Saturday, March 10, 2007

01. Y&Z - Prolog

Tuhan, biarkanlah sekuncup mawar harapan mekar dan taman-taman abadi, demi merahmati tamanku dengan senyum dan harumnya yang membawa perasaanku kepada kebahagiaan.

Dalam kediaman penderitaan yang tak berkesudahan ini, biarkanlah kiranya aku selalu ingat akan rahmat-Mu. Tak adalah sesuatu dalam hatiku selain syukur kepadaMu, tiada kerja bagi lidahku kecuali mengucapkan pujian kepada-Mu.

Engkau telah membuat hatiku bak rumah perbendaharaan dan permata kata bagi lidah untuk memilih. Pisahkanlah hingga terbuka kantong kesturi dari kepandaianku, dan sebarkanlah harumnya dari timur ke barat. Berikan kepada pena bambuku manisnya batang tebu. Harumilah dengan wewangian, buku yang mulai kutulis ini. Karena ini adalah tema yang masih harus disempurnakan, selain judulnya, tak ada yang tertinggal dalam ceritanya. Di kedai ini, di mana amat banyak riwayat indah dinyanyikan, tak dapat aku dengar suatu gema pun dari melodi ini. Teman-temanku telah minum sepuasnya dan telah pergi tanpa meninggalkan apa pun kecuali kendi-kendinya yang kosong, tidak aku lihat yang matang dan pesta pora mentah ini, yang memegang sebuah mangkuk dan anggur ini dalam tangannya. Mereka telah meninggalkan kita tanpa kendi, tanpa mangkok, tanpa Saki, tak ada selain kesedihan yang kini tertinggal.

Tetapi, berbesar hatilah! Janganlah kehilangan percaya diri! Apakah itu sampan makanan atau anggur yang paling jernih, bawa kemari minumanmu! Betapa menakjubkan Yang Maha Kuasa, Kekal dan Bijaksana, Yang memberikan kepada makhluk-makhluk lemah segala kekuatan-Nya! Ialah yang menolong mengangkat manusia ke cita-cita tinggi, dan oleh-Nya orang-orang tamak direndahkan. Ia sangat pemurah kepada si munafik tua yang saleh dan si pemabuk dengan minumannya. Ia sahabat orang yang terus berjaga sepanjang malam, dan orang yang bekerja sepanjang hari.

Alangkah manis rasanya di mulut orang yang mengakui terima kasihnya kepada-Nya. Bukanlah kepada diri kita sendiri kita berhutang keberadaan kita, hanya Dia-lah pemberi semua keberadaan dan ketidakberadaan.

Hakikat-Nya terpisah dari sifat, jumlah, dan atribut yang setengah-setengah. Pikiran tercengang di hadapan hakikat-Nya. Apabila dalam belas kasih-Nya, Dia tidak mendekati kita, jarak kita dengan-Nya hanya mungkin bertambah. Maka sebaiknya bagi kita, sebagai bongkah hawa nafsu, untuk membersihkan karat nafsu dari cermin kita, untuk melupakan keberadaan kita, dan selanjutnya berlutut diam-diam.

***

Berapa lama, wahai jiwaku yang kekanak-kanakan, engkau akan bermain dengan kue lumpur di tempat kediaman berpenampilan sia-sia ini? Engkau, seekor burung sombong, yang diangkat dengan tangan dalam suatu sangkak di balik dunia rendah ini, mengapa engkau telah meninggalkan sangkakmu sendiri untuk menjadi si punguk rendah yang menghantui reruntuhan ini?

Berapa lama engkau akan memberi kendali bebas kepada keraguan, dan mengatakan, sebagaimana yang mula-mula dilakukan Ibrahim pada setiap bintang yang baru dilihatnya, "Inilah Tuhanku."(QS. 6:76) Seperti sahabat Tuhan itu, ketuklah pintu kepastian, dan katakanlah, "Aku tidak mencitai yang terbenam." Buanglah ilusi dan keraguan dan hatimu, dan palingkanlah wajahmu kepada Yang Satu. Dari setiap satu atom, suatu jalan menuju kepada-Nya dan merupakan bukti keberadaanNya. Apabila ada suatu gagasan di hati setiap makhluk berakal, ialah bahwa setiap lukisan ada pelukisnya. Dan karyanya, simpulkanlah penciptanya.

Pada saat yang tak terelakkan itu, ketika engkau menghembuskan napas terakhirmu, nasibmu bergantung kepada Dia saja, maka jadikanlah Dia tujuan tunggal aspirasimu, dan carilah dari-Nya buah hasil kerjamu: kebahagiaan abadi!

***

Tuhan, kami tak mengetahui tentang kehidupan maupun ngerinya kematian. Mula-mula Engkau jadikan kami melintas dari tak ada menjadi ada dan memenjarakan kami dalam lempung, kemudian Engkau keluarkan kami dari kelemahan kepada kekuatan, dan akhirnya dari ketidaktahuan kepada pengetahuan.

Kami tak dapat membedakan antara yang baik dan buruk, kadang berbuat dosa melalui kelebihan-kelebihan, kadang karena tidak melakukan sesuatu. Kami tidak berjalan pada perintah-Mu, tetapi melangkah pada jalan yang Engkau larang. Tetapi tidak juga Engkau menarik rahmat-Mu dari kami, dan tak pernah menyembunyikan dari kami cahaya petunjuk. Tetapi, apa gunanya, karena kami sendiri tidak berusaha!

Karena kelalaian kamilah, maka sekarang kami berteriak dalam kesusahan, anugerahilah kami daya kehendak untuk melakukan usaha. Kami melihat si bijak menyerah kepada si jahil: maka apa bedanya antara kebijaksanaan dan kejahilan? Janganlah membiarkan perpecahan busuk dari keserakahan itu menyesatkan kami dari jalan sulit kebajikan. Di sini keluhan pedih kami, dan dalam rahmat-Mu, bersihkanlah kiranya sebuah jalan bagi kami. Panggilah kami kepada-Mu dan tuntunlah kami kepada iman. Demikianlah kemurahan-Mu, Engkau menerima baktiku, dalam bersujud di hadapan-Mu, aku dimuliakan. Sekalipun dosa-dosaku tak dapat dihitung, kebaikan-Mu seribu kali melimpah, sekiranya di sana ada berkas tak terhitung dari dosaku. Engkau dapat membakar semuanya dengan panasnya keluhanku, apabila diperlukan seratus buku untuk mencatat perbuatan durhakaku, Engkau dapat mencucinya dengan air mataku.

Tak seorang pun pernah menderita di jalan keimanan yang tidak mendapatkan obat untuk sakitnya. Biarlah obat bagi sakitnya Jami adalah sakit itu sendiri: jadikanlah obatnya adalah hatinya yang selalu bersedih itu sendiri.

***

Setiap makhluk dihiasi dengan atribut-atribut kecantikan dan cinta adalah burung yang telah terbang dari sangkak kesatuan dan bertengger di cabang penampilan dan keanekaragaman. Dan itu kecerlangan megah si kekasih, dan dari itu pula ratapan sedih si pecinta.

Dalam kekosongan itu, hampa dari segala jejak keberadaan, di mana alam semesta tersembunyi dalam lipatan-lipatan ketiadaan, di sana ada suatu wujud, kosong dari kegandaan, untuk siapa kata "aku" dan "engkau" tak bermakna apa-apa. Keindahan mutlak, bebas dari segala ikatan penampilan, hanya terwujud pada diri-Nya sendiri, berkat cahaya-Nya sendiri. Laksana seorang perempuan cantik dalam rahasia kamar pengantinnya, jubahnya murni dari ketidaksempurnaan sekecil apa pun. Tak ada cermin yang pernah memantulkan wajah-Nya, tak ada mata yang pernah menatap-Nya, sekalipun dalam khayalan. Ia menyanyikan pada dirinya sendiri nyanyian-nyanyian merdu dari keindahan yang mempesona hati, dan memainkan permainan cinta dalam dirinya sendiri.

Tetapi adalah suatu asas keindahan bahwa suatu wajah cantik tak dapat tetap tersimpan di balik tirai, tak mungkin tetap dalam kesederhanaan, dan apabila engkau menutup pintu atasnya, ia hanya muncul di jendela. Seperti engkau sendiri mengetahuinya, apabila suatu gagasan yang langka dan menakjubkan timbul dalam pikiranmu, engkau terpikat dengannya dan harus mengungkapkannya dalam ucapan atau tulisan. Ini selalu telah menjadi dorongan alami sejak ia pertama muncul dalam keindahan azali.

Ketika keindahan abadi merasakan dorongan ini dan muncul dari wilayah suci untuk bersinar pada semua cakrawala dan seluruh jiwa, di mana saja ia mengungkapkan pantulannya, desas-desus tentang itu segera berada di bibir setiap orang. Satu percikan darinya memancar dan menerangi langit dan bumi. Para malaikat tersilau olehnya, dan menyanyikan pujian-pujiannya sampai ke titik kebingungan. Dari para penyelam kedalaman samudera langit muncul seruan, "Terpujilah Tuhan."

Semua atom dari alam semesta ini menjadi demikian banyak cermin, masing-masing memantulkan suatu segi dari kecerlangan abadi itu. Sebagian dari cahaya itu menimpa mawar, yang mendorong si punguk menjadi gila oleh cinta. Kegairahannya menyalakan pipi lilin, dan ratusan anai-anai datang dari setiap penjuru serta membakar diri atasnya. Ia membuat matahari menyala, dan membuat bunga teratai muncul dari kedalaman. Laila berhutang mimpi kepadanya, sehingga hati Majnun terbangkit oleh setiap helai rambutnya. Ia memberikan kemanisan kepada bibir Syirin yang demikian memikat Parviz dan Farhad. dan melalui Yusuf, si bulan dari Kanaan, ia menantang dan menaklukan jiwa Zulaikha.

Demikianlah keindahan yang gairahnya di mana-mana, dan karenanya para kekasih ditabiri dari penglihatan. Bila saja engkau melihat suatu tirai, di situlah sesuatu sedang disembunyikan: itulah yang menyebabkan setiap hati yang tertawan bergetar. Kecintaan kepada keindahan itulah yang menghidupkan hati dan mengisi jiwa dengan pesona. Dengan sadar atau tidak, setiap hati yang memiliki cinta, mesti sedang bercinta dengannya saja.

Dan janganlah membuat kekeliruan besar, dengan mengkhayalkan bahwa apabila keindahan memancar dari sana, maka cinta berasal di sini dalam diri kita sendiri. Keindahan dan cinta bukanlah derajat yang sama tinggi: apabila cinta mewujudkan dirinya pada dirimu, ia bersumber dari keindahan. Engkau hanyalah cermin dari keindahan yang dipantulkan. Karena keindahan maupun pantulannya sama-sama dari satu sumber, keduanya merupakan perbendaharaan dari rumah perbendaharaan.

Tetapi engkau dan aku tak ada urusannya di sini, ini tak lain dari tipu daya lancang. Baiklah kita berdiam diri, karena cerita ini tidak berkesudahan dan tak ada bahasa maupun penyair yang setanding dengannya. Maka lebih baik bagi kita sekadar terlibat dalam cinta, karena tanpa cinta kita bukanlah apa-apa, sama sekali bukan apa-apa!

***

Hati yang bebas dari sakit cinta bukanlah hati sama sekali, tubuh yang kehilangan cinta tak lain dari lempung dan air. Berpalinglah dari dunia kepada wilayah cinta yang sangat menyenangkan. Jangan biarkan hati luput dari siksaan cinta yang manis! Putaran roda apa yang memusingkan selain kepeningan cinta? Dan mana datangnya bencana gejolak dunia apabila bukan dari gejolak cinta?

Apabila engkau hendak bebas, jadilah tawanan cinta! Apabila engkau menginginkan kegembiraan, bukalah hatimu bagi penderitan cinta. Dan anggur cinta datang kehangatan dan pesona, tanpa itu hanya ada kesusahan dan keakuan dingin. Ingatan kepada cinta menyegarkan hati si pecinta, dan kejayaan datang kepada dia yang menjayakannya. Apabila Majnun tidak minum anggur dari mangkoknya, apakah yang membuatnya menjadi terkenal di dunia ini dan di dunia kemudian? Ribuan orang yang berbakat cemerlang, tetapi asing terhadap cinta, telah lenyap tanpa meninggalkan riwayat atau peninggalan yang mengabadikan namanya. Engkau boleh mencoba seratus hal, tetapi hanya cinta yang akan membebaskan engkau dari dirimu sendiri. Maka janganlah melarikan diri dari cinta—jangan, sekalipun dari cinta dalam samaran duniawi—karena ia merupakan persiapan bagi kebenaran tertinggi. Bagaimana engkau akan membaca Al-Qur'an tanpa mempelajari abjad? Aku dengar kisah seorang pencari yang pergi kepada seorang arif meminta petunjuk jalan sufi. Orang arif tua itu berkata kepadanya, "Apabila engkau belum pernah menginjak jalan cinta, pergilah dan jatuh cintalah, Kemudian kembalilah menemui kami."

Tanpa mula-mula minum anggur dari mangkok penampilan, engkau tak akan pernah merasakan kehausan akan minuman sufi. Tetapi jangan berlama-lama dalam kediaman penampilan, seberangilah jembatan itu cepat-cepat apabila engkau hendak mencapai tujuan tertinggi.

Aku bersyukur kepada Tuhan bahwa sejak saat aku tiba di dunia, aku telah selalu mengikuti jalan cinta dengan bersemangat. Segera setelah aku lahir, ibuku menyusukan aku dengan cinta. Dan sekarang, setelah rambutku seputih susu itu, aku masih memelihara dalam kedalaman hatiku rasa lezat susu cinta itu. Tak ada sesuatu—dalam usia lanjut atau muda—yang dapat dibandingkan dengan cinta. Dan setiap saat cinta memohon dengan sungguh-sungguh kepadaku,
"Jami, engkau telah menjadi tua dalam cinta, semoga engkau bertahan dan meninggal dengan sungguh-sungguh dalam cinta, tetapi pertama-tama, tuliskanlah suatu cerita tentang permainan cinta, sehingga dapat terpelihara satu jejak dari dirimu sendiri di dunia. Gambarkanlah dengan pena halusmu suatu lukisan yang akan tinggal setelah engkau pergi."

Dengan gembira aku sambut tantangan cinta kepada pikiranku. Segera aku ambil taruhan itu dan memberikan suatu bentuk baru kepada cerita lama yang memikat ini.

Dengan rahmat Tuhan aku berharap kiranya pohon kurmaku akan berbuah kebenaran, dan terilhami oleh bakaran-bakaran yang telah diciptakan oleh cinta kepadaku, akan kuciptakan sebuah karya yang kehalusan syair akan membakar khayal orang yang paling berpikir, sehingga api dirinya menaklukan angkasa dan membawa air mata kepada mata binatang sekalipun, dan agar aku boleh membawa kebanggaan semacam itu pada seni bicara, sehingga langit sendiri akan menyambutku dengan gembira karenanya.

