yang sesat.”
“Kemudian ketika dia melihat matahari terbit, dia berkata : Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar. Maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata hai kaumku sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.”
"Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuban.”
Bayangkan beliau, yang rasul kesayangan Allah itu, pernah mengira bahwa bintang, bulan, dan matahari adalah Tuhan. Meskipun, akhirnya beliau menemukan bahwa semua itu hanyalah ciptaanNya belaka. Tetapi, beliau sempat melakukan kekeliruan-kekeliruan dalam mencari Tuhan. Tidak langsung final, ketemu. Tidak apa-apa. Semua ada prosesnya. Yang penting konsisten dan serius mencari Allah, Insya Allah Dia akan membimbing hambaNya yang ingin bertemu denganNya.
Betapa banyaknya para ilmuwan yang bertemu Tuhan karena melihat kedahsyatan ilmu Allah di alam semesta. Bayangkan misalnya, bagaimana kita tidak ‘terperangah’ melihat jantung yang ada di dalam dada kita terus berdenyut tanpa ada baterainya, sejak di dalam rahim pada bulan pertama. Ini sebuah keganjilan, bagi orang-orang yang mau berpikir.
Ketika bayi masih di dalam rahim, paru-parunya juga belum bekerja. la mendapat makanan dari sang ibu lewat ari-arinya (plasenta). Tapi, begitu lahir, si bayi ini kemudian ditepuk-tepuk oleh si bidan, dan akhirnya paru dan jantungnya bekerja. Kerja jantung dan paru itu terus terjadi tak pernah berhenti sepanjang usianya. Ini sungguh sebuah ‘fenomena’ yang sangat dahsyat menyangkut kehidupan manusia, yang bisa membawa kita untuk berkenalan dengan Sang Maha Pencipta.
Atau pernahkah kita berpikir, kenapa bumi ini terus berputar pada porosnya? Darimanakah perintah untuk berputar itu datang? Dan dari mana pulahkah energi yang digunakan untuk berputar terus selama miliaran tahun itu? Apakah Anda menangkap keganjilan ini.
Padahal kalau bumi ini tidak berputar (berotasi) pada porosnya, di bumi ini tidak akan terjadi kehidupan. Ya, karena di bagian yang menghadap matahari akan terjadi siang terus-menerus. Sedangkan yang membelakangi matahari akan terjadi malam terus. Apa akibatnya, sudah kita bahas di bagian sebelumnya.
Kita melihat ada sebuah campur tangan yang luar biasa dahsyat, untuk memutar bumi selama miliaran tahun. Besarnya energi pemutar itu, tak akan pernah terbayangkan oleh pikiran kita. Apalagi selama kurun waktu miliaran tahun. Kalau seandainya, semua batubara, minyak, bahan bakar nuklir, dan seluruh sumber energi yang ada di bumi ini dibakar untuk memutar bumi itu, maka sudah bisa dipastikan tidak akan mencukupi!
Padahal kita tahu, bukan hanya bumi yang berputar atau berotasi. Bulan juga berputar; selain pada dirinya sendiri, ia juga mengelilingi bumi. Bumi mengelilingi matahari. Matahari berputar juga mengelilingi pusat galaksi. Dan seluruh galaksi yang jumlahnya miliaran itu, juga berputar putar mengelilingi pusat Superkluster dan alam semesta. Subbanallaah, betapa besarnya kekuatan yang terlibat dalam pergerakan benda benda di jagad raya ini!
QS. Ar Ra'du (13) : 2
“Allah lah yang meninggikan langit tanpa tiang, yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas Arsy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar bingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan, menjelaskan tanda-tanda, agar kamu meyakini pertemuan dengan Tuhanmu”
Kembali kepada tanda-tanda kebesaranNya, masih demikian banyak tanda-tanda Kebesaran Allah di alam semesta ini yang bisa kita jadikan ‘Jalan’ untuk lebih mengenalNya. Bahkan jumlahnya tak berhingga.
Di pepohonan yang sedang berbuah dan bermekaran bunganya, terdapat tanda-tanda Kebesaran Allah. Di atmosfer bumi yang memayungi kita dari ancaman meteor-meteor, juga terserak ayat-ayat Allah. Di miliaran jenis binatang laut, darat dan udara yang begitu indah juga terdapat bukti-bukti kebesaranNya.
