Tuesday, March 6, 2007

Bypass Menuju Pusat

Posisi kita berada di dalam pusaran. Ada pusaran ruang-waktu, ada pusaran materi-energi, sekaligus pusaran informasi-tata nilai kehidupan. Semuanya melebur menjadi satu.

Barangsiapa bisa mencapai pusat pusaran, di sekitar Arsy Allah, ia berada di tempat yang paling strategis dan dekat dengan segala sesuatu. Meliputi segala sesuatu. Tidak kemana-mana, tapi berada di mana-mana.

Jika, seseorang bisa mencapai pusat pusaran itu, atau setidak-tidaknya berada di sekitar Arsy Allah, maka ia juga akan berada di pusat waktu. la bisa merasakan waktu yang lalu, sekarang, dan akan datang, dengan lebih leluasa.

Barangsiapa bisa mencapai pusat pusaran alam semesta, maka ia pun akan berada di suatu tingkatan energi dan materi yang tertinggi. Kekuatamya berlipat ganda sampai tidak terukur, sehingga memunculkan mukjizat. Atau setidak-tidaknya karomah. Baginya telah terbuka segala rahasia materi dan energi. Mulai dari Quark sebagai penyusun segala macam benda, sampai pada segala gugusan galaksi di seluruh penjuru alam semesta.

Ketika seseorang telah bisa mencapai pusat pusaran, maka terbukalah segala rahasia informasi. Intuisinya meningkat tajam. Bahkan bisa mengarah pada datangnya wahyu, bagi hamba-hamba sekualitas nabi dan rasul. Seluruh langkah perbuatamya tertuntun oleh 'informasi murni' dari Arsy Allah.

Namun, memang sulit untuk bisa berada di pusat pusaran. Kebanyakan kita, maksimal hanya berada di sekitar pusaran. Dengan kata lain: berada di sisi Allah. Atau 'dekat' dengan Allah.

Kenapa demikian, karena untuk bisa menyatu di pusat pusaran, kita harus lenyap. Lebur. Itulah yang dimaksud Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Berasal dari Allah, kembali kepada Allah. Berarti itu hanya akan terjadi jika kita 'musnah' dalam arti yang sesungguhnya. Pada saat mati atau Kiamat Kubra, sebagaimana difirmankan Allah berikut ini.

QS. Qashash (28) : 88
Janganlah kamu sembah di samping Allah, Tuhan apapun yang lain. Tidak ada Tuhan melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. BagiNyalah segala penentuan, dan hanya kepadaNyalah kamu dikembalikan.

Itulah makna penyatuan yang sesungguhnya. Saat-saat segala sesuatu binasa. Termasuk kita, manusia. Dan kepadaNya semua kita bakal kembali. Tempat kembali yang sebenarnya.

Namun demikian, sebenarnya Allah sudah selalu dekat dengan kita. Bahkan lebih dekat dari urat leher kita sendiri.

Jadi, secara dimensi Ruang & Waktu, kita sebenarnya sudah 'dekat' dengan Allah. Bahkan berada di dalamNya. Demikian pula dalam dimensi Materi dan Energi, kita juga sudah diliputiNya.Yang masih variabel adalah dimensi Informasi. lnilah yang menyebabkan kita merasa jauh atau dekat.

Ketika kita tidak tahu informasi tentang Allah, maka kita merasa tidak ada Allah. Ketika kita tidak menguasai informasi tentang Dia kita juga merasa tidak begitu kenal dengannya. Padahal Dia jelas-jelas ada dan dekat dengan kita. Kebanyakan kita tidak menghiraukan tanda-tanda keberadaamya.

QS. Yusuf (12) : 105
Dan banyak sekali tanda-tanda (keberadaan Allah) di langit dan di bumi yang mereka lalui, tetapi mereka tidak menghiraukamya.

Itutah kunci persoalamya. Allah sudah sangat dekat dengan kita, tetapi kita tidak tahu atau tidak menghiraukan karena kebodohan, atau kesombongan. Maka, Islam sangat mengecam kebodohan dan kesombongan. Itulah yang menjauhkan kita dari dimensi Informasi. Dan kemudian menjauhkan kita dari Allah.

Maka sebaliknya, seorang manusia bisa mendekatkan diri kepada Allah, disebabkan ia menguasai dimensi informasi itu. Ia orang yang terbuka terhadap berbagai macam informasi yang bakal membawanya mendekat kepada Allah.

Karena itu, Al Qur’an adalah informasi. Ia adalah kitab petunjuk. Manusia yang mencari informasi dari dalamnya disebut sebagai orang yang mendapat petunjuk untuk mendekat kepada Allah. Sedangkan orang yang tidak menguasai informasi dari Al Qur’an adalah termasuk orang yang tidak memperoleh petunjuk. Ia akan jauh dari Allah.

QS. Al Baqarah (2) : 185
bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).

Sedangkan Allah sendiri berfirman bahwa Dia memang sudah selalu dekat dengan makhlukNya. Bahkan siap mengabulkan permohonan siapa saja yang berdoa kepadaNya.

QS. Al Baqarah (2) : 186
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasannya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.

Dan bukan hanya Allah yang dekat dengan kita, malaikat pun juga dekat. Semua yang berada di dimensi tinggi, di sekeliling Arsy memang sangat dekat secara ruang dan waktu.

QS. Qaaf (50) : 41
Dan dengarkanlah pada hari penyeru (malaikat) menyeru dari tempat yang dekat.

Jadi, dalam kondisi masih hidup pun sebenarnya kita dekat dengan Allah. Tinggal bagaimana menyerap informasi yang memberikan kesadaran bahwa Allah sudah sangat dekat dengan kita.

Dalam prakteknya, itu berkaitan dengan ego kemanusiaan kita. Semakin besar ego kita, maka semakin parsial kita. Dan semakin jauhlah kita dengan Allah.

Sebaliknya, semakin hilang ego kita, maka kita semakin universal. Yang ada hanya EGO Allah, maka semakin dekatlah kita kepadaNya. Sifat-sifat universal keilahian akan muncul dalam jiwa kita. Hal ini lebih jauh akan kita bahas dalam bab lain dalam Diskusi ini.

Maka betapa bahagianya orang-orang yang bisa mendekatkan diri kepadaNya. Berada di sekeliling Arsy Allah. Sebagaimana para malaikat yang terus bertasbih di sekelilingnya.

Ruang, waktu, materi, energi dan informasi telah berada di sekelilingnya. Meliputinya. Maka, dialah orang miskin yang paling kaya raya. Dialah rakyat jelata yang paling berkuasa. Dia pula orang bodoh, yang paling berilmu. Dan dialah orang jujur yang paling banyak mengetahui rahasia...

Segala kontradiksi telah lenyap di dalam dirinya Yang ada cuma keselarasan. Harmoni. Kejujuran. Rendah hati. Kasih dan sayang.

QS. Maryam (19) : 96
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.

Kasih sayang adalah ukuran kualitas jiwa yang harmonis. Universal. Karena itu, kasih sayang bisa digunakan sebagai cara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Orang-orang yang telah dipenuhi oleh kasih sayang, segala yang dihadapinya akan menjadi mudah. Segala yang disentuhnya menjadi 'bercahaya'.

Sebaliknya, orang yang penuh dendam dan emosi -parsial- menyebabkan segalanya terasa begitu keras, sulit, dan ‘gelap’.

Hal ini bisa kita amati dari yang terjadi di sekitar kita. Orang-orang yang mencintai pekerjaannya akan merasakan kebahagiaan, kemudahan dan kesenangan. Apalagi jika dia melakukan dengan penuh kasih sayang. Cinta berorientasi egoistik, sedangkan 'kasih sayang' berorientasi universal.

Dengan sentuhan kasih sayang itu, segala rahasia bakal terbuka. Karena ia telah mengamalkan sifat Allah yang paling hakiki yaitu, Ar Rahman dan Ar Rahim. Itulah yang menjadi inti pelajaran Al Qur’an: Bismillahi 'rrahmanirrahim.

Allah mengulang-ulangnya sebanyak surat di dalam Al Qur’an. Dan Rasulullah saw mengajarkan untuk kita baca setiap mau melakukan tindakan.

Hal itu dikemukamya dalam ayat berikut ini. Bahwa DIA yang menguasai langit dan bumi, adalah DZAT yang Maha Mengasihi dan Maha Menyayangi.

QS. Al An'aam (6) : 12
Katakanlah: "Kepunyaan siapakah segala yang ada di langit dan di bumi?" Katakan: "Kepunyaan Allah". Dia telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang. Dia sungguh-sungguh akan menghimpun kamu pada hari kiamat yang tidak ada keraguan terhadapnya. Orang-orang yang merugikan dirinya, mereka itu tidak beriman.

Dengan kata lain Allah ingin menyampaikan kepada kita bahwa Dzat yang Maha Berkuasa atas segala sesuatu itu adalah Dzat yang Maha Mengasihi dan Maha Menyayangi. Dia mendasarkan segala ketetapamya dengan nilai-nilai kasih sayang. Jadi kalau kita ingin memiliki akses terhadap 'segala sesuatu', syaratnya satu: kasih sayang.

Arsy Allah adalah 'wilayah' yang penuh dengan sifat-sifat Kasih dan Sayang. Dan inilah yang dijadikan sebagai pusat pusaran alam semesta.

Maka, kalau anda ingin by pass untuk berada di pusat pusaran alam semesta, kuncinya sederhana : menjadilah orang yang penuh kasih sayang. Segala pikiran dan tindakan kita dilambari oleh niatan tutus untuk membahagiakan. Bukan menuntut dan memburu kebahagiaan diri sendiri.

Ketulusan untuk memberikan yang terbaik kepada pihak lain itulah yang menjadi tujuan utama dari agama Islam. Wa maa arsalnaaka illa rahmatan lil 'alamiin. 'Dan tidak Kami utus engkau (Muhammad) kecuali untuk menebarkan kasih sayang terhadap seluruh atom'.
Konsep dasar keseimbangan dan keharmonisan di seluruh penjuru alam semesta ini adalah memberi. Bukan menuntut. Tuntutan menyebabkan ketegangan dan ketidak seimbangan. Sedangkan pemberian atas kebutuhan pihak lain akan menyebabkan kebahagiaan dan keharmonisan. Apalagi jika disertai dengan rasa kasih dan sayang.

Seluruh benda di alam ini sedang memberikan 'miliknya' yang terbaik dengan penuh keikhlasan. Planet-planet, bintang, galaksi dan benda-benda langit sedang memberikan gaya gravitasinya untuk membangun keseimbangan.

Matahari memberikan cahaya dengan mengorbankan dan membakar dirinya. Udara dan atmosfer pun sedang memberikan gas-gas terbaiknya untuk digunakan pada proses kehidupan di muka bumi.

Pepohonan berbuah dan berbunga juga sedang memberikan miliknya yang paling berharga untuk kehidupan manusia. Air mengalir dari sumbernya menuju laut lewat sungai-sungai yang berliku, juga dalam rangka memberikan pengabdian kepada seluruh kehidupan di muka bumi.

Lebah memberikan madunya. Sapi perah memberikan susunya. Tanaman sayur-sayuran memberikan dedaunannya. Samudera memberikan seluruh potensinya, mulai dari berbagai macam jenis ikan, mutiara, tambang sampai minyak lepas pantai.

Pokoknya seluruh yang ada di alam semesta sedang memberikan miliknya yang terbaik dengan penuh kasih sayang. Rahmatan lil alamin. Maka tidak ada yang menuntut. Yang ada cuma memberi.

Yang diberi, hanya memanfaatkan sesuai kebutuhamya. Karena keinginamya memang bukan diberi, tetapi memberi. Kalau pun dia menerima, itu pun diorientasikan untuk diberikan kembali. Maka, terjadilah keseimbangan dan keharmonisan abadi.

Yang seringkali merusak adalah manusia. Kita jarang memberi. Tetapi, malah menuntut. Maka seluruh mekanisme alam menjadi terbebani. Menjadi tegang. Lantas, muncul ketidak seimbangan. Karena tuntutan seringkali jauh lebih besar dari mekanisme keseimbangan yang ada.

QS. Al Mukminun (23) : 71
Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.

Jadi, mekanisme keseimbangan alam ini ternyata tidak mampu menuruti hawa nafsu manusia. Kalau dipaksakan juga, langit dan bumi pun akan rusak binasa. Beserta segala isinya.

Inilah konsep dasar sumatullah yang terhampar di seluruh penjuru alam semesta. Ada dua jalan yang diilhamkan kepada manusia. Yang pertama jalan kerusakan. Caranya gampang, ikuti saja keinginan hawa nafsu. Maka kita akan mengalami kerusakan. Hancur binasa.

Yang kedua, jalan kebaikan dan kebahagiaan. Caranya juga mudah, ikutilah keinginan kasih sayang. Kasihilah dan sayangilah. Berikanlah apa yang terbaik kepada alam sekitar kita, termasuk sesama manusia. Sehingga tercipta sebuah sistem keseimbangan dalam keharmonisan.

Jika yang kedua ini yang kita lakukan, maka kita akan memunculkan keseimbangan sistem alam semesta. Bukan hanya di luar diri kita secara kolektif, melainkan juga di dalam diri. Jiwa kita akan melambung dan melesat menuju pusat keseimbangan itu, yaitu: Arsy Allah yang Maha Agung...