***

Melihat kekuasaan Ilahi yang tinggal dalam ucapan, betapa aku akan menahan diri dari memanfaatkannya? Aku telah menjadi tua karena menyibukkan diri dengan anggur ini, sekarang akan kujadikan urusanku mengebaskan usia tua dan memberikan angin kepada rahasia-rahasia hatiku. Mulutku akan dihiasi dengan kata-kata semanis madu, bila aku bercerita tentang keindahan Yusuf dan nafsu Zulaikha.

Tuhan sendiri menamakannya "cerita yang paling indah."(QS. 12:3) Tak pernah ada seorang kekasih yang dapat dibandingkan dengan Yusuf, yang keindahannya melebihi semua orang, bila kita hendak menggambarkan seorang pemuda yang tampan luar biasa, kita menamakannya "Yusuf dan Zulaikha". Di antara para pecinta tak ada yang dapat disamakan dengan Zulaikha, yang gairah nafsunya sangat khas. Ia menyintai sejak kanak-kanak hingga usia tua, dalam keadaan sangat berkuasa dan dalam keadaan papa sama sekali. Tak pernah ia berhenti mengabdikan diri pada cinta: ia lahir, hidup dan mati dalam cinta.

02. Y&Z - Masa Kecil Yusuf

Dalam riwayat mereka tentang asal-usul dunia, para penafsir wahyu Ilahi—para penimbang mutiara dari samudera rohani—mengatakan kepada kita bahwa ketika mata Adam terbuka pada cahaya, Tuhan membuat semua keturunannya muncul di hadapan-Nya, semua berjajar sesuai dengan martabat mereka: para nabi, wali, raja dan manusia biasa.

Adam melemparkan pandangannya ke seluruh manusia yang amat banyak itu, dan menguji setiap kategori dan masing-masing makhluk manusia secara bergiliran. Tak lama kemudian perhatiannya tertarik kepada Yusuf, bagai bulan dan laksana matahari di puncak kejayaan dan kecerlangannya. Ia muncul dari kerumunannya itu sebagai obor, dan di hadapan keindahannya semua keindahan orang lain lenyap, bak cahaya bintang yang padam terkena sinar matahari.

Dengan merasa takjub atas kecerlangan itu, Adam bertanya, "Tuhan, di taman bunga mana muncul semak itu? Mata cemerlang siapa yang akan diizinkan menatapnya? Bagaimana ia datang untuk menikmati keberuntungan gemilang ini? Dan mana datangnya keindahan dan kemegahan itu?"

Suatu suara menjawab, "Ia adalah cahaya matamu dan akan memulihkan kegembiraan pada hatimu yang menderita. Ini adalah tumbuhan dari taman Ya'qub, kijang di padang Ibrahim. Keindahan wajahnya adalah sesuatu yang paling indah. Ia memegang cermin ke wajahmu: berilah dia hadiah dari perbendaharaanmu."

Adam menjawab, "Lihatlah! Aku bukakan di hadapannya pintu-pintu kemurahan hati, dan dari semua keindahan yang ditakdirkan bagi manusia, kuberikan dua pertiga kepadanya."

Bagaikan mawar, hati Adam berbunga karena gembira, dan bagai seekor punguk yang bernyanyi untuk sekuntum mawar, ia menyerukan berkah samawi atas keturunannya.

***

Dalam orkestra besar yang dibaktikan kepada pemujaan lahiriah, masing-masing mempunyai giliran untuk menabuh genderang kehidupan. Kebenaran diungkapkan kepada umat manusia di setiap zaman, dan satu orang besar menyebarkan cahayanya ke seluruh dunia. Apabila pola alam semesta tak terganggu, maka banyak rahasia agung akan tersembunyi untuk selamanya. Apabila matahari tak menghilang dari angkasa, keindahan gemerlap bintang tak akan pernah dipamerkan, apabila musim salju tidak menjarahi lapangan hijau, musim semi tidak akan membawa senyuman kepada bibir mawar.

Ketika Adam meninggalkan kuil ini, tempatnya di mihrab diambil oleh Seth. Ketika Seth tak ada lagi, datang giliran Idris untuk menyampaikan kebenaran suci di kediaman tipuan ini. Ketika Idris ke surga, jatuhlah kepada Nuh tugas mengawal tradisi suci itu. Setelah Nuh tenggelam dalam air bah kematian, tempatnya diambil oleh Ibrahim, Sahabat Allah (Khalilullah). Dan dia jubah itu beralih kepada Ishaq, dan ketika Ishaq pun kembali kepada debu, ia digantikan oleh Ya'qub, yang dari gunung tuntunan melemparkan tantangannya kepada umat manusia.

Panji-panji Ya'qub berkibar dari perbatasan Suriah sampai ke Kanaan. Di sinilah ia mendirikan rumah tangganya, keluarga dan miliknya berlipat ganda, ternaknya melebihi bilangan semut dan belalang.

Selain Yusuf, ia mempunyai sebelas anak laki-laki, tetapi hanya Yusuf yang menembus hatinya. Ketika ia meninggalkan dada ibunya, ia menjadi kuat laksana bulan di langit. Ia adalah tangkai yang berkembang dari taman hati, bulan sabit yang menunggang di langit jiwa. Ia adalah sekuntum mawar di taman Ibrahim, atau bahkan sebentuk kuncup yang terlipat ketat di dalam jubah. Ia sekaligus luka dan obat penawar bagi hati ayahnya.

Selama ibunya hidup, ia membasahi bibir Yusuf dengan air susunya, tetapi ia hanya memeluknya selama dua tahun ketika ajal yang ditentukan kepada perempuan malang itu membawanya kepada maut, dan si yatim yang penuh air mata, si mutiara tak ternilai dari laut kemurahan ini, ditinggalkan.

Karena sedih melihat keadaan mutiara yang ditinggalkan ibunya, Ya'qub pun memberikan kepadanya sebuah kerang baru dalam pangkuan saudara perempuannya. Bibi yang baik ini mengasuh dan membesarkan burung kecil yang amat berharga ini, yang tumbuh dengan gembira dalam kekuatan tubuhnya, belajar berjalan dan berkata-kata dengan anggun dan indah. Perempuan itu begitu sayang pada Yusuf sehingga ia tak pernah meninggalkannya; di malam hari ia tidur di sampingnya, demikian dekatnya, layaknya seperti jiwanya sendiri, di siang hari ia menjadi cahaya matahari di matanya.

Sekarang, ayahnya pun haus ingin melihat wajah Yusuf dan menghendakinya selalu berada di depan matanya. Maka ia pun mengirim pesan kepada saudara perempuannya untuk membiarkan anak itu datang kepadanya. Perempuan itu berlaku seakan-akan hendak memenuhi pesan Ya'qub, tetapi secara rahasia ia merekayasa suatu rancangan untuk mempertahankan anak yang dicintainya itu.

Dan Ishaq, perempuan itu telah menerima warisan berupa sabuk ajimat, yang telah melihat pembaktian yang bermanfaat di jalan Tuhan, barangsiapa memakainya akan terlindung dan setiap malapetaka. Tak lama sebelum Yusuf hendak pergi tinggal bersama ayahnya, secara rahasia ia mengikatkan sabuk itu di pinggang Yusuf. Yusuf baru saja hendak berangkat ketika perempuan itu berteriak bahwa sabuknya telah tercuri. Setiap orang yang ada harus digeledah bergiliran, dan ketika sampai kepada Yusuf, dengan tangkas ia membuka sabuk ajimat yang tercuri itu. Nah, menurut hukum kaum mukmin di masa itu, seseorang yang tertangkap basah ketika mencuri akan menjadi budak dan pemilik barang yang dicurinya. Maka, dengan siasat licik itu, Yusuf dikembalikan kepada bibinya. Perempuan itu membawanya pulang, dengan mata berbinar melihat wajah Yusuf.

Segera sesudah perempuan itu meninggal, Ya'qub akhirnya dapat memuaskan matanya pada anak kesayangannya itu. Yusuf membawa kedamaian kepada jiwanya dan cahaya kepada matanya.

Bagaimana aku dapat menggambarkan daya tarik remaja ini, yang lebih indah bahkan dan malaikat dan bidadari surga? Ia adalah bulan di cakrawala keanggunan yang bercahaya di dalam dan di luar. Bulan? Bukan, matahari yang bersinar! Tetapi bahkan matahari pun hanyalah suatu bayangan udara dan kemegahan sumber abadi, yang suci, cahaya tak bercela di atas segala pembatasan tentang "apa" dan "bagaimana".

Ya`qub menyimpan matahari itu di dalam hati, dan membuat suatu tempat baginya dalam hatinya sendiri. Walaupun demikian, Zulaikha yang cantik, hidup tersembunyi oleh tirai kesucian di negeri Barbari yang jauh, sebelum dia sampai sekilas melihat keindahan Yusuf yang bersinar, telah diperbudak oleh bayangan Yusuf yang muncul kepadanya dalam mimpi. Maka sungguh mengejutkan, karena cinta dapat membuatnya terasakan sejauh itu, sehingga ia mempengaruhi orang-orang yang ada di dekatnya.

03. Y&Z - Mimpi Zulaikha

Dengan menimbang-nimbang kata-kata mutiara dari gudang kefasihannya, sang penyair mengatakan kepada kita bahwa di barat hidup seorang raja yang makmur, berkuasa, dan termasyhur, yang bernama Taimus. Ia mempunyai seorang putri bernama Zulaikha, yang lebih dicintainya daripada siapa pun di dunia, Zulaikha adalah bintang yang paling cantik pada cakrawalanya, permata yang paling gemerlap dalam kekayaannya. Menangkap kecantikannya saja dalam ucapan dan tulisan seakan mustahil, dan apalagi yang dapat saya katakan pada emas dan permatanya?

Kadang-kadang ia berbaring acuh tak acuh pada bantal-bantal lembut dari sutra Cina yang anggun yang dirajut dengan perak dan emas. Kadang ia berpakaian jubah yang disulam dengan emas Suriah, dan berjalan dengan anggunnya di teras istana. Setiap pagi ia terlihat berpakaian baru, dan tak pernah dua kali ia memakai tudung kepala yang sama. Laksana bulan dalam suatu suasana baru setiap hari. Bahkan yang terhebat di dunia ini pun tak di izinkan mencium kakinya. Adalah suatu kehormatan yang sangat khusus bagi pakaiannya, hanya pakaian malamnya yang menikmati hak istimewa memeluk tubuhnya. Semua di sekitarnya terlihat begitu indah mempesona, seindah ramping dan tegapnya pohon cemara. Wajah-wajah polos dan kekanak-kanakan menantinya siang dan malam, hanya untuk melayaninya untuk bermain bersama.

Tak pernah hatinya tertekan oleh kesedihan yang paling kecil sekalipun, tak pernah ada duri yang sampai menggores kakinya. Tak pernah ia jatuh cinta, tak pemah pula ia menjadi kekasih seseorang, ia tak peduli akan nafsu seperti itu. Di malam hari ia tidur bagai bunga bakung yang berendam di air, di pagi hari ia membuka mata bagaikan kuncup yang tertawa. Sambil bermain dengan boneka kecilnya di halaman istana, ia melewati waktunya dalam bermain dan tertawa, sedikit menebak permainan yang akan dipermainkan langit dengannya. Ia menjalani hidupnya dalam kegembiraan, dengan hati yang bebas, tak pernah ia bertanya apa yang akan di bawa hari esok dan apa yang akan dilahirkan oleh malam berikutnya.

***

Pada suatu malam yang manis, manis bagaikan fajar kehidupan yang penuh dengan kegembiraan orang muda. Dalam istana itu, kehidupan yang sibuk telah menarik kakinya ke dalam pinggiran jubahnya, dan tak ada sesuatu yang bergerak melainkan hanya bintang-bintang. Dan yang membuka matanya, malam, layaknya pencuri, yang merampok segalanya dari para pengawal. Anjing-anjing melilitkan ekor ke lehernya, seakan untuk melengkingkan setiap lolongnya.

Tidur yang nyenyak memberati kelopak mata Zulaikha. Benang-benang sutra dari rambutnya yang terurai menjejakkan gambar-gambar pada pipinya yang merah. Mata yang melihat bentuk-bentuk benda tertutup dalam tidur, tetapi mata yang lain, mata hati, terbuka lebar, dan dengannya ia tiba-tiba melihat seorang pemuda atau tepatnya sebuah roh murni, suatu bayangan bersinar dan dunia cahaya, yang membuat gerhana para bidadari di taman keabadian.
Bentuknya tegap laksana pohon yang ramping, keanggunan sikapnya bahkan membuat cemara yang sombong merasa malu. Rambutnya terurai dalam ikal-ikal kalung adalah cukup untuk membelenggu nalar makhluk yang paling arif sekalipun. Matahari dan bulan membungkuk di hadapan sinar cahaya alisnya. Alis matanya bagaikan busur yang menembakkan anak panah kepada setiap hati. Bila tersenyum, giginya yang bak mutiara bercahaya di antara bibir delimanya, laksana sinar matahari yang hendak terbenam. Kekuatan tangannya bertentangan dengan kerampingan pinggangnya.

Serentak setelah bayangan itu muncul kepada Zulaikha, terjadilah apa yang harus terjadi, melihat manusia yang begitu indah melebihi semua manusia, yang tak dikenal bahkan dikalangan malaikat dan bidadari surga, ia jatuh cinta dengan sepenuh hatinya, dengan seratus hatinya! Bayangan dari bentuk yang tak terperikan itu tetap terukir dalam cinta telah tertanam dalam hatinya. Segala kesabaran dan imannya termakan oleh api di dadanya. Jiwanya tertawan pada setiap rambut yang wangi di kepala bayangan itu, pandangan alis matanya membuatnya mengeluh. Dikarenakan keindahan mulut dan giginya, hatinya yang keras meleleh bagaikan gula. Zulaikha pun tidur basah dalam genangan mutiara air mata yang muncul dari pelupuk matanya.

Tuhan, betapa hebat pandangan itu! Kemudian bayangan anggun itu pun lenyap, tetapi ia meninggalkan dampak yang terus mengganggu dalam pikiran Zulaikha. Ia lupa diri karena terkejut, tetapi ia berhenti sebelum mendapatkan makna yang sesungguhnya dari peristiwa itu. Sekiranya ia telah sadar akan maknanya yang lebih dalam, maka ia akan terhitung di kalangan orang yang telah bergabung di jalan kebenaran, tetapi karena tertawan oleh bentuk lahiriah, ia lupa akan kebenaran yang mendasarinya.