Bahkan, di sekujur tubuh kita : di setiap tarikan nafas kita, di aliran darah dan denyut jantung, di rambut, di mata, telinga dan seluruh panca indera, sampai kepada bisikan hati yang paling dalam. Semuanya memberikan tanda-tanda Kebesaran Allah kepada orang-orang yang mau berpikir. Tak akan pernah selesai kita tuliskan, meskipun menggunakan tinta dari tujuh lautan, seperti difirmankan Allah...
QS. Luqmaan (31) : 27
“Dan Seandainya pohon-pohon di bumi Menjadi Pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering) nya, niscaya tidak akan habis habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
4. Selalu Berpikir Tentang Allah.
Kata kunci Yang berikutnya dalam memahami QS. Ali Imran : 190-191 adalah ‘selalu berpikir tentang Allah’. Penggalan kalimat ini juga sangatlah mendalam. Lagi-lagi Allah ingin mengajak kita untuk berinteraksi denganNya.
Bayangkan firman yang disampaikan Allah dalam ayat tersebut : "...yaitu orang-orang yang selalu berpikir dalam keadaan berdiri, duduk, dan berbaring, ia selalu memikirkan tentang kejadian langit dan bumi... "
Seakan-akan Dia ingin mengatakan kepada kita bahwa kunci kedekatan seorang Hamba dengan Tuhannya, salah satunya, adalah selalu berpikir tentang Allah, lewat ayat-ayatNya yang terserak di seluruh penjuru alam ini. Nabi Ibrahim melakukan itu sepanjang hayatnya. Nabi Musa juga. Demikian pula nabi Muhammad, sejak beliau berada di Gua Hira' sampai akhir hayatnya.
Berpikir adalah salah satu kunci kedekatan kita dengan Allah. Ini menunjukkan bahwa Allah sangat menghargai pikiran kita. Orang yang tidak berpikir dan tidak menggunakan akalnya, termasuk golongan yang dimurkai Allah.
QS. Yunus (10) : 100
“Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.”
QS. Al Baqarah (2)
“Allah menganugerahkan al hikmah kepada siapa yang Dia kebendaki, Dan barangsiapa yang dianugerahi, al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran.”
Kita juga tahu, bahwa agama ini memang diperuntukkan bagi makhluk yang berakal. Sebagai contoh tumbuhan dan binatang, yang tidak berakal, tidak dikenai kewajiban beragama. Demikian pula, manusia yang dalam keadaan pingsan, mabuk, gila, atau mati suri dimana akalnya tidak jalan juga tidak dikenai kewajiban beragama. Sangat jelas bahwa agama hanya cocok untuk makhluk yang berakal.
Karena itu, Allah juga secara tersirat maupun tersurat, menegaskan bahwa kita harus berpikir untuk menjalani agama ini. Apalagi untuk ‘bertemu’ dengan Allah.
Nah, dalarn ayat tersebut bahkan dikatakan tidak cukup berpikir hanya kadang-kadang saja. Berpikir harus total, sepanjang waktu kita. Baik dalam keadaan sedang berdiri, duduk, tidur tiduran, dan apa pun aktifitas kita. Semuanya harus diorientasikan kepada Allah. Itu kalau kita ingin bertemu dengan Nya.
Apakah esensi dari aktifitas berpikir yang seperti itu? Intinya, kita harus menghubungkan setiap aktifitas kita apa pun bentuknya, semata-mata Lillaahi Ta'ala. Tidak ada tujuan lain dalam hidup kita kecuali untukNya. Mulai dari bangun tidur, shalat Subuh, olahraga pagi, sarapan, bekerja, istirahat, belanja, dan seterusnya sampai kita tidur kernbali, harus berorientasi kepada Allah. Bahkan tidur itu sendiri, harus berorientasi kepada Allah.
Ada sebuah kisah menarik pada jaman Rasulullah. Pada suatu ketika, Rasulullah shalat berjamaah dengan para sahabat. Usai shalat berjamaah, ada sahabat yang masih melanjutkan dengan shalat-shalat sunnah, dan ada pula yang berbaring melepas lelah kemudian tertidur di serambi masjid.
