Thursday, March 1, 2007

Rasul Menangis Menerima Wahyu Ilmu Pengetahuan



Tidak Pernah Rasulullah, saw menangis sehebat itu. Bahkan ketika kehilangan orang-orang yang sangat dicintainya. Ataupun ketika beliau mengalami tekanan-tekanan yang sangat berat dari kaum kafir yang menentangnya. Tangisan Rasulullah yang berlangsung semalaman itu terjadi sesaat setelah beliau menerima wahyu dari Allah, Sang Maha Berilmu, Ali lmran 190 - 191:
“Sesungguhnya di dalam Penciptaan langit dan bumi dan di dalam pergantian siang dan malam hari terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi (orang yang disebut) ulil albab. Yaitu orang-orang yang selalu ingat kepada Allah dalam keadaan berdiri, duduk, dan berbaring dan ia selalu berpikir tentang penciptaan langit dan bumi. Kemudian dia rnengatakan : ya Tuhanku tidak ada yang sia-sia segala yang Kau ciptakan ini. Maha Suci Engkau, maka hindarkanlah kami dari siksa api neraka.”

Bagaimanakah kejadian itu berlangsung? Diceritakan, suatu ketika Bilal seperti biasa mengumandangkan adzan Subuh. Biasanya, sebelum adzan Subuh itu selesai, Rasulullah sudah berada di dalam masjid untuk kemudian memimpin shalat berjamaah bersama para sahabat. Namun, tidak seperti biasa, Rasulullah Muhammad belum juga hadir meskipun Bilal sudah menyelesaikan kalimat terakhir adzannya. Ditunggu beberapa saat oleh Bilal dan para sahabat, Rasulullah tidak juga muncul di masjid. Akhirnya, karena khawatir terjadi sesuatu, maka Bilal pun memutuskan menjemput nabi, Yang 'rumahnya' bersebelahan dengan masjid tersebut.

Pintu bilik rumah nabi diketuk-ketuk oleh Bilal sambil mengucapkan salam. Tidak langsung ada jawaban dari dalam bilik. Namun, sejurus kemudian, nabi muncul sambil menjawab salam. Dan kemudian mempersilakan Bilal masuk.

Apakah Yang dilihat oleh Bilal? la melihat nabi dalam keadaan yang sangat mengharukan. Air mata berlinangan di pipi beliau. Matanya sembab, menunjukkan betapa beliau telah menangis cukup lama, semalam.

Karena khawatir melihat kondisi nabi, maka Bilal pun bertanya kepada beliau. Ada apakah gerangan, sehingga Rasulullah menangis seperti itu. Apakah nabi sakit. Ataukah nabi ditegur oleh Allah? Ataukah ada kejadian hebat lainnya? Maka, Rasulullah menjawab, bahwa beliau semalam telah menerima wahyu dari Allah. Lantas beliau membacakan QS. Ali Imran : 190 - 191, tersebut di atas.

Saya membayangkan ekspresi Bilal pada saat itu. Barangkali, dia tidak bisa mengerti dan tidak habis pikir, kenapa Rasulullah bisa menangis sehebat itu ketika menerima wahyu tersebut. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Apalagi, kalau kita baca Firman Allah itu tidak bernada menegur, atau memerintah untuk menjalankan kewajiban tertentu, misalnya.

Ayat tersebut, lebih menonjolkan kesan ilmu pengetahuan dan sikap seorang ilmuwan dalam memahami fenomena alam semesta ketimbang sebuah perintah untuk beribadah. Tetapi kenapa hati sang nabi sampai bergetar demikian rupa, sehingga tak mampu membendung air matanya?

Marilah kita coba mencermati :
Di awal ayat itu, Allah mengatakan bahwa sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian siang dan malam hari, terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang yang disebut ulil albab. Yaitu, lanjutnya orang-orang yang selalu berpikir, baik dalam keadaan duduk, berdiri, bahkan berbaring pun masih selalu teringat kepada Allah dan segala ciptaanNya. Sampai ia mendapatkan suatu kesimpulan akhir, bahwa segala ciptaan Allah di alam semesta ini tidak ada yang sia sia...

Ada beberapa kata kunci Yang bisa menuntun penafsiran kita dan kemudian memahami kenapa Rasulullah sampai menangis seperti itu, yaitu:

1. Penciptaan langit dan bumi
2. Pergantian siang dan malam hari
3 Tanda-tanda kebesaran Allah
4. Selalu berpikir tentang Allah
5. Tidak ada yang sia-sia
6. Maha Suci Allah
7. Hindarkan dari Api Neraka.


1. Penciptaan Langit Dan Bumi.

Apakah kehebatan penciptaan langit dan bumi ini sehingga Rasulullah menangisinya? Kenapa Allah memancing kita untuk mengamati dan memahami penciptaan langit dan bumi? Dan pernahkah kita terpancing untuk melakukannya? Kalau tidak, sungguh sayang sekali...

Sebenarnya Allah sedang memberikan jalan Yang luas dan lebar kepada hambaNya Yang ingin memahami dan berkenalan dengan Allah Sang Maha Pencipta. Bukankah Allah mengatakan, kalau kita ingin mengenali Allah, maka kenalilah ciptaanNya. Dan, ciptaan Allah yang bernama Langit dan Bumi ini ternyata sangatlah dahsyat, sehingga bisa menghantarkan kita untuk 'bertemu' dan menghayati Kebesaran Allah.

Bagaimana cara kita memahami proses penciptaan langit dan bumi itu. Bisakah hanya berdasarkan informasi-informasi dari Al Quran saja? Agaknya tidak bisa. Setidak-tidaknya kurang memuaskan. Mau tidak mau, kita harus melakukan pengamatan-pengamatan yang lebih mendalam tentang fakta yang tersebar di alam semesta ini. Harus bersifat empirik.

Namun, tidak semua kita memiliki kemampuan untuk melakukan penelitian ilmiah. Maka kita boleh membaca data-data dan analisis ilmu pengetahuan Astronomi yang sudah dilakukan oleh para ilmuwan agar bisa memahaminya. Semua data itu bisa diuji dan dibuktikan, meskipun pada gilirannya nanti tetap ada bagian-bagian yang harus disempurnakan secara ilmiah oleh generasi berikutnya. Tidak apa apa. Tidak menjadi masalah.

Akan tetapi, sebelum membahas tentang penciptaan langit dan bumi, terlebih dahulu saya ingin mengajak pembaca untuk memahami posisi kita di alam semesta yang sangat luas ini.

Seperti kita ketahui, lebih dari 5 miliar manusia hidup di sebuah planet yang bernama Bumi. Bentuknya hampir bulat. Agak pipih di bagian atas yang disebut sebagai Kutub Utara dan juga bagian bawah yang disebut Kutub Selatan. Bumi yang kita tumpangi bersama ini berputar kencang pada dirinya sendiri, dengan kecepatan sekitar 1.669 km per jam, di Equatornya. Namun kita tidak merasakannya, karena kita ikut berputar dalam sebuah kendaraan 'Bumi' yang sangat besar. Kita, bagaikan sedang berada di dalam sebuah pesawat angkasa luar yang berpusing.

Selain itu, Bumi juga mengitari matahari pada jarak sekitar 150 juta km, dengan kecepatan lebih dari 107.000 km per jam. Artinya, kendaraan angkasa luar kita yang bernama 'Bumi' ini sedang melaju, melesat mengembara di angkasa mengitari matahari.

Apa Yang menggerakkan bumi kita ini sehingga terus-menerus bergerak berputar pada dirinya sendiri, sekaligus mengitari matahari? Ternyata, ada sebuah gaya tarik yang sangat dahsyat yang terjadi antara matahari dan bumi, serta benda-benda langit lainnya. Mereka seperti terikat oleh sebuah tali yang tidak tampak, yang diputar-putar melingkar terpusat pada matahari. Pusatnya matahari, di sekelilingnya ada 9 planet, yaitu : Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Jupiter, Saturnus, Uranus, Neptunus, dan Pluto. Semuanya mengelilingi Matahari, sebagaimana Bumi.
QS. Luqman (31) : 10
“Dia telah menciptakan langit tanpa tiang sebagaimana kalian lihat, dan dia meletakkan gunung-gunung di bumi supaya bumi tidak Meng-guncangkan kamu dan memperkembangbiakkan padanya segala macam jenis binatang. Dan Kami turunkan air hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan padanya segala macam tumbuh-tumbuhan yang baik.”

Di planet Merkurius, yang paling dekat dengan Matahari tidak terdapat kehidupan, karena permukaan planetnya demikian panasnya. Bagaikan membara. Sedangkan di Pluto, yang terjauh dari Bumi, juga tidak terdapat kehidupan karena seluruh permukaan planetnya membeku, tertutup oleh es. Namun demikian, di planet-planet selain Bumi juga belum diketemukan kehidupan secara pasti. Apalagi manusia. Hanya di Bumi inilah makhluk yang bernama manusia ini bisa melangsungkan kehidupannya dengan baik. Tidak terlalu jauh dan tidak terlalu dekat dengan Matahari sebagai sumber energi kehidupan.

Kelompok 9 planet yang berpusatkan Matahari itu dinamakan Tatasurya. Ternyata, tatasurya kita ini bukanlah satu satunya tatasurya di alam. semesta. Ada miliaran, bahkan triliunan tatasurya yang terserak di jagad semesta.

Kalau kita ingin mengetahui lebih lanjut, cobalah keluar rumah malam hari. Di tempat yang terbuka dan sedikit gelap arahkan pandangan ke langit. Kalau langit sedang cerah, kita akan bisa melihat bintang-bintang bertaburan di angkasa raya.

Pernahkah kita bayangkan bahwa bintang-bintang itu sebenarnya adalah matahari, seperti matahari yang kita miliki di tatasurya kita. Karena begitu jauhnya jarak Matahari, itu dengan Bumi kita, maka ia kelihatan sangat kecil dan berkedip-kedip. Tapi, sesungguhnya bintang itu adalah matahari. Bahkan banyak yang ukurannya jauh lebih besar dari matahari kita.

Matahari Yang kita miliki ini, diameternya sekitar 200 kali bumi. Isinya adalah gas Hidrogen yang sedang bereaksi secara termonuklir menjadi gas Helium. Sedangkan bintang-bintang itu ada yang besarnya berpuluh kali atau beratus kali dibandingkan dengan besarnya matahari kita. Yang paling besar diketemukan oleh ilmuwan Astronomi adalah bintang Mu-cepe, yaitu sekitar 1.500 kali matahari, alias ratusan ribu kali besarnya bumi yang kita diami!

Begitu besar ukurannya. Tetapi kelihatan demikian kecilnya. Ya, semua itu karena jarak bintang-bintang itu sangat jauh dari bumi. Berapakah jarak bintang yang paling dekat dengan bumi? Informasi Astronomi mengatakan, jaraknya sekitar 8 tahun cahaya. Apakah artinya? Artinya, cahaya saja membutuhkan waktu tempuh 8 tahun untuk menuju bintang yang paling dekat itu. Jadi berapa kilometer ? Tinggal hitung saja.

Kecepatan cahaya adalah 300.000 km per detik. Jadi kalau cahaya membutuhkan waktu 8 tahun untuk sampai ke bintang itu, berarti jaraknya adalah 8 th x 365 hari x 24 jam x 60 menit x 60 detik x 300.000 km = 75.686.400.000.000 km atau sekitar 75 triliun kilometer. Sungguh jarak yang tidak pernah terbayangkan dalam kehidupan kita!

Bisakah kita pergi ke sana? Di atas kertas, mungkin saja. Tetapi, memakan waktu berapa lama? Marilah kita hitung. Semuanya bergantung pesawat yang kita gunakan. Andaikan saja kita naik pesawat, ulang alik seperti Challenger atau Columbia Ya berkecepatan 20 ribu km per jam. Berapa lama kita akan sampai di bintang tersebut?

Sehari, sebulan, setahun, sepuluh tahun, seratus tahun. Kita mati di tengah jalan, ternyata kita belum sampai di bintang yang paling dekat itu. Setelah 428 tahun kemudian, barulah kita sampai di sana. Kita membutuhkan 5 - 6 generasi untuk sampai di sana. Subbanallaah...

Padahal, tadi saya katakan, jumlah bintang di alam semesta ini triliunan. Setiap 100 miliar bintang membentuk gugusan yang disebut galaksi. Gugusan bintang yang kita tempati ini bernama galaksi Bimasakti. Di sebelah Bimasakti ada galaksi Andromeda, dan seterusnya, ada miliaran galaksi di jagad semesta ini. Dan, yang lebih dahsyat lagi, setiap 100 miliar galaksi membentuk gugusan galaksi yang disebut Superkluster. Dan seterusnya, jagad semesta ini belum diketahui batasnya.

Berapakah jarak gugusan bintang bintang itu? Bermacam macam. Ada yang berjarak 100 tahun cahaya. Artinya cahaya saja membutuhkan waktu 100 tahun. Ada yang 1000 tahun cahaya. Ada juga yang 1 juta tahun cahaya. Dan yang paling jauh, diketemukan oleh ilmuwan Jepang, berjarak 10 miliar tahun cahaya.

Ya, cahaya saja membutuhkan waktu 10 miliar tahun. Apalagi kita. Usia kita tidak ada artinya apa-apa dibandingkan kebesaran alam semesta ini.

Bahkan planet bumi yang kita tinggali bersama miliaran manusia ini juga tidak ada apa-apanya. Bumi bagaikan sebuah debu di hamparan Jagad ‘Padang Pasir’ Semesta. Di atas bumi yang bagaikan debu itulah miliaran manusia hidup dengan segala aktifitas dan kesombongannya! Masya Allah, sungguh begitu kecil kita, dan luar biasa dahsyat Sang Maha Perkasa...

Lantas bagaimana kita membayangkan Keperkasaan Allah yang menciptakan hamparan jagad semesta itu? Disinilah Allah memperkenalkan Dirinya lewat ciptaanNya yang benama Langit dan Bumi. Dan kita dipancingNya untuk memahami itu lewat firmanNya di QS. Ali Imran 190 191.

Ada lagi yang sangat unik ketika kita mengamati bintang bintang di angkasa. Sebagaimana telah saya sampaikan di muka, bahwa bintang-bintang yang bertaburan itu jaraknya sangat beragam, mulai dari matahari yang jaraknya 8 menit cahaya, bintang yang berjarak 8 tahun cahaya, sampai yang berjarak 10 miliar tahun cahaya.

Pernahkah Anda bayangkan, bahwa matahari yang kita lihat setiap pagi itu adalah matahari 8 menit yang lalu? Bukan matahari yang sekarang! Kenapa demikian? Ya, karena sinar matahari memerlukan waktu 8 menit untuk mencapai bumi, yang berjarak 150 juta km dari matahari. Berarti, matahari yang kita lihat pada saat itu adalah matahari 8 menit yang lalu! Aneh bukan?