Kita semua seperti Zulaikha, budak dari penglihatan dan korban dari penampilan. Apabila kebenaran tidak mengintip keluar dari balik penampilan, betapa ketulusan hati akan mencapai bentuk penampilan itu sendiri? Bila seorang lelaki harus mencapai sebuah kendi, hal itu adalah karena ia tahu dengan pasti bahwa kendi itu berisi minuman, tetapi bila ia tenggelam dalam ombak samudera yang jernih, ia tidak lagi berpikir tentang kendi tak berlapis kaca yang sedang menangis itu.

***

Gagak hitam malam telah terbang, ayam jantan telah menghormati fajar, si punguk telah menyanyikan lagu merdunya kepada mawar, mengundangnya untuk membukakan kelopaknya. Melati telah mencuci mukanya dalam embun, dan tulip telah mencuci rambutnya yang wangi. Sementara itu, Zulaikha masih tertidur nyenyak dengan hati terpaling kepada altar malam sebelumnya. Tetapi itu bukan tidur yang nyenyak, hanya suatu keadaan tidak sadar yang tergila-gila oleh bayangan malamnya.

Ketika para pelayannya mencium tangan dan kakinya, ia membuka matanya yang mengantuk. Baju malamnya yang terbuka mengungkapkan terbitnya matahari. Ia mengangkat kepala dan melihat ke setiap arah, tetapi tak ada suatu tanda dari makhluk indah malam itu. Untuk sejenak, bagaikan kuncup bunga yang tersembunyi dalam kelopak, ia menguburkan wajah dalam pakaiannya, kemudian dalam kebingungannya ia hampir menyobeknya, laksana mawar yang membelah menjadi bunga, tetapi suatu perasaan sederhana menahannya.

Ia menyembunyikan rahasianya jauh dalam hatinya yang sedih, bagai permata delima yang terkubur dalam tambang hatinya yang berbatu. Ia menelan lagi darah hatinya, tanpa mengingkari sekelumit pun rahasia yang terjadi dalam dirinya. Bibirnya sibuk, mengobrol dengan dayang-dayangnya, sementara hatinya mengaduh dalam keluhan, lidahnya berbicara dengan mereka, sementara seribu lidah apinya membakar dadanya yang penuh nafsu. Matanya ada pada wajah orang lain tetapi semua perasaannya ada pada bayangan itu. Kendali hatinya berada di tangannya, tetapi di manakah hatinya? Ia ada di tempat si pemikat hati itu berada.

Setiap hati yang tertangkap dalam taring cinta akan dilumpuhkan seperti itu, seluruh hasratnya terpusat pada si sahabat, di antara orang lain tak ada kedamaian yang dapat diperoleh. Apabila ada kata-kata yang diucapkan, adalah itu tertuju kepada si kekasih. Apa pun tampak sebagai tujuannya, si kekasihlah yang dicari.

Beribu kali jiwa Zulaikha bagai hendak terbang, hingga akhirnya hari yang pedih itu menyerah kepada malam. Maka akhirnya datang juga sang malam, sahabat terpercaya oleh semua pecinta, melicinkan jalan bagi perburuan cinta. Para pecinta lebih menyukai malam daripada siang, karena malam menyingkapkan tirai-tirai rahasia yang disembunyikan oleh siang.

Maka, ketika gelap malam tiba, Zulaikha memalingkan wajahnya ke dinding kesedihan, dengan punggungnya terbungkuk bagai kecapi, lalu menyenandungkan melodi duka. Ia membayangkan si kekasih, dan menyebarkan permata di sekitarnya, dari bibir maupun matanya.

"Wahai permata suci!" Katanya, "Dari tambang manakah engkau berasal? Kau telah membawa pergi hatiku, tanpa mengatakan kepadaku siapa namamu ataupun dari mana datangmu, dan aku tak mengetahui ke mana akan bertanya. Aku tidak menghendaki siapa pun tertimpa cinta seperti ini, aku tidak memiliki hati dan tidak pula memiliki hasrat hatiku sendiri. Bayanganmu telah muncul padaku dan merampas tidurku, ia telah membuat air mata dan darah hatiku mengalir. Tubuhku yang tak terbawa tidur menjadi lesu, dan dadaku terbakar. Aduhai, tak dapatkah engkau memadamkan nyala ini? Mestikah engkau selalu laksana nyala api yang membara?"

"Dahulu aku adalah mawar di taman remaja, sesegar air kehidupan abadi, kepalaku tak pernah tertimpa hujan deras, kakiku tak pernah terluka oleh duri. Dan kini, sekilas pandanganmu telah menghempaskan diriku kepada angin dan menaburi tidurku dengan seribu duri."

Demikianlah sepanjang malam Zulaikha menyampaikan keluhannya kepada angin, begitulah selalu keadaannya siang dan malam.

***

Busur cinta menembakkan panahnya ke segala arah, dan mereka yang terbidik sedikit pun tak dapat mengelak darinya. Sekali panah itu mengenai sasaran hati, ia memberikan kehadirannya dengan segudang tanda dan makna. Betapa benar ucapan: hanya ada dua hal yang tak dapat disembunyikan, cinta dan kesturi. Dengan menyimpan cinta, Zulaikha telah menanamkan benih kesedihan dalam hatinya, merambat dan tumbuh ke permukaan dalam pandangan, meskipun dia tidak menghendakinya.

Terkadang ia menangis, dan setiap tetes air mata yang jatuh dari pelupuk matanya mengungkapkan rahasianya. Kadang itu merupakan keluh kesahnya yang timbul dari hatinya yang menyala laksana asap di langit. Pipinya dahulu merah mawar, sekarang bagaikan tulip kuning, karena ia kurang makan dan tidur.

Tanda-tanda itu terlihat oleh dayang-dayangnya, dan kecemasan nampak di wajah mereka, tetapi mereka tak dapat menemukan apa atau siapa yang menjadi penyebab keadaannya yang gelisah tersebut. Yang seorang mengatakan bahwa hal itu disebabkan oleh mata jahat, yang lainnya oleh sihir atau oleh setan dan iblis. Namun sebagian lain yakin bahwa ia terkena tanda pikatan cinta, dan karena Zulaikha tak pernah melihat seorang laki-laki dalam kehidupannya, mereka berpikir bahwa bencana ini tentulah akibat mimpi. Tetapi semua ini hanyalah dugaan belaka saja, sementara rahasia itu tetap tak terpecahkan.

Zulaikha mempunyai seorang ibu inang yang sangat mahir dalam urusan cinta, ia adalah seorang yang cakap, yang dapat menaklukan hati pecinta yang paling handal sekalipun. Pada suatu sore ia datang kepada Zulaikha, mencium bumi di hadapannya, dan mengingatkannya akan segala baktinya selama ini, siang dan malam, sejak saat ia dilahirkan dan sepanjang masa kanak-kanaknya.

"Zulaikha, bukankah sekarang masih seperti dahulu, saya masih pelayanmu yang setia, mengapa engkau menyimpan rahasia dariku, dan memperlakukan aku sebagai orang asing? Ayo katakanlah kepadaku siapakah yang memasukkanmu ke dalam keadaan semacam ini? Mengapa engkau berada dalam kebingungan dan kepedihan? Mengapa pipimu yang merah mawar sekarang menjadi kuning pucat? Mengapa matahari lesu seperti bulan dan hendak terbenam di tengah hari? Tetapi aku dapat melihat dengan pasti bahwa suatu bulan lain menyerangmu, katakanlah dengan jelas kepadaku siapakah dia. Apabila ia malaikat dari langit, yang hakikatnya terbuat dari cahaya yang suci, aku akan memanggilnya dengan puji-pujian dan doa untuk turun, apabila ia putra peri dari hutan dan gunung, maka kita akan memanggilnya dengan mantra-mantra. Dan apabila ia hanya seorang manusia, engkau akan segera beroleh kesenangan darinya, sekalipun bila ia tak ingin bersatu denganmu, engkau akan menjadi kekasihnya, bukan budaknya."

Zulaikha terpikat oleh kata-kata ramah inangnya, dan merasa bahwa ia tak dapat lagi menyembunyikan kebenaran darinya, dan dengan demikian, dengan wajahnya yang bagaikan bulan bertiraikan air mata, ia menjawab, "Sayangku! Kekayaan yang aku cari bukanlah sesuatu yang terlihat, dan kunci kepadanya tak dapat diperoleh. Betapa aku dapat mengatakan kepadamu tentang burung dari sangkak yang sama dengan rajawali. Setidaknya nama rajawali diketahui, tetapi aku tak mengetahui nama burungku."

Betapa bahagianya mengetahui nama hasrat hatimu, dan dengan mengulanginya, merasakannya di lidah! Akhirnya Zulaikha membuka rahasianya pada sang inang dan memberikan padanya pikiran tentang riwayat impian tidurnya, menceritakan semua ketidaktahuan kepada inangnya. Tetapi sekarang si inang tak berdaya untuk mendapatkan penyelesaian, karena mustahil mencari sesuatu yang sama sekali tidak diketahui. Betapa seseorang dapat mengejar suatu tujuan yang tak diketahui?

Karena tak mampu memuaskan Zulaikha, inang itu hanya berusaha menenangkannya, "Apa yang telah terjadi padamu adalah perbuatan setan-setan yang licik dan iri. Mereka mengirimkan bayangan-bayangan indah kepada manusia, semata-mata untuk mendorong orang menjadi gila karena hasrat."

Tetapi bagaimana setan dapat menciptakan suatu bentuk keindahan yang demikian memukau? Semoga dijauhkan Tuhan, bahwa suatu wujud yang dibentuk dalam kengerian dan dengki akan mungkin melahirkan malaikat seperti itu.

Itu tak lain dari tipuan impian, tak patut disedihkan." "Tetapi betapa impianku dianggap palsu, padahal aku sendiri jujur? Orang arif mengatakan kepada kita bahwa hanya orang benar yang dapat bertindak dalam kebenaran, sementara keburukan hanya lahir dari orang-orang yang bengkok."

"Ayolah sekarang! Engkau seorang gadis cerdas, usirlah khayalan mustahil itu dari pikiranmu!"
"Tetapi, apakah engkau berpikir bahwa aku dengan suka hati membiarkan diriku ditaklukkan oleh beban berat ini? Aku tak dapat lagi mengendalikan diriku, kendali kemauanku telah tergelincir dari tanganku. Bayangan yang memenuhi hatiku yang sakit lebih padat daripada ukiran pualam, yang tak dapat dihapus angin atau gelombang."

Ketika inang itu melihat kekuatan yang tak tergoyahkan dari cinta itu, ia menyerah untuk berusaha lagi memberikan nasihat. Secara rahasia ia pergi kepada ayah Zulaikha dan mengatakan kepadanya apa yang terjadi. Ia tercengang, tetapi karena ia tak mampu mendapatkan obat bagi situasi itu, ia terpaksa meninggalkannya di tangan nasib.

***

Betapa beruntungnya hati yang dijadikan kediaman cinta, karena cinta membuatnya melupakan urusan dunia. Cinta adalah laksana halilintar yang membakar kesabaran dan penalaran, dan menurunkannya menjadi hampa. Si pecinta menjadi tak peduli akan keselamatannya sendiri, bukit-bukit kesalahan tidak lagi menjadi bobot baginya ketimbang jerami, kecaman hanya meningkatkan hawa nafsunya.

Sepanjang tahun penuh Zulaikha merindu, bulan purnama menjadi sekadar bulan sabit, bungkuk dan kurus, hampir tak tampak dalam senja merah darah. Di malam hari ia meratapi nasibnya dengan mengatakan, "Wahai cakrawala langit yang berpaling! Apa yang telah engkau lakukan kepadaku? Engkau telah membuat matahari menjadi pucat bagiku, engkau telah mematahkan busur kesucianku dan menjadikanku sasaran panah kesalahan, engkau telah menyerahkanku kepada seseorang yang demikian kepala batu sehingga hanya sifat kepala batu yang aku ketahui tentang dia. Pertama ia membakar hatiku dengan cinta dalam mimpi, tetapi sekarang ia menjengkelkanku dengan suatu penampilan lain. Ia tak pernah datang kepadaku sementara aku jaga, dan sekarang ia tidak lagi muncul kepadaku dalam impian."

Ia telah menyibukkan diri dengan kata-kata seperti itu sepanjang jaga malamnya, dan sedang siap untuk menyerahkan jiwanya yang dilanda kesedihan, tetapi pada akhirnya tidur—atau lebih tepat ketidaksadaran—merenggutnya dari pikiran-pikiran itu. Tubuhnya hampir tidak berhenti bergerak, ketika bayangan hasrat hatinya memasuki kamarnya, itu adalah keindahan bercahaya yang telah tampil sebelumnya.

Ketika ia melihatnya dalam impian, Zulaikha bangkit dan melemparkan dirinya ke kaki bayangan itu seraya berkata,
"Engkau yang telah merebut kedamaian dan kesabaran hatiku! Aku memohon kepadamu dengan nama Pencipta yang telah membentukmu tanpa cela dari cahaya murni, yang telah menempatkanmu di atas semua manusia yang tercantik, dan menganugerahimu dengan keanggunan yang lebih besar daripada air kehidupan abadi, yang telah membuat wajahmu suluh yang menyala di atas mana jiwaku yang malang telah membakar dirinya bagaikan anai-anai, dan setiap urat rambutmu yang harum menjadi jeratan yang menawanku. Aku memohon kepadamu atas nama-Nya untuk menaruh belas kasihan kepadaku, si melarat malang yang hatinya sendiri telah direnggut. Jawablah aku, bukalah bibir delimamu yang semanis madu dan katakan kepadaku, wahai engkau yang demikian indah dan memikat hati, katakanlah nama dan asalmu."
Bayangan itu menjawab, "Aku salah seorang turunan Adam, terbuat dari lempung dunia Engkau mengaku telah mencintaiku, apabila engkau tulus, percayalah kepadaku, dan tetaplah menyatu demi aku. Janganlah ada gigi yang menggigit bibir merah gula itu, janganlah ada intan yang membedah permata itu! Apabila dadamu memar karena menghendaki aku, janganlah membayangkan bahwa penderitaanku kurang dari penderitaanmu. Hatiku pun ditandai oleh luka-luka cinta dan terjaring dalam cinta kepadamu."

Setelah ia mendengar kata-kata manis dan halus itu, kecemasan cinta Zulaikha menangkapnya dengan kekuatan yang baru. Ia bangun di pagi hari, masih mabuk oleh pengalaman malamnya. Dadanya terbakar, hatinya lebih terbakar nafsu daripada sebelumnya, asap keluhan bangkit ke langit. Kecemasannya telah bertambah seratus kali lipat, dan kebingungannya tidak mengenal batas, kendali penalaran dan ketenangan telah meluncur dari tangannya. Laksana kuncup yang akan memecah, ia menyobek jubahnya hingga terbuka, dan setiap kali ia memikirkan wajah dan rambut kekasihnya, ia menancapkan kuku-kukunya ke wajahnya dan menjambak rambutnya sendiri.