Tiba tiba saja, Rasulullah melihat ada setan masuk ke dalam masjid. Apa yang dilakukan setan itu? Ternyata ia mencoba mengganggu orang yang sedang shalat. Kemudian, oleh Rasulullah setan itu ditangkapnya. Beliau mengumpulkan beberapa sahabat, dan menjelaskan bahwa ada setan yang tertangkap karena sedang mencoba menggoda sahabat yang sedang shalat.
Di hadapan para sahabat, Rasulullah bertanya kepada si setan : kenapa ia mengganggu orang yang sedang shalat. Apakah ia tidak takut, Dan kenapa tidak mengganggu orang yang sedang tidur?
Apa. jawab si setan? la mengatakan: bahwa ia justru takut untuk mengganggu orang yang tertidur itu, karena si orang yang sedang tidur hatinya sedang berdzikir kepada Allah. Sedangkan orang yang shalat itu, hatinya tidak khusyuk. Bahkan teringat segala macam aktivitas keduniaannya ...
Kenapa berpikir menjadi kunci dari keberhasilan proses pendekatan kita kepada Allah? Tidak bisakah kita tanpa berpikir lantas bisa dekat dengan Allah?
Rasanya sulit untuk mengatakan bahwa tanpa berpikir manusia bisa mendekatkan diri kepada Allah. Allah sendiri berulang-ulang mengatakan di dalam Al Quran bahwa manusia harus berpikir, dan Dia sangat menghargai orang orang yang berpikir dengan baik. Berpikir menunjukkan bahwa kita hidup. Orang yang sudah tidak bisa berpikir, pada hakikatnya dia sudah ‘mati’. Dan orang yang sudah mati, tidak dikenai lagi kewajiban beragama.
Allah mengatakan di dalam QS Al Israa (17) : 36
“Dan janganlah kalian mengikuti apa-apa yang kalian tidak memiliki ilmunya. Sesungguhnya Pendengaran, Penglihatan dan hati, semua itu akan diminta Pertanggungjawabannya.”
Artinya kita tidak boleh ikutan-ikutan saja dalam mengerjakan sesuatu. Itu bisa berbahaya, dan lantas kita sulit untuk mempertanggung jawabkannya. Harus punya ilmunya, kata Allah. Itu artinya kita harus banyak-banyak berpikir.
Dan kalau kita membaca Al Quran, betapa banyaknya Allah menyindir kita dengan kalimat-kalimat : afalaa ta’qiluun (apakah kalian tidak berakal) afalaa yandzuruuna (Apakah kalian tidak melakukan observasi), afalayatafakkaruun (apakah kalian tidak berpikir), dan lain sebagainya.
Berpikir menjadi entry point (pintu masuk) bagi proses pendekatan kita kepada Allah. Seseorang tidak akan memiliki keimanan yang kuat kalau tidak melalui proses berpikir. Hal ini sudah ditunjukkan oleh para nabi besar, seperti Ibrahim, Musa dan Muhammad. Memang, para nabi itu memperoleh ilmunya tidak lewat berguru, tetapi lewat wahyu dari Allah, yang langsung masuk ke kalbunya. Akan tetapi, semua itu selalu didahului dengan sebuah proses berpikir secara total, yang cukup panjang.
Nabi Ibrahim misalnya lewat proses dialognya dengan alam semesta. Nabi Musa dengan ‘bertapa’ di gunung Sinai. Dan nabi Muhammad lewat proses berkhalwat di gua Hira'. Semua itu adalah proses awal berupa perenungan-perenungan untuk memperoleh ilmu yang sangat tinggi dan mendalam. Maka kalau kita ingin memperoleh kedekatan dengan Allah lakukanlah apa-apa yang telah dialami oleh para nabi besar itu. Atau dalam konteks ini, jalankanlah apa yang diisyaratkan Allah dalam QS Ali Imran 190-191 tersebut : selalu berpikir dalam keadaan berdiri, duduk, dan berbaring…, apa pun aktifitas kita.
5. Tidak Ada Yang Sia-Sia
Orang yang disebut sebagai 'Ulil Albab' di dalam wahyu itu akhirnya memiliki kesimpulan : Rabbanaa maa kbolaqtabaadzaa baatila , Ya Tuhanku, tidak sia-sia segala yang Engkau ciptakan ini ...