Begitu juga ketika kita melihat kepada bintang yang berjarak 8 tahun cahaya. Bintang yang sedang kita amati itu bukanlah bintang saat ini, melainkan bintang pada saat 8 tahun yang lalu. Karena, sinar yang sampai di mata kita itu adalah sinar yang sudah melakukan perjalanan sejauh 8 tahun cahaya. Bukankah sinar butuh waktu untuk menempuh jarak?

Tidak berbeda dengan bintang-bintang yang berjarak lebih jauh lagi. Kalau kita sedang mengamati bintang berjarak 100 juta tahun cahaya, maka sebenarnya bintang yang sedang kita amati itu adalah kondisi 100 juta tahun yang lalu!

Jadi, kalau malam-malam kita sedang mengamati langit, sebenarnya kita bukan melihat langit yang sekarang saja. Tetapi pada saat yang bersamaan sedang melihat langit sekarang, langit 1000 tahun yang lalu, langit 1 juta tahun yang lalu, dan bahkan langit 10 Miliar tahun yang lalu ... ! Masya Allah, kita jadi merasa aneh dengan alam kita sendiri.

Lebih jauh, kalau kita ingin memahami kedahsyatan ciptaan Allah di alam semesta, marilah kita baca ayat berikut ini.

QS. Al Anbiyaa 30,
“Apakah orang-orang kafir itu tidak tahu bahwa langit dan bumi itu dulunya padu, lalu Kami pisahkan keduanya dengan kekuatan, dan Kami jadikan dari air setiap yang hidup, apakah mereka tidak percaya?”

Ayat di atas memberikan gambaran kepada kita bahwa alam semesta yang luar biasa besarnya itu dulunya satu, alias berimpit. Dikatakan bahwa langit yang berupa ruang angkasa dan bumi itu pernah tidak terpisahkan. Lantas, pada suatu ketika Allah memisahkan keduanya dengan kekuatan yang sangat dahsyat. Sehingga jadilah alam semesta seperti yang kita lihat sekarang.

Tetapi, sekali lagi, pemahaman yang baik baru bisa kita peroleh kalau kita melakukan pengamatan terhadap alam semesta dalam kegiatan empiris atau ilmu pengetahuan. Baik secara langsung maupun lewat informasi Astronomi.

Bagaimana mungkin kita bisa memahami bahwa langit dan bumi itu dulunya padu, kalau kita tidak mempelajari ilmu Astronomi. Firman Allah ini ternyata memang bisa kita pahami setelah kita membaca teori Big Bang alias teori ‘Ledakan Besar’.

Dalam teori tentang penciptaan alam semesta itu dikatakan bahwa langit dan bumi itu memang dulunya padu. Bagaimana kesimpulan itu diperoleh? Ternyata, dalam pengamatan teleskop Hubble, diketahui bahwa berbagai benda langit seperti planet, matahari, dan bintang-bintang semuanya sedang bergerak menjauh.

Kita melihat ke atas, benda-benda langit menjauh. Melihat ke ‘bawah’ di balik bumi benda-benda langit tersebut juga menjauh. Melihat ke kiri kanan, muka belakang, semua benda langit sedang menjauh. Apakah artinya?

Artinya, karena benda-benda langit itu kini sedang bergerak saling menjauhi ke segala arah, maka mestinya dulu, benda benda itu saling dekat. Lebih dulu lagi, benda-benda itu semakin dekat. Dan pada suatu ketika, miliaran tahun yang lalu, semua benda langit tersebut berkumpul di suatu titik yang sama, alias padu dan berimpit. Persis seperti yang dikatakan Al Quran.
Nah, dari hipotesa itulah, disusun sebuah teori yang disebut teori ‘Big Bang’. Teori itu mengatakan bahwa seluruh material dan energi alam semesta ini dulunya termampatkan ke dalam suatu ‘Titik’ di pusat alam semesta. Demikian Pula ruang dan waktu, semuanya dikompres ke dalam sebuah ‘Titik’ yang menjadi cikal bakal alam semesta, yang disebut sebagai Sop Kosmos.

Sop Kosmos itu, sangat tidak stabil karena mengandung energi, material, ruang, dan waktu yang demikian besarnya, sehingga akhimya meledak dengan kekuatan yang sangat dahsyat. Ledakan itu telah melontarkan material, energi, ruang dan waktu ke segala penjuru alam semesta hingga kini. Usianya sudah mencapai sekitar 12 miliar tahun.

Dalam kurun waktu sekitar 12 miliar tahun itulah tercipta benda benda langit secara berangsur-angsur. Mulai dari gugusan bintang bintang, matahari, planet-planet, dan bulan. Termasuk Bumi yang kita huni ini. Dipekirakan usia Bumi kita sekitar 5 miliar tahun.

Dan kemudian, di bumi yang semakin mendingin itu diciptakanlah kehidupan lewat sebuah proses evolusi kehidupan dari makhluk yang berderajat rendah satu sel sampai yang berderajat tinggi seperti manusia. Kehidupan pertama, oleh Allah dimulai dari perairan dari jenis ikan-ikanan, yang kemudian beralih ke daratan lewat proses kehidupan ampibi dan jenis hewan reptilia.

QS. Al Anbiyaa : 30
“…dan Kami jadikan dari air (permulaan) semua makhluk bidup …”

Sedangkan kehidupan manusia modern diperkirakan baru sekitar 50 ribu tahun yang lalu, berdasarkan fosil Cro Magnon yang ditemukan di daerah Timur Tengah. Fosil-fosil manusia modem inilah yang diperkirakan sejaman dengan kehidupan Nabi Adam As.

Kalau hipotesa ini memang benar, maka berarti usia kehidupan manusia ini dibandingakn dengan usia alam semesta sangatlah sebentar. Usia alam semesta sudah sekitar 12 miliar tahun, sedangkan usia peradaban manusia baru sekitar 50 ribu tahun.

Nah, jadi kembali kepada kata kunci yang pertama dalam QS. Ali Imran 190-191, kita kini memahami betapa dahsyat informasi yang terkandung dalam kalimat: “...inna fii khalqis samaawaati wal ardli...”

Rasulullah saw bisa memahami makna kalimat tersebut tanpa harus belajar ilmu Astronomi. Kenapa bisa demikian? Ada dua hal yang menjadi penyebabnya. yang pertama, setiap kali Allah menurunkan wahyu kepada nabi Muhammad, Allah langsung memasukkan makna wahyu itu ke dalam kalbu beliau. Wahyu tidak turun ke nabi melalui otak beliau, melainkan langsung ke dalam hati. Jadi, seperti ada sebuah tayangan video yang diputar di hadapan beliau, sehingga beliau langsung bisa memahami seluruh makna wahyu itu. yang kedua, harus diingat bahwa wahyu tersebut turun kepada Rasulullah pada periode Madinah. Artinya, Rasulullah sudah mengalami perjalanan Isra' Mi'raj. Jadi beliau telah mengalami sendiri perjalanan mengarungi jagad semesta. Maka, ketika menerima wahyu tersebut beliau bagaikan sedang 'bernostalgia' melakukan perjalanan Isra' Mi'raj. Sungguh tergambar secara nyata makna dari firman Allah tentang penciptaan langit dan bumi.

Maka tidak heranlah kita, Rasulullah tak mampu membendung air matanya ketika menerima wahyu tersebut. Gemetar seluruh jiwa raganya mengingat Kebesaran Allah di alam semesta. Dirinya menjadi begitu kecil dan tak berarti di hadapan Allah, Dzat Sang Maha Perkasa...


2. Pergantian Siang Dan Malam Hari

Kini kita mulai bisa memahami kenapa Rasulullah menangis ketika diingatkan Allah tentang penciptaan Langit dan Bumi. Lantas, bagaimanakah dengan “pergantian siang dan malam hari”? Saya jadi teringat firman Allah di dalam ayat berikut ini.
QS. Al Qashas (28) : 71-72.
“Katakan: terangkan kepadaku jika Allah Menjadikan untukmu malam terus sampai hari kiamat, siapa Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan sinar terang kepadamu? Maka apakah kami tidak mendengar?”

“’Katakan.’ terangkan kepadaku jika Allah merjadikan untukmu siang terus sampai hari kiamat, siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan malam kepadamu yang kamu beristirahat padanya? Maka apakah kamu tidak memperhatikan?”

Bisakah kita menjawab pertanyaan Allah ini? Atau, setidak tidaknya inginkah kita memberikan jawaban atas pertanyaan: “apa jadinya kalau bumi ini mengalami siang terus atau malam terus sampai hari kiamat ?” Saya kira ini sebuah pertanyaan yang sangat menggelitik untuk dianalisis.

Marilah kita cermati :
Misalkan saja kita ambil kondisi kota Surabaya. Suhu pada umumnya pagi hari di kota Surabaya, berkisar di bawah 30 derajat Celsius. Ketika siang mulai menjelang, maka suhu beranjak di atas 30 derajat. Dan puncaknya pada jam 12 siang sampai jam 14 siang, suhu udara bisa mencapai 33-34 derajat, atau bahkan lebih.

Pernahkah kita memperhatikan aspal jalan raya Surabaya pada siang hari. Di permukaannya terlihat mengepul uap tipis, dan aspalnya menjadi lembek. Diperkirakan panas permukaan jalan raya itu di atas 50 derajat. Kalau disiramkan air di sana, tak berapa lama kemudian air itu akan menguap, dan jalanan itu pun kering kembali.

Kita lihat contoh di atas. Hanya dalam kurun waktu setengah hari saja, panas udara dan permukaan bumi bisa mengalami peningkatan suhu yang demikian tinggi. Apa jadinya kalau matahari tidak bergeser ke arah barat, tetapi tetap berada di atas kita terus-menerus?

Diperkirakan, dalam waktu 100 jam, air di permukaan bumi akan mulai, mendidih, dan banyak yang mulai menguap. Dan kemudian apa yang terjadi 100 jam berikutnya? Diperkirakan seluruh air di muka bumi sudah habis menguap, dan darah di tubuh kita pun ikut mendidih, Dengan kata lain, tidak ada kehidupan yang tahan di bumi yang hanya punya siang terus-menerus!

Lho, jadi tidak perlu menunggu sampai hari kiamat seperti retorika Allah dalam. firmanNya tersebut di atas? Ya, begitulah, cukup dengan 200 jam saja!
Sebenarnya Allah sudah tahu secara pasti bahwa seluruh kehidupan di muka bumi ini akan mengalami kemusnahan kalau di bumi hanya ada siang terus-menerus. Akan tetapi, Allah mempertanyakan kepada kita, dengan maksud untuk memancing perhatian kita. Dan kemudian memahami betapa besar kasih sayang Allah yang dicurahkan untuk kita semua ...

Sebaliknya, apakah yang terjadi jika Allah hanya menciptakan malam terus di bumi? Cobalah lihat suhu udara di daerah padang pasir, sebutlah di Arab Saudi. Pada keadaan normal, siang hari di sana bisa mencapai 50 derajat celsius, sedangkan malam hari bisa mencapai 14 derajat. Puncaknya adalah antara jam 12 malam sampai sekitar 2 dini hari.

Apakah yang terjadi dalam kurun waktu 100 jam setelah suhu terendah itu? Jika, matahari tidak pernah muncul lagi, alias malam terus, maka dalam kurun waktu itu suhu akan terus-menerus turun hingga mencapai 0 derajat, dimana air akan mulai membeku. Dan ketika diteruskan sampai 100 jam berikutnya, maka seluruh air di muka bumi akan membeku, termasuk cairan tubuh kita!

Jadi, sungguh sangatlah dahsyat dampak dari pergantian siang dan malam hari. Sebuah rutinitas yang tidak semua kita pernah memikirkannya. Karena itu Allah memancing kita untuk memahami. Apakah tujuan utamanya? Tak lain, agar kita sadar bahwa di balik terjadinya rutinitas pergantian siang dan malam hari itu terdapat sesuatu yang luar biasa yang berkait dengan Sebuah Kekuatan Besar yang mengendalikan alam sekitar kita, yaitu Sang Maha Perkasa.

Bahkan, kalau kita lihat lebih jauh.tentang pergerakan matahari, dampaknya bukan hanya pada pergantian siang dan malam hari saja. Pergerakan matahari sebenarnya ditentukan oleh dua hal : yang pertama oleh perputaran bumi pada porosnya atau pada dirinya sendiri. Dan yang kedua disebabkan oleh perputaran bumi pada orbitnya, yaitu perputaran bumi mehgelilingi matahari.

Perputaran bumi pada dirinya sendiri disebut juga Rotasi bumi. Sekali berputar, bumi membutuhkan waktu 24 jam. Inilah yang disebut sehari semalam. Akan tetapi jika kita amati lebih jauh, lamanya malam dan lamanya siang selalu bergeser-geser. Kadang lebih panjang malamnya. Kadang lebih panjang siangnya. Kenapa bisa demikian? Ini disebabkan oleh pergerakan bumi mengelilingi matahari, yang juga disebut Revolusi Bumi.

Satu kali revolusi bumi membutuhkan waktu 3651/4 hari. Atau disebut juga sebagai waktu setahun.
QS. Luqman (31):29
“Tidakkah kamu memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah memasukkan malam kepada siang dan memasukkan siang kepada malam, dan Dia tundukkan matabari dan bulan masing-masing berjalan sampai waktu yang ditentukan, dan sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”

Efek dari pergerakan bumi mengelilingi matahari ini adalah terjadinya musim di permukaan bumi. Kita lihat, di negara-negara tropis terjadi musim hujan dan musim kemarau. Sedangkan di negara-negara sub tropis terjadi musim Salju, musim Semi, musim Panas dan musim Gugur. Kehidupan manusia di muka bumi menjadi demikian indah dan dinamis.

Pergerakan musim ini juga menyebabkan terjadinya waktu panen dan berbuah yang berbeda-beda. Di sekitar musim kemarau misalnya bermunculanlah buah-buah yang mengandung banyak air seperti Mangga, Belimbing, Melon, Semangka, Jeruk, dan lain sebagainya. Sedangkan di sekitar musim Hujan banyak buah-buahan seperti Durian, Apokat, Salak, Nangka, dan lain sebagainya. Semua buah-buahan itu bermanfaat bagi kehidupan dan kesehatan manusia, sesuai dengan musimnya.


3. Tanda-Tanda Kebesaran Allah

Saya kira semua sependapat, bahwa Allah tidak bisa kita lihat, tidak bisa kita dengar, atau kita observasi dengan seluruh panca indera kita. Kenapa demikian? Ya, karena panca indera kita sangat terbatas kemampuannya.

Jangankan melihat Allah, melihat matahari saja mata kita akan langsung buta! Jangankan mendengar Allah, mendengar ledakan petasan di dekat telinga saja, kita akan tuli. Jadi begitu lemahnya panca indera kita. Maka, jangan berharap kita bisa ‘bertemu’ Allah dengan menggunakan panca indera kita. Allah hanya bisa kita ‘lihat’ sekaligus kita ‘dengar dan rasakan’ hanya dengan hati atau kalbu. ‘Penglihatan’ dengan hati ini akan kita bahas di bagian lain.