Dayang-dayang mengelilinginya bagai payung rembulan, tetapi Zulaikha mengambil keuntungan dari setiap celah yang terkecil untuk meluputkan diri, secepat anak panah, dan dia akan lari dengan cekatan ke dalam istana, apabila mereka tidak menahannya kembali melalui ujung bajunya.

Ketika mendengar peristiwa ini, ayahnya memohon nasihat dari para orang tua istana. Mereka tak dapat memikirkan obat selain dari belenggu, dan oleh karena itu seekor ular dari emas yang berkilauan dengan batu merah delima diikatkan ke kakinya yang keperakan, bagaikan ular yang melindungi harta karun.

Zulaikha menangis sambil berkata, "Hatiku yang malang telah berada dalam belenggu cinta, barangkali inilah satu-satunya keadaan yang sesuai bagiku di dunia ini! Betapa anehnya siasat licik nasib yang memusuhi untuk mengikatku seperti ini, ketika aku tidak lagi mempunyai kekuatan atau hasrat untuk bergerak kemana-mana! Alangkah tak berguna, membebaniku dengan belenggu yang berat sementara aku telah berakar di tempat! Dialah yang sebenarnya harus mereka belenggu, si pemikat yang mencuri hatiku dalam sekejap, dan bahkan tak tinggal cukup lama bagiku untuk memuaskan mataku dengan wajahnya, ia berlalu secepat kilat, membangkitkan asap dari hatiku yang terbakar. Sekiranya aku dapat mengikatkan rantai emas ini pada kakinya, menatapi wajahnya sepuas hatiku, menerangi kegelapan hari-hariku! Tetapi apa yang akan aku katakan? Apabila kakinya harus dicederai dengan sekadar sebutir pasir, jiwaku akan tertindih oleh gunung kesakitan, dan aku dapat menggulung permadani kesenanganku."

Dari semua kata-kata cinta itu, yang dilemparkan sebagai tombak, yang satu akhirnya mengenai sasaran. Tertembus sampai ke hati, Zulaikha jatuh bagai hewan buruan. Selama beberapa saat ia terbaring tak sadar di tanah, dan ketika ia bangkit lagi, hal itu hanya untuk memberikan kendali sekali lagi kepada kegilaannya, menangis pada menit yang satu dan tertawa pada menit berikutnya, silih berganti kehilangan dan mendapatkan lagi kesadarannya.

***

Selamat datang, cinta, yang sihir khianatnya membawa kedamaian pada satu saat, dan perang pada saat lainnya, membawa kebijakan kepada para pandir dan kepandiran kepada para bijak!
Pada suatu malam, dalam pelukan kecemasan yang resah, dengan kesedihan dan penderitaan sebagai kawan satu-satunya, Zulaikha sedang meminum dari mangkok kesedihannya, dan sampai ke ampasnya. Tabirnya telah sobek, dan dalam nafsunya yang berkobar ia telah menebarkan debu ke rambutnya yang telah kusut. Ia terbaring dalam kelemahan, melengkungkan punggungya yang anggun, dan dengan berlinangan air mata ia ungkapkan semua kesedihannya kepada kekasihnya,

"Wahai engkau yang telah mencuri nalar dan kedamaian pikiranku, yang memenuhi hari-hariku dengan penderitaan! Engkau telah membawa kepadaku kesedihan tanpa penawar. Engkau telah mengambil hatiku tanpa memberikan hatimu sebagai gantinya. Aku bahkan tak mengetahui namamu, apabila aku mengetahuinya, nama itu akan selalu ada di bibirku sebagai doa. Tidak pula aku mengetahui di negeri mana engkau berdiam. Apabila aku mengetahuinya maka aku akan berkelana dalam debunya. Aku bisa melakukan sesuatu sesuka hatiku dengan senyum manis selalu di bibir, tetapi sekarang aku adalah tawananmu, dan hatiku berbuku-buku bagaikan batang tebu. Aku tak akan menginginkan kemelaratan dan kenistaan sebagai yang aku alami kepada siapa pun, ibuku merasa hancur oleh kegilaanku, ayahku terhina kehormatannya. Bahkan para pelayanku telah lari meninggalkanku sendirian dalam keputus-asaan. Engkau telah membakar jiwaku, seakan aku ini sekam, dan itu bukanlah cara memperlakukan makhluk malang yang tak berdaya ini."

Demikianlah ia mengungkapkan hasrat hatinya kepada kekasihnya, sampai akhirnya ia tertidur. Matanya yang mabuk baru saja akan membasahi keringnya tidur, ketika pencuri tidurnya muncul dalam mimpi, lebih indah daripada yang dapat digambarkan.

Zulaikha bersujud terisak-isak di ujung jubahnya, dan menghujani kakinya dengan air mata, seraya mengatakan,
"Cintaku kepadamu telah merampok kedamaian dari hatiku, dan merebut tidur dan mataku. Aku memohon kepadamu, dalam nama Wujud Suci yang menciptakanmu demikian sucinya dan menempatkanmu di atas yang terindah di dunia ini dan di dunia yang akan datang. Hentikanlah kecemasanku, sebutkan kepadaku nama dan di mana engkau tinggal!"

"Apabila hanya itu yang engkau inginkan," jawabnya, "Aku adalah Wazir Agung Mesir, dan Mesir adalah kediamanku. Aku merupakan salah seorang kesayangan Raja Mesir, dan pangkatku yang tinggi memberi hak kepadaku atas segala kemewahan dan kejayaan negeri Mesir."

Seakan-akan ia telah kembali hidup lagi setelah mati seratus tahun. Kata-kata itu adalah laksana minuman manis yang memulihkan kekuatan ke tubuh Zulaikha, kesabaran kepada jiwanya dan penalaran kepada akalnya. Ia telah pergi tidur seperti orang gila, berkat impian bahagia ini, ia bangun dalam keadaan sehat sebagai sedia kala.

Dengan memanggil para pengikutnya yang bertebaran, ia mengatakan kepada mereka berita gembira,
"Engkau yang telah ikut menanggung penderitaanku, sekarang pergilah kepada ayahku dan katakan kepadanya berita bahagia, yang akan meringankan kesedihan yang telah membakar hatinya, aku telah sehat kembali, dan air sungai yang menjadi kering sekarang telah mengalir lagi. Segeralah singkirkan rantai yang membelenggu kakiku ini, karena tak ada alasan lagi untuk takut akan kegilaanku. Biarlah ayahku sendiri yang membuka belenggu rantai ini."

Ketika ayahnya mendengar apa yang telah terjadi, raja itu amat sangat gembira sehingga ia sendiri hampir kehilangan akal. Ia berlari kepada cemara ramping itu, membuka geraham ular emas itu, dan membebaskan Zulaikha yang berdada perak dari rantai emas itu.

Dayang-dayangnya membungkuk di hadapannya, dan menempatkannya pada mahligai emas. Mereka memberikan kepadanya sebuah bantal mewah untuk sandaran, dan menghiasi keningnya dengan mahkota mulia. Paras cantik ala bidadari mengalir masuk dari semua sisi, bagai anai-anai yang tertarik kepada nyala dan di tengah kumpulan yang gembira itu Zulaikha duduk dengan senyum gembira sambil bercakap-cakap dengan mereka.

Ia menempa suatu percakapan tentang berbagai kota dan negeri di dunia, Yunani, Suriah, dan seterusnya, dan menyebut nama Mesir yang semanis madu di bibirnya! Akhirnya, setelah menyebutkan berbagai orang Mesir, ia membawa cerita itu sampai ke sisi Wazir Agung, ketika ia mengucapkan nama itu, ia merasa akan pingsan, air matanya mengalir, dan keluhannya yang merdu bangkit ke langit.

Dengan cara itu ia melewati malam-malam dan siangnya, berbicara tentang sahabat itu dan negerinya. Inilah satu-satunya pokok pembicaraan yang disukainya, selain itu tak ada yang hendak dikatakannya.

04. Y&Z - Pertunangan Zulaikha

Walaupun pikiran Zulaikha telah terbebas dari hawa nafsu, berita tentang kecantikannya telah tersebar ke seluruh penjuru dunia, dan barangsiapa mendengar gambaran tentang kecantikannya, akan segera jatuh cinta dan tergila-gila kepadanya. Ia menjadi pokok perhatian besar di setiap istana raja, lamaran para raja pun mengalir masuk. Ketika ia telah sembuh dari kegilaannya, dan telah menempati kembali istana keanggunan dan akal sehatnya, para utusan raja dari Suriah, Yunani, dan banyak wilayah lainnya, datang memperkenalkan diri ke ambang istana. Seakan-akan ingin melambangkan asal-usul mereka dengan membawa hadiah yang khas dari negerinya masing-masing.

"Ke arah mana saja si cantik itu memalingkan wajahnya, menimbulkan rasa cemburu bagi mahligai dan mahkota, bahkan matahari sekalipun." Demikan para utusan itu mengatakan, masing-masing mewakili pengusa yang jaya.

Ketika kepadanya dikatakan tentang semua ini, Zulaikha cemas hendak melihat apakah ada orang Mesir di antara utusan itu. "Karena Mesirlah yang aku cinta," katanya. "Hanya Mesir yang menarik hatiku, apa gunanya para utusan dan tempat lain itu, angin yang bertiup kepadaku dan Mesir, dan membawa debu Mesir ke mataku seratus kali lebih aku inginkan daripada angin bermuatan minyak kesturi dari dataran Tartar."

Zulaikha dipenuhi oleh pikiran-pikiran seperti itu ketika ayahnya memanggilnya dan mengatakan dengan lembut kepadanya,

"Wahai cahaya mataku, hiburan hatiku! Setiap raja bermahkota di dunia para raja, memiliki hasrat cinta kepadamu, dan sekarang masing-masing dan mereka telah mengirimkan utusan dengan harapan akan mendapatkan perkenanmu. Biarlah aku sebutkan kembali pesan-pesan mereka kepadamu, untuk melihat siapa di antara mereka yang akan engkau terima. Negara mana pun yang mengambil impianmu, segera akan menjadikanmu ratu impian itu."

Ia pun membaca sederetan nama-nama raja yang ingin menyunting, dan Zulaikha mendengarkan dengan penuh perhatian, dengan harapan akan mendengarkan sebuah nama yang dikenalnya. Betapa manisnya memperhatikan dengan pengharapan akan mendengarkan nama sang kekasih. Tetapi tak ada sebutan tentang seorang dari Mesir, tak ada utusan yang datang dengan lamaran kawin dari negeri itu. Dalam kekecewaan ia berdiri, gemetar bagai ranting pohon pinus. Butiran air mata mutiaranya tampak di pelupuk matanya, Zulaikha mulai meratapi nasibnya.

"Saya berharap kepada Tuhan, kiranya aku tak pernah dilahirkan, atau karena telah dilahirkan tak ada ibu yang menyusui saya! Bintang celaka apakah yang memimpin kelahiran saya? Langit di atas, apakah yang membuat engkau memusuhiku? Apabila engkau tidak menyukaiku terbang kepada kekasihku, sekurang-kurangnya janganlah engkau membuang aku jauh-jauh darinya. Apakah kematianku yang engkau kehendaki? Jika demikian di sinilah aku, yang dibunuh oleh kekejamanmu. Apakah engkau hendak melihatku tersiksa oleh kesedihan? Lihatlah, hatiku lumat ditindih gunung penderitaan. Engkau telah menghujaniku dengan seratus luka, sungguh, aku pantas menerima belas kasihan!

Tetapi, apakah aku dipenuhi kegembiraan atau kesusahan, apakah artinya bagimu? Apabila hidup ini pahit atau manis bagiku, apakah artinya bagimu? Apakah bedanya hidup atau matiku bagimu? Apa pedulimu apabila angin menyapu semua gudang panenku, bagimu ratusan panen tak lebih dari sebutir gandum. Engkau telah melemparkan ribuan mawar segar kepada angin gurun untuk layu dalam napasnya, maka mengapakah engkau seakan berhenti padaku, apakah aku berbeda dengan yang lainnya?"

Menyadari hasratnya yang tak terpadamkan, ayah Zulaikha harus membubarkan semua utusan itu, dengan memberikan kepada mereka jubah-jubah kehormatan dan menyampaikan alasan-alasan kepada mereka bahwa ia telah terikat oleh suatu janji yang mahal kepada Wazir Agung Mesir. Para utusan itu pun pulang dengan kecewa, dengan tidak membawa apa-apa kecuali udara kosong dalam genggamannya.

***

Zulaikha terluka dalam sekali, keputus-asaan terus menumpukkan luka. Melihat cintanya yang luar biasa kepada Wazir Agung Mesir, ayahnya memutuskan bahwa satu-satunya obat bagi sakitnya ialah mengirim utusan ke Mesir demi usaha untuk mempersatukan antara putrinya dengan Wazir itu. Untuk tujuan itu ia menunjuk seorang kesayangannya, yang terkenal karena kebijakannya. Dimulai dengan kata-kata pujian, kemudian ia menyerahkan hadiah-hadiah yang tak terhitung banyaknya untuk disampaikan kepada Wazir itu, dan memerintahkan kepadanya untuk menyampaikan pesan berikut:

"Hormatku kepada orang yang setiap hari langit menganugerahinya kenikmatan yang berlimpah, yang debu-debu kekayaannya telah dicium oleh keberuntungaan!

Suatu matahari telah terbit bagiku dalam tanda kesucian, yang kecantikannya telah membuat bulan sendiri menyala. Aku berbicara tentang putriku yang lebih suci dari mutiara yang tersimpan dalam kerang, dan lebih bersinar dan bintang yang berkelip. Selain cerminnya, tak ada yang pernah melihat wajahnya, kecuali hanya sisirnya. Tak ada yang telah menyapu rambutnya, namun meskipun ia telah berada dengan cermat di balik tabir kesuciannya, kecantikannya yang masyhur telah melintasi dunia. Setiap raja, dari timur ke barat terlanda cinta kepadanya, dan telah meminum darah hatinya karenanya.

Tetapi tak satu pun dari mereka yang menarik hatinya, ia hanya memikirkan Mesir. Air matanya, seperti sungai Nil, membasahi jalan yang menuju ke sana. Aku tak tahu penyebab keterpikatannya kepada Mesir. Tak ragu bahwa ia terbentuk dari lempungnya, dan ditakdirkan bahwa ia harus hidup di sana.

Oleh karena itu apabila yang Mulia menyukai, kami akan mengirimkannya ke negerimu, dan apabila kecantikannya tidak pantas menempati kehormatan istanamu, maka setidaknya izinkanlah ia menyapu lantainya sebagaimana layaknya seorang budak yang sederhana."