Kapankah seseorang bisa memiliki kesimpulan bahwa segala sesuatu yang dia pelajari itu tidak sia-sia? Jawabnya hanya satu, yaitu ketika dia sudah sangat memahami tentang apa yang dia pelajari. Barulah dia bisa mengatakan bahwa ternyata segala yang dicipta oleh Allah semuanya ada manfaatnya. Betapa mendalamnya kalimat ini...
Orang yang belum mengerti tentang apa yang dia pelajari dia tidak akan bisa mengatakan bahwa sesuatu itu bermanfaat alias tidak sia sia. Jadi, bisakah Anda bayangkan bahwa wahyu Allah tersebut seakan akan menggambarkan sebuah kurun waktu yang sangat panjang dalam kehidupan seseorang. Barangkali sepanjang usianya.
Di ayat itu, sang pemikir digambarkan selalu gelisah untuk bisa bertemu dengan Allah. Karena itu ia selalu berpikir tentang tanda-tanda kebesaranNya sepanjang hidupnya. Baik, ia sedang berdiri, duduk, bahkan tidur. Ketika ia sedang susah maupun senang. Ketika sedang sendiri maupun sedang beramai-ramai. Dan, segala aktivitas kehidupannya.
Setelah berpuluh-puluh tahun kemudian sebagaimana Ibrahim akhirnya ia mendapatkan satu kesimpulan bahwa Allah memang Sang Pencipta Yang Maha Pintar dan Maha Bijaksana. Tak ada satu benda pun yang tidak bermanfaat di alam semesta ini. Barangkali, kalau aktivitas berpikirnya itu dibukukan, itu akan menjadi sebuah informasi ilmu pengetahuan yang hebat dan dahsyat. Kenapa demikian? Ya, karena kesimpulannya mengatakan bahwa ia sangat paham dengan fakta yang terserak di alam semesta ini, dan bisa berkata : Tidak sia-sia segala yang ada ...
Begitulah Allah memancing kita untuk mempelajari alam semesta ciptaanNya. Hasil akhirnya, bukannya sekadar kita puas dengan ilmu yang kita peroleh, melainkan kita mendapatkan satu kesimpulan esensial, yaitu lebih mengenal Dzat, Sang Penguasa Semesta.
Saya yakin, bahwa kita masih sering menganggap sesuatu yang terjadi di sekitar kehidupan kita adalah sia‑sia. Atau setidak‑tidaknya biasa‑biasa saja. Tidak ada gunanya. Dan tidak memberikan tanda‑tanda bagi eksistensi serta keterlibatan Allah.
Ambil saja centoh. Allah mengatakan bahwa Dia tidak merasa malu menciptakan nyamuk. Apakah kita pernah berpikir bahwa nyamuk adalah ciptaan Allah yang luar biasa rumit dan memiliki peran dalam kehidupan kita?
QS Al Baqarah (2) : 26
“Sesungguhnya Allah tidak malu membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu...”
Sampai saat ini tidak ada seorang ahli robot pun yang bisa meniru membuat nyamuk. Seluruh ilmu pengetahuan sepanjang peradaban manusia belum cukup untuk digunakan membuat nyamuk. Untuk meniru gerakan kakinya saja, para ahli robot terkemuka di dunia tidak bisa menirunya. Apalagi meniru alat penglihatannya, pencernaannya, sayapnya, instinknya dan seluruh proses metabolisme yang menyebabkan dia hidup dan berkembang biak.
Belum lagi peran dalam ekosistem kehidupan kita. Keterlibatannya dengan berbagai macam penyakit, yang lantas memberikan kontribusi pada kehidupan sosial dan kesehatan manusia. Seekor nyamuk bisa menghabiskan umur kita untuk memahaminya lewat sebuah penelitian yang panjang. Dan akhimya kita akan mengatakan bahwa Allah tidak sia‑sia menciptakan nyamuk dalam kehidupan di muka bumi ini.
Atau pernahkah kita berpikir tentang lebah? Darimana ia memperoleh instink untuk 'memproduksi' madu yang ternyata bisa menjadi obat itu? Berapa nilai ekonomi dan kesehatan yang telah dihasilkan oleh serangga yang hidup bergerombol bersama sang ratu lebah itu.