Lantas apa yang bisa kita perbuat dengan panca indera berkaitan dengan pendekatan kita kepada Allah? Yang bisa kita observasi lewat panca indera dan akal kita hanyalah ‘tanda-tandaNya’ atau dalam bahasa Al Quran disebut ‘ayat-ayatNya’.

Suatu ketika, nabi Musa as pernah ingin melihat Allah, agar hatinya semakin yakin. Allah sudah mengatakan bahwa Musa tidak akan mampu melihat Allah. Tetapi beliau 'ngotot' untuk bisa melihatNya. Maka, Allah pun memenuhi keinginan nabi Musa.

Tapi apa yang terjadi? Allah baru menampak kan cahayaNya saja, gunung Sinai tempat berpijak nabi Musa mengalami gempa vulkanik yang luar biasa dahsyat. Sehingga Musa pun terpental dan pingsan. Setelah siuman, beliau baru menyadari bahwa manusia tidak mungkin melihat Allah dengan panca inderanya. Jangankan manusia, alam semesta pun tidak mampu menerima Eksistensi Dzat Yang maha Besar dan Maha Agung itu.

QS. Al A'raaf : 143
“Dan ketika Musa datang untuk (bermunajat kepada Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman kepadanya, berkatalah Musa .. Ya Tuhanku, nampakkanlah (DiriMu) kepadaku agar aku dapat melibatMu. Tuhan berfirman : Kamu sama sekali tidak akan mampu melibatKu, tapi lihatlah bukit itu, jika ia tetap di tempatnya, maka kamu akan mampu melihatKu. Ketika Tuhan menampakkan Diri kepada gunung itu, maka hancurlah gunung itu, dan Musa pun pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata : Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepadaMu dan aku adalah orang yang pertama-tama beriman.”

QS. Asy Syuura : 51
“Dan tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengannya kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir, atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizinNya apa yang Dia kehendak. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.”

Jadi, manusia demikian ringkihnya di hadapan Allah. Kalau manusia ingin berkenalan dengan Allah, itu bisa dilakukan melalui ‘tanda tanda’ yang tersebar di alam semesta dan termaktub di dalam Al Quran. Yang pertama disebut sebagai Ayat Kauni dan yang kedua disebut sebagai Ayat Qurani. Kedua-duanya berfungsi sama, yaitu menuntun kita untuk lebih memahami Allah, mengenalNya, berinteraksi, dan lantas kembali : menyatu dengan Dzat Yang Maha Tunggal lagi Maha Agung.

Apakah bentuk tanda-tanda itu? Kalau yang berada di dalam Al Quran, kita bisa langsung membacanya. Kemudian menganalisisnya sesuai dengan ilmu bahasa dan tafsir. Akan tetapi, sebagaimana telah saya sampaikan sebelumnya, bahwa penafsiran Quran dari sisi bahasa saia tidaklah cukup untuk mengenal Allah. Kita harus memadukannya dengan ayat-ayat yang tersebar di alam semesta.

Coba bayangkan bagaimana kita bisa memahami langit yang tujuh, misalnya, kalau kita tidak belajar ilmu Astronomi. Atau, bagaimana pula kita bisa beriman kepada hari kiamat, kalau kita tidak memahami mekanisme kiamat tersebut dari data-data empirik ilmu pengetahuan. Dan, bagaimana juga kita bisa menafsirkan QS. Al Ma'arij : 4, Yang bercerita tentang relativitas waktu malaikat dan manusia, kalau kita tidak belajar rumus-rumus relativitasnya Einstein, dst. Begitu banyaknya ayat-ayat Allah di dalam Al Quran yang tidak bisa kita pahami, tanpa memadukannya dengan data-data ilmu pengetahuan modern.

Selain melakukan pendekatan lewat ayat-ayat Quran, kita juga bisa langsung mengobservasi ayat-ayat tersebut dari ayat Kauniah yang tersebar di seantero alam ini. Hal inilah yang dilakukan oleh nabi Ibrahim, ketika mencari Tuhan. Akhirnya beliau bertemu dengan Allah setelah bereksperimen secara trial and error, seperti digambarkan Allah berikut.


QS Al An'aam : 76-79
“Ketika malam telah menjadi gelap dia melibat sebuab bintang (lalu) dia berkata : Injah Tuhanku. Tapi tatkala bintang itu tenggelam, dia berkata aku tidak suka kepada yang tenggelam.

“Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit, dia berkata : Inilah Tuhanku. Tapi setelah bulan itu terbenam dia berkata : Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku pastilah aku termasuk orang orang yang sesat.”

“Kemudian ketika dia melihat matahari terbit, dia berkata : Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar. Maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata hai kaumku sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.”

"Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuban.”

Bayangkan beliau, yang rasul kesayangan Allah itu, pernah mengira bahwa bintang, bulan, dan matahari adalah Tuhan. Meskipun, akhirnya beliau menemukan bahwa semua itu hanyalah ciptaanNya belaka. Tetapi, beliau sempat melakukan kekeliruan-kekeliruan dalam mencari Tuhan. Tidak langsung final, ketemu. Tidak apa-apa. Semua ada prosesnya. Yang penting konsisten dan serius mencari Allah, Insya Allah Dia akan membimbing hambaNya yang ingin bertemu denganNya.

Betapa banyaknya para ilmuwan yang bertemu Tuhan karena melihat kedahsyatan ilmu Allah di alam semesta. Bayangkan misalnya, bagaimana kita tidak ‘terperangah’ melihat jantung yang ada di dalam dada kita terus berdenyut tanpa ada baterainya, sejak di dalam rahim pada bulan pertama. Ini sebuah keganjilan, bagi orang-orang yang mau berpikir.

Ketika bayi masih di dalam rahim, paru-parunya juga belum bekerja. la mendapat makanan dari sang ibu lewat ari-arinya (plasenta). Tapi, begitu lahir, si bayi ini kemudian ditepuk-tepuk oleh si bidan, dan akhirnya paru dan jantungnya bekerja. Kerja jantung dan paru itu terus terjadi tak pernah berhenti sepanjang usianya. Ini sungguh sebuah ‘fenomena’ yang sangat dahsyat menyangkut kehidupan manusia, yang bisa membawa kita untuk berkenalan dengan Sang Maha Pencipta.

Atau pernahkah kita berpikir, kenapa bumi ini terus berputar pada porosnya? Darimanakah perintah untuk berputar itu datang? Dan dari mana pulahkah energi yang digunakan untuk berputar terus selama miliaran tahun itu? Apakah Anda menangkap keganjilan ini.

Padahal kalau bumi ini tidak berputar (berotasi) pada porosnya, di bumi ini tidak akan terjadi kehidupan. Ya, karena di bagian yang menghadap matahari akan terjadi siang terus-menerus. Sedangkan yang membelakangi matahari akan terjadi malam terus. Apa akibatnya, sudah kita bahas di bagian sebelumnya.

Kita melihat ada sebuah campur tangan yang luar biasa dahsyat, untuk memutar bumi selama miliaran tahun. Besarnya energi pemutar itu, tak akan pernah terbayangkan oleh pikiran kita. Apalagi selama kurun waktu miliaran tahun. Kalau seandainya, semua batubara, minyak, bahan bakar nuklir, dan seluruh sumber energi yang ada di bumi ini dibakar untuk memutar bumi itu, maka sudah bisa dipastikan tidak akan mencukupi!

Padahal kita tahu, bukan hanya bumi yang berputar atau berotasi. Bulan juga berputar; selain pada dirinya sendiri, ia juga mengelilingi bumi. Bumi mengelilingi matahari. Matahari berputar juga mengelilingi pusat galaksi. Dan seluruh galaksi yang jumlahnya miliaran itu, juga berputar putar mengelilingi pusat Superkluster dan alam semesta. Subbanallaah, betapa besarnya kekuatan yang terlibat dalam pergerakan benda benda di jagad raya ini!
QS. Ar Ra'du (13) : 2
“Allah lah yang meninggikan langit tanpa tiang, yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas Arsy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar bingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan, menjelaskan tanda-tanda, agar kamu meyakini pertemuan dengan Tuhanmu”

Kembali kepada tanda-tanda kebesaranNya, masih demikian banyak tanda-tanda Kebesaran Allah di alam semesta ini yang bisa kita jadikan ‘Jalan’ untuk lebih mengenalNya. Bahkan jumlahnya tak berhingga.

Di pepohonan yang sedang berbuah dan bermekaran bunganya, terdapat tanda-tanda Kebesaran Allah. Di atmosfer bumi yang memayungi kita dari ancaman meteor-meteor, juga terserak ayat-ayat Allah. Di miliaran jenis binatang laut, darat dan udara yang begitu indah juga terdapat bukti-bukti kebesaranNya.

Bahkan, di sekujur tubuh kita : di setiap tarikan nafas kita, di aliran darah dan denyut jantung, di rambut, di mata, telinga dan seluruh panca indera, sampai kepada bisikan hati yang paling dalam. Semuanya memberikan tanda-tanda Kebesaran Allah kepada orang-orang yang mau berpikir. Tak akan pernah selesai kita tuliskan, meskipun menggunakan tinta dari tujuh lautan, seperti difirmankan Allah...
QS. Luqmaan (31) : 27
“Dan Seandainya pohon-pohon di bumi Menjadi Pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering) nya, niscaya tidak akan habis habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”


4. Selalu Berpikir Tentang Allah.

Kata kunci Yang berikutnya dalam memahami QS. Ali Imran : 190-191 adalah ‘selalu berpikir tentang Allah’. Penggalan kalimat ini juga sangatlah mendalam. Lagi-lagi Allah ingin mengajak kita untuk berinteraksi denganNya.

Bayangkan firman yang disampaikan Allah dalam ayat tersebut : "...yaitu orang-orang yang selalu berpikir dalam keadaan berdiri, duduk, dan berbaring, ia selalu memikirkan tentang kejadian langit dan bumi... "

Seakan-akan Dia ingin mengatakan kepada kita bahwa kunci kedekatan seorang Hamba dengan Tuhannya, salah satunya, adalah selalu berpikir tentang Allah, lewat ayat-ayatNya yang terserak di seluruh penjuru alam ini. Nabi Ibrahim melakukan itu sepanjang hayatnya. Nabi Musa juga. Demikian pula nabi Muhammad, sejak beliau berada di Gua Hira' sampai akhir hayatnya.

Berpikir adalah salah satu kunci kedekatan kita dengan Allah. Ini menunjukkan bahwa Allah sangat menghargai pikiran kita. Orang yang tidak berpikir dan tidak menggunakan akalnya, termasuk golongan yang dimurkai Allah.
QS. Yunus (10) : 100
“Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.”

QS. Al Baqarah (2)
“Allah menganugerahkan al hikmah kepada siapa yang Dia kebendaki, Dan barangsiapa yang dianugerahi, al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran.”

Kita juga tahu, bahwa agama ini memang diperuntukkan bagi makhluk yang berakal. Sebagai contoh tumbuhan dan binatang, yang tidak berakal, tidak dikenai kewajiban beragama. Demikian pula, manusia yang dalam keadaan pingsan, mabuk, gila, atau mati suri dimana akalnya tidak jalan juga tidak dikenai kewajiban beragama. Sangat jelas bahwa agama hanya cocok untuk makhluk yang berakal.

Karena itu, Allah juga secara tersirat maupun tersurat, menegaskan bahwa kita harus berpikir untuk menjalani agama ini. Apalagi untuk ‘bertemu’ dengan Allah.

Nah, dalarn ayat tersebut bahkan dikatakan tidak cukup berpikir hanya kadang-kadang saja. Berpikir harus total, sepanjang waktu kita. Baik dalam keadaan sedang berdiri, duduk, tidur tiduran, dan apa pun aktifitas kita. Semuanya harus diorientasikan kepada Allah. Itu kalau kita ingin bertemu dengan Nya.

Apakah esensi dari aktifitas berpikir yang seperti itu? Intinya, kita harus menghubungkan setiap aktifitas kita apa pun bentuknya, semata-mata Lillaahi Ta'ala. Tidak ada tujuan lain dalam hidup kita kecuali untukNya. Mulai dari bangun tidur, shalat Subuh, olahraga pagi, sarapan, bekerja, istirahat, belanja, dan seterusnya sampai kita tidur kernbali, harus berorientasi kepada Allah. Bahkan tidur itu sendiri, harus berorientasi kepada Allah.

Ada sebuah kisah menarik pada jaman Rasulullah. Pada suatu ketika, Rasulullah shalat berjamaah dengan para sahabat. Usai shalat berjamaah, ada sahabat yang masih melanjutkan dengan shalat-shalat sunnah, dan ada pula yang berbaring melepas lelah kemudian tertidur di serambi masjid.

Tiba tiba saja, Rasulullah melihat ada setan masuk ke dalam masjid. Apa yang dilakukan setan itu? Ternyata ia mencoba mengganggu orang yang sedang shalat. Kemudian, oleh Rasulullah setan itu ditangkapnya. Beliau mengumpulkan beberapa sahabat, dan menjelaskan bahwa ada setan yang tertangkap karena sedang mencoba menggoda sahabat yang sedang shalat.

Di hadapan para sahabat, Rasulullah bertanya kepada si setan : kenapa ia mengganggu orang yang sedang shalat. Apakah ia tidak takut, Dan kenapa tidak mengganggu orang yang sedang tidur?

Apa. jawab si setan? la mengatakan: bahwa ia justru takut untuk mengganggu orang yang tertidur itu, karena si orang yang sedang tidur hatinya sedang berdzikir kepada Allah. Sedangkan orang yang shalat itu, hatinya tidak khusyuk. Bahkan teringat segala macam aktivitas keduniaannya ...

Kenapa berpikir menjadi kunci dari keberhasilan proses pendekatan kita kepada Allah? Tidak bisakah kita tanpa berpikir lantas bisa dekat dengan Allah?

Rasanya sulit untuk mengatakan bahwa tanpa berpikir manusia bisa mendekatkan diri kepada Allah. Allah sendiri berulang-ulang mengatakan di dalam Al Quran bahwa manusia harus berpikir, dan Dia sangat menghargai orang orang yang berpikir dengan baik. Berpikir menunjukkan bahwa kita hidup. Orang yang sudah tidak bisa berpikir, pada hakikatnya dia sudah ‘mati’. Dan orang yang sudah mati, tidak dikenai lagi kewajiban beragama.
Allah mengatakan di dalam QS Al Israa (17) : 36
“Dan janganlah kalian mengikuti apa-apa yang kalian tidak memiliki ilmunya. Sesungguhnya Pendengaran, Penglihatan dan hati, semua itu akan diminta Pertanggungjawabannya.”

Artinya kita tidak boleh ikutan-ikutan saja dalam mengerjakan sesuatu. Itu bisa berbahaya, dan lantas kita sulit untuk mempertanggung jawabkannya. Harus punya ilmunya, kata Allah. Itu artinya kita harus banyak-banyak berpikir.