Sifat Yang Membelenggu

Ada sifat-sifat yang membelenggu kebebasan, ketika kita sedang bergerak berpusar menuju Arsy Allah. Sifat-sifat ini muncul dari dalam diri kita sendiri, sebagai bagian dari sifat kefasikan yang diilhamkan Allah kepada setiap manusia.

Agar kita bisa bergerak cepat menuju pusat pusaran, maka kita harus membebaskan diri dari belenggu itu. Sebab, selain menghabiskan energi, belenggu itu bisa memelantingkan kita. Bukan menuju pusat, tetapi ke arah luar pusaran.

Kalau itu terjadi, kita bakal semakin terjebak oleh keterbatasan dimensi-dimensi ruang, waktu, materi, energi, dan informasi. Kita tidak menjadi universal, tetapi parsial. Terkotak-kotak dalam sempitnya kehidupan dunia. Dalam ego pribadi kita. Dalam ego kelompok. Dalam ego kebendaan.

Dalam ego kekuasaan. Dan dalam berbagai macam ego kesenangan semu...

Sulitnya, sifat-sifat itu seringkali tidak kita sadari sebagai belenggu. Melainkan sebagai bagian dari eksistensi kita. Sehingga kita menganggapnya sebagai kewajaran yang harus terjadi.

Pernah kita bahas dalam TERPESONA DI SIDRATUL MUNTAHA, bahwa semakin tinggi dimensi langit, kemampuan pandang kita akan semakin tuas. Akan tetapi sekaligus semakin detil. Aneh memang. Biasanya, kalau semakin luas, akan kehilangan detilnya.
Ini seperti kasus yang kita bahas di depan, bahwa semakin menuju pusat, kita akan semakin meliputi segala sesuatu. Dan sekaligus semakin dekat dengan segala sesuatu. Kenapa? Karena kita tidak bergerak di dimensi dunia secara horisontal, melainkan bergerak lintas dimensi menuju langit ke tujuh. Seperti yang dialami oleh Rasulullah saw saat Mi'raj. Dan berujung di Sidratul Muntaha.

Di puncak langit itulah Rasulullah bisa melihat berbagai rahasia yang tidak pernah beliau ketahui. Di antaranya, betiau bisa melihat wajah jibril dalam bentuk yang sesungguhnya. Waktu itu, beliau juga bisa menyaksikan surga. Sebuah wilayah misterius yang belum pernah dilihat oleh siapa pun. Kecuali sesudah melewati hari kiamat.

Dan, lebih jauh, beliau diperlihatkan berbagai rahasia alam semesta yang tiada bandingnya. Pemandangan yang tidak bisa diakses oleh siapa pun, kecuali mereka bisa berada di puncak langit tersebut. Inilah perjalanan menembus seluruh dimensi ruang, waktu, materi, energi, dan informasi. Beliau berada sangat dekat dengan pusat pusaran alam semesta. Dengan Arsy Allah. Karena itu bisa mengakses berbagai rahasia dengan lebih leluasa.

QS. An Najm (53) : 13-18
Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain,
(yaitu) di Sidratil Muntaha.
Di dekatnya ada surga tempat tinggal,
Ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya.
Penglihatannya tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya.
Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.

Rasulullah saw telah berada sangat dekat dengan pusat pusaran alam semesta, dengan cara melakukan perjalanan khusus, menembus semua dimensi. Hal itu ditegaskan oleh Allah dalam ayat terakhir di atas: Sungguh dia (Muhammad) telah menyaksikan sebagian 'tanda-tanda' Tuhannya yang paling besar.

Dalam cerita yang berbeda, nabi Khidhr digambarkan bisa menembus dimensi informasi, yang nabi Musa pun tidak tahu. Karena itu, oleh Allah, nabi Musa disuruh berguru kepada nabi Khidhr. Beliau adalah orang yang kualitas kejiwaannya sudah sangat dekat dengan Arsy Allah. Sehingga dalam cerita tersebut, beliau dijadikan contoh.

Kenapa nabi Musa disuruh berguru kepada Khidhr, dan dianggap belum bisa menembus dimensi informasi? Sebaliknya, kenapa nabi Khidhr, sebagaimana juga Nabi Muhammad, bisa mendekat pusat pusaran, dan menyibak dimensi tersebut. Kuncinya ada pada sifat-sifat kemanusiaamya. Ada sifat-sifat yang bisa membelenggu gerakan kita menuju pusat. Salah satu contohnya ditunjukkan dalam kisah nabi Musa dan Nabi Khidhr tersebut.

Nabi Musa dikenal sebagai nabi yang berilmu tinggi, dengan mukjizat yang menakjubkan. Badannya tegap, fisiknya kuat, akalnya cerdas, memiliki mukjizat-mukjizat yang mengagumkan.

Beliau digambarkan bisa 'berdialog' secara langsung dengan Allah di gunung Sinai. Dan kemudian diberi mukjizat tongkat yang bisa berubah menjadi ular, telapak tangan yang bercahaya, dan tongkat yang bisa membelah lautan, ataupun memancarkan sumber mata air ketika dipukulkan ke batu.

QS. An Nisaa' (4) : 164
Dan (kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung.

QS. Ay Syu'araa' (26) : 63
Lalu Kami wahyukan kepada Musa: "Pukullah lautan itu dengan tongkatmu". Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar.

QS. Al Bagarah (2) : 60
Dan (ingatlah ) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman: "Pukullah batu itu dengan tongkatmu". Lalu memancarlah daripadanya dua betas mata air. Sungguh tiap-tiap suku telah mengetahui tempat minumnya (masing-masing) Makan dan minumlah rezki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan.

Namun demikian, beliau dianggap masih perlu menghilangkan salah satu sifat yang bisa membelenggu kedekatannya dengan Arsy Allah. Yaitu, perasaan bahwa beliau telah memiliki ilmu tinggi.

Suatu ketika beliau berpidato di hadapan umatnya. Kemudian ada yang bertanya: siapakah yang berilmu paling tinggi di antara manusia? Nabi Musa menjawab, bahwa beliaulah orangnya. Karena ia telah memperoleh berbagai mukjizat dari Allah, bisa menundukkan Fir'aun, dan bahkan bisa berbicara langsung dengan Allah.

Maka turunlah perintah Allah kepada nabi Musa agar beliau berguru kepada Khidhr. Seorang hamba Allah yang hidup menyepi, tak ingin menonjolkan diri, tapi memiliki ilmu tinggi. Beliau telah memperoleh rahasia dimensi informasi yang tak diketahui oleh nabi Musa.

Disanalah nabi Musa baru tahu bahwa ilmu Allah demikian luasnya. Apa yang telah dikuasainya, ternyata hanya sebagian kecil dari luasnya ilmu Allah. Beliau belum berada di puncak langit. Beliau baru berada di langit ke enam - dalam kisah Mi'raj nabi. Masih banyak rahasia yang belum beliau kuasai. Untuk mendekati pusat informasi itu beliau masih harus berguru kepada nabi Khidhr. Dan salah satu sifat yang masih membelenggu beliau adalah perasaan bahwa beliau telah berilmu tinggi. Paling tinggi diantara manusia.

QS. Al Kahfi (18) : 82
Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaamya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya".

Sombong, Riya' & Ujub

Kesombongan, riya' dan ujub adalah satu rumpun sifat yang bisa membelenggu langkah ibadah kita. Riya' adalah keinginan untuk dipuji orang setiap kali melakukan perbuatan. Ujub adalah bangga diri. Merasa diri hebat dan terpuji. Dan puncaknya adalah kesombongan. Merasa diri hebat, sekaligus bangga akan kehebatamya, dan akhirnya memamerkan 'kehebatan'nya itu kepada orang lain. Padahal sih, belum tentu dia seorang yang benar-benar hebat.

Lebih jauh sifat-sifat itu akan berakibat pada sikap merendahkan orang lain. Cuma dia raja yang paling hebat. Paling pantas. Paling pintar. Paling kaya. Paling berkuasa. Dan paling segala-galanya. Orang-orang di sekitarnya merasa neg dan benci. Allah dan para malaikat-Nya pun tidak menyukai.

QS. An Nissaa' (4) : 36
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,

QS. Al Israa' (17) : 37
Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.

Ya, kita seringkali berlebihan. Seakan-akan kita ini orang yang hebat. Ayat di atas mengingatkan, agar jangan sombong karena kita tidak bisa menembus bumi atau setinggi gunung. Ah, kita ini sebenarnya memang makhluk yang lemah, tapi banyak lagak dan menyebalkan.

QS. Al Qiyamah (75) : 32-33
tetapi ia mendustakan dan berpaling (dari kebenaran), kemudian ia pergi kepada kelompoknya dengan berlagak (sombong).

Orang sombong akan menuai hasil kesombongannya. Ketika orang-orang di sekitarnya merasa risih dan benci, ketika alam menjadi korban kesewenang-wenangannya, dan ketika Allah beserta para malaikatnya tidak menyukai lagaknya, maka yang datang adalah derita. Disebabkan oleh ulah mereka yang menabrak keseimbangan semesta.

QS. Faathir (35) : 43
karena kesombongan di muka bumi, dan karena rencana (mereka) yang jahat. Rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang merencanakannya sendiri. Tiadalah yang mereka nanti-nantikan melainkan (berlakunya) sunnah (Allah yang telah berlaku) kepada orang-orang yang terdahulu. Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sumah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sumah Allah itu.

Dalam konteks pusaran alam semesta yang sedang kita bahas, orang-orang yang sombong adalah mereka yang bergerak menjauhkan diri dari Arsy Allah. Bahkan, ketidakseimbangan itu akan membuat mereka terpelanting semakin jauh dariNya.

QS. Al Mulk (67) : 21
Atau siapakah dia ini yang memberi kamu rezki jika Allah menahan rezki-Nya? Sebenarnya mereka terus-menerus dalam kesombongan dan menjauhkan diri?

Dalam kalimat yang berbeda, Allah menginformasikan bahwa orang-orang yang sombong itu tidak akan bisa menembus dimensi-dimensi langit sebagaimana telah dialami oleh orang-orang yang saleh. Termasuk nabi Muhammad dan nabi Khidhr.

QS. Al A'raaf (7) : 40
Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang jarum. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan.

Nabi Muhammad bisa melihat surga karena beliau telah menembus dimensi-dimensi langit pada saat Mi'raj. Saat itu beliau digambarkan berada di Sidratul Muntaha. Di puncak dimensi tertinggi, dekat Arsy Allah.

Sebaliknya, orang-orang yang sombong dijamin tidak akan masuk surga. Karena tempatnya memang di neraka. Bahkan, yang sudah berada di dalam surga pun oleh Allah diusir keluar.

QS. Al A'raaf (7) : 13
Allah berfirman: "Turunlah kamu dari surga itu; karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya, maka keluarlah, sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina".

QS. Al A'raaf (7) : 36
Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, mereka itu penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

Pemarah Dendam Benci

Marah, dendam, dan benci, juga bisa membelenggu kita dari usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kedekatan seseorang kepada Allah selalu terkait dengan terbukanya segala rahasia dan dimensi langit. Dan berujung pada kebahagiaan yang digambarkan sebagai surga.

Marah, dendam dan benci adalah sifat-sifat yang menyebabkan ketidakseimbangan. Baik dalam diri kita, maupun bagi lingkungan sekitar kita. Kaitannya, biasanya, adalah dengan sifat sulit memaafkan.

Kalau kita cermati lebih jauh, sifat ini memang menonjolkan ke'aku'an. Orang yang gampang marah dan sulit memaafkan, apalagi sampai pembenci dan pendendam, orang itu biasanya sangat egois. Tidak punya toleransi dan rasa kasihan.

Dalam konteks pusaran alam semesta, dia adalah orang yang terjebak dalam dimensi parsial. Bukan universal. Padahal kita disuruh untuk menuju pusat, menjadi semakin universal. Menembus dan meliputi segala batas-batas dimensi rendah.

Dalam berbagai ayatNya Allah mendorong kita untuk tidak menjadi pemarah, pendendam, dan pembenci. Sebaliknya kita didorong untuk menjadi lebih pemaaf. Bahkan penuh betas kasihan.

QS. Asy Syuura (42) : 37
dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf.

QS. Asy Syuura (42) : 40
Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.

Kedua ayat di atas memberikan anjuran kepada kita agar menjadi oang yang pemaaf. Bahkan, seandainya kita dijahati oleh orang lain. Meskipun kita boleh membalas-kejahatan itu, kita dianjurkan untuk memberikan maaf.

Tentu saja ini tidak mudah. Bahkan sangat sulit. Tapi, itulah ajaran Islam. Allah ingin mendidik kita menjadi hamba yang sabar, ikhlas dan berkualitas tinggi. Bukan hanya kita yang dididik seperti itu. Rasulullah saw pun diperintahkan seperti itu. Tidak semua nabi dan rasul bisa sabar, seperti nabi Muhammad saw. Ayat di bawah ini mengingatkan beliau agar tidak seperti nabi Yunus yang tak mampu menahan amarahnya menghadapi umatnya.

QS. Al Qalam (68) : 48
Maka bersabarlah kamu (hai Muhammad) terhadap ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu seperti orang (Yunus) yang berada dalam (perut) ikan ketika is berdo'a sedang ia dalam keadaan marah (kepada kaumnya).