Bahkan, bukan hanya makhluk berupa binatang atau tumbuhan saia yang menarik untuk dipikirkan. Kejadian‑kejadian yang melingkupi kehidupan kita pun tidaklah ada yang sia‑sia. Semuanya mengandung pelajaran dan hikmah untuk kita ambil sebagai pelajaran dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.
Suatu ketika ayah teman saya mengalami kecelakaan sampai meninggal dunia. Kejadiannya sendiri memang terkesan 'aneh'. Setiap pagi, dia selalu berangkat ke toko tempat dia jualan pukul 07.00. Pada hari itu, entah apa yang menyebabkan dia enggan berangkat pada jam seperti biasanya. Dia sudah keluar rumah untuk berangkat tetapi ditundanya, dan dia masuk kembali ke rumah. Sejam kemudian dia baru berangkat. Dan ketika dia menyeberang jalan menuju ke tokonya, dia tertabrak mobil. Kemudian meninggal dunia.
Sepintas lalu kita, akan mengatakan bahwa hal itu adalah biasa saja. Akan tetapi kalau kita cermati, kita lantas bisa bertanya‑tanya : kenapa dia menunda kebiasaannya pergi pukul tujuh pagi, sehingga bertepatan dengan mobil yang melintas di jalan itu, dan kemudian menabraknya. Siapakah yang membuat semua itu terjadi secara tepat waktu? Apakah semua itu kebetulan? Padahal kalau kejadian itu berbeda 1 menit saja, kecelakaan itu tidak terjadi.
Rasanya tidak ada yang ‘kebetulan’ dalam hal ini. Setiap detik telah diperhitungkan Allah untuk mempertemukan kejadian itu. Kecepatan langkah sang ayah dan kecepatan mobil penabrak berjalan demikian akurat, sehingga bertemu di tempat kejadian itu. Meleset sedikit saja, maka kecelakaan itu tidak akan terjadi.
Maka, dengan beberapa contoh di atas, saya ingin mengatakan bahwa segala kejadian yang berlangsung di sekitar kita tidak ada yang kebetulan dan tidak ada yang sia-sia. Semuanya berlangsung dalam sebuah skenario yang sangat teliti dan ada hikmahnya.
Kita makan, minum, tidur, bekerja, tersandung, kesedak, sakit, menikah, punya anak, dapat rezeki, dan segala macam aktivitas kita, tidaklah ada yang kebetulan dan sia-sia. Sekali lagi, semuanya terjadi dalam frame yang jelas dan dengan tujuan yang jelas pula.
Inilah kira kira Yang bisa kita petik dari penggalan ayat dalam wahyu tersebut. Pemahaman yang komprehensif terhadap segala yang ada justru akan membawa kita kepada suatu kesimpulan yang terfokus pada Kekuasan Allah, sang Maha Perkasa.
6. Maha Suci Allah
Kalimat Subhanallaah di dalam agama Islam dianjurkan untuk diucapkan ketika kita melihat sesuatu yang mempesona atau sesuatu yang luar biasa. Maka, ketika sang pemikir mengucapkan kalimat itu di akhir wahyu tersebut, kita menangkap nuansa bahwa ia sedang terpesona oleh Keagungan dan Kebesaran Allah.
Situasi ini konsisten dengan kalimat sebelumnya, di atas, di mana ia mengatakan tidak sia-sia segala yang diciptakan Allah. Kedua duanya memberikan kesan kepada kita bahwa sang pemikir telah melakukan sebuah proses berpikir dan pengamatan yang sangat mendalam, sehingga ia sampai terpesona. Orang yang sekedar berpikir asal-asalan tidak akan pernah mencapai tingkatan terpesona. Orang hanya bisa terpesona ketika dia sangat menghayati kenyataan luar biasa yang sedang dihadapinya ... !
Maka, lagi-lagi kita menemukan bahwa wahyu yang diturunkan Allah kepada nabi Muhammad itu memang memiliki makna yang luar biasa dahsyatnya, sehingga Rasulullah pun menangis semalaman...