Dan kalau kita membaca Al Quran, betapa banyaknya Allah menyindir kita dengan kalimat-kalimat : afalaa ta’qiluun (apakah kalian tidak berakal) afalaa yandzuruuna (Apakah kalian tidak melakukan observasi), afalayatafakkaruun (apakah kalian tidak berpikir), dan lain sebagainya.

Berpikir menjadi entry point (pintu masuk) bagi proses pendekatan kita kepada Allah. Seseorang tidak akan memiliki keimanan yang kuat kalau tidak melalui proses berpikir. Hal ini sudah ditunjukkan oleh para nabi besar, seperti Ibrahim, Musa dan Muhammad. Memang, para nabi itu memperoleh ilmunya tidak lewat berguru, tetapi lewat wahyu dari Allah, yang langsung masuk ke kalbunya. Akan tetapi, semua itu selalu didahului dengan sebuah proses berpikir secara total, yang cukup panjang.

Nabi Ibrahim misalnya lewat proses dialognya dengan alam semesta. Nabi Musa dengan ‘bertapa’ di gunung Sinai. Dan nabi Muhammad lewat proses berkhalwat di gua Hira'. Semua itu adalah proses awal berupa perenungan-perenungan untuk memperoleh ilmu yang sangat tinggi dan mendalam. Maka kalau kita ingin memperoleh kedekatan dengan Allah lakukanlah apa-apa yang telah dialami oleh para nabi besar itu. Atau dalam konteks ini, jalankanlah apa yang diisyaratkan Allah dalam QS Ali Imran 190-191 tersebut : selalu berpikir dalam keadaan berdiri, duduk, dan berbaring…, apa pun aktifitas kita.


5. Tidak Ada Yang Sia-Sia

Orang yang disebut sebagai 'Ulil Albab' di dalam wahyu itu akhirnya memiliki kesimpulan : Rabbanaa maa kbolaqtabaadzaa baatila , Ya Tuhanku, tidak sia-sia segala yang Engkau ciptakan ini ...

Kapankah seseorang bisa memiliki kesimpulan bahwa segala sesuatu yang dia pelajari itu tidak sia-sia? Jawabnya hanya satu, yaitu ketika dia sudah sangat memahami tentang apa yang dia pelajari. Barulah dia bisa mengatakan bahwa ternyata segala yang dicipta oleh Allah semuanya ada manfaatnya. Betapa mendalamnya kalimat ini...

Orang yang belum mengerti tentang apa yang dia pelajari dia tidak akan bisa mengatakan bahwa sesuatu itu bermanfaat alias tidak sia sia. Jadi, bisakah Anda bayangkan bahwa wahyu Allah tersebut seakan akan menggambarkan sebuah kurun waktu yang sangat panjang dalam kehidupan seseorang. Barangkali sepanjang usianya.

Di ayat itu, sang pemikir digambarkan selalu gelisah untuk bisa bertemu dengan Allah. Karena itu ia selalu berpikir tentang tanda-tanda kebesaranNya sepanjang hidupnya. Baik, ia sedang berdiri, duduk, bahkan tidur. Ketika ia sedang susah maupun senang. Ketika sedang sendiri maupun sedang beramai-ramai. Dan, segala aktivitas kehidupannya.

Setelah berpuluh-puluh tahun kemudian sebagaimana Ibrahim akhirnya ia mendapatkan satu kesimpulan bahwa Allah memang Sang Pencipta Yang Maha Pintar dan Maha Bijaksana. Tak ada satu benda pun yang tidak bermanfaat di alam semesta ini. Barangkali, kalau aktivitas berpikirnya itu dibukukan, itu akan menjadi sebuah informasi ilmu pengetahuan yang hebat dan dahsyat. Kenapa demikian? Ya, karena kesimpulannya mengatakan bahwa ia sangat paham dengan fakta yang terserak di alam semesta ini, dan bisa berkata : Tidak sia-sia segala yang ada ...

Begitulah Allah memancing kita untuk mempelajari alam semesta ciptaanNya. Hasil akhirnya, bukannya sekadar kita puas dengan ilmu yang kita peroleh, melainkan kita mendapatkan satu kesimpulan esensial, yaitu lebih mengenal Dzat, Sang Penguasa Semesta.
Saya yakin, bahwa kita masih sering menganggap sesuatu yang terjadi di sekitar kehidupan kita adalah sia‑sia. Atau setidak‑tidaknya biasa‑biasa saja. Tidak ada gunanya. Dan tidak memberikan tanda‑tanda bagi eksistensi serta keterlibatan Allah.

Ambil saja centoh. Allah mengatakan bahwa Dia tidak merasa malu menciptakan nyamuk. Apakah kita pernah berpikir bahwa nyamuk adalah ciptaan Allah yang luar biasa rumit dan memiliki peran dalam kehidupan kita?

QS Al Baqarah (2) : 26
“Sesungguhnya Allah tidak malu membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu...”

Sampai saat ini tidak ada seorang ahli robot pun yang bisa meniru membuat nyamuk. Seluruh ilmu pengetahuan sepanjang peradaban manusia belum cukup untuk digunakan membuat nyamuk. Untuk meniru gerakan kakinya saja, para ahli robot terkemuka di dunia tidak bisa menirunya. Apalagi meniru alat penglihatannya, pencernaannya, sayapnya, instinknya dan seluruh proses metabolisme yang menyebabkan dia hidup dan berkembang biak.

Belum lagi peran dalam ekosistem kehidupan kita. Keterlibatannya dengan berbagai macam penyakit, yang lantas memberikan kontribusi pada kehidupan sosial dan kesehatan manusia. Seekor nyamuk bisa menghabiskan umur kita untuk memahaminya lewat sebuah penelitian yang panjang. Dan akhimya kita akan mengatakan bahwa Allah tidak sia‑sia menciptakan nyamuk dalam kehidupan di muka bumi ini.

Atau pernahkah kita berpikir tentang lebah? Darimana ia memperoleh instink untuk 'memproduksi' madu yang ternyata bisa menjadi obat itu? Berapa nilai ekonomi dan kesehatan yang telah dihasilkan oleh serangga yang hidup bergerombol bersama sang ratu lebah itu.

Bahkan, bukan hanya makhluk berupa binatang atau tumbuhan saia yang menarik untuk dipikirkan. Kejadian‑kejadian yang melingkupi kehidupan kita pun tidaklah ada yang sia‑sia. Semuanya mengandung pelajaran dan hikmah untuk kita ambil sebagai pelajaran dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.

Suatu ketika ayah teman saya mengalami kecelakaan sampai meninggal dunia. Kejadiannya sendiri memang terkesan 'aneh'. Setiap pagi, dia selalu berangkat ke toko tempat dia jualan pukul 07.00. Pada hari itu, entah apa yang menyebabkan dia enggan berangkat pada jam seperti biasanya. Dia sudah keluar rumah untuk berangkat tetapi ditundanya, dan dia masuk kembali ke rumah. Sejam kemudian dia baru berangkat. Dan ketika dia menyeberang jalan menuju ke tokonya, dia tertabrak mobil. Kemudian meninggal dunia.

Sepintas lalu kita, akan mengatakan bahwa hal itu adalah biasa saja. Akan tetapi kalau kita cermati, kita lantas bisa bertanya‑tanya : kenapa dia menunda kebiasaannya pergi pukul tujuh pagi, sehingga bertepatan dengan mobil yang melintas di jalan itu, dan kemudian menabraknya. Siapakah yang membuat semua itu terjadi secara tepat waktu? Apakah semua itu kebetulan? Padahal kalau kejadian itu berbeda 1 menit saja, kecelakaan itu tidak terjadi.

Rasanya tidak ada yang ‘kebetulan’ dalam hal ini. Setiap detik telah diperhitungkan Allah untuk mempertemukan kejadian itu. Kecepatan langkah sang ayah dan kecepatan mobil penabrak berjalan demikian akurat, sehingga bertemu di tempat kejadian itu. Meleset sedikit saja, maka kecelakaan itu tidak akan terjadi.

Maka, dengan beberapa contoh di atas, saya ingin mengatakan bahwa segala kejadian yang berlangsung di sekitar kita tidak ada yang kebetulan dan tidak ada yang sia-sia. Semuanya berlangsung dalam sebuah skenario yang sangat teliti dan ada hikmahnya.

Kita makan, minum, tidur, bekerja, tersandung, kesedak, sakit, menikah, punya anak, dapat rezeki, dan segala macam aktivitas kita, tidaklah ada yang kebetulan dan sia-sia. Sekali lagi, semuanya terjadi dalam frame yang jelas dan dengan tujuan yang jelas pula.

Inilah kira kira Yang bisa kita petik dari penggalan ayat dalam wahyu tersebut. Pemahaman yang komprehensif terhadap segala yang ada justru akan membawa kita kepada suatu kesimpulan yang terfokus pada Kekuasan Allah, sang Maha Perkasa.


6. Maha Suci Allah

Kalimat Subhanallaah di dalam agama Islam dianjurkan untuk diucapkan ketika kita melihat sesuatu yang mempesona atau sesuatu yang luar biasa. Maka, ketika sang pemikir mengucapkan kalimat itu di akhir wahyu tersebut, kita menangkap nuansa bahwa ia sedang terpesona oleh Keagungan dan Kebesaran Allah.

Situasi ini konsisten dengan kalimat sebelumnya, di atas, di mana ia mengatakan tidak sia-sia segala yang diciptakan Allah. Kedua duanya memberikan kesan kepada kita bahwa sang pemikir telah melakukan sebuah proses berpikir dan pengamatan yang sangat mendalam, sehingga ia sampai terpesona. Orang yang sekedar berpikir asal-asalan tidak akan pernah mencapai tingkatan terpesona. Orang hanya bisa terpesona ketika dia sangat menghayati kenyataan luar biasa yang sedang dihadapinya ... !

Maka, lagi-lagi kita menemukan bahwa wahyu yang diturunkan Allah kepada nabi Muhammad itu memang memiliki makna yang luar biasa dahsyatnya, sehingga Rasulullah pun menangis semalaman...

Di dalam Al Quran Allah memberikan banyak gambaran tentang makhluk yang bertasbih, me Maha Suci kan Allah. Ada suatu kesan yang kuat bahwa mereka yang me Maha Suci kan Allah itu adalah mereka yang telah begitu memahami bahwa Allah memang benar-benar Tuhan semesta alam.

QS. Al Israa’ (17) : 44
“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada satu pun melainkan bertasbih dengan memujiNya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah maha Penyantun lagi Maha Pengampun.”

Kalau kita mencoba mencermati firman di atas, maka kita akan mengambil kesimpulan bahwa yang disebut tasbih dalam hal ini bukanlah sekedar mengucapkan Subhanallah. Kenapa demikian? karena
kalimat di atas memberikan gambaran kepada kita bahwa benda-benda mati pun seperti langit dan bumi, dan segala macam isi alam semesta ternyata bertasbih kepadaNya.

Tentu kita semua tahu bahwa benda-benda itu tidak bisa berkata kata, seperti manusia. Termasuk tentu saia mereka tidak bisa mengucapkan subhanallah. Apalagi lantas Allah memberikan penegasan Pada kalimat berikutnya, bahwa kita kebanyakan manusia tidak mengerti tasbih mereka. Karena mereka memiliki caranya sendiri untuk mentasbihkan Allah.

Yang mengerti tentang tasbih mereka, hanya sebagian kecil saja dari kita. Termasuk sang 'Ulil Albab' yang selalu mencermati dan berpikir tentang ayat-ayat Allah di alam semesta. Hanya orang-orang semacam dialah yang mengetahui bahwa alam semesta ini sedang bertasbih kepada Allah. Sehingga dia pun akhirnya mengucapkan kalimat yang sama : Maha Suci Engkau ya Allah sebagaimana bagian akhir QS Ali lmran 191.

Di bagian yang lain, Allah juga memberikan gambaran bahwa alam semesta ini bertasbih bersama orang-orang yang berilmu pengetahuan seperti nabi Daud dan nabi Sulaiman.
QS. Al Anbiyaa' (21) : 79
“Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum, dan kepada masing-masing mereka (Daud dan Sulaiman) telah Kami, berikan hikmah dan ilmu, dan telah Kami tundukkan gunung gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. Dan Kamilah yang melakukannya.”

Maka, barangkali kita boleh mengambil kesimpulan bahwa hakikat tasbih yang dimaksudkan oleh Allah di dalam berbagai ayat Quran bukanlah sekedar berucap Subhanallah, melainkan lebih kepada pengakuan atas ke Maha Perkasaan Allah, sehingga seluruh isi alam ini tunduk dan patuh kepadaNya. Kepada hukum alam yang ditegakkanNya. Serta kepada seluruh sunnatullahNya.

Bagaimana mungkin kita bisa memberikan pengakuan tentang Keperkasaan Allah tanpa mempelajari dan memahami alam sekitar kita? Tentu saja sulit, karena pengakuan terhadap Kehebatan Allah hanya bisa muncul kalau kita melakukan proses pemahaman atas segala ciptaanNya. Kecuali, Para Nabi yang memperoleh Wahyu dariNya, langsung dimasukkan ke dalam kalbunya.

Berulang-ulang Allah menceritakan tasbih Para makhlukNya di dalam Al Quran. Mulai dari para malaikat, langit yang tujuh, hamparan bumi dan gunung-gunung, burung yang beterbangan, awan yang berarak, hujan dan salju, pergantian siang dan malam hari, penciptaan binatang-binatang melata, dan segala macam isi alam semesta ini. Lagi lagi semua itu menegaskan bahwa ‘ketaatan’ seluruh isi alam dalam mengikuti sunnatullah itulah yang menjadi bukti Kemahasucian Allah. QS. An Nuur (24) : 41-46
“Tidakkah kamu tabu bahwasannya Allah, kepadanya bertasbih apa yang di langit dan di bumi, dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) sembabyang dan tasbihnya. Dan Allah Maha Mengetabui apa yang mereka kerjakan.”

“Dan kepunyaan Allah lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah lah semuanya kembali”

“Tidakkah kamu melihat bahwa Allah mengarak awan, kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian)nya, kemudian menjadikannya bertindih-tindih, maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah celahnya, dan Allah juga menurunkan es dari langit, dari gunung gunung, maka ditimpakanNya es itu kepada siapa yang dikehendakiNya dan dibiarkanNya dari siapa yang dikehendakiNya. Kilatan awan itu hampir-hampir menghilangkan penglihatan.”

“Allah mempergantikan malam dan siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran yang benar bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan.”

“Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air, maka sebagian dari hewan itu ada yang berjalan di atas perutnya, dan sebagian berjalan dengan dua kaki, sedang sebagian yang lain berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang dikehendakiNya, sesungguh-nya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan ayat-ayat yang menjelaskan. Dan Allah memimpin siapa yang dikebendakiNya kepada jalan yang lurus.”