Nabi Muhammad saw digambarkan sebagai rasul yang sangat tinggi ahlaknya, penuh betas kasihan, dan sulit marah. Tapi mudah memaafkan. Kasih sayangnya kepada umat luar biasa besarnya. Meskipun dilempari batu sampai berdarah-darah oleh penduduk Tha'if, beliau tetap sabar. Dan bahkan berdoa buat mereka, agar sadar.

Ketinggian akhlak beliau itu digambarkan dalam ayat berikut ini. Betapa beliau tidak ingin umatnya menderita. Beliau menginginkan kita beriman dan selamat di dunia dan akhirat. Penuh belas kasihan kepada orang lain. Terutama mereka yang tak berdaya. Sehingga orang kafir yang sering menyakitinya pun, ketika sakit dijenguknya.

QS. At Taubah (9) : 128
Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu'min.

Nilai pemaaf memang demikian tinggi di hadapan Allah. Karena Allah adalah Dzat yang Maha Pemaaf. Siapa saja yang bisa meniru sifat-sifatNya, mereka akan menjadi hamba yang berkualitas tinggi dan universal. Dekat dengan Arsy.

QS. Ali Imron (3) : 133-134
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,

(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.

Orang-orang yang bisa melepaskan diri dari belenggu sifat-sifat pemarah, dendam, dan pembenci akan memperoleh ampunan Allah dan kebahagiaan surga. Begitulah memang, orang-orang yang berhak masuk surga adalah mereka yang mampu menghilangkan rasa dendam di hatinya.

QS. Al A'raaf (7) : 43
Dan Kami cabut segala macam dendam yang berada di dalam dada mereka; mengalir di bawah mereka sungai-sungai dan mereka berkata: "Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini. Dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk. Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Tuhan kami, membawa kebenaran". Dan diserukan kepada mereka: "Itulah surga yang diwariskan kepadamu, disebabkan apa yang dahulu kamu kerjakan."

Serakah Iri Dengki

Sifat-sifat ini juga harus kita hindari. Jika tidak, kita akan terbelenggu olehnya. Dan, memperoleh masalah demi masalah.

Serakah adalah sifat berlebihan untuk memiliki sesuatu. Kadang sampai tidak peduli etika, resiko, atau bahkan tidak peduli milik siapakah barang yang sedang dia kehendaki itu.

Jika serakah bermakna perbuatan mengumbar keinginan memiliki segala sesuatu, maka, Iri adalah rasa ingin memiliki seperti yang sedang diperoleh orang lain. Setiap kali ada orang memperoleh sesuatu, inginlah dia.

Sedangkan dengki, lebih jelek dari iri. Dengki adalah rasa iri yang disertai dengan kebencian. la benci melihat orang lain sukses. Benci melihat orang lain bahagia.

QS. An Nisaa' (4) : 32
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Begitulah, Allah melarang kita untuk iri hati melihat orang lain memperoleh karunia. Itu adalah hak Allah, untuk memberikan apa saja kepada hamba-hamba yang dikehendakiNya. Jika kita ingin memperoleh karunia seperti itu, minta saja kepada Allah. Dia adalah Dzat yang Maha Pemurah. Asal kita berusaha dan berdoa, Allah pasti memberikan yang terbaik buat kita.

QS. Al Baqarah (2) : 186
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.

Iri menyebabkan kepekaan kita berkurang. Juga menyebabkan kita kehilangan rasa memberi. Yang ada cuma rasa menuntut. Sifat seperti ini tidak sesuai dengan keseimbangan alam semesta, seperti telah kita bicarakan di muka. Bahwa alam ini menjadi seimbang karena semuanya bersifat memberi. Bukan menuntut. Iri menyebabkan masalah ketidakseimbangan, bahkan kerusakan. Dalam diri kita sendiri maupun lingkungan.

Kedengkian lebih buruk lagi. Karena di dalamnya terikut kebencian.

QS. Al Baqarah (2) : 90
Alangkah buruknya mereka yang menjual dirinya sendiri dengan kekafiran kepada apa yang telah diturunkan Allah, karena dengki bahwa Allah menurunkan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Karena itu mereka mendapat murka sesudah kemurkaan. Dan untuk orang-orang kafir siksaan yang menghinakan.

Seseorang kalau sudah dihinggapi rasa dengki bisa menjadi jahat. Bukan hanya dalam pikirannya saja, melainkan tega berbuat untuk mencelakakan orang lain. la tidak rela ada orang yang bahagia, kecuali dirinya.

QS. Al Falaq (113) : 5
dan dari kejahatan orang yang dengki apabila is telah dengki".

Betapa banyaknya orang yang tega menyakiti orang lain karena rasa dengki. Betapa banyaknya pula orang yang sampai hati memfitnah, juga disebabkan rasa dengki. Bahkan, betapa banyaknya orang yang sampai membunuh kawan dekatnya, pun disebabkan rasa dengki itu. Kedengkian adalah penyakit hati yang sangat jahat.

QS. Muhammad (47) : 29
Atau apakah orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya mengira bahwa Allah tidak akan menampakkan kedengkian mereka?

Puncak dari sifat iri dan dengki adalah keserakahan. Orang-orang yang tidak puas dengan apa yang telah dicapainya. Kurang banyak. Kurang besar. Kurang lama. Kurang enak. Kurang, kurang dan kurang.

QS. Al Baqarah (2) : 96
Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling serakah kepada kehidupan, bahkan (lebih serakah) dari orang-orang musyrik. Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkamya dari siksa. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.

Ketika keserakahan telah menghinggapi hati, maka hawa nafsulah yang berperan. Akal dan hati tidak lagi berfungsi dengan baik. lni memang penyakit. Dan penyakit ini sedang membawa kondisi kejiwaan kita semakin buruk, dan memburuk.

Kita bisa kehilangan keseimbangan. Kehilangan akal sehat. Kehilangan orientasi universal. Terjebak pada keinginan sesaat yang menyesatkan. Istilah Allah, buta mata hati. Dan barangsiapa buta mata hatinya ketika di dunia, maka ia akan lebih buta lagi di akhirat. Ia tidak bisa mencapai dimensi tertinggi dari kehidupan ini. Tidak akan bisa melihat surga dengan segala kenikmatannya. Tidak bisa bertemu Allah...

QS. Al Israa' (17) : 72
Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat ia akan lebih buta dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).

Pembohong Penipu

Belenggu yang lain adalah sifat pembohong dan penipu. Jika suatu saat kita berbohong, maka berikutnya kita juga akan berbohong lagi untuk menutupi kebohongan sebelumnya. Dan biasanya, semakin lama semakin banyak kebohongamya.

Sifat bohong menggambarkan batin yang pecah. Ada ketidakberanian untuk mengatakan apa adanya. Hati dan mulutnya tidak sama. Pikiran dan tindakannya berbeda. Hidup menjadi tidak nyaman. Penuh rasa was-was. Gelisah. Takut ketahuan.

Orang yang suka berbohong akan menjadi orang munafik. Mereka diancam Allah dengan neraka. Karena kemunafikan dan kebohongan akan menyebabkan perpecahan. Masalah yang berlarut-larut. Dan sulit diselesaikan. Kecuali diatasi dengan kejujuran. Apa adanya.

QS. Al Ahzab (33) : 60
Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya, dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah, niscaya Kami perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu melainkan dalam waktu yang sebentar,

Berulangkali Allah mengecam orang-orang munafik. Banyak orang dibohongi, karena kemunafikan mereka. Seakan-akan baik, ternyata sikapnya palsu. Hanya berpura-pura. Sehingga Allah memerintahkan untuk berlaku keras kepada orang munafik. Bahkan di ayat berikut ini Allah mengancam orang-orang munafik dengan neraka yang paling buruk.

QS. An Nisaa' (4) : 145
Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.

Allah 'sangat benci' kepada perkataan bohong. Sebab bisa menjadi pangkal dari berbagai kejahatan. Kejahatan yang terang-terangan lebih mudah diantispasi, daripada kejahatan yang disembunyikan dengan kebohongan.

QS. Al Maidah (5) : 63
Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.

Seringkali kita menganggap berita bohong itu sebagai masalah ringan. Sehingga, kini kita melihat begitu banyaknya tayangan-tayangan televisi dan media lainnya yang berdasar pada berita-berita gosip dan kebohongan. Padahal berita semacam ini sungguh tidak baik dan bisa menjurus kepada fitnah. Dan, seringkali membawa korban orang-orang yang tidak berdosa .

QS. An Nuur (24) : 15
(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut don kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar.

Kebohongan jika dilanjutkan akan menjurus kepada penipuan. Dan bisa menjadi penyakit masyarakat. Kita tidak boleh menoleransi kebohongan. Karena jika sudah berakar dan menjadi kebiasaan menipu akan merugikan orang banyak. Inilah perilaku dan perkerjaan setan. Yang berasal dari golongan jin maupun manusia.

QS. Al An'aam (6) : 112
Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu. Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakamya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.

Jujur dan Rendah Hati

Selain sifat-sifat pembawa masalah tersebut, ada sifat-sifat yang membawa kita pada keseimbangan, keselarasan, dan keharmonisan. Inilah sifat-sifat universal kemanusiaan. Siapa saja yang menjalankan sifat-sifat ini bakal menciptakan keharmonisan dalam arti sesungguhnya.

Di antara sekian banyak sifat-sifat itu adalah kejujuran. Begitu pentingnya sifat jujur ini, sehingga Rasulullah saw menempatkamya sebagai syarat utama untuk memeluk Islam.

Dalam suatu kisah diceritakan, ada seseorang ingin masuk Islam. la bertanya kepada Rasulullah, apakah syaratnya supaya ia bisa memeluk agama Islam. Nabi menjawab: berlakulah jujur.

Dengan heran orang itu bertanya tagi, benarkah hanya itu syaratnya. Begitu mudahnya! Rasulullah mengangguk membenarkan.

Maka berlalulah orang itu. Dia bercerita kepada kawan-kawamya bahwa syarat masuk Islam ternyata sangat mudah, yaitu berlaku jujur. Maka dia beraktifitas seperti biasanya. Bertemu dengan komunitas aslinya yang sering berbohong dan berbuat kejahatan.

Dia berusaha menjaga komitmennya kepada Rasulullah untuk berlaku jujur. Tapi dia mulai merasakan betapa strategisnya syarat kejujuran itu dalam menjalankan agama.

Suatu ketika dia diajak kawan-kawannya untuk berbuat dosa. Karena sudah terbiasa berbuat dosa, maka dia cenderung untuk mengikuti kawan-kawamya itu. Akan tetapi dia teringat komitmennya kepada Rasulullah, bahwa dia harus berlaku jujur.

Ketika diajak berbohong, dia teringat Rasulullah bahwa sebagai orang Islam dia harus jujur. Ketika diajak menipu, dia juga teringat kepada Rasulullah bahwa dia harus berlaku jujur. Ketika diajak mencuri dia juga teringat, betapa dia harus berlaku jujur. Pokoknya setiap dia mau berlaku jahat dia teringat kepada janjinya untuk berlaku jujur kepada semua orang, termasuk kepada rasulullah.

Akhirnya, dia tidak berani berbuat jahat lagi, karena dia tidak bisa bersembunyi lagi kepada siapa pun. Bukankah dia telah berjanji untuk berlaku jujur kepada siapa saja?! Kejujujurannya telah menyelamatkan dia dari kejahatan...

Kejujuran adalah sifat dasar kebaikan. Siapa saja yang tidak jujur, dia sedang memulai untuk melakukan kejahatan lainnya yang lebih besar. Sebaliknya siapa saja berlaku jujur, dia sedang mengerem dirinya untuk hanya melakukan kebaikan.

QS. Al Anfal (8) : 58
Dan jika kamu khawatir akan pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.

Kejujuran adalah sifat dasar kemanusiaan yang universal. Tidak ada orang yang suka dibohongi. Setiap kita menginginkan agar orang lain berlaku jujur kepada kita. Karena itu, janganlah kita berlaku tidak jujur kepada orang lain.

Baik di lingkungan keluarga. Di tempat kerja. Atau pun dengan tetangga. Berlaku jujur bakal memperoleh apresiasi dan penghargaan dari orang lain. Sebaliknya berlaku bohong, atau berkhianat akan memperoleh caci maki. Dan, persoalan...!

Sifat jujur akan semakin sempurna ketika dihiasi dengan sifat rendah hati. Tidak sombong. Tidak angkuh kepada sesama. Tidak arogan dan kasar. Orang yang seperti ini berpotensi besar untuk maju. Memperoleh berbagai rahasia alam semesta. Allah menyayangi hamba-hambaNya yang rendah hati.

QS. Al Furqon (25) : 63
Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik.

Betapa hebatnya Allah menggambarkan orang yang rendah hati itu. Sampai-sampai dijahili oleh orang lain pun, dia masih mengucapkan kata-kata yang baik. la mempunyai kontrol diri dan keikhlasan yang tinggi. Sehingga Allah menyebut sifat 'Maha PenyayangNya' di awal kelimat tersebut, untuk menjamin hamba-hamba yang demikian itu.

Jiwa Yang Bergetar

Saya mengumpamakan manusia sebagai sebuah komputer canggih. Prosesor utamanya berada di otak, dan kemudian didukung oleh sistem motherboard (papan rangkaian elektronik), berupa badan dan susunan saraf di sekujur tubuh.