Di dalam Al Quran Allah memberikan banyak gambaran tentang makhluk yang bertasbih, me Maha Suci kan Allah. Ada suatu kesan yang kuat bahwa mereka yang me Maha Suci kan Allah itu adalah mereka yang telah begitu memahami bahwa Allah memang benar-benar Tuhan semesta alam.
QS. Al Israa’ (17) : 44
“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada satu pun melainkan bertasbih dengan memujiNya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah maha Penyantun lagi Maha Pengampun.”
Kalau kita mencoba mencermati firman di atas, maka kita akan mengambil kesimpulan bahwa yang disebut tasbih dalam hal ini bukanlah sekedar mengucapkan Subhanallah. Kenapa demikian? karena
kalimat di atas memberikan gambaran kepada kita bahwa benda-benda mati pun seperti langit dan bumi, dan segala macam isi alam semesta ternyata bertasbih kepadaNya.
Tentu kita semua tahu bahwa benda-benda itu tidak bisa berkata kata, seperti manusia. Termasuk tentu saia mereka tidak bisa mengucapkan subhanallah. Apalagi lantas Allah memberikan penegasan Pada kalimat berikutnya, bahwa kita kebanyakan manusia tidak mengerti tasbih mereka. Karena mereka memiliki caranya sendiri untuk mentasbihkan Allah.
Yang mengerti tentang tasbih mereka, hanya sebagian kecil saja dari kita. Termasuk sang 'Ulil Albab' yang selalu mencermati dan berpikir tentang ayat-ayat Allah di alam semesta. Hanya orang-orang semacam dialah yang mengetahui bahwa alam semesta ini sedang bertasbih kepada Allah. Sehingga dia pun akhirnya mengucapkan kalimat yang sama : Maha Suci Engkau ya Allah sebagaimana bagian akhir QS Ali lmran 191.
Di bagian yang lain, Allah juga memberikan gambaran bahwa alam semesta ini bertasbih bersama orang-orang yang berilmu pengetahuan seperti nabi Daud dan nabi Sulaiman.
QS. Al Anbiyaa' (21) : 79
“Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum, dan kepada masing-masing mereka (Daud dan Sulaiman) telah Kami, berikan hikmah dan ilmu, dan telah Kami tundukkan gunung gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. Dan Kamilah yang melakukannya.”
Maka, barangkali kita boleh mengambil kesimpulan bahwa hakikat tasbih yang dimaksudkan oleh Allah di dalam berbagai ayat Quran bukanlah sekedar berucap Subhanallah, melainkan lebih kepada pengakuan atas ke Maha Perkasaan Allah, sehingga seluruh isi alam ini tunduk dan patuh kepadaNya. Kepada hukum alam yang ditegakkanNya. Serta kepada seluruh sunnatullahNya.
Bagaimana mungkin kita bisa memberikan pengakuan tentang Keperkasaan Allah tanpa mempelajari dan memahami alam sekitar kita? Tentu saja sulit, karena pengakuan terhadap Kehebatan Allah hanya bisa muncul kalau kita melakukan proses pemahaman atas segala ciptaanNya. Kecuali, Para Nabi yang memperoleh Wahyu dariNya, langsung dimasukkan ke dalam kalbunya.
Berulang-ulang Allah menceritakan tasbih Para makhlukNya di dalam Al Quran. Mulai dari para malaikat, langit yang tujuh, hamparan bumi dan gunung-gunung, burung yang beterbangan, awan yang berarak, hujan dan salju, pergantian siang dan malam hari, penciptaan binatang-binatang melata, dan segala macam isi alam semesta ini. Lagi lagi semua itu menegaskan bahwa ‘ketaatan’ seluruh isi alam dalam mengikuti sunnatullah itulah yang menjadi bukti Kemahasucian Allah. QS. An Nuur (24) : 41-46
“Tidakkah kamu tabu bahwasannya Allah, kepadanya bertasbih apa yang di langit dan di bumi, dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) sembabyang dan tasbihnya. Dan Allah Maha Mengetabui apa yang mereka kerjakan.”
“Dan kepunyaan Allah lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah lah semuanya kembali”
“Tidakkah kamu melihat bahwa Allah mengarak awan, kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian)nya, kemudian menjadikannya bertindih-tindih, maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah celahnya, dan Allah juga menurunkan es dari langit, dari gunung gunung, maka ditimpakanNya es itu kepada siapa yang dikehendakiNya dan dibiarkanNya dari siapa yang dikehendakiNya. Kilatan awan itu hampir-hampir menghilangkan penglihatan.”