Ketika Wazir mendengar pesan itu, ia amat merasa tersanjung. Dengan membungkuk rendah ia menjawab:

"Siapakah aku maka aku akan berani manabur dalam hatiku benih pikiran seperti itu? Tetapi karena Paduka telah merendah untuk mengangkatku dari debu, maka patutlah aku mengangkat kepalaku ke langit. Aku bagaikan tanah gersang yang tiba-tiba dibasahi dan atas dengan awan musim nikmat oleh Yang Mulia. Sekali pun aku mempunyai seratus lidah, tak dapat aku berterima kasih dengan cukupnya kepada sang Raja.

Kewajibanku yang pertama adalah harus bergegas untuk memberikan penghormatan kepadanya, tetapi, alangkah sayangnya, semua waktuku telah diambil oleh tugasku kepada istana Raja tambang kebijaksanaan itu! Aku khawatir dengan ketidakhadiranku untuk waktu singkat pun aku akan terserang oleh pedang kuat kekuasaannya. Oleh karena itu, aku mohon ampunanmu agar aku tidak mengadakan perjalanan ke sana, dan aku percaya bahwa hal ini tidak akan dianggap sebagai ketidakpedulianku.

Dengan izin Raja, aku akan berusaha melaksanakan kewajibanku kepadanya dengan mengirimkan suatu kafilah dua ratus tandu emas, yang disertai oleh seribu pemuda dan gadis cantik, yang seluruhnya dikawal oleh laki-laki berakal dan berwawasan. Semua ini akan mengantarkan pengantinku ke istana menakjubkan yang telah disediakan."

Setelah mendengar kata-kata itu, utusan yang bijaksana itu membungkukkan badannya sampai ke tanah seraya berkata,
"Tuhan Mahamulia, yang seratus kali membawa kemuliaan ke negeri Mesir dan kehidupan baru yang segar ke lapangan kemurahan! Rajaku tidak memerlukan kemewahan dan upacara dari pengiring, karena ia tidak kekurangan suatu apa dari yang engkau sebutkan. Budak-budaknya, laki-laki dan perempuan, tak terhitung jumlahnya, permata yang berkilauan miliknya lebih banyak dari pasir di gurun. Satu-satunya hasratnya ialah penerimaanmu. Berbahagialah orang yang mampu menyenangkan mu, karena buah yang ia tawarkan dapat di terima di mejamu. Ia tidak akan menunda pengirimannya kepadamu."

Duta yang bijaksana itu segera pulang dari Mesir, ia telah menghancurkan belenggu yang mengikat jiwa Zulaikha. Ketika mendengar berita tersebut, hatinya dikosongkan dan diisi dengan sang Wazir tercinta. Mawar kebahagiaannya mulai berkuncup dan rajawali keberuntungannya membubung.

Suatu mimpi telah menjadikannya tawanan, dan sebuah bayangan membebaskannya. Demikianlah cara dunia, semua kegembiraan dan semua kesusahan, sama-sama hanyalah hasil dari mimpi dan khayal. Berbahagialah orang yang dapat mengabaikan hal-hal seperti itu, dan lari terhindar tanpa cedera dari pusaran airnya!

* * *

Melihat kegembiraan Zulaikha, ayahnya mulai mempersiapkan iring-iringan pengantin itu. Ia mengumpulkan seribu budak perempuan yang anggun, berpipi merah mawar, boneka-boneka dengan dada berkuncup dari Yunani dan Rusia, dengan alis hitam bak kesturi, warna mereka, meski tanpa pewarna, sama segarnya dengan bunga-bunga pagi.

Ada pula seribu pelayan yang tak berjanggut, para pemikat hati dan perayu dengan pandangan mata nakalnya yang menggoda. Mawar merah mereka ditenggerkan di atas rambut harum yang terurai, yang akan menawan seratus hati ke mana saja mereka pergi.

Kemudian ada seribu ekor kuda perang tanpa cela, sama gairah dan patuhnya, lebih cepat dari bola yang dipukul oleh tongkat. Gerakan mereka sama halusnya dengan air yang mengalir di atas rerumputan. Bayangan cambuk saja pun cukup untuk membuatnya melompat dari muka bumi.

Yang terakhir adalah rombongan seribu unta yang megah dengan tubuh kuat bagaikan gunung, namun menyaingi angin dalam kecepatan kakinya. Mereka khidmat bagaikan pertapa, dengan sabar menanggung bebannya seperti para wali. Dengan penuh keyakinan kepada Tuhan, mereka telah menyeberangi seratus gurun. Muatan mereka terdiri dari barang-barang berharga, masing-masing adalah berupa upeti.

Bagi Zulaikha sendiri, sebuah tandu telah disiapkan, satu ruangan pengantin yang meyakinkan, dibentuk dari kayu gaharu dan cendana. Tirainya disulami dengan emas dan atapnya dilapisi intan permata, bubungannya yang keemasan berkilau laksana matahari. Baik di dalam maupun di luar, merupakan kumpulan emas dan mutiara, dengan umbai-umbai brokat yang merupakan keajaiban corak dan rancangan.

Di situlah Zulaikha ditempatkan dengan seribu kata-kata halus. Pawai khidmat itu berangkat menuju Mesir. Dipikul oleh para pemikul yang berkaki lincah, ia maju bagaikan kuncup berayun pada bayu musim semi. Seakan musim semi sedang berpindah dan satu negeri ke negeri lainnya.

Demikianlah, tahap demi tahap mereka maju ke Mesir. Segera setelah mereka hampir mencapai tujuan, seorang penunggang disuruh memacu kudanya untuk memberitahukan kedatangan mereka kepada sang Wazir.

Zulaikha merasa puas dengan nasibnya ketika ia memikirkan bahwa perjalanan itu akan segera berakhir. Di malam kesedihannya, fajar sedang mendekati, dan sedihnya perpisahan akan segera berakhir. Ia tidak menduga betapa gelap malam yang masih akan dilewatinya, dan masih berapa lama panjang perjalanan sampai ke fajar.

05. Y&Z - Zulaikha di Mesir

Ketika Wazir Agung mendengar kabar baik itu, ia merasa sebagai penguasa dunia. Ia memerintahkan seluruh tentara Mesir berparade, berjubah kebesaran dan bertutup dan kepala sampai ke kaki dengan emas dan permata. Seratus ribu pemuda dan gadis, pelayan-pelayan yang berdiri tegak bagai pohon kurma yang ramping. Gadis-gadis cantik berwajah rembulan, menyembunyikan tandu mereka di balik tirai brokat emas.

Ada pemusik bersuara merdu menyanyikan lagu-lagu perkawinan, menggesek harpa dengan lagu-lagu gembira, memetik kecapi hingga menyala dengan tali-temalinya yang menggugah jiwa. Membangkitkan dalam jiwa, rasa pendahuluan yang lezat dari persatuan. Alunan yang lembut menentramkan gejolak jiwa, biola meninggikan daya tariknya, dan yang mendominasi semuanya adalah gemuruhnya genderang.

Demikianlah mereka, semua seakan bebas untuk bersenang-senang, hingga pada akhirnya mereka sampai pada matahari di antara yang cantik-cantik. Di sana, di pusat perkemahan, berdiri tenda Zulaikha dikelilingi oleh pasukan makhluk indah. Ketika melihat semua ini, sang Wazir pun tersenyum bagaikan sinar mentari pagi. Ia turun dari kudanya lalu berjalan ke arah kemah Zulaikha. Dengan senyum meliputi wajah-wajah mereka laksana taman mawar yang sedang berkembang, para pelayannya berlari menghormatinya, dan mencium tanah di kakinya. Dengan anggun ia membalas penghormatan mereka dan bertanya bagaimana pengantinnya menghadapi kesulitan perjalanan. Kemudian ia mengeluarkan hadiah-hadiah yang dianggapnya paling pantas, pelayan-pelayan yang tersenyum manis dengan ikat pinggang dan manik-manik dari emas, kuda-kuda yang berhiasan mewah, bertutupkan intan permata dan kepala sampai ke kaki, bulu-bulu mewah, sutra mahal, permata langka, manisan Mesir, dan minuman lezat.

Semua ini diaturnya di hadapan mereka, dengan ucapan ramah dan permohonan maaf karena tidak memberikan lebih dari itu. Sesudah itu, ia menetapkan keberangkatan ke kota pada hari berikutnya, lalu masuk ke dalam tenda.

***

Nasib adalah perayu tua yang licik, ahli dalam tipu daya untuk menyiksa manusia yang malang. Mula-mula ia menawan dada si pecinta dengan jalan harapan, tetapi akhirnya ia mengikatnya dalam belenggu keputus-asaan. Dan jauh ia menunjukkannya sebagai buah dan hasratnya, kemudian ia menjatuhkannya dengan kenyataan yang lebih pahit.

Baru saja Wazir melempar bayangannya di tenda Zulaikha dan inangnya, putri itu merasakan keinginan yang tak terkendalikan untuk melihat wajahnya. "Saudara tua yang baik," katanya kepada inangnya, "Aturlah supaya aku dapat melihatnya sejenak, karena aku tak tahan lagi untuk menanti."

Hasrat nafsu tak pernah lebih besar daripada ketika si kekasih berada dekat. Bilamana orang hendak mati kehausan, setetes air hanya akan membakar bibirnya, kecuali ia dapat membasahi mulut dengannya. Melihat kecemasan Zulaikha, inang itu keluar ke sekitar tenda sang Wazir. Akhirnya ia berhasil membuka lobang kecil di tenda itu.

Maka Zulaikha memasukkan matanya ke lobang itu. Alangkah terkejutnya Zulaikha! Seakan keluhan seluruh dunianya sedang jatuh menimpanya.

"Ia bukanlah yang aku lihat dalam mimpiku, bukan laki-laki yang aku cari, dan bukan penyebab kesengsaraanku yang amat besar. Bukan pula laki-laki yang telah merampok segala pikiran nalarku dan menyerahkan kendali hatiku kepada kegilaan! Ia bukan laki-laki yang mengatakan rahasianya kepadaku dan yang telah menyembuhkanku.

Sayang! Aku dilahirkan di bawah bintang jahat. Aku menanam kurma, tetapi hanya menghasilkan duri, aku menabur benih cinta, dan ia tidak memberikan hasil selain penderitaan, aku menderita kesulitan luar biasa untuk mendapatkan sesuatu kekayaan, dan berakhir dengan menghadapi seekor naga.

Aku bagai musafir haus di gurun pasir, berkelana ke sana ke mari mencari air, lidahnya yang terbakar melekat pada bibirnya yang merekah dan berdarah. Sampai akhirnya ia berpikir melihat sumur air di kejauhan sana. Dengan terseok-seok dan jatuh bangun ia berusaha pergi ke sana, tetapi sesampainya di sana, ia tidak mendapatkan air melainkan hanya butiran garam yang berkilauan di bawah cahaya matahari.

Aku bagaikan seekor binatang pengangkut di gunung, yang tertindih oleh lapar, kaki tersobek-sobek oleh batu tajam, tak memiliki daya untuk melanjutkan perjalanan, juga tak dapat berhenti di mana aku berada. Kemudian tiba-tiba aku membayangkan dapat menemukan sahabatku yang hilang, aku perpanjang langkahku dengan semangat baru, tetapi, itulah nasibku ..... hanya seekor singa yang sedang lapar!

Aku adalah pelaut dari kapal yang karam, duduk telanjang mengangkangi selembar papan yang terombang-ambingkan oleh ombak, dan tiba-tiba tampak sebuah kapal, sehingga membangkitkan semangatku dan membuatku berpikir bahwa sang penyelamat sedang dalam perjalanannya, dengan segera ia datang untukku ..... dan ternyata raksasa mengerikan yang bertekad menghancurkanku.

Adakah, di mana pun di dunia ini seseorang yang celaka dan sedih seperti diriku? Aku telah kehilangan hatiku dan sekarang aku tak berhati dan tak berbuah hati. Sekarang aku hanya mempunyai sebongkah batu di dadaku.

Langit yang penuh belas kasihan, dengan nama Tuhan, selamatkanlah kiranya diriku! Bukankah di depanku satu pintu menuju kepada cinta, sekalipun bukan kehendakmu untuk membiarkanku menyentuh ujung jubah sang kekasih, setidak-tidaknya janganlah menyerahkan aku kepada orang lain. Janganlah menyobek jubah kehormatanku, janganlah menyentuh tanah, kendatipun hanya ujungnya. Aku telah bersumpah menurut hasrat hatiku untuk menjaga dengan cemburu kekayaanku. Jangan biarkan naga itu menyentuhnya!"

Demikianlah ia berkeluh kesah hingga jatuh malam, dengan air mata mutiara di pelupuk matanya. Dengan mengaduh dan patah hati, ia menggosokkan debu ke wajahnya. Hingga akhirnya burung belas kasih Ilahi menumbuhkan sayapnya, malaikat kerahasiaan berkata kepadanya,

"Bangkitlah, wahai gadis malang! Petakamu akan berlalu. Wazir itu mungkin bukan hasrat hatimu, tetapi tanpa si Wazir itu, engkau tak akan pernah mencapainya. Karena Wazir itulah engkau akan mencapai tujuanmu, dan akhirnya menatap keindahan sahabatmu itu. Janganlah engkau lari dari lingkungan si Wazir, ia akan membiarkan rambut perakmu tanpa disentuh, karena kuncinya terbuat dari lilin yang paling lembut. Janganlah takut! Dari lengan baju yang kosong tak akan muncul tangan yang mengacungkan belati."

Ketika mendengar kabar baik dan dunia gaib itu, Zulaikha mengakhiri keluh kesahnya, walaupun kesedihannya terus menyala dalam dirinya. Tanpa mengeluh, diam-diam ia menderita. Matanya terpusat pada harapan jalan masa depannya, sambil bertanya kapankah kesengsaraannya akan berakhir.

***

Ketika fajar dengan sebongkah emasnya telah memberikan isyarat kepada malam untuk berkemah, Wazir tiba di tengah upacara besar, dan mengundang pengantinnya untuk meninggalakan kemah serta mengambil tempat di tandunya. Kemudian ia memerintahkan iring-iringan untuk bersiap di depan, di belakang, dan di kedua sisinya.

Payung-payung bersepuh, bagai pohon-pohon emas, melindungi semua makhluk yang beruntung dalam naungannya. Di bawahnya orang-orang kesukaan nasib mujur, duduk bertahta di atas pelana yang bersulam emas. Semua pohon, padang rumput, pelana, makhluk-makhluk yang dimanja oleh nasib, semuanya maju dalam pawai. Para pemusik menyenandungkan lagu-lagunya. Para pengiring unta bernyanyi, dan semua bunyi yang bercampur itu mengisi mangkuk angkasa yang terbalik. Tanah ditutupi dengan cetakan tapak kuda dan unta, seperti sekian banyak bulan purnama dan bulan sabit. Bagi kijang-kijang yang senang itu, yang duduk di atas pelananya, ringkikan kuda-kuda yang berkaki cepat adalah laksana gema piano; dan bagi yang cantik-cantik yang bersandar di tandunya bunyi unta adalah laksana terompet.