Komputer ini, kemudian dihubungkan dengan sistem jaringan raksasa: alam semesta. Universe merupakan motherboard komputer raksasa yang besarnya tidak berhingga. Di komputer ini tersimpan mekanisme canggih, dengan lalu lintas informasi yang luar biasa rumit. Jauh lebih rumit dari tubuh manusia. Sehingga Allah mengatakan di dalam Al Qur’an tentang hal itu.

QS. An Naazi'aat (79) : 27-28
Apakah kamu yang lebih sulit penciptaannya ataukah langit? Allah telah membangun strukturnya, meninggikan bangunannya lalu menyempurnakannya,

Alam semesta jauh lebih rumit dan raksasa dibanding badan manusia. Badan manusia hanya merupakan sebagian saja dari sistem alam semesta. Manusia hanya menjadi salah satu penyusun sistem alam semesta.

Kalau boleh saya umpamakan dengan sistem jaringan komputer, maka alam semesta adalah komputer induk. Pusatnya ada di Arsy Allah. Di sanalah terdapat prosesor utamanya. Ada suatu sistem memori yang disebut Lauh Mahfuzh. Di sinilah segala peristiwa tersimpan datanya.

Data-data di Lauh Mahfuzh itu bekerja mengikuti mekanisme komputer raksasa. Sistemnya disebut Sunnatullah. Lewat sistem operasi yang disebut sunnatullah itulah seluruh isi alam ini berfungsi. Termasuk manusia.

Manusia bagaikan sebuah komputer kecil yang terhubung ke sistem jaringan komputer alam semesta. Kita bisa mengakses masuk ke dalam sistem jaringan jika kita menyamakan sistem operasinya terlebih dahulu dan memiliki password alias kata sandinya.

Jika tidak, kita akan terkungkung dalam diri kita sendiri. Tidak bisa masuk ke jaringan alam semesta. Ibaratnya bermain radio komunikasi, frekuensi kita tidak match dengan pengguna lain, maka tidak bisa nyambung. Atau ibarat pengguna handphone, kita berada di luar service area, di luar jangkauan jaringan pemancar. Tidak bisa connect dengan sistem yang ada.

Begitulah, meskipun secara fisik kita sudah berada di dalam alam semesta, jika kita tidak bisa nyambung secara informasi, kita pun jadi terasa jauh dari siapa-siapa. Jauh dari mana-mana. Persis seperti orang yang membawa handphone tapi sedang terkungkung di suatu gedung bertingkat sehingga tidak memperoleh sinyal. Dalam istilah Al Qur’an kita sedang jauh dari Allah.

QS. Ibrahim (14) : 3
(yaitu) orang-orang yang lebih menyukai kehidupan dunia daripada kehidupan akhirat, dan menghalang-halangi dari jalan Allah dan menginginkan agar jalan Allah itu bengkok. Mereka itu berada dalam kesesatan yang jauh.

QS. Fushshilat (41) : 52
Katakanlah: "Bagaimana pendapatmu jika (Al Qur’an) itu datang dari sisi Allah, kemudian kamu mengingkarinya. Siapakah yang lebih sesat daripada orang yang selalu berada dalam penyimpangan yang jauh?"

Kata Allah, orang-orang yang terjebak pada kehidupan dunia adalah orang-orang yang tersesat jauh. Karena dia hanya terpaku pada realitas fisik saja. Padahal realitas kehidupan ini kan bukan hanya itu. Jauh lebih canggih dari itu. Ada yang bersifat lahiriah, tapi ingat ada juga yang bersifat batiniah.

Orang-orang yang terjauhkan dari informasi Al Qur’an juga disebut jauh dari Allah dan tersesat. Tetapi, orang-orang yang membaca Al Qur’an tanpa menerapkannya dalam kehidupan sehari-harinya, juga disebut tersesat. Seperti orang yang membaca petunjuk operasi komputer atau hand-phone, tetapi tidak menggunakannya untuk berkomunikasi.

Padahal, sebenarnya Allah tidak jauh dari kita. Cuma kita saja yang berada di luar service area. Tidak nge-match. Tidak memiliki dan menggunakan password untuk masuk jaringan komputer semesta.

QS. Al A'raaf (7) : 7
maka sesungguhnya akan Kami kabarkan kepada mereka, sedang (Kami) mengetahui, dan Kami sekali-kali tidak jauh (dari mereka).

Nah, dalam konteks berdzikir, kita tidak akan pernah bisa bertemu dengan Allah jika tidak menyelaraskan dulu operating system kita dengan sunnatullah. Kita juga mesti tahu kata-kata sandinya. Sampai getaran jiwa kita bisa masuk ke dalam sistem jaringan alam semesta, yang berpusat di Arsy Allah.

Dalam sudut pandang getaran, maka diri manusia memiliki dua sistem getaran. Yang pertama adalah clock alias denyut berirama yang mengantarkan seseorang untuk memasuki sistem universal. Sedangkan yang kedua adalah frekuensi jiwa yang menggambarkan kualitas jiwa seseorang.

Clock itu dipancarkan oleh otak, menggambarkan tingkat kesadaran seseorang. Jika pancaran gelombang otaknya di atas 13 Hz, seseorang dikatakan sedang berada dalam kondisi Beta.

la dalam keadaan sadar penuh. Beraktifitas penuh semangat. Panca inderanya bekerja maksimal. Perhatiannya lebih kepada hal-hal yang bisa ditangkap oleh indera Berkonsentrasi pada outer cosmos. Dunia fisik.

Tetapi, kondisi ini ternyata malah tidak mengantarkan seseorang nge-match dengan alam semesta, melainkan terjebak pada kondisi di luar service area. Ia terkungkung oleh ke'diri'annya'. Kesadaran individual. la menyadari lingkungamya hanya sebatas kesadaran yang bersifat fisik. Inilah yang dalam ayat sebelumnya, disebut: mereka lebih tertarik kepada dunia daripada akhirat. Mereka bakal merasa jauh dari Allah.

Pada tingkat berikutnya, seseorang memasuki wilayah yang lebih ke 'dalam'. Misalnya pada orang-orang yang merenung. Jika seseorang melakukan proses perenungan, maka denyut clock itu akan menurun menjadi berada di wilayah Alfa. Yaitu wilayah gelombang otak sekitar 8 Hz - 13 Hz.

Dalam kondisi ini seseorang mulai masuk ke inner cosmos, dunia dalam. Dia tidak lagi sangat bertumpu kepada inderawinya. Meskipun inderanya masih tetap aktif. Ia mulai mengaktifkan rasionalitas secara lebih holistik.

Inilah yang kita sebut sebagai kesadaran rasional atau kesadaran ilmiah. Kebanyakan para ilmuwan yang sedang merenung, atau seniman yang sedang menuangkan karyanya, akan memasuki kondisi alfa ini. Clock otaknya berdenyut dengan frekuensi 8-13 Hz. Kondisi jiwanya lebih tenang dibandingkan dengan Beta.

Orang yang sedang berproses ke arah tidur pun memasuki kondisi Alfa. Demikian pula orang-orang yang sedang bermeditasi atau dzikir dan shalat. Dalam kondisi ini, seseorang bisa mengeksplorasi dunia di dalam dirinya lebih intensif.

Dalam konteks jaringan komputer alam semesta, orang tersebut mulai berusaha mengakses masuk. Tetapi, memang masih bergantung kepada password dan kualitas frekuensinya. Jika sesuai, dia akan memperoleh akses. Jika tidak, ia tidak akan bisa masuk.

Kondisi clock yang lebih rendah lagi disebut sebagai wilayah Teta. Inilah wilayah yang sangat rawan karena berada di antara sadar dan tidak. Clock-nya bergetar di antara 4 Hz-7 Hz. Bagi orang-orang yang sedang menuju tidur, kondisi ini adalah mulai hilangnya kesadaran, sampai kemudian tertidur. Di sinilah seseorang bisa dipengaruhi secara hipnotisme atau kerasukan makhluk ghaib. Alam bawah sadarnya berperan lebih dominan dari kondisi sadarnya.

Jika diteruskan, maka orang itu akan menjadi tidur lelap. Pada saat itu frekuensi clocknya berada di bawah 4 Hz. Atau sekitar 0,5 Hz - 3,5 Hz. Pada kondisi ini seseorang telah kehilangan kesadaramya sama sekali. Sepenuhnya dikendalikan alam bawah sadar.
Nah, dimanakah kondisi yang baik untuk berdzikir secara khusyuk? Ternyata berada di peralihan antara kondisi Alfa dan Teta. Di sinilah seseorang mulai bisa melepaskan kungkungan panca inderanya dan masuk ke wilayah kesadaran universal. Atau ada juga yang menyebutnya sebagai ketaksadaran universal.

Tapi, saya lebih suka menyebut sebagai 'KESADARAN UNIVERSAL'. Karena kita justru ingin memasuki wilayah 'ketaksadaran' itu secara sadar sepenuhnya. Tidur yang terjaga. Relaksasi sempurna dalam keadaan berdzikir, ingat Allah.

Pada saat itulah seseorang yang memiliki password bisa masuk ke jaringan universal. Maka dia akan masuk ke sebuah sistem informasi canggih bebas hambatan. Frekuensi getaran jiwanya akan nyambung dengan frekuensi alam semesta.

Di sinilah kita mulai memahami, bahwa selain getaran clock, ada getaran lain yang justru berisi informasi tentang kondisi jiwa kita saat sedang berdzikir. Clock hanya berfungsi sebagai pintu masuk. Sedangkan frekuensi jiwa adalah muatan informasi yang ingin kita kirim lewat jaringan.

Maka, ketika kita sudah bisa terhubung ke dalam jaringan tersebut, kita bisa melakukan kontak-kontak dengan miliaran 'komputer' lainnya, seperti berada dalam jaringan Internet.

Bahkan, kita juga bisa kontak dua arah dengan 'komputer induk' yang berada di pusat alam semesta. Di Arsy Allah. Tidak ada lagi kendala jarak dan waktu yang menghambat. Seperti ketika kita sedang chatting lewat internet. Lawan bicara kita serasa dekat saja. Cuma, karena komputer dan provider Internet itu memiliki keterbatasan kapasitas jaringan, maka kecepatamya bisa menjadi lamban.

Tapi, itu tidak akan terjadi pada sistem jaringan alam semesta. Karena jaringamya didesain berdasar sistem cahaya dan struktur dimensi langit yang tujuh. Pusatnya berada di langit ke tujuh yang sangat dekat. Bahkan meliputi kita. Dan sinyalnya berbasis pada cahaya, dikendalikan oleh para malaikat. Maka kecepatan informasi itu seakan-akan bergerak melebihi kecepatan cahaya. Padahal sebenarnya tidak. Beberapa kawan tidak sepakat dengan pendapat bahwa 'cahaya adalah kecepatan tertinggi' di alam semesta. Saya sedang menunggu pembuktian itu. Tetapi sejauh ini, saya masih menyepakatinya.

Memang kalau hanya dipahami sebagai gerakan cahaya yang melengkung di langit pertama, seakan-akan kecepatannya lebih tinggi dari 300 ribu km/detik. Padahal, sinyal cahaya itu melewati jalan tembus di dimensi langit yang lebih tinggi. Tentu saja ia lebih cepat sampai ke pusat, dibandingkan yang harus melengkung di langit pertama...

QS. An Naazi'aat (79) : 3-5
dan (malaikat-malaikat) yang turun dari langit dengan cepat, dan (malaikat-malaikat) yang mendahului dengan kencang, dan (para malaikat) yang mengatur urusan.

QS. Al Qadr (97) : 4
Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.
Dalam banyak ayat, Allah menginformasikan kepada kita bahwa para malaikat adalah petugas yang bertanggung jawab terhadap lalu lintas urusan dari seluruh penjuru langit ke pusat pemerintahan alam semesta. Akan tetapi, semuanya lewat izin Allah. Di bawah kendali Kekuasaamya.

QS. Yunus (10) : 3
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy untuk mengatur segala urusan. Tiada seorangpun yang akan memberi syafa'at kecuali sesudah ada izinnya. (Dzat) yang demikian itulah Allah, Tuhan kamu, maka sembahlah Dia. Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran?
Kecepatan para malaikat itu berbeda-beda. Bergantung kepada siapa yang membawa, lewat mana, dan urusan apa yang sedang dibawa. Karena itu, waktu tempuhnya pun bisa beragam. Ada yang sehari dengan kadar 1000 tahun. Ada pula yang seharinya berkadar 50.000 tahun.
QS. As Sajdah (32) : 5
Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya seribu tahun menurut perhitunganmu.

QS. Al Ma'arij (70) : 4
Para malaikat dan Jibril naik kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun.

Betapa dahsyat kecepatan informasi dalam jaringan alam semesta itu. Bandingkan dengan kecepatan pengiriman informasi dewasa ini. Yang paling rendah adalah lewat jaringan internet, hanya sekitar puluhan ribu atau ratusan ribu bit per detik. Yang lebih tinggi, lewat jaringan satelit, bisa mencapai jutaan bit per detik. Bit adalah unit terkecil dari informasi.

Dengan menggunakan satelit, anda bisa melihat siaran langsung dari sebuah acara televisi yang terjadi antar benua. Misalnya pertandingan sepak bola Piala Dunia. Pelaksanaannya di Eropa, kita melihat dalam waktu yang 'hampir bersamaan' di Indonesia. Jarak ribuan meter itu ditempuh dalam orde detik saja.