“Allah mempergantikan malam dan siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran yang benar bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan.”
“Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air, maka sebagian dari hewan itu ada yang berjalan di atas perutnya, dan sebagian berjalan dengan dua kaki, sedang sebagian yang lain berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang dikehendakiNya, sesungguh-nya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan ayat-ayat yang menjelaskan. Dan Allah memimpin siapa yang dikebendakiNya kepada jalan yang lurus.”
Seluruh benda mati di alam semesta ini dengan sendirinya sudah mengakui ke Maha Sucian Allah, karena eksistensi mereka seluruhnya telah mengikuti hukum alam alias sunnatullah. Termasuk seluruh bagian dan organ dalam tubuh kita. Detak jantung kita, nafas dan paru kita, ginjal dan hepar, pencernaan, otak, saraf, dan seluruh sel-sel serta miliaran molekul dan atom di dalam tubuh kita, semuanya telah bertasbih kepada Allah.
Lantas, kenapa kita masih 'dituntun' oleh Allah untuk bertasbih kepadaNya? ya, karena jiwa kita telah terkungkung dalam badan kemanusiaan yang serba terbatas dan berkutub dua: yaitu ‘kemuliaan’ dan'hawa
nafsu'. Kesadaran kita terus bergerak di antara dua/ kutub itu.
Ketika, kesadaran kita meningkat rnenu~‑. kepada 'kemuliaan', maka kita lantas bisa 'melihitt kenyataan, kehidupan yang sesungguhnya. Sebaliknya. kalau'kesadaran'kita menurun menuju kepada hawa nafsti, maka kita lantas kehilangan'penglihatan'.kita untuk melihat kehidupan yang sesungguhnya.
Dalam sudut pandang yang lain, kita bisa mengatakan bahwa tubuh manusia ini menyebabkan kernampuan kita serba terbatas. Padahal kita sebenarnya memiliki potensial ruh yang serba'tidak terbatas', karena ruh adalah potensi Itahiah. Maka ketika kita terlalu mernanjakan pernenuhan kebutuhan raga saia, seperti makan, minum, harta, seksualitas, kekuasaan, dan sebagainya, kita akan tetjebak kepada hawa nafsu.
Sebaliknya, kalau kita bisa mernandang bahwa kebutuhan raga itu hanyalah sebuah 'perantara' saia dan kebutuhan ruh adalah utarna ‑ maka kita akan mencapai deraiat kemuliaan, dalarn hidup yang sesungguhnya.
Disinilah, karena potensi ruh kita telah terkungkung dalarn eksistensi kernanusiaan kita, maka kualitas kesadaran kita bisa naik turun antara Kernuliaan dan hawa nafsu yang membawa pada Kehinaan. Sehingga , lantas Allah mengingatkan kepada kita bahwa Kesadaran ruh harus terus ditingkatkan.
Caranya adalah dengan terus menerus menghubungkan 'kesadaran' ruh kita dengan Sang Maha Pencipta. Akhirnya, diharapkan kita bisa memperoleh sebuah 'kesadaran semesta' bahwa segala eksistensi ini sebenarnya adalah kecil yang besar dan penting hanya Allah saja ...
7. Hindarkan Kami Dari Siksa Api Neraka
Dan kalimat yang terakhir dari wahyu itu adalah permohonan untuk dihindarkan dari siksa api neraka. Kenapa sang Pemikir ‑ yang dijadikan tokoh dalam wahyu itu ‑ melakukan permohonan tersebut? Saya menangkap kesan bahwa dia telah mengakui kebodohannya selama ini, yang tidak bisa memahami keluar biasaan tanda‑tanda Kebesaran Allah yang ada di sekitarnya. la sangat menyesalinya ...
Betapa tidak, hamparan kekuasaan Allah demikian nyata di hadapannya, namun selama ini ia tidak mampu menangkapnya. Ini bagaikan sebuah sindiran kepada kita semua, bahwa kebanyakan kita tidak memiliki kepekaan untuk menangkap tanda‑tanda Kebesaran Allah itu. Maka, Rasulullah pun merasa malu atas sindiran Allah itu, sehingga beliau menangis semalaman.