Seluruh benda mati di alam semesta ini dengan sendirinya sudah mengakui ke Maha Sucian Allah, karena eksistensi mereka seluruhnya telah mengikuti hukum alam alias sunnatullah. Termasuk seluruh bagian dan organ dalam tubuh kita. Detak jantung kita, nafas dan paru kita, ginjal dan hepar, pencernaan, otak, saraf, dan seluruh sel-sel serta miliaran molekul dan atom di dalam tubuh kita, semuanya telah bertasbih kepada Allah.

Lantas, kenapa kita masih 'dituntun' oleh Allah untuk bertasbih kepadaNya? ya, karena jiwa kita telah terkungkung dalam badan kemanusiaan yang serba terbatas dan berkutub dua: yaitu ‘kemuliaan’ dan'hawa

nafsu'. Kesadaran kita terus bergerak di antara dua/ kutub itu.

Ketika, kesadaran kita meningkat rnenu~‑. kepada 'kemuliaan', maka kita lantas bisa 'melihitt kenyataan, kehidupan yang sesungguhnya. Sebaliknya. kalau'kesadaran'kita menurun menuju kepada hawa nafsti, maka kita lantas kehilangan'penglihatan'.kita untuk melihat kehidupan yang sesungguhnya.

Dalam sudut pandang yang lain, kita bisa mengatakan bahwa tubuh manusia ini menyebabkan kernampuan kita serba terbatas. Padahal kita sebenarnya memiliki potensial ruh yang serba'tidak terbatas', karena ruh adalah potensi Itahiah. Maka ketika kita terlalu mernanjakan pernenuhan kebutuhan raga saia, seperti makan, minum, harta, seksualitas, kekuasaan, dan sebagainya, kita akan tetjebak kepada hawa nafsu.

Sebaliknya, kalau kita bisa mernandang bahwa kebutuhan raga itu hanyalah sebuah 'perantara' saia dan kebutuhan ruh adalah utarna ‑ maka kita akan mencapai deraiat kemuliaan, dalarn hidup yang sesungguhnya.

Disinilah, karena potensi ruh kita telah terkungkung dalarn eksistensi kernanusiaan kita, maka kualitas kesadaran kita bisa naik turun antara Kernuliaan dan hawa nafsu yang membawa pada Kehinaan. Sehingga , lantas Allah mengingatkan kepada kita bahwa Kesadaran ruh harus terus ditingkatkan.

Caranya adalah dengan terus menerus menghubungkan 'kesadaran' ruh kita dengan Sang Maha Pencipta. Akhirnya, diharapkan kita bisa memperoleh sebuah 'kesadaran semesta' bahwa segala eksistensi ini sebenarnya adalah kecil yang besar dan penting hanya Allah saja ...


7. Hindarkan Kami Dari Siksa Api Neraka

Dan kalimat yang terakhir dari wahyu itu adalah permohonan untuk dihindarkan dari siksa api neraka. Kenapa sang Pemikir ‑ yang dijadikan tokoh dalam wahyu itu ‑ melakukan permohonan tersebut? Saya menangkap kesan bahwa dia telah mengakui kebodohannya selama ini, yang tidak bisa memahami keluar biasaan tanda‑tanda Kebesaran Allah yang ada di sekitarnya. la sangat menyesalinya ...

Betapa tidak, hamparan kekuasaan Allah demikian nyata di hadapannya, namun selama ini ia tidak mampu menangkapnya. Ini bagaikan sebuah sindiran kepada kita semua, bahwa kebanyakan kita tidak memiliki kepekaan untuk menangkap tanda‑tanda Kebesaran Allah itu. Maka, Rasulullah pun merasa malu atas sindiran Allah itu, sehingga beliau menangis semalaman.

Bagaimanakah dengan kita? Apakah kita bisa menangis membaca firman Allah itu? Atau, setidak-tidaknya bergetarkah hati kita? Kalau tidak, maka ini bagaikan sebuah sindiran untuk kita. Allah mengatakan bahwa orang‑orang yang beriman itu ciri‑cirinya adalah hatinya gampang bergetar ketika disebut nama Allah.

QS‑ Al Anfal (8) : 2

“Sesungguhnya orang‑orang yang beriman itu adalah mereka yang jika disebut nama Allah, hati mereka bergetar, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat‑ayatNya: bertambahlah iman mereka, dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal.”

Dari sisi lainnya, kita juga memperoleh kesan bahwa orang orang yang tidak bisa menangkap, sindiran Allah dalam wahyu itu akan terkena ‘adzab neraka’. Karena itu, sang tokoh di dalam ayat tersebut berdoa kepada Allah untuk dihindarkan dari api neraka. Sebaliknya, orang-orang yang bisa memetik pelajaran dari wahyu tersebut akan bisa, terhindar dari api neraka.

Kenapa orang-orang yang tidak bisa memetik pelajaran akan terkena azab neraka? Karena, sesungguhnya dia tidak bisa memahami hakikat beragama Islam. Apa hakikatnya? Sesuai dengan ringkasan ayat tersebut, bahwa mereka yang bisa tehindar dari api neraka adalah orang orang ‘tidak mati’ hatinya sepanjang hidupnya.

Karena Allah berulangkali mengatakan di dalam firmanNya, betapa banyaknya manusia yang sudah ‘mati’ justru ketika dia masih hidup. Hatinya tidak digunakan untuk memahami pelajaran dari proses kehidupan yang dijalaninya.

QS. Al A'raaf (7): 179
“Dan sesungguhnya Kami jadikan isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati tetapi tidak digunakan untuk memahami (ayat ayat Allah), dan mereka mempunyai mata tidak digunakan untuk melihat (tanda tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga tetapi tidak digunakan untuk mendengar (ayat ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.”

Maka orang-orang yang demikian ini, seperti orang yang tidak tahu jalan kemana mereka sedang menuju. Lantas, kehidupannya tidak ditata dengan strategi yang baik, sesuai dengan tujuan jangka panjangnya. Sehingga, kalau demikian keadaannya, mereka sangat gampang terjebak dalam kehidupan duniawi yang serba semu. Dianggapnya segala kenikmatan dunia ini adalah tujuan akhir dari kehidupannya. Padahal, kehidupan yang sesungguhnya adalah di akhirat. Di dunia ini, kita hanya hidup dalam kurun waktu puluhan tahun saja. Tetapi di akhirat nanti kita akan hidup dalam kurun waktu tak terhingga. Hidup di dunia, justru untuk mempersiapkan segala sesuatu untuk bekal hidup di akhirat nanti.

Bahkan, di dalam ayat di atas Allah menggunakan sindiran yang agak 'keras' tetapi realistis. Bahwa mereka yang tidak bisa mengambil pelajaran dari sekitarnya bagaikan binatang ternak, yang memang tidak berakal. Hidup mereka mengelinding saja, apa adanya, tanpa tujuan yang jelas. Apalagi untuk selalu meningkatkan kualitas dari hari ke hari seperti di ajarkan Rasulullah.

Jadi, dengan diskusi kita yang serba ringkas ini, saya harap kita memperoleh pemahaman yang memadai terhadap beberapa kata kunci di dalam wahyu tersebut. Sehingga kita lantas bisa mengerti kenapa Rasulullah menangis sedemikian rupa sepanjang malam, ketika wahyu itu turun kepada beliau.

Harapannya adalah, hal ini bisa terjadi juga kepada kita. Caranya adalah dengan berusaha, untuk lebih memahami dan menghayati makna ayat tersebut secara mendalam sehingga kita bisa merasakan hati kita bergetar getar ketika membacanya. Dan syukur, jika sampai melelehkan air mata, karena merasakan kedekatan, yang luar biasa dengan Allah Azza wa Jalla...

Beragama Dengan Terpaksa, Percuma!



Maukah kita beragama dengan terpaksa? Saya kira hampir setiap orang akan mengatakan tidak mau. Akan tetapi, pada kenyataannya banyak di antara kita beragama dengan terpaksa. Terpaksa oleh apa? Banyak hal yang bisa membuat kita terpaksa untuk melakukan aktivitas keagamaan kita.

Ada yang terpaksa menjalankan agama Islamnya karena keluarganya dikenal orang sebagai keluarga yang agamis. Ada juga yang terpaksa shalat karena malu pada mertuanya atau atasannya. Dan ada pula yang ‘terpaksa’ menjalankan agama sebagai taktik politik, dan untuk meraih tujuan tertentu semata. ya, sangat banyak di sekitar kita orang menjalani agama dengan terpaksa atau 'dipaksa' oleh lingkungan eksternalnya.

Namun selain itu, sebenamya ada keterpaksaan yang berasal dari dalam diri kita sendiri. Keterpaksaan semacam ini biasanya disebabkan oleh ketidak mengertian kita terhadap apa yang kita lakukan. Jika kita tidak mengerti tentang makna dan manfaat shalat, misalnya, tentu kita lantas melaksanakan shalat itu dengan rasa terpaksa.

Yang sering kita temui, keterpaksaan kita dalam menjalankan ibadah karena kita diancam dengan 'dosa'. Kalau kita tidak menjalankan
perintah, kita divonis akan masuk neraka. Nah, ketakutan inilah yang menyebabkan kita terpaksa menjalani agama kita.

Sehingga yang terjadi dalam proses kehidupan beragama kita sangatlah menyedihkan. Dengan memeluk agama, kita justru merasa terbelenggu! Barangkali ada yang tidak setuju dengan pemyataan ini. Tetapi marilah kita secara jujur melihat dan bertanya ke dalam hati kita sendiri. Pernahkah kita merasa terbelenggu oleh aturan agama kita? Kalau kita mau jujur, pasti kita akan mengatakan : ya, sering!

Kapan kita merasa terbelenggu? Mungkin ketika kita sedang sibuk bekerja, lantas terdengar kumandang adzan. Banyak di antara kita, yang barangkali berpikir : “Ah, nanti saja, sekarang masih sibuk ... “ Pikiran ini, sebenamya, secara tidak langsung menyatakan bahwa shalat itu bukanlah sebuah kerinduan untuk menjalaninya. Melainkan sebuah kewajiban yang ‘membelenggu’ aktifitas dan keasyikan kita. ‘Ah, shalat ini merepotkan saja’ barangkali begitu kalau dinyatakan secara vulgar.

Bukti keterbelengguan kita oleh 'agama' juga bisa dirasakan ketika kita didatangi oleh seorang peminta-minta. Ketika kita sedang asyik menikmati radio di dalam mobil, tiba-tiba ada gelandangan yang meminta uang di perempatan lampu merah. Sebenarnya Rasulullah mengajarkan kepada kita untuk menolongnya, tetapi barangkali yang terbetik dalam pikiran kita saat itu adalah : ‘Ah, gelandangan ini mengganggu saja’

Nah, kalau kita perluas, contoh-contoh keterpaksaan itu demikian banyak dalam keseharian kita. Mulai dari menjalankan ibadah shalat, puasa, zakat, haji, sampai kepada berbagai perbuatan amar makruf nahi munkar, serta tolong menolong dalam kehidupan. Dengan kata lain, perintah agama ini terasa membelenggu ‘keasyikan dan kenikmatan’ kehidupan kita. Lantas muncul kesimpulan bahwa agama adalah belenggu?! Lho, benarkah demikian? Tentu tidak demikian. Tetapi, kalau tidak benar, dimanakah letak kesalahan berpikir kita?

Semestinya, logika umum kita mengatakan bahwa beragama ini dimaksudkan untuk mencari kenikmatan hidup. Bukan untuk mencari persoalan hidup. Apalagi merasa terbelenggu,dan sempit kehidupannya. Kalau kita merasa agama ini sebagai belenggu, maka pasti ada yang salah dengan pemikiran dan proses beragama kita. Allah sendiri mengajarkan kepada kita untuk berdoa mohon kenikmatan, misalnya dalam surat berikut ini .
QS. Al Fatihah : 6-7
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalannya orang-orang yang Engkau beri kenikmatan, bukan jalannya orang-orang yang Engkau murkai, dan bukan jalannya orang-orang yang tersesat”

Jadi bisa kita simpulkan, agama Islam ini justru adalah sebuah jalan yang memberikan 'pembebasan' kepada kita dari berbagai belenggu dunia. Sehingga, ujung-ujungnya kita. akan memperoleh kenikmatan di sepanjang hidup kita. Bukan hanya nanti pada akhir kehidupan kita, tetapi sekarang pun dan sepanjang kita. menjalani agama ini.

Bagaimana caranya agar kita tidak merasa terbelenggu oleh Islam, tetapi justru memperoleh kenikmatan dalam beragama? Kuncinya hanya satu, yaitu jalanilah agama ini dengan keikhlasan. Bukan dengan keterpaksaan. Kalau kita menjalani agama ini dengan terpaksa, maka segala aktivitas kita itu akan sia-sia saja. Percuma! Persoalannya, keikhlasan itu kan tidak bisa dipaksa-paksakan. Karena itu, kita harus memahami secara benar tujuan kita melakukan ibadah tersebut.

Rasulullah sendiri mengatakan : betapa banyaknya orang yang menjalani puasa, tidak memperoleh makna puasanya, kecuali banyak mendapat lapar dan dahaga. Kenapa bisa demikian? Ya, karena kita tidak mengerti apa maksud kita melakukan puasa itu. Dikiranya, puasa itu hanya sekadar 'kewajiban' untuk tidak makan, tidak minum, tidak berhubungan seksual, dan menahan segala yang membatalkan puasa. Tidak! Kalau hanya itu yang kita pahami, maka benarlah apa yang dikatakan Rasulullah tentang tidak bermanfaatnya puasa tersebut bagi kita.

Sesungguhnya, kita harus memahami makna puasa itu sendiri. Bahwa puasa adalah sebuah proses untuk mencapai jiwa yang terkendali, alias takwa. Maka, seharusnya puasa kita hayati sebagai sebuah latihan yang sungguh-sungguh dengan target-target yang jelas. Bukan sekadar menggelinding apa adanya, karena orang orang di sekitar kita juga berpuasa.

Kalau kita sudah memiliki pemahaman yang benar, maka puasa kita. Insya Allah tidak terpaksa lagi. Bukan sekadar agar tidak berdosa, atau sekadar menggugurkan kewajiban. Tetapi betul-betul kita lakukan dengan keikhlasan dan kecintaan yang tulus untuk memperoleh kualitas ketakwaan yang tinggi, yang disebut sebagai takwa yang sungguh sungguh ittaqullaaha haqqatuqaatihii ... ).

Contoh ini bisa kita perluas kepada aktivitas-aktivitas peribadatan yang lain seperti shalat, zakat, haji, dan lain sebagainya. Kalau kita amati orang shalat misalnya, barangkali sinyalemen Rasulullah tentang sia-sianya kita beribadah itu, bisa jadi juga berlaku. Kalau diucapkan barangkali menjadi demikian : “Betapa banyaknya orang shalat yang tidak inemperoleh makna shalat, kecuali hanya olahraga saja.”
Ya, barangkali kita juga bisa bertanya kepada diri sendiri: apakah kita sudah memahami tujuan kita melakukan shalat? Jangan jangan kita masih berpikiran bahwa shalat kita itu hanya sekadar memenuhi kewajiban dari Allah saja. Seakan-akan Allah butuh untuk kita sembah. Sama sekali tidak!