Jaringan informasi alam semesta lebih dahsyat lagi. Kecepatamya ribuan sampai jutaan kali lebih hebat. Karena itu Allah mengatakan 1 hari sama dengan 1000 tahun. Artinya berlipat 365.000 kali lebih cepat. Dan suatu ketika bisa lebih cepat lagi sehingga mencapai 50.000 x 365 = 18.250.000 kali.

Itulah yang dikatakan oleh Allah dalam surat An Naazi'aat : 3-5, bahwa 'para malaikat turun dari langit dengan cepat, dan mendahului dengan kencang, untuk mengatur segala urusan'.

Sistem informasi itu demikian canggih. Tinggal bagaimana kita bisa mengakses masuk ke dalamnya. Maka, selain clock sebagai jalan masuk, setiap diri kita memiliki kualitas informasi yang akan kita kirimkan lewat jaringan tersebut.

Clock berkait erat dengan keselarasan. Dengan kekhusyukan dan keikhlasan. Sedangkan kualitas informasi berkaitan dengan isi doa dan kepahaman dzikir yang kita panjatkan.

Jika kita tidak ikhlas dan tidak khusyuk, maka kita tidak akan bisa masuk ke dalam sistem jaringan informasi tersebut. Meskipun isi doa kita bagus. Karena itu jangan heran banyak orang berdoa yang tidak terkabulkan. Dia tidak bisa menyelaraskan kondisi jiwanya dengan sistem alam. Tidak ikhlas. Tidak khusyuk. Tidak berserah diri. Maka, jangan heran dia terpental dari pusaran...

Khusyuk Bisa Diukur

Maka pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana kita bisa khusyuk dalam berkomunikasi dengan Allah lewat sistem informasi tersebut? Bagaimana pula kita bisa tahu bahwa dzikir dan do'a telah khusyuk. Dan bisakah semua itu diukur, supaya kita bisa memperoleh kemantapan?

lni memang pertanyaan yang sangat mendasar, dan tidak pernah terjawab dengan tuntas. Meskipun secara kualitatif, sebenarnya Allah telah mengajarkan cara mencapai kekhusyukan, dan sekaligus mengukurnya. Namun demikian, memang muncul berbagai persepsi dan pendapat tentang yang disebut khusyuk. Baik cara mencapainya, maupun cara mengukurnya.

Di antaranya ada yang berpendapat bahwa khusyuk adalah suatu kondisi dimana seseorang bisa berkonsentrasi penuh sehingga tidak ingat lagi akan sekitarnya. Pendapat yang lain mengatakan bahwa yang dimaksud khusyuk adalah suatu kondisi dimana kita bisa merelaksasi pikiran dan jiwa kita sehingga memperoleh jiwa yang tenang.

Dan, ada lagi lainnya yang berpendapat, bahwa yang dimaksud khusyuk adalah ketika kita bisa merasakan sedang dilihat Allah, karena kita tidak bisa melihatNya. Atau, mungkin masih ada lagi pendapat-pendapat lainnya yang berbeda.

Tapi, sebenarnya bagaimanakah yang dimaksud khusyuk menurut versi Al Qur’an? Dan bagaimana cara mencapai kekhusyukan itu? Dalam berbagai ayatNya, Allah menyinggung tentang kekhusyukan. Di antaranya adalah ayat berikut ini.

QS. Al Baqarah (2) : 45-46
Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu'
(yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.

Menurut ayat di atas, yang dimaksud khusyuk adalah orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan bertemu Tuhannya saat berkomunikasi, dan suatu ketika akan 'kembali' bertemu dengamya.

Definisi ini memang agak berbeda dengan kepahaman selama ini. Tapi kalau kita cermati isinya sungguh mendalam. Bahwa seseorang baru akan bisa khusyuk dan disebut telah khusyuk, jika dia menyadari dengan penuh keyakinan bahwa dia bisa bertemu dengan Allah. Baik dalam dzikir dan shalatnya, maupun suatu saat nanti ketika dia mati.

Inilah pondasi paling dasar untuk mencapai kekhusyukan, sekaligus definisinya. Jadi, orang yang tidak memantapkan keyakinan dalam hatinya bahwa dia akan bertemu Allah, disebut tidak khusyuk. Termasuk, dipastikan tidak akan bisa-khusyuk.

Berarti untuk bisa mencapai kekhusyukan tidak bisa instant. Melainkan membutuhkan proses kepahaman sampai memperoleh keyakinan. Bahwa Allah bisa ditemui, kapan pun dan dimana pun. Bahwa Allah demikian dekat dengan kita, lebih dekat dari urat leher kita sendiri. Bahwa Allah meliputi segala makhlukNya termasuk manusia. Bahwa kita harus mengerti konsep tauhid secara holistik. Karena itu, jika tauhidnya salah, dipastikan kita tidak akan bisa khusyuk.

Maka, kita lantas bisa memahami deretan ayat berikut ini, yang bercerita tentang orang yang bisa bertambah khusyuk setelah memahami Al Qur’an, kemudian menjadi beriman dan yakin atas petunjuk yang ada di dalamnya. Orang yang demikian itu bakal tersungkur bersujud, sambil menangis, berdoa dan berdzikir.

QS. Al Israa (17) : 106-110
Dan Al Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakamya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkamya bagian demi bagian.
Katakanlah: "Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama sekali). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata: "Maha Suci Tuhan kami; sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi". Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu'
Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu"

Deretan ayat di atas memberikan gambaran panjang lebar kepada kita tentang kekhusyukan dan cara mencapainya.

Yang pertama, kekhusyukan berkait erat dengan kepahaman kita terhadap isi Al Qur’an. Karena itu, Allah menurunkan Al Qur’an secara berangsur-angsur dan kemudian kita diperintahkan untuk membaca dan memahaminya secara perlahan-lahan.

Kedua, berdasar pada proses pembelajaran itu kita lantas menjadi yakin dan beriman kepada apa yang diajarkan oleh Allah. Berimanlah atau tidak lama sekali! Begitulah konsekuensinya. Tapi bagi orang yang berilmu pengetahuan, tidak bisa tidak, akan gemetar membaca al Quran yang berisi ilmu pengetahuan tingkat tinggi itu. Mereka bakal tersungkur dan bersujud.

Ketiga, dengan sendirinya mereka bakal bertasbih mengagungkan Allah, dengan mengucapkan: Maha Suci Allah. Maka, semakin mantaplah keyakinannya akan kebenaran Allah.

Keempat, puncaknya mereka tersungkur kembali, menangis sambil bersujud kepada Allah yang Maha Agung. Mereka bertambah khusyuk dalam ibadahnya.

Kalimat 'bertambah khusyuk' di atas menunjukkan bahwa proses yang dilalui itu sudah merupakan kekhusyukan. Mulai dari membaca Al Qur’an, memahami, meyakini, beriman, sampai puncaknya tersungkur, bersujud dan menangis.

Dan sebagai penutup dari deretan ayat itu, Allah mengajarkan sebuah tatacara yang semakin memantapkan kekhusyukan:
Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkamya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu"

Jadi substansi dari apa yang disebut khusyuk adalah: paham tentang Allah, kenal, yakin bisa bertemu, yakin bakal kembali kepadaNya, bertasbih dan bersujud sampai menangis, serta berdoa dan berdzikir dalam suara yang lembut...

Selain itu, untuk mencapai kekhusyukan, Allah memberikan contoh tambahan lewat kisah nabi Zakariya dan istrinya. Bahwa orang yang khusyuk, bukan hanya saat shalat. Tapi, seperti nabi Zakariya, yang selalu bersegera dalam berbuat kebaikan, dan harap-harap cemas ketika berdoa.

QS. Al Anbiyaa (21) : 90
Maka Kami memperkenankan do'anya (Zakariya), dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya dan Kami jadikan isterinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdo'a kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu kepada Kami.

Begitulah, kita perlu menyamakan persepsi dulu tentang apa yang disebut sebagai khusyuk. Agar pembahasan selanjutnya bisa lebih nyambung.

Maka, dalam bahasa yang lugas dan sederhana, khusyuk adalah perasaan bisa bertemu Allah ketika berdoa, berdzikir atau sembahyang. Bukan berarti bisa melihat dengan mata, atau mendengar dengan telinga, dan panca indera lainnya. Tetapi 'MERASA BERTEMU'. Dan kemudian bisa curhat, mencurahkan perasaan gundah gulananya, memohon bantuan kepada Allah. Ketika seseorang merasa 'plong' hatinya setelah curhat itu, berarti dia benar-benar telah bertemu Allah. Itulah khusyuk...

Dalam konteks berdzikir, khusyuk juga bermakna merasa bertemu Allah. Cuma, agak beda dengan berdo'a. Kalau berdo'a, isinya meminta pertolongan. Sedangkan dzikir bertujuan untuk membangun keakraban dengan Allah.

Karena itu isi dzikir adalah memuji kebesaran Allah, memuji keagungan Allah, memuji kekuasaan Allah, dan menegaskan ke-Esa-an-Nya.

Untuk apa? Apakah karena Allah senang dipuji-puji, dan diagung-agungkan? Kayaknya bukan. Sebab, bukankah tanpa kita puji, Allah sudah Maha Terpuji dengan segala sifatNya?

Allah cuma ingin mengajarkan positioning kepada kita. Siapakah DIA, dan siapakah kita. Dengan positioning yang tepat itu, kita akan bisa bertemu dengan Allah.

Jadi tujuan dzikir sebenarnya adalah latihan menyambungkan jiwa kita dengan Allah. Melatih untuk selalu bisa bertemu. Dan akhirnya 'MERASA SELALU BERTEMU' dengamya. Hal ini akan kita bahas dalam bagian terpisah di akhir pembahasan Diskusi ini. Bagaimanakah sebaiknya posisi hati kita saat melakukan dzikir. Dan kemudian barulah kita berdoa. Jadi dzikir sangat baik digunakan sebagai pengantar doa. Dalam kesempatan ini saya hanya ingin mengajak pembaca untuk memahami, bahwa kekhusyukan dzikir dan shalat kita itu bisa diukur. Bagaimana caranya?

Selama ini, yang kita tahu adalah mengukur secara' kualitatif seperti telah kita bicarakan di awal bagian ini. Bahwa jika kita sudah 'merasa bertemu' Allah, maka kita sebenarnya sudah melakukan ibadah itu dengan khusyuk. Dan kekhusyukan itu akan membekas, meskipun kita sudah selesai dzikir, do'a ataupun shalat. Itulah khusyuk yang sebaik-baiknya. Khusyuk di dalam shalat, dan khusyuk di luar shalat. Khusyuk saat berdzikir, khusyuk juga di luar dzikir.

Kini, kita bisa mengukur kekhusyukan dengan menggunakan peralatan modern. Di antaranya adalah dengan Kamera Aura. Kenapa kamera aura bisa mengukur kekhusyukan seseorang? Sebab, kamera ini bekerja berdasarkan sensor getaran yang dihasilkan oleh jiwa. Sementara itu, kita tahu bahwa jiwa kita bergetar-getar seiring dengan naik turunnya tingkat kekhusyukan. Di dalam dzikir maupun di luar dzikir. Di dalam sahalat atau pun di luarnya.

Orang yang tidak khusyuk adalah orang yang jiwanya sedang kacau, stress, bergejolak dalam emosi, egois, memberontak dan semacamnya. Sebaliknya orang yang khusyuk adalah orang yang jiwanya sedang tenang, tawadhu', sabar, ikhlas, dan berserah diri kepada Allah.

Dua kondisi yang berbeda itu ternyata menghasilkan getaran jiwa yang bertolak belakang. Orang yang sedang emosi akan memancarkan gelombang berfrekuensi rendah dengan amplitudo kasar. Jika diukur dengan alat perekam gelombang jantung misalnya, akan menghasilkan grafik yang bergejolak kasar pula. Dalam istilah orang awam, orang yang emosinya tinggi dikatakan memiliki hati yang kasar. Ucapan-ucapamya pun kasar, menyakitkan hati orang yang mendengarnya.

Sebaliknya, orang yang penyabar akan menghasilkan gelombang lembut. Hatinya lembut. Ucapan dan tindak tanduknya pun lembut. Menyenangkan dan menyejukkan hati orang-orang yang berada di sekitarnya.

Nah, pancaran gelombang itu bisa diukur. Hasilnya menginformasikan berbagai macam data tentang orang tersebut. Di antaranya bisa menunjukkan karakter. Tipikal kepribadian. Dan, bisa menunjukkan kemampuan kontrol diri yang terkait dengan kekhusyukan.

Alhamdulillah, sekitar 2 bulan sebelum menulis diskusi ini saya bisa membeli seperangkat alat Aura. Alat ini bisa memotret 'kepribadian' seseorang, dan juga bisa digunakan merekam secara video pergerakan batinnya.

Selama 2 bulan itu saya berkesempatan untuk mengamati banyak hal berkaitan dengan kekhusyukan dzikir. Bahkan karakter seseorang. Alat ini memang sangat bermanfaat.

Suatu ketika saya mencoba memotret kondisi keponakan saya yang sedang flu berat. Ia masih kanak-kanak. Ternyata, ia memancarkan warna merah. Padahal biasanya, anak-anak memancarkan aura berwarna-warni.

Aura merah memang menunjukkan getaran jiwa yang sedang bermasalah. Baik secara fisik maupun psikis. Di kali lain saya juga memotret seorang anak perempuan yang sedang beranjak dewasa. Usianya hampir 20 tahun. Ia mengaku sedang menanggung masalah yang berat. Ternyata, Ia juga memancarkan warna merah.