Para gadis pelayan Zulaikha sangat gembira melihat putri cantik itu telah selamat dari perpisahan yang menyiksa, dan Wazir serta rombongannya tidak kurang gembiranya mendapatkan gadis secantik itu sebagai buah hati.

Tetapi tersembunyi di balik tandunya, Zulaikha masih meratapi nasibnya yang kejam,
"Wahai, langit, mengapa engkau memperlakukan aku seperti ini? Apa yang telah aku lakukan kepadamu sehingga engkau membenamkan diriku dalam kesedihan dan kepedihan? Mula-mula kau curi hatiku dalam mimpi. Kemudian dalam kehidupan engkau timpakan beribu kesedihan. Karena engkaulah penyebab keruntuhanku, kepadamulah aku berpaling dalam harapan tertipu untuk mendapatkan obat. Bagaimana aku akan mengetahui bahwa obatmu adalah dengan membuangku dari kampung halaman? Tidakkah cukup merebut cintaku? Untuk itu engkau harus menambahkan kesengsaraan pengasingan! Apabila ini pertolonganmu untuk menyelesaikan seluruh persoalan hidupku, maka Tuhan melindungiku dari permusuhanmu!

Aku mohon kepadamu, jangan ada lagi jerat tipuan di jalanku, jangan goresi piala minuman kesabaran. Engkau telah berjanji bahwa sesudah ini hasratku akan dipenuhi hingga akan mendapatkan kediaman dalam hasrat hati. Aku amat gembira dengan janji seperti itu, tetapi apabila ini dikira sebagai kebahagiaan, maka apakah yang akan aku pikirkan?"

Demikianlah ia bercakap dengan langit, sampai ia tiba-tiba dipotong oleh teriakan para pengawal, yang mengumumkan bahwa mereka telah tiba di ibu kota dan tanggul-tanggul Sungai Nil, di mana ribuan orang berseru gembira, yang berada di atas kuda, unta maupun yang berdiri di atas kaki sendiri, sedang menanti untuk menghormati mereka.

Wazir pun melaksanakan kebiasaan tradisional. Para pelayan pilihan menghujani tandu pengantin dengan emas, perak, dan intan permata, demikian banyaknya sehingga hampir menghilang di bawah longsoran kekayaan. Kuda-kuda tidak lagi menginjak tanah, dan kukunya yang bertempa besi memercikan cahaya dari bebatuan merah delima. Orang banyak pun, yang berbaris di tanggul sungai, menghujani emas dan perak kepada si pengantin.

Sekarang mereka semua maju dalam kemewahan raja-raja ke kediaman bahagia, istana, suatu surga di bumi, dengan lantainya yang di sapu silih berganti oleh matahari dan bulan. Di tengahnya berdiri mahligai yang menakjubkan, seniman yang menciptakan karya utama itu telah menggunakan emas dan ratusan butir permata. Di sana mereka mendudukkan Zulaikha bak mutiara yang dipasang dalam emas. Namun, kesedihan yang tak kunjung habis menyala dalam hatinya, hingga membuat tahta emasnya sebagai tungku, dan mahkotanya yang bertahtakan mutiara membebaninya laksana batu, sementara permata yang telah ditaburkan padanya adalah sebagai hujan siksaan.

Dalam pertempuran ini, di mana demikian banyak kepala bersedih, siapakah yang menginginkan mahkota di kepalanya? Ketika mata dipenuhi air mata kekecewaan, bagaimana mereka akan dapat melihat mutiara?

***

Bilamana sebuah hati mendapatkan tempat di sisi sang kekasih, bagaimana ia akan menghasratkan untuk bersatu dengan orang lain? Pernahkah engkau melihat seekor laron terbang ke matahari, sedang seluruh harapannya terletak pada nyala lilin? Adalah sia-sia menyebarkan seratus rangkaian semak harum di hadapan si punguk, sementara ia hanya menginginkan nafas mawar yang sejuk segar. Sekali teratai disapu oleh kehangatan manisnya mentari, pernahkah ia mau menunjukkan suatu perhatian pada bulan? Apabila jiwa haus akan air jernih, apakah perlu manisnya gula?

Dalam rumah tangga yang makmur itu, Zulaikha menikmati segala kekuasaan dan kekayaan. Wazir itu adalah budaknya dan ia tak kekurangan apa-apa, para pelayannya terus bersiap-siap dan hampir tidak beristirahat dalam keinginan mereka untuk melayaninya. Ia mempunyai gadis-gadis pelayan yang berpakaian linen halus, ramping dan manis bagai batang tebu. Ia mempunyai budak-budak hitam, yang terbuat dan gading, suci laksana sucinya bidadari dari segala hasrat dosa, pelayan-pelayan yang bergairah dan amanat dari Harem. Para wanita bangsawan yang sebaya dengannya, memikat dan anggun, sangat bergembira karena dapat menemaninya.

Pada ruang tamunya yang besar, yang terbuka kepada para teman maupun orang asing, telah ia bentangkan permadani kegembiraan. Dengan senyum di bibirnya, menyembunyikan kesedihannya, selalu kelihatan seolah sepenuhnya ia asyik dalam percakapan. Tetapi hatinya berada di tempat lain. Bibirnya berbicara dengan para tamunya, sedang hati dan jiwanya ada bersama si sahabat, satu-satunya orang yang sesungguhnya ikut serta dalam kesenangan dan penderitaannya, ia tak mempunyai ikatan yang kuat dengan seorang pun yang hadir itu.

Dari pagi hingga sore, demikianlah ia berperilaku di antara teman-temannya. Tetapi segera setelah malam membentangkan tirai gelapnya, Zulaikha menarik diri ke dalam kesendirian di balik tirainya, dan di mata pikirannya ia terbaring dengan sang kekasih dalam keakraban rahasia di atas pelaminan yang beralas bulu halus itu. Sembari berlutut di hadapannya, ia mengatakan tentang kesedihannya. sambil memetik kecapi penderitaan, ia hanyut ke dalam keluhan cemas:

"Wahai hasrat hati, engkau katakan kepadaku bahwa Mesir adalah negerimu, dan Wazir Agung gelarmu. Ini aku di Mesir, terbuang dan terasing, ditolak oleh nasib baik dari masyarakatmu, bertanya-tanya dalam hati berapa lama aku harus terbakar dalam nyala api penderitaan.

Datanglah kepadaku! Jadilah kemuliaan dari taman hatiku, penawar sakit bagi jiwaku yang luka! Ketika aku putus asa akan mendapatkan cinta, malaikat utusan dari dunia gaib memulihkan harapanku, satu-satunya yang membuatku tetap hidup, dan menggoyangkan debu keraguan dari jubahku. Cemerlangnya keindahanmu, yang bercahaya dalam hatiku, memberikan kepastian untuk melihatmu lagi. Walaupun mataku yang merindu terbenam dalam air mata, keduanya terus melihat ke setiap arah demi menyambut kedatanganmu. Betapa bahagia saatnya nanti, ketika engkau datang ke dalam penglihatan, bagaikan bulan yang sedang menampakkan diri!

Pada saat melihat dirimu, aku sendiri akan menjadi tidak ada, dan akan kehilangan semua jejak rasa dari mementingkan diri sendiri. Sepenuh diriku akan terserap ke dalam kegairahan. Itu bukan lagi diriku sendiri yang engkau lihat menempati tubuhku, roh yang menjiwai tubuh itu adalah rohmu. Semua gagasan tentang kepribadian akan disisihkan, dan ketika kucari diriku sendiri, engkaulah yang akan kudapati. Engkau adalah satu-satunya hasrat hatiku di dunia ini dan di hari kemudian, bila telah kudapati dirimu, maka mengapakah aku harus mencari diriku?"
Dengan demikian secara perlahan-lahan ia mengubah malam menjadi fajar, tanpa memutuskan pembicaraannya sendiri. Dan ketika akhirnya datang siang, ia mengucapkan kata-kata ini kepada angin fajar:

"Wahai angin tercinta! Engkau telah bangun di waktu fajar dan meyebarkan semerbak kesturi ke dada melati, dan menyebabkan untaian rambut lembab pohon cemara mengelus daun bunga mawar. Engkau yang menggoyangkan daun-daun kecil berbentuk lonceng yang bergantung pada cabang-cabang, dan membuat pohon-pohon berayun dengan kaki yang berakar di bumi. Engkau yang membawa pesan-pesan antara sang pecinta dan kekasih, telah mengelus hati mereka yang terguncang kepedihan!

Di seluruh dunia tak ada satu pun yang lebih sedih dan pedih daripada diriku. Hiburlah kiranya hatiku yang menderita, dan bantulah dalam menanggung kesedihanku ini! Di mana-mana tak ada di dunia ini yang tak dapat engkau lalui, bahkan pintu besi pun tak dapat mengusirmu keluar, dan selain itu, sekalipun terkunci dengan ketat, dengan mudah engkau masuk melalui jendela.

Kasihanilah aku karena telah kehilangan jalan. Lakukanlah pencarian, masukilah istana-istana para raja, tanyakan di setiap kota tentang raja indah impianku. Laluilah setiap taman yang berbunga, berjalanlah di tepi setiap sungai, hingga akhirnya kebetulan engkau lihat si cemara yang menawan itu!"

Demikianlah setiap hari ia berkata kepada bayu di pagi hari. Kemudian, ketika matahari meninggi, Zulaikha bersinar bak mentari, tersenyum kepada para kawan yang berkumpul, dan memperlakukan para dayang berhati suci itu sebagaimana yang dilakukan kemarin.

Selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, hari dan malamnya berlalu seperti itu. Apabila ia bosan tinggal di kamar, ia pun keluar berjalan-jalan, dadanya terbakar dengan keluh-kesah, ia berkata kepada bunga-bunga tentang rahasia cinta dan kesedihan yang membakar hatinya. Terkadang ia lari laksana air sungai yang menggelora ke sungai Nil demi menumpahkan kesedihannya, atau ia tiba-tiba berhenti, dengan matanya yang tertuju ke jalan pengharapan di hadapannya, sambil bertanya-tanya dalam hati dari arah cakrawala mana sahabatnya akan muncul sebagai matahari terbit atau bulan purnama.

Jami, sekarang marilah kita ke Kanaan, dan membawa dari sana si bulan dari Kanaan. Bagi Zulaikha, hatinya penuh harapan dan matanya yang berharap terpusat pada jalan raya Raja. Penderitaannya di atas segala batas, tetapi kita akan membawakan kepadanya penyatuan dengan si kekasih, dan perjumpaan akan menjadi jauh lebih manis karena telah dinanti sekian lama.

06. Y&Z - Yusuf Dijual Sebagai budak

Berbahagialah orang yang luput dari ikatan penampilan dan menutup matanya dari sihir yang memukau. Matanya dapat dibenamkan ke dalam tidur, tetapi hatinya selalu mengawasi. Siapakah yang pemah melihat orang yang demikian? Matanya tertutup dari dunia fana ini, namun terbuka bagi rahasia hari esok.

Pada suatu malam Yusuf meletakkan kepalanya di atas bantal untuk tidur. Ya`qub, sang ayah, yang telah menjaga bagaikan biji matanya sendiri, duduk memandangnya. Ketika ia tertidur, senyum yang amat manis muncul di bibirnya yang merah delima, sehingga hati Ya`qub dipenuhi rasa kekhawatiran.

Ketika si anak membuka matanya yang lembab karena tidur, ayahnya bertanya kepadanya, "Katakan kepadaku, wahai anakku, yang manisnya membuat gula merasa malu, apa yang baru membuat engkau tersenyum seperti itu?"

Yusuf menjawab, "Aku bermimpi melihat matahari, bulan dan sebelas bintang yang bersinar bersujud bersama-sama di hadapanku dan memberi hormat kepadaku."

"Berhentilah," kata Ya'qub, "Jangan sekali-kali engkau ceritakan mimpi ini kepada siapa pun, terutama sekali kepada saudara-saudaramu, karena apabila mereka mengetahui itu, maka mereka akan menimpakan seratus siksa kepadamu. Sekarang saja mereka sudah dipenuhi dengki kepadamu, mimpi itu hanya akan menambah bahan bakar keberangan mereka yang penuh cemburu, karena makna mimpi itu amat jelas."

Demikianlah perintah ayahnya, tetapi nasib dapat meruntuhkan dalam satu hembusan nafas rantai-rantai nasihat manusia. Yusuf hanya mengatakan mimpinya kepada satu orang, tetapi segera saudara-saudaranya mengetahuinya. Ada suatu peribahasa yang mengatakan,
"Rahasia yang diketahui lebih dari dua orang, sama saja diketahui oleh semua orang."
Banyak rahasia yang hanya melewati dua bibir saja, namun telah melukai ratusan hati orang-orang berani.

Demikianlah, saudara-saudara Yusuf mendengar tentang mimpi itu, dan mereka menyobek baju karena berang. "Tuhan yang Maha Besar!" Seru mereka.

"Apa yang salah pada ayah kita, sehingga ia tak dapat mengatakan kelebihannya sendiri dan segala kekurangan yang dimilikinya? Jadi apakah artinya anak-anak? Bilamana seorang anak tidak lebih baik dari parasit pengisap! Berapa lama si Yusuf ini akan mendesak ke hati setiap orang dengan kebohongan dan membesar-besarkan diri? Orang tua malang itu telah disihir olehnya, hingga tak dapat lagi berada tanpa ditemaninya.

Yusuf telah membuatnya terasing dari kita. Ayah telah demikian membesar-besarkan tipu dayanya sehingga ia tak dapat lagi puas dengan kehormatan yang telah diperolehnya, dan telah memasukkan daya ke kepalanya untuk memaksa kita, yang juga termasuk keturunan suci, untuk membungkuk laksana debu di hadapannya. Bukan cuma itu, ayah dan ibu kita pun selama ini harus tunduk! Tidak! Sama sekali kita tak boleh menerima sikap mengaku besar seperti itu!

Kita adalah sahabat yang sesungguhnya berbakti kepada ayah kita, bukan Yusuf, kitalah yang menjaga kawanan ternak sepanjang hari di padang rumput, dan di waktu malam menjaga rumahnya. Kitalah yang selalu hormat di hadapan sahabat-sahabatnya, dan yang memiliki kekuatan untuk melindungi dari musuh-musuhnya. Apakah artinya, apabila itu bukan pengkhianatan oleh Yusuf, sehingga ayah lebih menyukai Yusuf daripada kita? Maka marilah kita pikirkan suatu cara untuk melepaskan diri darinya, sementara masih ada waktu."