Biar kita tidak shalat. Biar kita tidak puasa, tidak berhaji, tidak berzakat dan tidak mengamalkan seluruh ibadah yang 'dianjurkan' Allah, Dia sama sekali tidak terganggu KemuliaanNya dan KebesaranNya. Sebagaimana Allah mengatakan dalam kitabNya.
QS. Ibrahim (14) : 8
“Dan Musa berkata : jika kamu dan orang-orang yang ada di bumi semuanya mengingkari (Allah) maka sesungguhnva Allah Maha Kaya Jagi Maha Terpuji

Allah tidak punya ‘kepentingan’ terhadap ibadah kita yang punya kepentingan adalah diri kita sendiri Allah hanya ‘menganjurkan’ kepada kita untuk menjalankan ibadah, karena itu baik buat kita. Kalau kita tidak menjalankannya Allah sama sekali tidak dirugikan. Tetapi justru kita sendirilah yang akan rugi. Kenapa demikian? Karena, sesungguhnya seting kehidupan ini telah dibuat dengan aturan main tertentu. Agar lebih jelas, saya berikan gambaran.

Kehidupan manusia dan agama ini bisa diumpamakan seperti antara sebuah mobil dan buku manualnya. Manusia diumpamakan mobil, agama diumpamakan buku petunjuk (buku manual).

Jika kita membeli mobil, maka kita selalu memperoleh buku petunjuk tentang bagaimana kita harus mengoperasikan dan merawatnya. Misalnya, kapan kita harus mengganti oli kapan harus mengganti timing belt, bagaimana mengganti filter BBM, bahkan sampai bagaimana kita harus mengoperasikan dan mengendarai mobil kita. Kalau kita tidak benar dalam melakukan tata cara tersebut, maka dijamin mobil kita akan rusak lebih cepat dari yang seharusnya!

Manusia juga demikian adanya. Al Quran adalah buku manual kehidupan manusia. Di dalam Al Quran kemudian diperjelas dengan Hadits Allah mengajarkan bagaimana caranya kita menjalani kehidupan ini. Kenapa demikian? Karena ternyata, banyak manusia hidup yang tidak tahu bagaimana caranya 'hidup'. Mereka 'awur-wuran' dalam menjalani hidup, sehingga porak porandalah kehidupan mereka.

Allah sama sekali tidak dirugikan oleh kebodohan dan kebengalan kita. Tetapi karena Allah sangat menyayangi kita, maka Allah mengingatkan dan memberi tahu agar kita tidak terperosok ke dalam persoalan-pesoalan yang membuat kita menderita hidup di dunia, dan kemudian juga di Akhirat. Dengan kata lain, jika ingin hidup selamat di dunia dan di akhirat, ikutilah petunjuk Allah yang diajarkan lewat Rasulullah Muhammad saw.

Kenapa kita harus percaya kepada petunjuk agama? Pertanyaan tersebut saya balik : kenapa kita harus percaya kepada buku manual yang disertakan ketika kita beli mobil ? Tentu Anda akan menjawab.: ya, karena pabrik itulah pembuatnya, tentu dia lebih tahu bagaimana seharusnya kita merawat mobil tersebut. Nah, jawabannya sama persis : ya, kita sepantasnya percaya kepada Al Quran dan Hadits, karena Allahlah yang menciptakan kita, maka Dia sangat memahami bagaimana seharusnya kita ini menjalani hidup.

Empat Tingkatan Kualitas Beragama



Bagaimana cara memperoleh keikhlasan? Karena, seperti kita. ketahui, bahwa keikhlasan tidak bisa dipaksa-paksakan. Memang keikhlasan harus diperoleh dengan cara yang benar. Ada beberapa tingkatan atau fase untuk memperoleh keikhlasan. Yang pertama, adalah kornitmen. Yang kedua, memperoleh keyakinan lewat pembelajaran keilmuan. Yang ketiga, mesti diamalkan dan dilatih. Barulah, kemudian kita akan memperoleh keikhlasan yang mantap dalam menjalankan agama kita.

Dalam firman di bawah ini Allah menginformasikan tingkatan tingkatan dalam menjalani agama. Yaitu, tingkatan Iman, naik menjadi tingkatan Takwa dan akhirnya mencapai tingkatan tertinggi, yaitu Islam. Sebenarnya ada tingkatan yang paling dasar yang tidak disebutkan dalam firman itu, yaitu Islam komitmen. Adalah orang yang sudah berkomitmen untuk memeluk agama islam dengan membaca dua kalimat syahadat. Tingkatan kedua barulah ‘Iman’ atau ‘Yakin’ Tingkatan ketiga Takwa, alias ‘amalan’ Dan tingkatan keempat adalah Islam atau keikhlasan dan kepasrahan.

QS. Ali Imran (3): 102
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian dengan sebenar benarnya takwa, dan jangan mati kecuali dalam keadaan Islam”

Apakah yang dimaksud dengan Islam komitmen? Seseorang yang sudah mengucapkan dua kalimat syahadat bisa dikatakan bahwa dia sudah Islam. Tetapi baru Islam komitmen. Artinya, dia sudah berjanji pada dirinya sendiri, kepada manusia di seluruh dunia, dan juga kepada Allah, bahwa dia akan menjalani seluruh ajaran Islam dengan sebaik-baiknya. Bahwa dia hanya akan berTuhan kepada Allah dan berguru kepada nabi Muhammad saw saja. Tidak kepada yang lainnya. Tetapi dia belum menjalani proses peribadatan yang diajarkan dalam Islam.

Tentu berIslam secara demikian ini tidaklah cukup. Dan bukan menjadi tujuan Rasulullah mengajarkan Islam. Tujuan utama kita beragama Islam adalah untuk menundukkan hawa nafsu kita, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah, bahwa ‘belum Islam seseorang sampai dia bisa menundukkan hawa nafsunya’. Karena itu, seseorang yang sudah melakukan komitmen ini harus mengikutinya dengan tingkatan berikutnya.

Tingkatan yang kedua adalah Iman. Pada tingkat yang kedua ini, dia harus mempelajari seluruh ajaran islam secara mendetil. Mulai dari tatacara peribadatannya sampai pada makna ibadah itu sendiri. Dia harus tahu bagaimana cara shalat yang betul, puasa yang baik, dzikir yang bermanfaat, sarnpai melaksanakan ibadah haji. Tetapi tidak hanya berhenti di situ, dia juga harus memahami apa tujuan dari berbagai aktivitas ibadah itu. Jangan sampai ada seorang Islam yang tidak paham tentang apa yang dia lakukan. Allah telah mengingatkan kita dalam ayat berikut ini. QS. Israa(17): 36
“Dan janganlah kalian mengikuti apa-apa yang kalian tidak memiliki i1munya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.”

Jadi, dalam menjalankan agama ini kita memang harus benar benar memahaminya. Tidak boleh ikutt-ikutan. Pada zaman nabi Muhammad kita bisa menyandarkan pemahaman kita kepada beliau. Kita contoh dan ikuti saja beliau, sudah pasti benar. Tetapi di jaman kita kini, siapakah yang bisa kita percaya sepenuhnya bahwa apa yang diajarkan oleh seseorang itu adalah benar 100 persen? Meskipun dia orang tua kita, meskipun juga dia adalah guru kita.

Bukannya kita su'udlon, tetapi memang demikianlah seharusnya sikap kita agar pemahaman terhadap Islam ini tidak mutlak-mutlakan. Melainkan dinamis sesuai dengan fakta dan akal sehat kita semua. Tentu, ada kaidah-kaidah yang harus dikuti, tetapi semua itu memiliki kebenaran relatif karena keterbatasan manusia.

Apakah tujuan utama dari tingkatan kedua iman ini? Utamanya adalah untuk memperoleh ‘keteguhan keyakinan’. Diharapkan, orang yang telah lulus dari fase ini akan menjadi orang yang sangat yakin terhadap ajaran islam, karena ia telah betul-betul memahami tentang Islam secara detil dan menyeluruh.

Memang di dalam proses mencapai keyakinan itu ada tingkatannya juga, yaitu : ‘ilmul yaqin, ainul yaqin, dan Haqqul yaqin. Ilmul yaqin adalah keyakinan yang diperoleh seseorang berdasarkan informasi dari orang lain, sebutlah dari seorang guru. Misalnya, kita diajari oleh guru kita bahwa Allah itu Maha Besar. Kita percaya kepada guru kita itu, bahwa Allah memang Maha Besar. Kita melakukan diskusi panjang dengan sang guru untuk meyakinkan pemikiran kita lewat logika dan proses keilmuan yang berlaku. Jika akhirnya kita percaya dan yakin dengan informasi itu, maka kita telah memperoleh keyakinan secara keilmuan, atau disebut sebagai ilmul yaqin.

Selanjutnya adalah Ainul yaqin. Pada tingkatan ini keyakinan yang kita peroleh bukan lagi sekadar mendengar dari orang lain, atau diyakinkan oleh orang lain. Melainkan kita meyakininya karena kita sudah 'melihat' sendiri. 'Melihat' dalam hal ini tidak selalu dengan mata kepala tetapi juga dengan 'mata batin' dan pikiran kita.

Bedanya dengan keyakinan tingkat pertama adalah, kalau 'ilmul yaqin, keyakinan kita itu lebih didasarkan pada kajian-kajian semata. Namun, pada tingkatan ainul yaqin kita sudah mengalaminya sendiri, meskipun belum sepenuhnya berinteraksi. Sedangkan pada tingkatan Haqqul yaqin, keyakinan kita benar-benar sudah sangat mantap. Tidak mungkin lagi tergoyahkan, karena kita sudah ‘berinteraksi’ sendiri dengan hal yang kita yakini tersebut.

Katakanlah, kita yakin atau iman kepada eksistensi Allah. Untuk bisa meyakini bahwa Allah itu ada dengan segala sifat KebesaranNya, maka kita tidak bisa mendapatkan dengan tiba-tiba. Ada sebuah proses mulai dari berusaha mencari informasi tentang Allah itu siapa, kemudian kita kaji sehingga kita memperoleh kesimpulan yang kuat bahwa Allah itu memang eksis, sampai kemudian kita berusaha untuk berinteraksi denganNya lewat dzikir-dzikir, lewat shalat, lewat puasa, lewat berhaji, lewat zakat, dan lewat berbagai aktivitas keseharian kita yang meng Esakan Allah.

Disitulah kita lantas akan bertemu dengan Allah. Mungkin butuh waktu sepuluh tahun. Mungkin juga 25 tahun. Atau bahkan sepanjang kehidupan kita. Sebagaimana yang dilakukan oleh nabi Ibrahim, dan para nabi lainnya.

Ketiga tingkatan keyakinan itu tergabung dalam fase lman. Sebuah fase kedua setelah Islam komitmen. Maka, tingkatan berikutnya adalah Takwa. Apakah esensi dari Takwa? Jika esensi iman adalah proses keilmuan untuk mendapatkan keyakinan, maka Takwa adalah proses amalan atau membiasakan diri dengan perbuatan perbuatan baik, dan mensucikan diri kita dengan cara menjauhi perbuatan-perbuatan yang tidak baik. Tujuan utamanya adalah untuk memperoleh kemampuan mengontrol atau mengendalikan diri sendiri.

Jadi kalau ditelusuri : Komitmen kita dalam beragama ini diperlukan untuk memberikan motivasi dalam mempelajari Islam sampai kita memperoleh keyakinan atau Iman tentang yang kita pelajari. Keyakinan tersebut akan memberikan kekuatan kepada kita untuk mengamalkan dan membiasakan diri dalam proses Takwa, yang menghasilkan karakter dan sebuah kekuatan besar di alam Bawah Sadar kita.

Lantas, apakah hasil akhir dari ketiga proses itu ? Kalau seseorang sudah mencapai tingkatan Takwa, maka seluruh aktivitas kehidupannya dan gerak gerik hatinya selalu terkontrol dengan baik. Dan lebih dari itu, secara otomatis ia telah mengikuti tatacara kehidupan yang diajarkan oleh Allah lewat rasulNya.

Tidak ada lagi keterpaksaan dalam menjalankan agama Islam. Ia sangat memahami tentang visi dan misi serta manfaat agama ini bagi kehidupan manusia secara kolektif maupun perseorangan. Sikapnya menjadi tawadlu', rendah hati, sumeleh, rendah egonya, mendahulukan kepentingan umum, serta penuh kasih sayang kepada sesama dan alam sekitamya. Inilah tingkatan tertinggi di dalam agama Islam. Dan ini pula yang dikatakan Allah kepada Rasulullah dalam firman berikut ini.

QS Al Anbiyaa' (21) : 107
“Dan tidaklah Kami utus engkau (Muhammad) kecuali untuk menebarkan rahmat (kasih sayang) kepada seluruh alam.”

Ibrahim: Rasul Kesayangan Allah



Nabi Ibrahim adalah salah satu rasul Allah yang paling banyak disebut dan dipuji-puji Allah di dalam Al Quran. Tak kurang 121 kali nama beliau disebut di dalam kitab suci itu. Ini menunjukkan betapa Allah memberikan penghargaan yang besar kepada beliau. Semakin banyak suatu hal disebut di dalam Quran, maka berarti semakin besar pula Allah memberikan perhatian kepada hal tersebut.

Bukan hanya itu, bahkan salah satu rukun Islam ibadah haji adalah sebuah prosesi untuk napak tilas berbagai aktivitas nabi Ibrahim dan keluarganya. Sebuah penghargaan yang luar biasa dari Allah kepada nabi Ibrahim. Demikian pula, dalam setiap shalatnya, umat Islam di seluruh dunia mendoakan nabi Ibrahim dan keluarganya sebagaimana juga mendoakan nabi Muhammad dan keluarganya.

“Allahumma shalli'ala Muhammad wa 'ala ali Muhammad kamaa shallaita 'ala ibraabim wa 'ala ali ibraahim wa baarik 'ala muhammad wa 'ala ali Muhammad kamaa baarakta 'ala ibraahim wa 'ala ali ibraabim fil 'alaamina inaaka hamiidum majid.
Ya Allah limpahkanlah shalawat kepada nabi Muhammad dan keluarganya sebagaimana telah Engkau limpahkan kepada nabi Ibrahim dan keluarganya. Juga limpahkanlah barokah kepada nabi Muhammad dan keluarganya sebagaimana telah Engkau limpahkan kepada nabi Ibrahim dan keluarganya, dalam keseluruhannya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji Jagi Maha Pemurah”

Nabi Ibrahim juga dikenal sebagai bapaknya para nabi, karena dari nasab beliaulah lahir nabi-nabi besar di kemudian hari. Di antaranya adalah nabi Ismail, nabi Ishak, nabi ya'qub, nabi Isa, dan nabi Muhammad saw, yang dianut oleh miliaran manusia di muka bumi, hingga kini.
QS yusuf (12) : 38
“Dan aku mengikut agama bapak-bapakku yaitu Ibrahim, Ishak dan ya'qub. Tiadalah patut bagi kami (Para nabi) mempersekutukan sesuatu apapun dengan Allah yang demikian itu adalah dari karunia Allah kepada kami dan kepada manusia (seluruhnya), tetapi kebanyakan manusia itu tidak mensyukuri (Nya).