Maka, perempuan itu saya ajari berdzikir untuk mengatasi tekanan jiwanya. Ia berdzikir sampai menangis. Penuh penyesalan, memohon ampun kepada Allah. Dan berserah diri minta petunjuk menyelesaikan masalahnya.

Tiba-tiba auranya bergerak ke arah frekuensi tinggi. Dari semula merah, perlahan-lahan berubah ke arah oranye, kuning, hijau, biru, nila, ungu dan bersemu putih. Ia berdzikir penuh kekhusyukan. Dan berserah diri. Kejadian tersebut saya rekam dengan menggunakan kamera video. Hasilnya saya sajikan dalam VCD.

Di kali lain, saya merekam aura laki-laki dewasa yang penuh semangat dan vitalitas hidup. Ada beberapa orang. Ada yang berprofesi jadi pengusaha, ada yang salesman, ada pula yang karyawan di sebuah perusahaan multimedia.

Hasilnya merah agak jingga. Paling tinggi kuning keemasan. Mereka memiliki tipikal yang hampir sama, bersemangat, ambisius, sedikit meledak-ledak, memiliki cita-cita untuk menjadi orang sukses, dan egonya tergolong tinggi seiring dengan kemampuan memimpin dalam ketegasan.

Mereka mengakui, bahwa sifat-sifat mereka memang begitu. Uniknya, ternyata mereka memiliki kemampuan kontrol diri yang berbeda. Sehingga hasilnya auranya juga berbeda ketika disuruh mengendalikan perasaamya.

Saya memang selalu membandingkan aura yang direkam apa adanya, dengan aura yang direkam sambil bermeditasi, berdo'a atau berdzikir. Hasilnya menarik. Dua diantara beberapa orang itu, tidak mampu mengontrol dan meredam perasaannya. Maka selama beberapa menit rekaman itu pun warna mereka tidak berubah. Tetap saja bergerak naik turun di antara warna merah, jingga dan kuning.

Tapi salah satu di antara mereka bisa melakukan dzikir dengan efektif. Ternyata auranya bergerak ke arah frekuensi tinggi. Dari warna merah berubah ke arah jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu, bahkan ke arah warna putih.

lni sekali lagi menunjukkan, jiwa yang emosional dan jiwa yang tentram menghasilkan warna aura berbeda. Dan itu, bisa dikendalikan secara sengaja.

Di kali lain lagi, saya kedatangan tamu dua orang kawan saya. keduanya laki-laki. Profesi mereka adalah peneliti. Ilmuwan. Satunya doktor, dan yang lainnya S-2.

Saya coba merekam warna aura mereka. Saya sudah menduga aura mereka bakal berada di atas rata-rata. Yaitu di atas warna hijau. Sekitar biru, nila, dan ungu. Karena saya membaca dalam berbagai literatur, warna para ilmuwan kebanyakan di sekitar biru dan ungu.

Ternyata betul. Kawan saya yang S-2 di bidang Energi Nuklir itu memancarkan aura dengan dominan warna biru. Kadang-kadang bergeser ke arah ungu. Dan uniknya ketika dipakai berdzikir, auranya meningkat lebih tinggi lagi ke arah putih. Saya tahu, dia memang orang yang cukup tawadhu. Saya akrab dengan dia. Kami suka ngaji bareng.

Kawan yang kedua, seorang doktor Nuklir lulusan Prancis. Dia aktif dalam kegiatan masjid. Bahkan dia adalah ketua takmir masjid di lingkungan rumah tinggalnya. Auranya banyak didominasi warna ungu. Dan sering muncul warna putih ketika dia berdzikir...

Cerita menarik lainnya adalah ketika saya menerima tamu seorang muallaf berkebangsaan Swiss. la sudah sudah bekeluarga, kawin dengan wanita Indonesia. Selama hampir 2 jam kami berdiskusi tentang agama.

Dia sangat rasional dalam memandang agama. Dan begitulah memang budaya dia mengajarkan. "Saya tidak bisa mengikuti sesuatu yang saya tidak mengerti," tegasnya. Wah, saya senang bisa berdiskusi dengan orang yang berprinsip seperti ini. Bukankah Islam juga mengajarkan prinsip seperti itu. Saya sempat menunjukkan QS. 17:36, bahwa beragama memang tidak boleh ikut-ikutan. Segalanya menjadi lebih jelas patokan standarnya.

Dia sangat percaya diri terhadap apa yang telah diyakininya. Bahkan cenderung berlebihan, sehingga agak sulit menerima pendapat orang lain. Dia merasa dirinya sudah baik dan benar. Maka, dia merasa tidak terlalu perlu untuk shalat dan puasa, meskipun sudah masuk Islam.
Untuk apa shalat, kalau dia sudah bisa mencegah perbuatamya dari yang keji dan mungkar. Bukankah manfaat shalat adalah untuk mencegah dari perbuatan keji dan munkar? Begitu juga untuk apa berpuasa, kalau dia sudah merasa mampu mengendalikan diri lebih sabar dan punya empati pada penderitaan orang lain.

Ah, dia terlalu percaya diri, bahwa ia adalah orang baik dan benar, pikir saya. Saya sudah coba jelaskan kehebatan isi Al Qur’an lewat pedekatan rasional. Dan dia mengatakan, o ya saya no problem dengan Islam dan Al Qur’an. Saya kira semua agama sama saja. Mengajarkan kebaikan.

Akhirnya saya tawarkan kepada dia untuk mencoba kamera aura saya. Dia tertarik. Istrinya juga antusias. Mereka pernah membaca bahwa kualitas jiwa seseorang memang bisa diukur lewat auranya. Bahkan si Istri mengaku pernah berlatih melihat aura dengan mata telanjang.

Maka, keduanya pun saya bawa ke ruang laboratorium Aura. Beberapa menit mereka saya rekam di depan kamera. Sambil bercanda, si suami mencoba menebak warna auranya, penuh percaya diri. Saya kira, minimal warna aura saya kuning. Tapi, apa yang terjadi? Ternyata hasilnya: MERAH.

Dia termangu melihat hasil rekaman auranya di layar komputer. Saya tanya: ada komentar? Dia menggelengkan kepala, dengan pandangan menerawang. Entah apa yang ada di pikirannya..!

Setelah itu saya tunjukkan hasil rekaman orang lain yang bisa mengubah auranya dari merah meningkat menjadi ungu keputih-putihan dengan cara berdzikir. Sedangkan dia, tak pernah bisa beranjak dari warna merah tua, meskipun telah berusaha serileks mungkin...

Cerita tentang aura ini semakin menarik. Beberapa kali kami merekam aura orang yang sedang tidur, dan orang kesurupan. Kami ingin tahu, apakah warna aura orang yang sedang tidur. "Bukankah orang yang tidur berada dalam kondisi rileks sempurna?" begitu pikir kami. Maka kami siapkan sensor aura di tepi pembaringan, untuk pengamatan tersebut.

Kali pertama, kami rekam seorang wanita. Dan kali berikutnya dua orang laki-laki. Pada kondisi biasa si wanita itu selalu memancarkan aura berwarna hijau, biru, ungu, atau tak jarang berwarna keputih-putihan.

Ketika rekaman itu dimulai, auranya masih bergeser-geser di antara warna biru dan ungu. Dia masih dalam kondisi sadar penuh, selama beberapa menit. Lantas, dia terlihat mulai memasuki kantuknya. Warnanya mulai bergeser ke arah nila dan ungu. Puncaknya, ketika dia tak mampu menahan kantuknya, dan sempat tertidur untuk beberapa saat. Ternyata, auranya terpancar berwarna ungu sempurna. Oh, ternyata benar dugaan kami bahwa tidur adalah relaksasi sempurna. Dan itu diwakili oleh warna ungu.

Kondisi ini sesuai dengan berbagai literatur tentang meditasi. Bahwa puncak sebuah meditasi adalah relaksasi sempurna. Karena itu meditasi bisa menyebabkan terjadinya proses pemulihan kebugaran badan. Kalau kita capai, kita bisa beristirahat dengan cara tidur. Maka kebugaran kita akan kembali. Tetapi, kebugaran itu pun bisa kita dapatkan dengan cara bermeditasi. Hasilnya, badan kita juga kembali bugar.

Nah, kondisi ini ternyata bisa dideteksi dengan kamera aura. Orang yang berada di dalam kondisi bugar, rileks sempurna, akan memancarkan warna ungu. Kondisi jiwa dan fisiknya sedang dalam kualitas terbaiknya.

Warna ungu, juga kita dapatkan dari orang-orang yang usai menjalani terapi pijat. Dan olah raga pagi. Kondisi badan dan pikiramya sedang benar-benar rileks.

Pada orang-orang yang memilki aura dasar berwarna merah, ketika dia dalam kondisi tidur, ternyata juga memancarkan warna ungu. Beberapa kali kami melakukan pengamatan tersebut.

Sehingga kami memperoleh kesimpulan yang berharga, bahwa warna aura memang bisa digeser ke arah frekuensi tinggi -warna ungu- dengan cara merelaksasi pikiran dan tubuh kita.

Jika seseorang mengalami ketegangan fisik maupun jiwa, maka pancaran auranya akan begeser ke arah merah. Sebaliknya, kalau berada dalam kondisi rileks jiwa dan raganya, aura bakal bergeser ke arah ungu.

Kasus orang kesurupan, ternyata mirip dengan kejadian orang tidur. Kebetulan, ketika sedang melakukan pemotretan di sebuah perguruan tinggi di Malang, ada orang yang sedang kesurupan. Maka, orang tersebut kami potret dan kami rekam secara video. Hasilnya menarik. la memancarkan warna ungu. lni mengindikasikan bahwa orang tersebut memang sedang kesurupan. Hilang kesadaran. Seperti orang yang tidur pulas. Yang aktif adalah jin yang masuk ke dalam dirinya. Dan ketika, usai disembuhkan dengan bacaan doa-doa dari dalam Al Qur’an, rekaman auranya menunjukkan warna-warni yang dinamis lagi. Ia telah kembali memperoleh kesadarannya.

Pertanyaan lain muncul berkait dengan warna putih. Darimanakah munculnya warna putih? Karena kami berkali-kali melihat pancaran warna putih pada orang-orang tertentu yang sedang kami rekam.

Warna putih bukanlah warna yang frekuensinya di atas ungu. Putih akan muncul jika seluruh warna digabungkan menjadi satu. Sebagaimana spektrum pelangi jika disatukan lewat prisma akan menghasilkan warna putih. Tentu saja ini sangat menarik untuk diamati. Dan pada kasus orang tidur, yang mengambarkan kondisi rileks sempurna, ternyata warnanya bukan putih melainkan ungu.

Jadi, kapankah warna putih muncul? Ternyata dari orang-orang yang banyak berdzikir dan berdo'a kepada Allah. Orang-orang yang khusyuk. Warna putih adalah warna keselarasan. Bergabungnya seluruh spektrum dalam skala yang seimbang dan harmonis.

Warna putih seringkali saya amati terjadi pada orang-orang yang bisa berdzikir dengan khusyuk. Bahkan meskipun semula ia memancarkan aura merah. Jika, kemudian ia bisa berdzikir dengan khusyuk, maka warna aura itu akan bergeser kearah ungu. Dan memuncak di warna putih jernih.

Saya jadi teringat adzan Subuh. Salah satu kalimat yang diucapkan muadzin adalah: ashshalatu khairum minamaum. Bahwa shalat adalah lebih baik daripada tidur.

Selama ini kita bertanya-tanya, benarkah shalat itu lebih baik dari pada tidur? Apa kelebihan shalat daripada tidur. Dan bagaimana mengukurnya? Ternyata, hal itu telah bisa dibuktikan lewat kamera aura! Warna putih tidak muncul dari orang yang serileks apa pun. Bahkan tidak muncul dengan cara meditasi apa pun. Ia hanya muncul karena kepasrahan dan kekhusyukan seorang hamba yang bermunajat kepada Tuhannya...

Karena itu, ketika mendengar kalimat tersebut kita diajari untuk mengucapkan: Shiddiq ya rasulullah - Benar engkau ya rasulullah... Subhanallah...!

Harmonisasi Aura

Kita telah memperoleh bukti yang meyakinkan bahwa kondisi kejiwaan seseorang ternyata bisa diukur. Khususnya tingkat kekhusyukan dzikir. Dalam hal ini, kita menggunakan video aura.

Lantas apa yang harus kita lakukan sehingga aura kita bisa mencapai warna-warna cerah atau bahkan putih, yang menggambarkan kekhusyukan tersebut. Apa langkah praktisnya?

ltulah yang akan kita diskusikan pada bagian ini. Bagaimana kita bisa mengontrol hati agar tercapai warna aura yang tinggi. Untuk itu, terlebih dahulu kita harus mengetahui apakah sebenarnya aura. Darimana munculnya. Benarkah ia mewakili kondisi kejiwaan kita?

Sekitar 2 tahun terakhir ini saya begitu tertarik untuk memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan aura. Sehingga akhirnya saya memutuskan untuk membeli peralatan itu, setelah meyakini manfaatnya.