Demikianlah, saudara-saudara Yusuf mengatur pertemuan untuk membuat rencana jahat terhadapnya. Seorang di antara mereka memulai,
"Karena Yusuf telah membuat hati kita berdarah dengan kecemburuan, kita harus mencari daya untuk menumpahkan darahnya sebagai balasan. Apabila engkau mempunyai kesempatan untuk membunuh musuhmu, ambillah kesempatan itu, karena orang mati tidak akan berkata-kata."

Seorang yang lain memprotes,
"Adalah dosa bila kita memikirkan untuk membunuh orang yang tak berdosa. Memang kita hendak berlaku keras kepadanya, tetapi jangan membiarkan kita berlaku terlampau jauh sampai membunuh. Aku sarankan, kita tinggalkan dia di suatu jurang gurun pasir, di mana minumannya hanyalah air mata putus asa, tempat istirahatnya hanyalah pelaminan duri. Maka dalam waktu singkat tentulah ia akan mati secara wajar, pedang kita tak akan dinodai oleh darahnya, tetapi kita tetap terbebas dari siasat-siasat khianatnya."

"Jangan," kata yang ketiga, "Itu hanya akan merupakan suatu bentuk lain dari pembunuhan, bahkan lebih kejam dari yang pertama. Aku pikir gagasan yang terbaik ialah mencari sampai kita dapatkan suatu sumur gelap dan terpencil, lalu kita lemparkan dia ke dalamnya, marilah kita lemparkan dia dari puncak kesombongannya ke dalam lobang kenistaan. Kemudian, barangkali, bila suatu kafilah lewat, seseorang akan menurunkan ember ke dalam sumur itu, dan, sebagai ganti air, mereka akan menarik anak itu ke atas. Setelah itu, apakah mereka mengangkatnya sebagai anak atau mengambilnya sebagai budak, dalam keadaan apa pun Yusuf akan segera dibawa pergi, dan hubungannya dengan kita akan terputus, tanpa kita perlu untuk membinasakannya."

Akhirnya, mereka setuju untuk melaksanakan rencana itu pada keesokan harinya, dan secara munafik menipu ayah mereka. Dengan demikian, mereka semua terjun langsung ke dalam sumur bencana, tanpa sedikit pun mempertimbangkan kedalaman pengkhianatan mereka.

***

Adalah orang-orang pemurah yang sesungguhnya, yang telah melarikan diri dari hawa nafsu, duduk berkumpul di sudut pengabaian diri. Terbebas dari ikatan alam dan jerat ketamakan, mereka laksana debu di jalan penderitaan dan cinta. Tak ada hati manusia yang pernah ditutupi kabut karenanya, tidak pula seseorang memaksakan suatu beban kepada mereka. Mereka mengharmonikan perselisihan dunia ini, dan dengan sabar menanggung apa saja yang menimpanya. Mereka tidur dalam damai di setiap malam, kosong dan setiap kebencian atau permusuhan, dan mereka bangun di setiap waktu fajar dalam keadaan yang sama sebagaimana mereka pergi tidur.

Keesokan harinya mereka masih senang memikirkan rencana mereka, dengan lidah yang penuh cinta kasih dan hati yang membara oleh kebencian, bagai serigala dalam pakaian domba, mereka pergi menemui sang ayah. Segera setelah melihatnya, mereka memasang jubah kesucian dan berlutut dengan hormat di hadapannya. Kemudian, dengan memberikan kebebasan kepada kepura-puraan dan puji-pujian, mereka menempa percakapan yang menyentuh segala bagian.

Akhirnya mereka berkata,
"Kami sedang jenuh tinggal di rumah, besok, dengan izin ayah, kami ingin pergi ke pedalaman. Sekarang, karena ia demikian muda, saudara kami Yusuf yang tercinta, cahaya mata kita, hampir belum pernah melihat lapangan terbuka, menurut pikiran ayah, bolehkah kami mengajaknya? Kami akan sangat bangga apabila dapat membawanya serta! Bagaimanapun juga, ia tinggal di rumah siang dan malam, biarlah besok ia pergi menggembalakan ternak dan bermain sesuka hatinya. Kami dapat berlari-larian di padang bersamanya, dan mendaki bersama di bukit. Kami dapat bersma-sama memerah susu kambing, betapa senangnya nanti dia meminum susu kambing yang segar bersama kami! Ia akan bermain sepanjang hari di padang rumput hijau, dan bersuka ria sehingga ia sama sekali tidak akan rindu pulang ke rumah."

Mula-mula Ya'qub menahan izinnya,
"Bagaimana aku dapat membiarkan kalian membawanya? Aku akan tersiksa oleh kecemasan kalau-kalau kamu lupa mengawasinya, dan di lapangan yang berbahaya itu seekor serigala tua mungkin datang dan menyobek anggota tubuhnya yang lembut dengan taringnya yang tajam, dan dengan demikian berarti menyobek hatiku."

Tetapi orang-orang keji penipu licik itu hanya memperbarui tipuan mereka, "Ayolah! Jangan berpikir bahwa kami ini begitu lemah sehingga kami, sepuluh orang, tak dapat mempertahankan diri terhadap seekor serigala? Tak pernah! Bahkan singa pemangsa sekalipun tidak akan lebih mengganggu kami ketimbang seekor serigala."

Sesudah itu Ya`qub tidak lagi menaruh keberatan. Ia membiarkan mereka membawa Yusuf ke luar kota, dan dengan demikian ia membuka pintu bagi bencana.

***

Ketika Yusuf dipercayakan kepada binatang-binatang liar itu, langit tampak berteriak mengingatkan bahwa para serigala sedang membawa pergi seekor domba. Selagi mereka masih dalam pandangan ayah mereka, mereka saling berebut untuk menyatakan kasih sayang kepada anak itu, yang seorang mendukungnya di bahu, kemudian yang seorang lagi memeluknya ke dada. Tetapi hampir belum mereka sampai ke ujung lapangan, dengan kejam mereka mulai melahirkan kedengkian kepadanya. Dan bahu kasih sayang, ia dilemparkan ke tengah bebatuan dan duri. Ia harus berjalan dengan telanjang kaki di semak-semak yang penuh duri, hingga menusuk dan menggores tapak kakinya yang halus, kulit tipisnya pun ternodai dengan darah merah mawar.

Apabila ia tertinggal di belakang, mereka, orang-orang bertangan kasar itu, memukuli wajahnya hingga babak belur. Apabila ia terus maju ke depan, pukulan-pukulan menimpa tengkuknya, dan apabila ia berjalan di samping, pukulan menghujaninya dan segala arah.

Semoga pedang kalian memutuskan tangan yang berani memukul bulan yang mempesona itu! Apabila anak malang itu jatuh dengan menangis di kaki mereka, salah seorang dari mereka hanya menempatkan kakinya di atas kepalanya, dan menjawab keluhan merdu anak itu dengan ejekan kebencian.

Akhirnya, dengan merasa putus asa untuk dapat melembutkan hati mereka, Yusuf pun jatuh, terbaring pada debu yang lembab oleh darah dan air matanya, sembari terisak-isak patah hati, ia mengabarkan kecemasannya kepada angin lalu,

"Wahai ayahku! Di manakah engkau berada? Mengapa engkau tidak mempedulikan kesengsaraanku. Datang dan lihatlah putra-putramu telah sesat dari jalan akal sehat dan agama, datang dan lihatlah putra kesayanganmu, diinjak-injak oleh makhluk-makhluk yang cemburu ini! Engkau telah menyerahkanku kepada penghinaan ini, menyerahkan anak rusa kepada taring-taring serigala buas! Lihatlah bagaimana sesungguhnya perasaan mereka tentang putra yang paling engkau cintai, dan betapa mereka membayar hutang budi mereka kepadamu!

Mawar yang berbunga di bumi jiwamu dan diairi dengan hujan kasih sayang, sekarang telah demikian merana karena kekurangan air sehingga kehilangan segala warna dan aromanya. Kuncup hijau yang segar itu, yang dibesarkan di surga, yang engkau tanam di taman kehidupan, telah direndahkan sedemikian rupa oleh angin kelaliman, bahkan duri dan bebatuan tajam pun turut melukainya."

Hal itu berlanjut hingga akhirnya mereka sampai di suatu sumur lalu berhenti untuk beristirahat. Sumur itu betapa lobang gelap dan suram, bagai kuburan raja-raja lalim. Alangkah gelap kedalamannya. Mulutnya terbuka besar bagaikan rahang naga. Bagian dalamnya, bagai hati penganiaya, penuh dengan ular. Itu adalah jurang membentang yang terdiri dari kotoran yang menjijikkan, air keruh dan kotor. Sebuah lobang kotor yang mereka perlukan untuk menyingkirkan anak itu.

Sekali lagi Yusuf mulai mengucapkan sedu sedan yang demikian menyedihkan sehingga dapat mencairkan batu, sekiranya batu itu berkesadaran. Tetapi semakin duka tangisannya, semakin mengeras hati mereka. Betapa mungkin aku menggambarkan semua kekejaman itu! Hatiku menolak untuk melakukannya.

Tangan-tangan halus itu diikat di belakangnya dengan tali dari bulu kambing yang kasar, mereka mengikat pinggangnya yang ramping dengan tali kasar, dan menyobek bajunya, meninggalkannya sebagai sekuntum mawar merekah telanjang dari kuncup. Tetapi sesungguhnya mereka semua sebernarnya sedang memotong jubah malu yang akan mereka pakai hinga hari pengadilan.

Lalu mereka menurunkan Yusuf ke dalam sumur itu. Airnya setinggi pinggang Yusuf. Untunglah ada sebongkah batu yang menonjol ke permukaan yang ia dapat duduk di atasnya. Batu yang beruntung, permata manakah yang mendapat kedudukan seperti itu.

Jibril yang setia pun turun dari teratai samawi lalu berkata kepada Yusuf,
"Wahai anak malang yang tersisih, Tuhan menghendaki aku mengatakan kepadamu bahwa pada suatu hari Ia akan mengirimkan para pendosa yang keji ini kepadamu. Mereka akan datang kepadamu dengan mata merunduk, kepala mereka tertunduk karena malu, bahkan lebih sengsara daripada keadaanmu sekarang. Engkau akan merincikan kepada mereka semua kesalahan yang telah mereka lakukan kepadamu, tanpa mereka ketahui siapakah engkau sebenarnya."

Kata-kata malaikat itu menenteramkan kecemasan Yusuf, dan batu yang di atasnya ia duduk sekarang tampak bagaikan mahligai raja. Roh yang setia itu menjadi teman kesenangannya, yang menenangkan jiwanya yang tersiksa.

Sumur itu disinari oleh cahaya wajah Yusuf, dan ini membuat semua makhluk busuk merayap kembali ke hang mereka. Berkat bibirnya yang merah delima, air yang kotor itu menjadi semanis madu, dan harum semerbak rambutnya yang wangi mengusir semua bau busuk di sekitarnya.

***

Sungguh, adalah suatu kafilah yang mujur yang berhenti di sana untuk menimba sekadar air. Ketika salah seorang dari kafilah itu menarik timba dari sumur itu, ia melihat seorang amat indah yang bersinar bagai bulan purnama.

Selama tiga hari penuh bulan itu telah terbengkalai dalam sumur. Pada hari keempat sekelompok kafilah orang Madyan dalam perjalanan mereka menuju Mesir melewati tempat itu. Karena telah tersesat dari jalannya, mereka memutuskan untuk menurunkan muatannya dan berkemah di tepi sumur itu. Suatu kesalahan yang beruntung yang membawa mereka kepada seorang seperti Yusuf!

Orang pertama yang sampai ke sumur itu adalah sesungguhnya orang yang disukai takdir. Seperti Khidir di sumber keremajaan, ia menurunkan timba ke dalam terowongan gelap itu.
Jibril yang setia sekarang berkata kepada Yusuf,

"Marilah sekarang, tumpahkan sebagian dari air bersih kesayangan orang-orang yang sedang kehausan itu! Berdirilah di timba, dan bilamana engkau muncul di atas permukaan sumur, engkau akan memenuhi langit dengan cahaya."

Yusuf melompat dari batu dan memanjat ke timba itu. Si musafir menarik timba itu dengan segala kekuatannya seraya berseru,
"Betapa beratnya ember ini! Tentu di dalamnya ada sesuatu selain air." Dan ketika makhluk dengan cahaya bersinar itu muncul, si musafir berteriak, "Betapa beruntungnya nasib ini, yang mengirimkan bulan bersinar seperti ini dari kedalaman sumur yang gelap!"

Ia tak mengatakan kepada para musafir lain tentang temuannya, tetapi mengambil Yusuf kembali bersamanya ke kemahnya dan secara rahasia mempercayakannya kepada teman-temannya.

Sementara itu, saudara-saudara Yusuf yang cemburu telah mengembara berkeliling di sekitarnya, sambil berusaha untuk melihat bagaimanakah hasil perbuatan mereka. Ketika mereka melihat kafilah itu, mereka mendekati sumur itu dan secara sembunyi-sembunyi berseru kepada Yusuf, tetapi mereka hanya mendengarkan gema suaranya sendiri. Mereka pun pergi ke perkemahan untuk mencari saudara mereka, dan setelah itu, meski sebuah pencarian yang sia-sia, akhirnya mereka dapat menemukannya.

Mereka memegangnya seraya mengatakan,
"Anak ini adalah salah seorang budak kami. Ia melepaskan diri dari belenggu kesetiaannya. Ia malas bekerja, dan selalu berusaha melarikan diri. Kami sedang berpikir untuk menjualnya, walaupun ia lahir dalam keluarga kami. Pada saat seorang budak mulai memberikan pelayanan yang buruk, ia lebih merupakan gangguan daripada harga, dan adalah lebih baik untuk berpisah dengannya, sekalipun tanpa imbalan, karena kamu tak akan pernah dapat meluruskannya."

Dengan demikian, laki-laki baik yang telah menarik Yusuf dari sumur itu sekarang membelinya dengan harga yang sangat murah. Malik, demikian nama orang itu, mendapatkan Yusuf dengan membayar beberapa mata uang tembaga. Kemudian kafilah itu dimuati sekali lagi dan mereka pun berangkat ke Mesir.

Betapa bencananya jual beli itu, menjual jiwa seakan ia merupakan barang dagangan. Jiwa seperti itu dengan harga secelaka itu! Sekejap lirikannya saja sudah sama dengan harga semua upeti di Mesir. Sepatah katanya sama harganya dengan sepanjang kehidupan. Tetapi hanya Ya`qub yang mengetahui betapa besar harganya, dan hanya Zulaikha yang membayar harga itu.

Demikianlah si tak peduli memubazirkan perbendaharaan kebahagiaan, dan pergi dengan beberapa keping uang kusam.

07. Y&Z - Yusuf di Mesir

Malik sangat takjub atas pemuda yang menawan ini, sebuah kekayaan yang telah didapatnya dengan begitu murah, sehingga kakinya hampir tidak menyentuh tanah. Ia pun mendapatkan sebuah kekuatan hubungan dengan Yusuf. Sehingga ia mampu menyelesaikan perjalanan panjangnya ke Mesir dalam waktu separuh dari biasanya.