QS Al Hadiid : 26
“Dan sesungguhnya Kami, telah mengutus Nuh dan Ibrahim dan Kami jadikan kepada keturunan keduanya kenabian dan Al Kitab, maka di antara mereka ada yang menerima petunjuk dan banyak di antara mereka fasik.

Agama Ibrahim yang Lurus



Nabi Ibrahim memperoleh keyakinan agamanya bukan dari warisan orang tuanya. Melainkan dari sebuah proses pencarian yang sangat panjang dan mendalam. Sepanjang usianya. Sejak beliau kecil hingga tutup usia. Allah membeberkan cerita Ibrahim itu secara ringkas di dalam berbagai surat. Salah satunya adalah berikut ini.
QS. Al An'aam (6) : 75.
“Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda Keagungan Kami di langit dan bumi, dan agar Ibrabim itu termasuk orang yang yakin.”

Firman tersebut menggambarkan kepada kita bahwa Ibrahim memperoleh keyakinannya tentang Allah itu setelah melakukan proses 'diskusi' panjang terhadap alam sekitamya. Allah memperlihatkan Keagungan ilmuNya di alam semesta kepada Ibrahim, sehingga beliau. akhimya memperoleh keyakinan yang sangat teguh bahwa Allah adalah Dzat yang Maha Perkasa di balik semua eksistensi ini.

Namun proses untuk mencapai tataran itu tidaklah berlangsung singkat dan mulus. Beliau sempat trial and error (mencoba-coba dan salah) dalam melakukan pencarian itu. Informasi pertamanya, justru datang dari orang-orang musyrik pada waktu itu, yaitu bahwa patung patung bikinan bapaknya itu adalah Tuhan yang harus disembah.

Tetapi akal sehatnya menolak informasi tersebut. la tidak yakin dengan pendapat masyarakat umum yang ada pada waktu itu. Lantas beliau melakukan pencarian selama bertahun-tahun terhadap 'Sesuatu' yang layak disembah sebagai Tuhan.

Terlihat sekali dari kisah itu bahwa Ibrahim sempat salah dan beberapa kali keliru dalam mencari Tuhan. Namun itu tidak apa-apa. Sekali waktu ia menganggap Bintang adalah Tuhan, tetapi tidak memuaskannya karena Bintang bisa menghilang. Di waktu lain, Bulan dikira sebagai Tuhan, tapi juga tidak memuaskan, dan kemudian ia pun menganggap Matahari sebagai Tuhan, toh tidak memuaskannya juga.

Sampai akhimya ia mendapatkan suatu kesimpulan yang sangat ia yakini bahwa segala yang terlihat itu tidak layak disebut Tuhan, karena memiliki berbagai keterbatasannya. Hanya ada satu Dzat Tunggal yang ia yakini sebagai Tuhan. Dialah Dzat yang Sangat Perkasa, yang Menghidupkan dan Mematikan, yang Menciptakan dan Memusnahkan, yang Berkuasa dan Memelihara seluruh Alam Semesta. Dialah Allah Azza Wajalla.

Demikian panjang dan mendalam proses pencarian Tuhan itu, sehingga keyakinan yang diperoleh nabi Ibrahim bukanlah sekedar di kulitnya saja. Melainkan keyakinan yang berakar sangat dalam menghunjam jiwanya. Keyakinan seperti ini tidak mudah goyah, bahkan tidak akan pernah goyah lagi.

Berbeda dengan orang yang mempercayai Tuhan hanya karena, “kata orang” atau ikut-ikutan belaka. Mereka pada hakekatnya tidak pernah yakin bahwa Allah hadir dalam hidupnya. Mereka juga tidak pernah benar-benar yakin bahwa Allah selalu bersamanya, dan sewaktu waktu bisa menolongnya ketika dalam kesulitan. Mungkin, mereka juga tidak benar-benar yakin bahwa kesehatan, kekayaan, anak, istri, jabatan, dan berbagai bentuk kesenangan duniawi itu semua berasal dari Allah. Bahkan, barangkali mereka juga merasa ragu, apakah benar kehidupan akhirat itu benar-benar ada, sehingga perlu beribadah kepada Allah ...

Nabi Ibrahim telah memperoleh keyakinan yang luar biasa sebagai hasil dari pencariannya. Maka, Ibrahim telah melakukan mekanisme pencarian seperti yang digambarkan Allah bahwa tidak ada paksaan dalam beragama, karena sesungguhnya sudah jelas antara yang baik dan yang buruk itu (QS. Al Baqarah 256). Antara yang benar dan yang salah itu. Bagaimana cara membedakannya? Gunakanlah akal kita, seperti Ibrahim juga telah menggunakan akal untuk mencari Tuhannya. Allah juga telah menegaskan, berikut ini.
QS. yunus (10) : 100
“Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.

Lebih jauh, bacalah ayat-ayat QS. Al An'aam:74-83. Di ayat yang ke 79, misalnya, Ibrahim menegaskan kesimpulannya bahwa dia sangat meyakini bahwa Allah adalah Dzat Sang Pencipta Alam semesta ini. Ibrahim sama sekali tidak akan mendua atau mempersekutukan Allah dengan yang lain. Apalagi, sekedar patung-patung berhala yang sangat tidak rasional untuk disembah. Dan inilah yang selalu kita baca dalam shalat kita sehari hari.
QS Al An'aam (6) : 79
“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan kecenderungan kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan”

Kalau keyakinan sudah sedemikian berakar, maka tak ada sesuatu pun yang bisa menggoyahkannya lagi. Bahkan di ayat berikutnya, ia mengatakan, tidak memiliki rasa takut sedikit pun kepada selain Allah. Ia telah memperoleh pelajaran inti agama islam, yaitu: totalitas keikhlasan dalam menjalankan agama ini, apa pun yang terjadi. Tetapi yang perlu dicatat sekali lagi, beliau memperoleh semua itu dari proses pencarian yang sangat panjang sehingga menghasilkan keyakinan yang sangat teguh.

Dan konsekuen dengan kondisi di atas, di ayat berikutnya, Allah memberikan jaminan kepada siapa pun yang telah mengikhlaskan kehidupannya kepada Allah, maka mereka akan memperoleh jaminan perlindungan dan petunjuk, serta derajat kehidupan yang lebih tinggi dari Allah, di dunia dan di akhirat.

Selain itu, inti pelajaran agama Ibrahim yang lurus itu juga disebutkan Allah di dalam. Al Quran surat An Nisaa' (4) : 125,
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang-orang yang menyerahkan dirinya kepada Allah, dan dia selalu berbuat kebaikan, serta mengikuti agama Ibrabim yang lurus. Dan Allah menjadikan Ibrabim sebagai kesayangannya.

Sungguh sangat eksplisit Allah menggambarkan kepasrahan nabi Ibrahim. Tidak ada yang lebih baik, kata Allah, kecuali mengikuti ‘cara cara’ nabi Ibrahim dalam menjalani agama. Cara-cara nabi Ibrahim dalam menjalani agama itulah yang ingin ditularkan Allah kepada kita semua, termasuk yang dianjurkan Allah kepada nabi Muhammad untuk diteruskan kepada kita semua, yaitu:

1 . Lakukan ‘pencarian’ dalam beragama. Jangan hanya ikut-ikutan saja, karena tanggung jawab beragama itu bersifat perorangan. Tidak bisa ditumpukan kepada orang lain. Meskipun, kepada orang tua, anak, saudara, bahkan guru sekalipun.

QS. Al Israa' : 36
“Dan janganlah kalian mengikuti apa-apa yang kalian tidak memiliki ilmunya. Karena pendengaran, penglibatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban”

2. Dapatkan keyakinan yang bersifat empiris lewat bukti-bukti yang ada di sekitar kita. Jangan hanya bersifat teori. Agama adalah amaliah. Amaliah butuh ilmu. Ilmu terus berkembang. Karena itu jangan merasa puas dengan ilmu yang telah dicapai saat ini. Pemahaman agama akan terus berkembang sesuai dengan perkembangan dan bukti-bukti ilmu pengetahuan, sebagaimana dilakukan para Rasulullah.

QS. Shaad : 45
“Dan ingatlah kepada hamba-hamba Kami, yaitu Ibrabim, Ishaq, dan yakub yang memiliki karya-karya besar dan ilmu pengetahuan yang jauh ke depan.

3. Keyakinan yang berakar sangat kuat akan menghasilkan keikhlasan dalam mengamalkan agama, sebagai puncak dari seluruh pelajaran agama Islam. Dengan keikhlasan dan keyakinan yang sangat kuat itulah nabi Ibrahim lulus dari berbagai ujian Allah, termasuk ketika diperintahkan untuk mengorbankan anaknya nabi Ismail.

QS. A] An'aam : 79
"Sesungguhnya aku hadapkan diriku kepada Tuban, Sang Pencipta Langit dan Bumi selurus lurusnya, dan aku bukan termasuk orang orang yang mempersekutukanNva

4. Pada akhimya, dengan kualitas keagamaan yang demikian itu Ibrahim menjadi nabi kesayangan Allah seperti disebut dalam QS. An Nisaa' : 125.
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang-orang yang menyerahkan dirinya kepada Allah, dan dia selalu berbuat kebaikan, serta mengikuti agama Ibrabim yang lurus. Dan Allah menjadikan Ibrabim sebagai kesayangannya.

Meninggalkan Karya Besar



Orang besar meninggalkan karya-karya besar. Orang baik meninggalkan manfaat yang baik pula bagi generasi-generasi berikutnya. Ibrahim adalah orang besar dan baik yang banyak meninggalkan karya besar dalam hidupnya. Dan kemudian ditinggalkannya untuk generasi Islam hingga kini. Usianya sudah ribuan tahun. Dari keturunan beliau juga lahir tokoh-tokoh besar dan para nabi. Di antaranya adalah nabi Ismail, Ishak, Isa dan Muhammad. Karena itu, nabi Ibrahim juga disebut sebagai bapaknya Para Nabi.

Apa sajakah yang menjadi ‘karya’ beliau, dan kemudian. menjadi peninggalan yang bermanfaat sampai kini? Di antaranya adalah Ka'bah, sumur Zam-Zam dan berbagai prosesi peribadatan haji. Peninggalan beliau itu kini menjadi pusat bagi aktivitas muslim di seluruh dunia. Setiap tahun jutaan orang datang ke tanah suci untuk napak tilas kehidupan keluarga nabi Ibrahim.

QS Al Maidah : 97
“Allah telah menjadikan Ka'bah, rumab suci itu sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia.”

QS Ash Shaffaat (37) : 108

“Kami abadikan untuk Ibrahim itu di kalangan orang-orang yang datang kemudian.”

Dan kita juga teringat kepada doa nabi Ibrahim,

QS Al Baqarah (2) : 126
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berdoa: Ya Tuhanku jadikanlah negeri (Mekkah) ini negeri yang aman sentausa dan berikanlah rezeki buah buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian....”

Kedua ayat tersebut memberikan gambaran kepada kita betapa Ibrahim telah mewariskan ‘karya-karya’ yang sangat dahsyat yang kemudian menjadi pusat peribadatan muslim di seluruh dunia.

Bahkan, selama. ribuan tahun kota Mekkah telah menjadi negeri yang makmur. Betapa tidak. Coba bayangkan, berapa besar devisa yang diterima oleh negara Arab Saudi, setiap tahunnya, akibat jutaan orang menunaikan ibadah haji. Sebuah warisan yang luar biasa dahsyatnya ...

Ka'bah dan Sumur Zam-zam



Ka'bah adalah ‘rumah tua’ yang sudah berusia ribuan tahun. Ada yang mengatakan bahwa rumah suci itu untuk pertama kalinya dibangun oleh nabi Adam. Tetapi memang tidak ditemukan catatan sejarah yang otentik tentang dibangunnya Ka'bah oleh nabi Adam. Cerita tentang siapa yang membangun Ka'bah secara otentik dijelaskan sendiri oleh Allah di dalam Al Quran, bahwa yang membangunnya adalah nabi Ibrahim bersama putranya, nabi Ismail.
QS Al Baqarah (2) : 127
“Dan ingatlah ketika Ibrahim meninggikan dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa) : Ya Tuhan Kami terimalah daripada kami (amalan kami) sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.”

QS Ali 'Imran (3) : 96
“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun (untuk beribadah) bagi manusia adalah Baitullah yang di Bakkah (Mekkah) yang diberkati dan merjadi petunjuk bagi sekalian alam”

QS. Al Hajj (22) : 29
Kemudian hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah)

Pada waktu membangun Ka'bah itu, usia nabi Ibrahim diperkirakan sekitar 100 tahun. Setelah memperoleh perintah dari Allah, maka Ibrahim datang ke (cikal bakal) kota Mekkah, di mana Ibrahim pemah meninggalkan Siti Hajar dan Ismail sewaktu bayi. Mekkah pada waktu itu telah menjadi kota yang cukup ramai, dan menjadi tempat persinggahan para kafilah dan pedagang, karena di dekatnya ada sumur Zam-zam.

Inilah menurut Quran rumah ibadah yang tertua. Hal ini ditegaskan oleh Allah, karena para ahli kitab pada waktu itu mengatakan bahwa rumah ibadah yang tertua adalah Baitul Maqdis di Palestina. Namun Allah menotak dengan tegas, sebagaimana difimankan dalam QS Ali Imran : 96 di atas.

Kalau kita membaca QS Al Baqarah 127, kita mendapat kesan bahwa dasar-dasar Baitullah itu sudah ada. Ibrahim dan Ismail tinggal meninggikannya saja. Bahkan, banyak penafsir yang menyimpulkan bahwa nabi Ibrahim memang telah mendapat perintah yang detil tentang pembangunan Ka'bah itu. Sehingga bentuk dan lokasi baitullah itu memang telah menjadi pilihan Allah. Dikisahkan juga bahwa lokasi sumur Zam-zam maupun baitullah itu ditunjukkan oleh malaikat Jibril atas perintah Allah.

Bagaimanakah spesifikasi Baitullah yang dibangun oleh nabi Ibrahim tersebut? Dalam Holy Quran dijelaskan bahwa Ka'bah yang mula-mula dibangun itu memiliki tinggi 9 hasta. Panjang dari Hajar Aswad sampai Rukun Syami 32 hasta. Lebarnya, dari Rukun Syami sampai Rukun Gharbi 22 hasta. Panjang dari Rukun Gharbi sampai Rukun yamani 31 hasta. Lebarnya dari Rukun Yamani sampai Hajar Aswad 20 hasta.