Alat ini sebenarnya ditemukan oleh seorang ilmuwan berkebangsaan Rusia pada tahun 1930an. Profesor Semyon Kirlian, menemukamya tanpa sengaja, ketika memperbaiki sebuah mesin bertegangan tinggi. Tiba-tiba tangannya berpendar mengeluarkan cahaya aura, akibat terimbas oleh arus elektron di mesin tersebut. Keanehan itu pun diabadikanya dengan cara memotret tangan yang berpendar itu.

Maka pada tahun 1939, Kirlian dan istrinya membuat alat fotografi bertegangan tinggi yang dikenal sebagai Foto Kirlian. Alat itu digunakan untuk melihat medan energi yang terpancar dari tangan dan kaki manusia, dan bisa memberikan berbagai informasi tentang aktifitas kejiwaan dan kesehatan orang yang bersangkutan.

Penemuan tersebut menyulut penelitian lebih lanjut. Sekitar tahun 80-an, sejumlah ahli riset menemukan teknologi baru yang dikenal sebagai Fotografi Aura. Teknologi ini menggunakan sensor biofeedback pada kedua tangan dan mengirimnya ke kamera, yang kemudian mencetaknya dalam bentuk foto polaroid. Maka, kita pun dapat melihat aura kita sendiri secara statis yang tercetak dalam lembaran foto.

Perkembangan berikutnya semakin maju. karena dipadukan dengan teknologi komputer yang semakin canggih. Maka, sejak tahun 1998 muncul peralatan fotografi aura yang lebih canggih yang disebut Computerized Multimedia Biofeedback System. Peratatan itu ditemukan oleh seorang periset Jerman bernama Fisslinger. Alat inilah yang sekarang saya pakai di laboratorium PADMA AURA. Dan menjadi fasilitas utama dalam Pelatihan untuk meningkatkan kekhusyukan ibadah.

Dengan menggunakan sistem komputer ini, kita dapat melihat secara langsung dan dinamis aura seseorang pada layar monitor. Dan kemudian kita bisa merekamnya secara video.

Yang menarik dari peralatan ini adalah kemampuamya untuk menangkap frekuensi tinggi yang dipancarkan oleh tubuh manusia. Dan ternyata frekuensi tinggi itu muncul seiring dengan gejolak emosi seseorang. Jika emosi tinggi, badan akan terimbas oleh gelombang berfrekuensi kasar. Sebaliknya, jika sedang emosi rendah akan muncul gelombang berfrekuensi tinggi.

Darimana frekuensi itu muncul? Ternyata dari gejolak jiwa yang merembet ke seluruh organ tubuh, jaringan sel, sampai kepada atom-atom penyusun tubuh yang mengandung miliaran bioelektron.

Bahwa tubuh manusia ini mengandung sistem kelistrikan. Mulai dari mekanisme otak, jantung, ginjal, paru, sistem pencernaan, sistem hormonal, otot-otot dan berbagai jaringan lainnya. Semuanya bekerja berdasar sistem kelistrikan. Karena itu kita bisa mengukur tegangan listrik di bagian tubuh mana pun yang kita mau. Semuanya ada tegangan listriknya. Bahkan setiap sel di tubuh kita memiliki tegangan antara -90 mvolt pada saat rileks sampai 40 mvott pada saat beraktifitas.

Maka, tubuh kita boleh disebut sebagai sistem elektromagnetik. Sebab, kelistrikan sangat erat kaitannya dengan kemagnetan. Otak kita memiliki medan kemagnetan. Sebagaimana jantung ataupun bagian-bagian lain di tubuh kita.

Pancaran elektromagnetik itu berubah-ubah sesuai kondisi tubuh yang dipengaruhi oleh emosi. Sebagai contoh, orang yang sedang marah. Getaran kemarahan itu awatnya muncul secara abstrak dari jiwa. Akan tetapi begitu marah itu muncul, tubuh kita akan ikut bergetar.
Jantung akan berdegup lebih kencang dari pada biasanya. Jika kemarahan meningkat, maka getaran jantung juga akan meningkat. Dan kemudian merembet ke organ lainnya. Nafas kita tiba-tiba ikut ngos-ngosan. Muka menjadi merah. Telinga panas. Mata melotot. Dan tangan pun ikut gemetaran.

Getaran kemarahan yang semula abstrak itu telah menjadi getaran yang bersifat fisik. Dan lantas menghasilkan gelombang kasar dengan frekuensi rendah. Inilah yang terukur oleh sensor aura. Muncul sebagai gelombang warna merah.

Sebaliknya, orang yang sabar dan khusyuk. la akan berada dalam kondisi kejiwaan tenang dan tenteram. Jiwanya tidak bergejolak. Jantungnya berdenyut lembut. Nafasnya normal. Dan seluruh kondisi tubuhnya dalam keadaan yang seimbang. Maka, sistem energial tubuhnya memancarkan gelombang lembut dengan frekuensi tinggi. Terpancarlah aura ungu.

Dan puncaknya, ketika frekuensi tinggi itu mencapai harmonisasi. Seluruh badannya dalam keadaan seimbang, homeostasis, maka yang terpancar adalah aura berwarna putih.

Secara lebih teknis, konsep aura ini banyak dipelajari oleh pelaku-pelaku meditasi. Sistem kelistrikan dan energi tubuh itu dibagi menjadi generator-generator energi yang disebut sebagai cakra. Ada sekitar 365 cakra yang dikenal oleh kalangan meditasi. Tetapi hanya ada 7 cakra utama yang banyak dipelajari, dan terletak di sepanjang ubun-ubun turun ke arah tulang belakang, sampai ke tulang ekor.

Ke tujuh cakra utama itu dikenal sebagai Cakra Mahkota, letaknya di ubun-ubun, Cakra Tenggorok di leher, Cakra Jantung di sekitar jantung, Cakra Solar Pleksus ada di atas pusar, Cakra Seks ada di bawah pusar, dan Cakra Dasar di tulang ekor.

Cakra ini dipersepsi sebagai wilayah tubuh yang menjadi pusat pembangkitan energi. lni memang konsep Kedokteran Timur. Sebagaimana Tusuk Jarum. Bahwa titik-titik tertentu di dalam tubuh manusia memiliki kemampuan menghasilkan energi atau terkait dengan sistem energial secara holistik. Dan secara ilmiah, memang telah bisa dibuktikan adanya tegangan listrik antar titik-titik akupuntur dengan organ-organ tertentu di dalam tubuh manusia. Demikian pula dengan cakra.

Ke tujuh cakra utama itu secara empirik telah dibuktikan fungsi dan pengaruhnya. Meskipun masih perlu diteliti terus secara lebih mendalam. Di antaranya, cakra dasar adalah cakra yang disebut-sebut sangat berpengaruh pada munculnya warna merah pada aura seseorang.

Padahal sebagaimana kita ketahui, warna merah adalah warna yang menunjukkan sifat-sifat emosional, jiwa yang tertekan, ketergesa-gesaan, perhatian pada dunia fisik secara berlebihan, dan keberanian mengambil resiko. Maka berarti cakra dasar adalah cakra yang bertanggung jawab terhadap munculnya sifat-sifat tersebut.

Cakra kedua adalah cakra Seks. Cakra ini dikenal sebagai pusat munculnya warna jingga alias oranye. Disinilah pusat kreatifitas fisik. Warna jingga yang dominan menunjukkan sifat ketertarikan pada penampilan diri secara fisik. Baik diri sendiri maupun orang lain.
Orang yang memiliki warna jingga suka berdandan dan menjadi pusat perhatian. Ia senang bergaul dan bersifat hedonistik alias suka bersenang-senang.

Cakra ketiga disebut Cakra Solar pleksus, letaknya di atas pusar. Ia adalah pusat energi yang bertanggungjawab terhadap munculnya warna kuning. Warna ini menunjukkan sifat-sifat egoistik dan ambisi.

Orang yang memiliki warna kuning memiliki ambisi dan cita-cita kuat untuk menjadi penguasa. Energik dan cerdik. Tapi warna ini juga berkait erat dengan tingkat stress yang tinggi.

Cakra ke empat adalah Cakra Jantung, bertanggungjawab terhadap munculnya warna hijau. Di sini muncul getaran-getaran halus yang berkait dengan sifat-sifat lemah lembut. Rasa empati dan kasih sayang, muncul dari generator energi di sini.

Cakra ke lima adalah Cakra Tenggorokan. lnilah cakra penghasil warna biru. Jika cakra ini aktif, maka tubuh kita akan didominasi warna biru. Warna ini erat kaitannya dengan keilmuan dan rasionatitas. Perlumbuhan dan progresifitas. Keinginan mencari realitas hakikat. Makna hidup.

Cakra ke enam berada di kening. Sering disebut sebagai Cakra Mata Ketiga. Generator energi ini menghasilkan warna nila. Ia menggambarkan munculnya intuisi dan spiritualitas pada pemilik aura tersebut. Ia semakin tertarik kepada realitas-realitas di 'dunia dalam'. Inner cosmos. Hal-hal gaib.

Cakra ke tujuh berada di ubun-ubun, menghasilkan warna ungu. Warna ini menunjukkan intensitas spiritualitas yang tinggi. Perhatiamya kepada hal-hal yang bersifat duniawi sangat rendah. Ia lebih tertarik kepada meditasi, tafakur, berdzikir, menyendiri, mencari hubungan dengan Tuhan, dan hal-hal yang bersifat spiritual.

Warna ini sering juga muncul pada para seniman yang sedang asyik menuangkan karya-karyanya. Atau pada para ilmuwan yang sedang asyik meneliti rahasia alam. Membuka tabir keilmuan semesta.

Ketika membaca berbagai literatur tentang aura, saya sempat membandingkan dengan ilmu kedokteran Barat. Terutama yang berkaitan dengan sistem saraf dan sistem endokrin alias sistem hormonal. Saya melihat ada korelasinya. Meskipun masih perlu terus diperdalam.

Posisi ke tujuh cakra itu ternyata terkait erat dengan beberapa kelenjar hormonal yang ada di tubuh. Sebagai contoh, Cakra Mahkota. Di sekitar cakra ini ternyata ada Kelenjar Pineal yang berfungsi mengatur kondisi sadar dan tidaknya seseorang.

Kelenjar ini menghasilkan hormon yang disebut melatonin. Jika hormon ini ditepaskan ke seluruh tubuh, maka orang tersebut akan mengalami rasa tenang, kemudian mengantuk dan akhirnya tertidur.

Saya jadi teringat dengan suatu ayat yang menyinggung tentang fungsi jiwa. Ayat itu memberikan gambaran bahwa Allah-lah yang mengendalikan jiwa seseorang ketika mati atau tidurnya. Saya sangat 'mencurigai', letak jiwa itu ada di balik otak.

Yang menjadi point saya pada kesempatan kali ini adalah, bahwa Cakra Mahkota yang bertanggung jawab atas munculnya mekanisme spiritual itu ternyata sesuai dengan fungsi Kelenjar pineal yang menghasilkan hormon pengatur ketenangan, yaitu melatonin. Coba cermati ayat-ayat berikut ini.

QS. Az Zumar (39) : 42
Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiamya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.

QS. Al Anfaal (8) : 11
(Ingatlah ), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penentraman daripadaNya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syaitan don untuk menguatkan hatimu dan memperteguh dengamya telapak kaki (mu).

QS. Ar Ra'd (13) : 28
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.

Ketiga ayat tersebut memberikan gambaran yang saling melengkapi. Di ayat pertama, Allah mengatakan, Dialah yang menahan jiwa seseorang di waktu tidurnya. Hal ini erat kaitanya dengan penjelasan saya tentang posisi jiwa yang berada di balik otak

Ayat kedua, menjelaskan bahwa orang yang sedang mengantuk dan berproses menuju kondisi tertidur, dia akan mengalami situasi tenteram. Inilah yang saya jelaskan di bagian sebelum ini, bahwa orang tersebut memasuki wilayah gelombang Alfa. Frekuensi otaknya bergetar antara 8-13 Hz. Dalam kondisi ini, perhatian ke dunia luar akan menurun. Cenderung memasuki dunia di dalam dirinya sendiri. Inner cosmos. Kalau diukur lewat aura, dia akan memancarkan warna ungu.

Dan pada ayat ke tiga, Allah menjelaskan bahwa orang-orang yang berdzikir hatinya akan menuju pada ketenteraman. Dan kalau diukur dengan kamera aura pun, akan memancarkan warna ungu. Meskipun, kalau dzikir itu diteruskan, akan menghasilkan warna putih.

Jadi kita melihat korelasi yang jelas di sini. Bahwa orang yang berdzikir akan menghasilkan ketenteraman karena dzikirnya itu menstimulasi kelenjar pineal. Hasilnya, adalah terlepasnya hormon melatonin yang memunculkan ketenteraman pada orang tersebut. Inilah agaknya alasannya, kenapa Cakra mahkota disebut sebagai Cakra spiritual. Cakra Ketuhanan.

Mekanisme ini juga terjadi pada orang-orang yang bermeditasi. Orang-orang yang berdo'a. Dan orang-orang yang shalat. Akan tetapi, khusus orang yang dzikirnya khusyuk hanya kepada Allah SWT ternyata warna ungu itu masih bergerak lebih tinggi menuju warna putih.

Ini menunjukkan mulai terjadinya keselarasan dalam jiwa orang itu. Seluruh generator energi di dalam tubuhnya bergetar seirama dalam keharmonisan. Sebab dia hanya berkomunikasi dengan Allah yang Tunggal saja. Tidak kemana-mana...