Bagaimanakah dengan kita? Apakah kita bisa menangis membaca firman Allah itu? Atau, setidak-tidaknya bergetarkah hati kita? Kalau tidak, maka ini bagaikan sebuah sindiran untuk kita. Allah mengatakan bahwa orang‑orang yang beriman itu ciri‑cirinya adalah hatinya gampang bergetar ketika disebut nama Allah.
QS‑ Al Anfal (8) : 2
“Sesungguhnya orang‑orang yang beriman itu adalah mereka yang jika disebut nama Allah, hati mereka bergetar, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat‑ayatNya: bertambahlah iman mereka, dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal.”
Dari sisi lainnya, kita juga memperoleh kesan bahwa orang orang yang tidak bisa menangkap, sindiran Allah dalam wahyu itu akan terkena ‘adzab neraka’. Karena itu, sang tokoh di dalam ayat tersebut berdoa kepada Allah untuk dihindarkan dari api neraka. Sebaliknya, orang-orang yang bisa memetik pelajaran dari wahyu tersebut akan bisa, terhindar dari api neraka.
Kenapa orang-orang yang tidak bisa memetik pelajaran akan terkena azab neraka? Karena, sesungguhnya dia tidak bisa memahami hakikat beragama Islam. Apa hakikatnya? Sesuai dengan ringkasan ayat tersebut, bahwa mereka yang bisa tehindar dari api neraka adalah orang orang ‘tidak mati’ hatinya sepanjang hidupnya.
Karena Allah berulangkali mengatakan di dalam firmanNya, betapa banyaknya manusia yang sudah ‘mati’ justru ketika dia masih hidup. Hatinya tidak digunakan untuk memahami pelajaran dari proses kehidupan yang dijalaninya.
QS. Al A'raaf (7): 179
“Dan sesungguhnya Kami jadikan isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati tetapi tidak digunakan untuk memahami (ayat ayat Allah), dan mereka mempunyai mata tidak digunakan untuk melihat (tanda tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga tetapi tidak digunakan untuk mendengar (ayat ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.”
Maka orang-orang yang demikian ini, seperti orang yang tidak tahu jalan kemana mereka sedang menuju. Lantas, kehidupannya tidak ditata dengan strategi yang baik, sesuai dengan tujuan jangka panjangnya. Sehingga, kalau demikian keadaannya, mereka sangat gampang terjebak dalam kehidupan duniawi yang serba semu. Dianggapnya segala kenikmatan dunia ini adalah tujuan akhir dari kehidupannya. Padahal, kehidupan yang sesungguhnya adalah di akhirat. Di dunia ini, kita hanya hidup dalam kurun waktu puluhan tahun saja. Tetapi di akhirat nanti kita akan hidup dalam kurun waktu tak terhingga. Hidup di dunia, justru untuk mempersiapkan segala sesuatu untuk bekal hidup di akhirat nanti.
Bahkan, di dalam ayat di atas Allah menggunakan sindiran yang agak 'keras' tetapi realistis. Bahwa mereka yang tidak bisa mengambil pelajaran dari sekitarnya bagaikan binatang ternak, yang memang tidak berakal. Hidup mereka mengelinding saja, apa adanya, tanpa tujuan yang jelas. Apalagi untuk selalu meningkatkan kualitas dari hari ke hari seperti di ajarkan Rasulullah.
Jadi, dengan diskusi kita yang serba ringkas ini, saya harap kita memperoleh pemahaman yang memadai terhadap beberapa kata kunci di dalam wahyu tersebut. Sehingga kita lantas bisa mengerti kenapa Rasulullah menangis sedemikian rupa sepanjang malam, ketika wahyu itu turun kepada beliau.
Harapannya adalah, hal ini bisa terjadi juga kepada kita. Caranya adalah dengan berusaha, untuk lebih memahami dan menghayati makna ayat tersebut secara mendalam sehingga kita bisa merasakan hati kita bergetar getar ketika membacanya. Dan syukur, jika sampai melelehkan air mata, karena merasakan kedekatan, yang luar biasa dengan Allah Azza wa Jalla...