Jadi bentuknya tidak simetris. Kekuatan pilarnya ada pada kedua sudut Yamani. Sedangkan di bagian Hajar Aswad tidak terdapat pilar. Batu hitam tersebut dijadikan satu dengan dinding dalam bentuk setengah lingkaran sebagaimana bisa dilihat sekarang di sana. Sedangkan pintunya, waktu itu hanya berupa kerangka saja sejajar tanah, yang kemudian disempurnakan oleh generasi berikutnya.

Ka'bah dengan ketinggian 9 hasta yang didirikan oleh Ibrahim itu kini telah memiliki ketinggian 3 kalinya, yaitu sekitar 27 hasta. Pada waktu itu, Ibrahim meletakkan ketinggian itu pada pondasi setinggi 6 hasta.

Ketika suku bangsa Quraish merenovasi Ka'bah, mereka memindahkan dinding sebelah utara Ka'bah sejauh 5 hasta ke arah selatan, dan menambahkannya ke Hijr Ismail. Dan ketika Abdullah bin Al Zubair merenovasinya kembali dia mengembalikan posisi bangunan itu seperti ketika jaman nabi Ibrahim. Dia juga menambahkan luasan Hijr Ismail ke Ka'bah. Akhirnya, Al Hajjaj bin Yusuf melakukan renovasi terhadap Hijr Ismail seperti bentuk yang sekarang kita lihat.

Secara ringkas tetapi mendetil, sejarah pembangunan Ka'bah sebagaimana tercantum, dalam al-islam.com.
Saya hanya ingin memberikan gambaran intinya saja, bahwa Ka'bah memang telah mengalami pembangunan dan renovasi berulangkali selama ribuan tahun, sejak dibangun oleh nabi Ibrahim a.s. bersama nabi Ismail a.s. Namun, ada beberapa hal yang tetap eksis seperti semula, yaitu letak pondasi dan posisi Hajar Aswad.

Sehingga Ka'bah sebagai pusat sistem energi, sejak ribuan tahun yang lalu hingga kini tetaplah sama, seperti saya jelaskan di bagian lain, tentang energi orang thawaf dan energi orang shalat. Kedua peribadatan itu mengambil Ka'bah dan hajar aswad sebagai pusatnya.

Ada suatu cerita yang sangat menarik, pada jaman Abdullah bin Zubair ra melakukan renovasi. Ketika Ibnu Zubair menghancurkan Ka'bah dan meratakannya dengan tanah, dia menemukan fondasi peninggalan Ibrahim as. yang terdapat di dalam Hijir Ismail, sekitar enam hasta. Batu-batu tersebut berbentuk seperti leher unta, berwarna merah. Satu dengan yang lainnya saling bersilang seperti persilangan jari-jari.

Salah seorang dari mereka, Abdullah bin Muthi' Al Adawi meletakkan sebuah tongkat besi yang dipegangnya untuk mendongkel pondasi di salah satu sudut Ka'bah. Apakah yang terjadi ?

Ternyata seluruh bangunan Ka'bah bergerak. Seluruh sudutnya ikut bergetar. Bahkan, yang lebih mengejutkan, seluruh kota Mekah juga ikut bergetar dengan getaran yang dahsyat. Orang-orang terkejut dan cemas, lalu Ibnu Zubair berkata, "Saksikanlah!" Akhirnya, dia memutuskan untuk tidak meneruskan pembongkaran pondasi Ka'bah. Dia lalu melanjutkan pembangunan di atas fondasi yang telah ada:

Dengan adanya fakta ini, saya ingin mengatakan bahwa agaknya pondasi itulah yang menjadi esensi dan kunci dari bangunan Ka'bah. Sangatlah menarik, ketika pondasi itu mau dipugar, temyata terjadi gempa. Kenapa bisa demikian?

Disinilah letak misterinya. Sama misteriusnya dengan mata air Zam-zam yang tidak pemah kering, meskipun sumur itu berada di tengah-tengah padang pasir yang gersang. Agaknya, di sekitar lokasi tersebut terdapat struktur geologi yang unik dan misterius. Memang sampai sekarang belum ada penelitian yang mendalam tentang hal, ini. Tetapi Insya Allah, di masa depan akan ada fakta-fakta yang menggambarkan secara jelas tentang misteri yang luar biasa itu.

Tentang sumur Zam-zam misalnya, sangatlah aneh. Sejak ribuan tahun yang lalu mata air itu tidak pemah kering. Padahal berjuta-juta bahkan bermiliar-miliar liter air telah dibawa para jamaah haji untuk oleh-oleh pulang ke negaranya, setiap tahunnya. Tetapi zam-zam tidaklah pernah kering. Mata air Zam-zam tidak bergantung pada turunnya air hujan, melainkan pada struktur geologi tertentu yang sangat misterius. Belum pernah ada di daerah mana pun di belahan bumi ini.

Hal ini, agaknya terkait Pula dengan sejarah-sejarah yang lain. Selain lokasi Ka'bah dan zam-zam, bagian yang misterius lainnya adalah, kenapa seluruh rasul turun di daerah sekitar Timur Tengah. Apakah keistimewaan kawasan ini sejak awal? Demikian Pula pernah digambarkan bahwa pada jaman nabi Nuh, pernah terjadi banjir dahsyat yang menenggelamkan bukit-bukit di sekitamya. Dan pada waktu itu, beliau diperintahkan untuk membuat perahu raksasa. Ada kesan bahwa di jaman itu terdapat pohon-pohon besar yang memungkinkan nabi Nuh membuat perahu untuk menyelamatkan umatnya.

Jadi sebelum gersang dan tandus seperti sekarang ini, daerah Timur Tengah itu adalah sebuah daerah yang sangat subur. Dimana, di sana juga disinyalir diciptakanNya Adam dan Hawa, di sebuah kebun (jannab = surga = kebun) yang sangat indah, dengan beraneka pepohonan dan lingkungan yang ideal.

Terlalu banyak misteri yang belum tersingkap dari sisi ini. Adalah tugas para ahli sejarah dan geologi untuk membongkar misteri ini sehingga lebih transparan. Sedangkan saya hanya ingin berdiskusi dari sisi Fisika Modem terhadap kemisteriusan Ka'bah sebagai pusat peribadatan umat Islam ini.

Tata Cara Ibadah Haji



Peninggalan lain dari Keluarga Ibrahim adalah tatacara ibadah haji. Kalau kita cermati, tatacara ibadah haji ini merupakan upaya untuk mengenang apa yang telah dilakukan oleh keluarga Ibrahim. Kenapa demikian? Agaknya Allah ingin memberikan penghargaan kepada keluarga Ibrahim, dan sekaligus agar kita meneladaninya.

Sepanjang hidupnya, beliau memberikan contoh bagaimana seharusnya kita menjalani agama ini : mulai dari mencari dan mengenal Allah, sampai pada bagaimana seharusnya kita mengikhlaskan diri untuk menghamba kepada Sang Perkasa, sebagai puncak kualitas keagamaan kita.

Dalam diskusi ini saya tidak akan terlalu masuk kepada fiqih ibadah Haji, namun lebih kepada pemahaman makna yang berkembang di sekitar tatacara peribadatan itu. Sebagaimana kita ketahui, rukun atau fardhu Haji terdiri dari 4 bagian, yaitu:

1. Mengenakan baju Ihram
2. Wukuf di Arafah
3. Thawaf Ifadah
4. Sa'i antara Shafa dan Marwah

Apakah makna dari berbagai aktivitas yang menjadi rukun haji itu? Saya melihatnya sebagai satu rangkaian pelajaran yang ingin diberikan Allah kepada kita. Agaknya ibadah haji itu merupakan realisasi dari firman Allah di dalam QS An Nisaa' : 125

Dalam ayat itu Allah mengatakan bahwa orang-orang yang paling baik dalam beragama adalah orang-orang yang telah memasrahkan dirinya kepada Allah, dengan penuh keikhlasan, sebagaimana telah dicontohkan oleh nabi Ibrahim dan keluarganya. Sehingga ayat tersebut ditutup oleh Allah dengan ungkapan : Allah telah mengangkat Ibrahim menjadi kesayangannya.

Untuk itulah kita melakukan rangkaian ibadah haji. Agar dalam jarak dekat kita bisa terinduksi alias ketularan kualitas nabi Ibrahim dalam beragama. Dalam kerangka ini saya ingin memberikan makna dalam tatacara peribadatan haji yang dilakukan di tanah haram itu. Secara umum, keempat rukun haji itu memiliki tujuan bertahap untuk menyerap keikhlasan Ibrahim dan keluarganya. Mulai dari pengkondisian, perenungan, penyerapan, dan pemantapan.

Yang pertama, adalah mengenakan baju Ikhram. Ini adalah tahap pengkondisian. Sebelum kita menjalani proses peribadatan, maka kita diwajibkan untuk mengenakan kain putih tak berjahit untuk menutupi tubuh kita, kecuali yang perempuan. Termasuk, pada waktu itu kita tidak boleh berhias dan menggunakan pewangi. Kita mesti tampil apa adanya. Secara sekilas, bisa ditarik kesimpulan umum bahwa Allah menginginkan kita untuk tidak ‘terlalu hirau’ lagi dengan urusan duniawi. Duniawi itu secukupnya saja. Fungsional saja. Karena dunia ini hanya sementara. Hanya berfungsi sebagai sarana saia. Tujuan yang sesungguhnya adalah kehidupan akhirat. Bertemu dengan Allah swt.

Bahkan ada yang memberikan gambaran, bahwa pemakaian baju ikhram itu mengingatkan kita kepada ‘pakaian’ yang kita gunakan pada saat meninggal dan dikuburkan. Pada saat itu kita menghadap Allah hanya menggunakan kain kafan, berwarna putih. Persis seperti saat berikhram.

Diharapkan, dengan berikhram itu kita selalu ingat bahwa kita sedang menunaikan ibadah haji. Karena itu harus tunduk dan khusyuk. Pengkondisian semacam ini dalam beberapa peribadatan islam sangatlah penting. Sebagaimana dalam shalat. Kita mesti mengkondisikan terlebih dahulu hati dan jiwa kita dengan berwudlu, dan berpakaian serta mencari tempat yang suci dan bersih. Lantas memantapkan niat. Maka, diharapkan proses peribadatan selanjutnya bisa kita jalani dengan sepenuh hati dan kekhusyukan.

Yang kedua, wukuf. Makna bahasanya adalah berhenti. Jadi dengan wukuf itu kita diharapkan berhenti sejenak, mulai Dhuhur sampai Maghrib, untuk melakukan perenungan atau kontemplasi di Padang Arafah. ini merupakan puncak ibadah haji.

Perenungan ini bersifat umum, untuk mengevaluasi diri kita. Juga, seluruh perjalanan kehidupan kita, sampai hari ini. Berapa banyak kebaikan-kebaikan yang telah kita amalkan. Sebaliknya, berapa besar dosa-dosa dan kesalahan yang telah kita lakukan. Kita memohon ampunan kepada Allah, Dzat Sang Maha Penyayang dan Maha Pengampun. Sekaligus, kita juga memohon bimbingan agar seluruh perjalanan hidup kita selalu berada di jalan yang diridhoiNya. Dan, akhirnya kembali kepadaNya dalam keadaan yang khusnul khotimah.

Tahap ketiga, adalah thawaf. Pada tahap ini kita memantapkan perenungan pada saat wukuf dengan gerakan-gerakan berputar sambil berdoa kepada Allah. Esensinya mirip ibadah shalat. Karena itu permulaan Thawaf juga dimulai dengan semacam takbiratul ihram : bismillaabi wallaabu akbar (Dengan Nama Allah, dan Allah Maha Besar). Dan juga dengan cara mengangkat tangan, ke arah Ka'bah atau hajar Aswad.

Kalau kita bandingkan keduanya, antara shalat dan Thawaf memang sangat mirip. Kedua-duanya harus didahului dengan wudlu. Kedua-duanya juga harus diisi dengan berdoa dan berkonsentrasi dalam kekhusyukan. Kedua peribadatan itu juga dimulai dengan takbir dan mengangkat tangan menghadap ke arah Ka'bah. Dan keduanya juga melakukan gerakan-gerakan yang berdasar pada gerak melingkar.

Hal ini akan saya jabarkan pada bagian-bagian berikutnya, bahwa ternyata gerakan melingkar dalam sebuah medan gaya bisa menyebabkan munculnya energi yang sangat bermanfaat buat kita.

Sehingga saya katakan bahwa disinilah kita melakukan penyerapan energi ilahiah itu lewat kedekatan dan interaksi gerak melingkar dengan Ka'bah. Putaran orang berthawaf itu ternyata telah menghasilkan energi gelombang elektromagnetik yang sangat besar, bersifat positip, dan mampu mengobati berbagai ketidak seimbangan energi dalam jiwa maupun tubuh manusia.

Dan yang keempat, adalah sa'i antara Shafa dan Marwah. Bagian keempat ini lebih bersifat pemantapan keimanan kita. Seakan akan Allah mengingatkan kepada kita betapa luar biasanya keikhlasan nabi Ibrahim dan keluarganya dalam menjalankan perintah Allah.

Bisa kita bayangkan, betapa nabi Ibrahim pernah diperintahkan Allah untuk meninggalkan istri dan anak kesayangannya di sebuah padang tandus, cikal bakal kota Mekkah itu. Tidak terbayangkan bagaimana mereka bisa hidup di daerah seperti itu. Akan tetapi, karena semua itu adalah perintah Allah, sang Maha Tahu dan Maha Bijaksana, maka mereka pun menjalaninya dengan taat dan penuh keikhlasan.

Awalnya Ibrahim dan Siti Hajar pun gelisah. Sehingga diceritakan, ketika Hajar telah ditinggalkan oleh Ibrahim, ia bersama bayi Ismail kesulitan air. Maka ia berlarian kesana kemari untuk mencari sumber air, antara bukit Shafa dan Marwah. Akhirnya memang terbukti, bahwa Allah selalu memberikan jalan keluar yang berada diluar jangkauan pemikiran, kepada mereka yang taat dan ikhlas kepadaNya. Sumur Zam-zam pun menjadi salah satu ‘keajaiban’ dunia, karena tidak pernah kering dan meluber, selama ribuan tahun. Momentum itulah yang oleh Allah diabadikan dalam Sa'i. Seolah-olah kita diingatkan betapa dahsyatnya kualitas keimanan dan keikhlasan Ibrahim beserta keluarganya. Sehingga sudah seharusnya kita meneladaninya. Apalagi, ketika Ibrahim pun ikhIas saat diperintah oleh Allah untuk mengorbankan anak kesayangannya, Ismail. Lagi-lagi, itu menunjukkan betapa luar biasa kesungguhan Ibrahim dalam beragama dan menghambakan diri kepada Allah, sang Maha Perkasa. Karena itu, sangatlah pantas ketika Allah menyebut Ibrahim sebagai nabi kesayanganNya. Dan, kita pun disuruh mempelajari keteladanan itu dengan cara berhaji.