Cakra yang lain, misalnya yang berada di atas pusar. Yaitu Cakra Solar Pleksus. Cakra ini dipersepsi sebagai cakra yang bertanggung jawab terhadap munculnya warna kuning. Orangnya energik dan ambisius...

Secara medic, di wilayah ini ada dua kelenjar endokrin, yaitu Adrenal dan Pankreas. Kelenjar Adrenal melepaskan hormon adrenalin atau epinefrin, sedangkan Pankreas mengeluarkan insulin.

Kedua hormon ini memang sangat terkait dengan energi dan ambisi. Insulin adalah pemasok energi, karena dia mengendalikan kadar gula di dalam darah. Gula adalah bahan baku energi di dalam tubuh kita. Sedangkan, adrenal mengeluarkan hormon adrenalin yang terkait dengan pengaturan daya tahan tubuh, dan mekanisme stress.

Seseorang yang mengalami nervous atau stress, bakal memicu keluarnya epinefrin dari kelenjar ini. Sehingga, orang itu akan gemetaran, keluar keringat dingin, bahkan sampai terkencing-kencing. Atau, sebaliknya, dia bisa menjadi marah dan tidak terkontrol perilakunya...

Cakra Seks ternyata juga terkait dengan fungsi kelenjar reproduksi. Karena itu, jika cakra seks ini aktif, orang itu akan memiliki sifat-sifat yang berkaitan dengan keindahan fisik. Ketertarikan antar lawan jenis. Pesolek. Ingin jadi pusat perhatian. Dan suka bersenang-senang.

Jadi, sangat menarik untuk mengkaji aura. Karena ternyata, disini bisa dipertemukan berbagai macam analisa yang berasal dari berbagai disiplin ilmu. Ini menggambarkan betapa canggihnya sistem yang ada di dalam tubuh manusia. Dari mana pun kita mempelajari, kita akan kembali ke muara yang sama. Karena yang menciptakamya memang hanya DIA, 'Sosok Tunggal' : Allah Azza wajalla...

Maka, kini kita telah memperoleh pemahaman holistik tentang Aura. Sebuah pancaran energi yang keluar dari dalam diri manusia, yang bersumber dari getaran jiwanya.

Aura ini bisa menjadi tolak ukur bagi kualitas jiwa seseorang. Intinya adalah semakin kasar gelombangnya akan menghasilkan frekuensi rendah dan menghasilkan warna merah. Sebaliknya, semakin lembut gelombangnya akan menghasilkan frekuensi tinggi, bergeser ke warna ungu.

Jika seluruh warna itu bisa ditundukkan, diselaraskan dan diharmoniskan, maka kita akan bisa memancarkan warna putih. Gabungan dari seluruh warna pelangi aura itu...

Melembutkan Getaran

Selain berubah ke arah frekuensi tinggi, merah ke ungu, ternyata aura kita berubah ke arah gelap dan terang. Dalam berbagai pengamatan yang saya lakukan, saya memperoleh kesimpulan yang menarik tentang gelap dan terang ini.

Al Qur’an sendiri memberikan informasi yang banyak, tentang gelap dan terang. Dan justru sangat sedikit, tentang perbedaan warna pelangi aura. Warna-warna pelangi menunjukkan perbedaan frekuensi. Sedangkan gelap terang memberikan informasi kejernihan dari berbagai pengotor.

Warna-warna gelap diidentikkan dengan kekotoran dan kejahatan. Sedangkan warna-warna terang dipersepsi sebagai kemurnian dan kebaikan.

Sehingga Al Qur’an selalu menggunakan istitah cahaya yang terang benderang untuk orang-orang yang beriman serta berbuat kebaikan. Dan, gelap gulita untuk orang-orang kafir, munafik, dan banyak berbuat dosa.

QS. Al Hadiid (57) : 12
(yaitu) pada hari ketika kamu melihat orang mu'min laki-laki dan perempuan, sedang cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, (dikatakan kepada mereka): "Pada hari ini ada berita gembira untukmu, (yaitu) surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai yang kamu kekal di dalamnya. Itulah keberuntungan yang banyak.

QS. Yunus (10) : 27
Dan orang-orang yang mengerjakan kejahatan (mendapat) balasan yang setimpal dan mereka ditutupi kehinaan. Tidak ada bagi mereka seorang pelindung pun dari (azab) Allah, seakan-akan muka mereka ditutupi dengan kepingan-kepingan malam yang gelap gulita. Mereka itulah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

Dua ayat yang berbeda di atas memberikan gambaran dua kondisi yang berbalikan. Yang pertama mengatakan bahwa orang mukmin, pada hari kiamat nanti bakal memancarkan cahaya yang terang di wajahnya. Mereka memperoleh kabar gembira tentang surga.

Sedangkan orang-orang kafir digambarkan diliputi oleh 'cahaya' gelap gulita. Mereka banyak berbuat dosa. Dan bakal masuk ke dalam neraka. Kekal di dalamnya.

Kedua ayat tersebut sangat menarik, karena Allah secara langsung menggunakan idiom cahaya terang dan gelap untuk menggambarkan baik dan buruk. Dan pada praktiknya, memang itu terlihat pada aura seseorang.

Orang-orang yang wajahnya memancarkan cahaya terang memiliki sifat-sifat yang baik. Sebaliknya orang-orang yang memancarkan 'cahaya' gelap memiliki sifat-sifat buruk, jahat dan culas.

Lantas, bagaimana kita menjelaskan hubungan antara warna-warna pelangi dengan terang-gelap itu, berkait dengan aura seseorang? Mana yang lebih dominan dan mana yang substansial?

Di depan, telah saya jelaskan bahwa jiwa kita memancarkan dua macam frekuensi. Yang pertama adalah clock alias frekuensi pembawa. Dan yang kedua content atau isi informasi.

Fungsi clock itu adalah untuk menyelaraskan jiwa kita dengan frekuensi alam semesta. Dengan Arsy Allah. Kalau clock-nya selaras maka kita masuk ke dalam sistem informasi alam semesta. Ibarat orang bermain handphone, kita bisa masuk ke dalam jaringan pemancar. Sebaliknya kalau tidak nyambung, ibaratnya sedang berada di luar service area. Kita tidak bisa kontak dengan nomer yang kita tuju.

Nah, itulah yang disebut frekuensi clock. Dalam konteks Aura, kita akan semakin khusyuk dan gampang nyambung dengan Allah ketika frekuensi auranya meninggi. Mengarah ke warna ungu. Orang itu akan semakin gampang berkomunikasi dengan Allah. Sebab pada saat itu jiwanya sedang melembut. Sedang memasuki inner cosmos. Sedang kontemplatif dan transenden.

Sebaliknya, jika sedang merah, jiwa orang itu sedang bergejolak. Sedang menggebu-gebu, atau tertekan, dan cenderung kasar. Dia sedang berada di outer cosmos. Dan terikat pada dunia fisik.

Inilah yang telah kita bahas di depan. Bahwa, warna-warna aura bisa digunakan untuk mengukur tingkat kekhusyukan. Aura merah, frekuensinya rendah, tidak khusyuk atau sulit untuk khusyuk. Sedangkan aura ungu, menunjukkan khusyuk atau gampang untuk menjadi khusyuk.

Akan tetapi, ada frekuensi lain yang berkait dengan content alias isi hubungan kita dengan Allah itu. Inilah yang berkait dengan baik dan buruk, benar dan salah. Kualitas keimanan. Dalam bahasa Al Qur’an adalah terang dan gelap. Dan memang, kita bisa melihat aura seseorang dari sisi brightnessnya. Dari kecerlangamya.

Semakin terang auranya, semakin baiklah dia. Kata Al Qur’an: terang benderang. Nah, inilah yang harus kita tuju. Sebaliknya, semakin gelap auranya, semakin jahat pula dia. Ini yang harus kita hindari jauh-jauh.

QS. An Nisaa' (4) : 174
Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu, dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al Qur’an).

QS. Al Maidah (5) : 16
Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaamya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus

Orang yang beraura gelap sedang terperangkap oleh setan. Dipimpin olehnya. Dan dijerumuskan. Setelah itu, ditinggal pergi. Begitulah kerjaan setan, yang tidak bertanggung jawab. Sedangkan orang-orang yang beriman dibimbing Allah menuju jalan keimanan yang terang benderang. Allah menjadi pelindungnya. Dan akan selalu mendampinginya dalam segala permasalahan yang sedang dihadapinya. Memberi jalan keluar yang terbaik.

QS. Al Bagarah (2) : 257
Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya. Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan. Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

QS. Al Anfaal (8) : 48
Dan ketika syaitan menjadikan mereka memandang baik pekerjaan mereka dan mengatakan: "Tidak ada seorang manusiapun yang dapat menang terhadap kamu pada hari ini, dan sesungguhnya saya ini adalah pelindungmu". Maka tatkala kedua pasukan itu telah dapat saling lihat melihat (berhadapan), syaitan itu balik ke belakang seraya berkata: "Sesungguhnya saya berlepas diri daripada kamu; sesungguhnya saya dapat melihat apa yang kamu sekalian tidak dapat melihat; sesungguhnya saya takut kepada Allah". Dan Allah sangat keras siksa-Nya.

Dari berbagai kasus pengamatan aura, saya memperoleh data-data menarik sepular kecemerlangan aura ini. Mereka yang sedang bermasalah, selalu menampilkan warna-warna gelap. Jika merah, merahnya gelap. Jika kuning, kuningnya juga gelap. Bahkan, jika ungu, ungunya pun berwarna gelap.

Jadi, jangan merasa senang dulu dengan warna berfrekuensi tinggi. Karena, itu baru bersifat potensi kekhusyukan. Belum mengambarkan substansi kebaikan. Kebaikan digambarkan oleh Aura jernih yang terang benderang.

Aura merah gelap, selain menggambarkan sifat merah yang menggebu dan emosional, gelapnya bisa berarti orang itu pendendam dan serakah. Sebaliknya, jika warna merahnya cerah, ia bisa bermakna kekuatan, kegembiraan, keberanian. Bahkan bisa berarti keramah-tamahan atau cinta murni, yang ditunjukkan oleh warna merah muda.

Aura jingga gelap, juga bermakna kurang baik. la bisa berarti ketidakmampuan mengendalikan emosi, atau memanjakan diri secara berlebihan. Sebaliknya, jingga cerah dan jernih, bisa bermakna suka kerapian, bersosialisasi dan terbuka.

Kuning gelap menggambarkan ketidak-jujuran. Akal dan kecerdikannya mengarah kepada tipu muslihat. Kuning keruh dan kabur, bermakna kemalasan. Tapi sebaliknya, orang-orang yang beraura kuning jernih, memiliki sifat-sifat intelektual dan penuh pertimbangan. Bahkan kuning yang sangat cerah dan jernih mengarah kepada logika spiritual yang bagus.

Hijau gelap bermakna kecemburuan. Jika bercampur keruh, bermakna iri, dengki, tidak jujur, dan khianat. Sedangkan hijau cerah dan jernih mengarah kepada kasih sayang, belas kasihan, humanistik, dan penuh simpati kepada orang lain. Orang yang memiliki warna hijau keabu-abuan bersifat suka berkhayal, atau sedang dalam suasana depresi mental.

Biru gelap dan muram bermakna penyesalan mendalam. Biru terang berarti kesetiaan, pengabdian, imajinatif, Idealisme, kecerdasan dan kebijaksanaan.

Nila gelap tidak peduli kepada sesama. Introvert alias tertutup. Sedangkan nila terang menggambarkan kepedulian yang tinggi, tanggungjawab, kesadaran spiritual.

Ungu gelap bisa berarti dalam kondisi lemah dan sedang menjurus ke kondisi sakit. Atau bisa juga bermakna angkuh dan ceremonial. Ungu cerah menggambarkan perikemanusiaan, kebangkitan spiritual, intuitif.

Sedangkan warna putih menggambarkan sifat-sifat perfeksionis, kemanusiaan, keselarasan, idealisme tinggi, kesempurnaan dan kesadaran spiritual yang mendalam.

Apalagi jika warna putihnya menjurus ke jernih, ia menunjukkan pada kesempurnaan spiritual. Sebagaimana selalu digambarkan pada tokoh-tokoh spiritual atau keagamaan. Ada lingkaran cahaya di sekitar wajah yang disebut sebagai 'halo'.

Jadi, kini kita telah memahami makna warna-warna aura dalam dua dimensi. Yaitu dimensi peningkatan frekuensi, bermakna potensi mencapai kekhusyukan untuk berkomunikasi dengan Allah. Dan, yang kedua adalah dimensi kecerlangan cahaya yang bermakna pada kualitas baik-buruk. Atau tinggi rendahnya tingkat keimanan seseorang.

Dalam praktek dzikir, warna-warna aura hampir selalu bergerak ke arah ungu terlebih dahulu sampai tercapai kekhusyukan. Setelah itu, warnanya menjadi semakin terang ke arah putih jernih.

Atau, tak jarang, terjadi secara simultan. Warnanya berubah dari merah ke ungu, tapi sekaligus semakin jernih. Misalnya, dia bergerak ke arah merah terang, kuning terang, hijau terang, biru terang dan ungu terang, sampai memuncak di putih terang...

QS. Ali Imran (3) : 106-107
pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): "Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu".
Adapun orang-orang yang putih berseri mukanya, maka mereka berada dalam rahmat Allah (surga); mereka kekal di dalamnya.