Dan tersiarlah kabar kedatangan mereka di Mesir. Malik, demikian bunyi kabar itu, Baru saja kembali dengan seorang budak Ibrani, sebuah bualan bersinar di puncak keindahan, seorang raja yang mulia dari kerajaan rahmat. Kepada semua mata mereka yang amat banyak, langit belum pernah melihat sebuah gambar yang seindah itu di seluruh serambi alam semesta.

Desas desus itu sampai ke telinga Raja Mesir, dan hal tersebut telah mengusik isi hatinya. "Mustahil!" Katanya, "Tanah Mesir adalah taman keindahan, yang bunga-bunganya akan membuat malu kembang-kembang surga." Ia segera memerintahkan wazirnya untuk bergegas menemui kafilah itu, untuk melihat dan membawa pemuda berwajah bulan itu ke istananya.

Wazir segera memenuhi perintah Raja. Ketika melihat Yusuf, ia demikian takjubnya, sehingga ia akan menyembah bumi dihadapannya apabila Yusuf tidak mencegahnya, "Janganlah merendahkan dirimu dihadapan siapa pun," katanya, "Kecuali kepada-Nya yang telah mewajibkanmu."

Maka Wazir pun meminta Malik membawa pemuda itu ke istana Raja. Tetapi Malik meminta waktu beberapa hari, supaya mereka dapat menyegarkan diri setelah perjalanan panjang tersebut. Wazir pun menyetujuinya, lalu kembali melapor kepada Raja.

Wazir hanya dapat menggambarkan sebagian dari keindahan Yusuf, tetapi cukup untuk membangkitkan semangat Raja. Ia memerintahkan untuk memilih ribuan pemuda berparas bagus di antara mawar-mawar taman rahmat, untuk tampil dengan Yusuf di hadapan para pembeli di pasar. Ia berharap bahwa dengan barisan orang bagus dan berbakat seperti itu dapat ditampilkan untuk menghadapinya, sekalipun Yusuf adalah matahari itu sendiri, ia tidak akan membawa kehangatan kepada pipi para pembeli.

***

Ketika tiba hari yang ditentukan, segera setelah matahari terbit di atas sungai Nil, Yusuf pergi ke tepian sungai itu. Di sana ia segera membuka baju dan segera mengikat kain basah ke pinggangnya, sembari berdiri bagai cemara perak di tepi air. Langit sendiri mengeluh dan iri hati atas keberuntungan sungai yang dapat mencium kakinya. Mula-mula ia mencuci anggota tubuhnya, kemudian menyelam dari tepian. Tubuhnya yang gemerlap, lenyap bagaikan teratai yang mengalir di bawah air. Beberapa waktu kemudian, ia pun muncul di tengah-tengah sungai.

Setelah kembali ke tepian, ia mengambil pakaian yang diulurkan kepadanya oleh seorang pelayan, sebuah jubah berwarna coklat dan brokat yang dibordir oleh ribuan perancang, pada alisnya tampak sebuah guratan yang mengalahkan sinar rembulan, dan di seputar pinggangnya, ikat pinggang bertahtakan mutiara. Dua berkas rambutnya yang memikat hati, terurai dengan bebas, memberikan wewangian kepada udara Mesir dengan aromanya.

Dengan dihias seperti itu, ia mengambil tempatnya di tandu, lalu berangkat menuju istana. Di luar istana, Raja telah memerintahkan untuk mendirikan sebuah podium, dan dihadapannya terdapat kerumunan besar makhluk-makhluk indah, semuanya sedang menantikan kehadiran yusuf. Akhirnya tandu pun diturunkan di atas podium, dan segeralah semua mata tertuju ke sana.

Kebetulan hari itu matahari telah tersembunyi di balik awan gelap. Malik berkata kepada Yusuf, "Melangkahlah keluar podium, wahai yang tersayang! .Engkau yang bagaikan matahari, tariklah ke belakang tirai dari wajahmu, dan rahmatilah dunia dengan cahayamu!"

Ketika Yusuf menarik tirai itu ke belakang, sinarnya memancar kepada orang-orang yang berkumpul di sana. Mula-mula mereka membayangkan bahwa itu cahaya matahari yang muncul dari balik awan hitam, kemudian, ketika mereka menyadari bahwa sinar itu datang dari wajah Yusuf, mereka bertepuk tangan dalam kekaguman, dan berseru, "Tuhan Maha Besar"! Bintang keberuntungan apakah ini yang membuat matahari dan bulan merasa malu?"

Dan bagi pujian semua negeri Mesir, Yusuf adalah suatu lembaran di mana nama-nama mereka telah dihabisi. Karena sekali matahari terbit, apa pula yang harus dilakukan bintang kecuali bersembunyi?

***

Sementara itu, Zulaikha tak mengetahui betapa sedikitnya jarak yang memisahkannya dari Yusuf. Walaupun demikian, ia merasakan suatu firasat, dan suatu kerinduan yang aneh melekat di hatinya, yang tak dapat diterangkannya, dan yang membuatnya sia-sia untuk meredakannya. Ia pergi ke luar kota dengan harapan akan menghilangkan perasaan itu. Tetapi justru sebaliknyalah yang terjadi, setelah beberapa hari kesedihan dan kecemasannya semakin besar.

Karena kepergiannya ke luar kota tampak hanya memperburuk masalah, Zulaikha memutuskan untuk kembali ke kota. Dalam perjalanannya pulang ia harus melewati lapangan terbuka di depan istana kerajaan. Melihat kerumunan banyak orang di sana, ia pun bertanya-tanya gerangan apakah itu.

"Semua keramaian itu," seseorang berkata kepadanya, "Adalah karena seorang laki-laki sedang dipamerkan. Seorang yang merupakan kekasih dari nasib baik. Seorang budak Kanaan, atau lebih tepat sebuah matahari cemerlang, Raja dari kerajaan keindahan."

Zulaikha membuka tirai tandunya, dan ketika pandangannya jatuh kepada pemuda itu, ia pun langsung mengenalinya. Ia menjerit kaget, lalu jatuh pingsan. Para pelayan segera melarikannya ke rumah.

Setelah sadar, inangnya bertanya kepadanya, "Wahai cahaya mataku, mengapa tangisan pahit itu meledak keluar dari hatimu yang sedang terbakar? Dan mengapa engkau langsung jatuh pingsan?"

"Apakah yang dapat aku katakan, ibu tersayang?" jawab "Apa pun yang aku katakan akan membawa kembali semua penderitaanku. Budak yang kita lihat di tengah kerumunan itu, dan yang engkau dengar dipuja oleh orang-orang itu, tak lain dari yang selalu menjadi impianku. Semoga jiwaku menjadi tebusannya, ia adalah kekasihku! Wajahnya yang menyenangkan itulah yang aku lihat dalam mimpi-mimpiku.

Dialah yang telah merenggut segala kedamaian dari pikiranku yang sehat. Karenanyalah tubuhku tersiksa, hatiku membara dalam nyala api, dan mataku terbenam dalam air mata kerinduan. Adalah cintaku kepadanya yang menggiringku ke dalam pengasingan putus asa, dan menyingkirkan diriku dari kampung halaman. Dialah penyebab segala kesengsaraan dan kejenuhanku hidup di dunia. Semuanya timbul dari hasrat untuk melihat wajah dan bentuk yang memukau itu.

Tetapi sekarang bebanku telah menjadi lebih besar daripada bukit, karena aku tak dapat melihat bagaimana riwayat ini akan berakhir. Rumah manakah yang akan dipimpin oleh bulanku itu? Kamar mana yang akan ia sinari dengan sinarnya yang lembut? Mata siapakah yang akan dibuatnya menjadi bersinar, rumah siapakah yang akan diubahnya menjadi surga?
Siapakah yang akan mencium bibirnya yang menganugerahkan kehidupan? Siapakah yang akan beristirahat di bawah naungan cemara itu? Siapakah yang akan berbangga memiliki pohon kurma perak itu? Apakah kedatangannya akan memulihkan kedamaian pikiranku dan membawa keberuntungan bagiku?"

Ketika inangnya menyadari penyebab kegairahan Zulaikha, ia sendiri terbakar bagai lilin pada nyala api. Ia menangis seraya berkata kepada suluh yang menyala itu,
"Tak seorang pun boleh mengetahui nafsu yang bernyala-nyala ini, kesedihan malam-malam dan penderitaan siang harimu. Engkau telah memikul nasibmu dengan sabar hingga kini. Dan sekarang jadikanlah kesabaran satu-satunya urusanmu, dan pastilah bahwa keteguhanmu akan berbuah pada akhirnya, matahari akan muncul bagimu dari balik awan gelap."

***

Adakah sesuatu dalam kehidupan ini yang lebih indah daripada ketika seseorang pecinta mengecap buah manis pertemuan dengan si kekasih, yang diiringi dengan segala penderitaan karena keterpisahan mereka?

Ketika Yusuf diajukan untuk dijual, keindahannya begitu rupa, sehingga seluruh penduduk kota ingin membelinya, sekalipun harus membayar dengan segala yang mereka miliki. Bahkan telah terdengar bahwa seorang perempuan tua yang demikian tertarik kepadanya, membawa tenunan yang telah ditenunnya seraya berkata,
"Hanya barang-barang tak berarti ini yang ada padaku, tetapi setidaknya aku dapat mengambil tempat di tengah kerumunan para pembeli."

Si juru lelang berteriak ke segala arah,
"Siapakah yang akan membeli seorang pemuda tanpa cacat? Pipinya adalah fajar keindahan, bibirnya adalah manik-manik dan tambang rahmat. Wajahnya yang bersinar mencerminkan kesempurnaan wataknya, dan adalah kebajikan mulia yang tinggal dalam dadanya. Lidahnya tidak berbicara selain kebenaran, dan ia tak mampu berbicara buruk."

Yang pertama mengajukan tawaran senilai satu kantong berisi seribu keping emas yang paling murni, kemudian para pembeli mulai saling berlomba, hingga mereka telah menaikkan harga sampai seratus kantong emas. Seorang kaya menawar untuk membeli Yusuf dengan minyak kesturi murni seberat badannya, yang lainnya menawarkan mutiara dan mirah delima sebagai ganti kesturi, dan dengan demikian penawaran yang terdiri dan segala jenis barang berharga, terus meningkat.

Tetapi Zulaikha bertindak bijaksana, mandadak ia mengajukan suatu tawaran yang dua kali lebih tinggi dan tawaran-tawaran itu, dan ini membungkam mulut para penawar.

Kemudian ia meminta kepada suaminya, Wazir Agung Mesir, untuk membayar kepada Malik sejumlah yang telah dijanjikannya. "Sayang!" jawabnya, "Semua kekayaanku—emas, intan permata dan wangi-wangian—tak sampai setengah dari jumlah itu. Bagaimana mungkin aku akan mendapatkannya?"

Zulaikha mempunyai sebuah kotak mutiara, kumpulan bintang cemerlang, yang setiap butirnya merupakan harta tak ternilai. "Wahai mutiara jiwaku," katanya, "Terimalah mutiara-mutiara ini pada harga itu dan bayarkanlah tebusannya."

Wazir kemudian mengajukan suatu keberatan lain, "Tetapi Raja hendak memiliki pemuda yang murni ini dalam barisan dayang-dayangnya dan menempatkannya di kepada semua barisan."
Tetapi Zulaikha mendesak,

"Pergilah, temui Raja, dan setelah melakukan penghormatan yang semestinya kepadanya, katakan ini kepadanya, tidak tertaut oleh ikatan cinta apa pun, aku tidak mempunyai anak yang menjadi tambatan mataku, oleh karena itu aku memohon kepada Paduka kesudian untuk memberikan kenikmatan dengan mengizinkan aku mengambil anak muda ini ke dalam rumahku, sebagai bintang yang paling cemerlang dalam galaksiku, untuk menjadi putraku dan budak paduka!"

Wazir melakukan apa yang diminta Zulaikha, dan ketika Raja mendengar bicaranya yang khidmat, ia mengizinkan dirinya untuk dikuasai oleh alasan yang demikian hebat, dan dengan murah hati ia menganugerahkan kepadanya kenikmatan yang diminta padanya. Ia segera memberi izin kepada Wazir untuk mendapatkan Yusuf dan mengangkatnya sebagai anak angkat yang tercinta.

Demikianlah, akhirnya Zulaikha melepaskan diri dari belenggu penderitaan. Air mata gembira berbaris bak mutiara dari bulu matanya. Ia menggosok matanya dan berkata kepada dirinya sendiri,

"Tuhanku! Aku heran apakah aku sedang tidur atau terbangun, ketika aku melihat impian jiwaku manjadi kenyataan. Sepanjang malam-malamku yang suram, pernahkah aku berani berharap untuk melihat fajar dari hari yang cemerlang ini? Tetapi akhirnya bayang-bayang telah menyerah kepada pagi yang jaya ini, dan kesedihanku yang tak ada redanya akhirnya telah berakhir. Sekarang setelah aku menjadi teman makhluk yang bagus ini, aku dapat membanggakan kebahagiaanku bahkan kepada langit sekalipun.

Apakah aku kemarin? Sekor ikan yang disentak dari air, menggelepar dan membanting diri di pasir. Kemudian hujan badai dari awan kemurahan membawanya kembali kepada keselamatan. Atau, sebagai seorang musafir yang hilang di kegelapan malam, letih lesu dan sedang menghembuskan nafas terakhirnya, kemudian tiba-tiba bulan terbit di atas angkasa dan menunjukkan kepadanya jalan menuju kebahagiaan.

Terima kasih kepada Yang Maha Kuasa atas perubahan nasib yang ramah ini, yang mengakhiri siksaan jiwaku! Semoga seribu nyawa menjadi orang baik yang membawa kekayaan mulia seperti itu ke pasar! Apa urusannya apabila kantong permataku sobek terbuka, bilamana telah aku dapatkan seluruh tambang permata mahal? Apakah artinya harga sebuah permata dibandingkan dengan suatu jiwa? Di samping itu, tidakkah segala suatu menjadi milik seorang sahabat? Apakah yang telah aku berikan kecuali hanya beberapa batu kecil, dan dengan itu aku telah membeli hidup itu sendiri. Demi Tuhan, sesungguhnya itu adalah perdagangan yang menakjubkan!"

Itulah pikiran-pikiran rahasia yang tersaring dalam pikirannya ketika ia menangis karena kebahagiaan. Kadang ia menatap diam-diam kepada Yusuf, diiringi rasa amat bahagia telah terbebas dan kecemasan perpisahan. Dan terkadang ia memikirkan penderitaannya di masa lalu.

Betapa gembiranya, telah disatukan dengan Yusuf pada akhirnya.."