Walaupun pikiran Zulaikha telah terbebas dari hawa nafsu, berita tentang kecantikannya telah tersebar ke seluruh penjuru dunia, dan barangsiapa mendengar gambaran tentang kecantikannya, akan segera jatuh cinta dan tergila-gila kepadanya. Ia menjadi pokok perhatian besar di setiap istana raja, lamaran para raja pun mengalir masuk. Ketika ia telah sembuh dari kegilaannya, dan telah menempati kembali istana keanggunan dan akal sehatnya, para utusan raja dari Suriah, Yunani, dan banyak wilayah lainnya, datang memperkenalkan diri ke ambang istana. Seakan-akan ingin melambangkan asal-usul mereka dengan membawa hadiah yang khas dari negerinya masing-masing.
"Ke arah mana saja si cantik itu memalingkan wajahnya, menimbulkan rasa cemburu bagi mahligai dan mahkota, bahkan matahari sekalipun." Demikan para utusan itu mengatakan, masing-masing mewakili pengusa yang jaya.
Ketika kepadanya dikatakan tentang semua ini, Zulaikha cemas hendak melihat apakah ada orang Mesir di antara utusan itu. "Karena Mesirlah yang aku cinta," katanya. "Hanya Mesir yang menarik hatiku, apa gunanya para utusan dan tempat lain itu, angin yang bertiup kepadaku dan Mesir, dan membawa debu Mesir ke mataku seratus kali lebih aku inginkan daripada angin bermuatan minyak kesturi dari dataran Tartar."
Zulaikha dipenuhi oleh pikiran-pikiran seperti itu ketika ayahnya memanggilnya dan mengatakan dengan lembut kepadanya,
"Wahai cahaya mataku, hiburan hatiku! Setiap raja bermahkota di dunia para raja, memiliki hasrat cinta kepadamu, dan sekarang masing-masing dan mereka telah mengirimkan utusan dengan harapan akan mendapatkan perkenanmu. Biarlah aku sebutkan kembali pesan-pesan mereka kepadamu, untuk melihat siapa di antara mereka yang akan engkau terima. Negara mana pun yang mengambil impianmu, segera akan menjadikanmu ratu impian itu."
Ia pun membaca sederetan nama-nama raja yang ingin menyunting, dan Zulaikha mendengarkan dengan penuh perhatian, dengan harapan akan mendengarkan sebuah nama yang dikenalnya. Betapa manisnya memperhatikan dengan pengharapan akan mendengarkan nama sang kekasih. Tetapi tak ada sebutan tentang seorang dari Mesir, tak ada utusan yang datang dengan lamaran kawin dari negeri itu. Dalam kekecewaan ia berdiri, gemetar bagai ranting pohon pinus. Butiran air mata mutiaranya tampak di pelupuk matanya, Zulaikha mulai meratapi nasibnya.
"Saya berharap kepada Tuhan, kiranya aku tak pernah dilahirkan, atau karena telah dilahirkan tak ada ibu yang menyusui saya! Bintang celaka apakah yang memimpin kelahiran saya? Langit di atas, apakah yang membuat engkau memusuhiku? Apabila engkau tidak menyukaiku terbang kepada kekasihku, sekurang-kurangnya janganlah engkau membuang aku jauh-jauh darinya. Apakah kematianku yang engkau kehendaki? Jika demikian di sinilah aku, yang dibunuh oleh kekejamanmu. Apakah engkau hendak melihatku tersiksa oleh kesedihan? Lihatlah, hatiku lumat ditindih gunung penderitaan. Engkau telah menghujaniku dengan seratus luka, sungguh, aku pantas menerima belas kasihan!
Tetapi, apakah aku dipenuhi kegembiraan atau kesusahan, apakah artinya bagimu? Apabila hidup ini pahit atau manis bagiku, apakah artinya bagimu? Apakah bedanya hidup atau matiku bagimu? Apa pedulimu apabila angin menyapu semua gudang panenku, bagimu ratusan panen tak lebih dari sebutir gandum. Engkau telah melemparkan ribuan mawar segar kepada angin gurun untuk layu dalam napasnya, maka mengapakah engkau seakan berhenti padaku, apakah aku berbeda dengan yang lainnya?"
Menyadari hasratnya yang tak terpadamkan, ayah Zulaikha harus membubarkan semua utusan itu, dengan memberikan kepada mereka jubah-jubah kehormatan dan menyampaikan alasan-alasan kepada mereka bahwa ia telah terikat oleh suatu janji yang mahal kepada Wazir Agung Mesir. Para utusan itu pun pulang dengan kecewa, dengan tidak membawa apa-apa kecuali udara kosong dalam genggamannya.
***
Zulaikha terluka dalam sekali, keputus-asaan terus menumpukkan luka. Melihat cintanya yang luar biasa kepada Wazir Agung Mesir, ayahnya memutuskan bahwa satu-satunya obat bagi sakitnya ialah mengirim utusan ke Mesir demi usaha untuk mempersatukan antara putrinya dengan Wazir itu. Untuk tujuan itu ia menunjuk seorang kesayangannya, yang terkenal karena kebijakannya. Dimulai dengan kata-kata pujian, kemudian ia menyerahkan hadiah-hadiah yang tak terhitung banyaknya untuk disampaikan kepada Wazir itu, dan memerintahkan kepadanya untuk menyampaikan pesan berikut:
"Hormatku kepada orang yang setiap hari langit menganugerahinya kenikmatan yang berlimpah, yang debu-debu kekayaannya telah dicium oleh keberuntungaan!
Suatu matahari telah terbit bagiku dalam tanda kesucian, yang kecantikannya telah membuat bulan sendiri menyala. Aku berbicara tentang putriku yang lebih suci dari mutiara yang tersimpan dalam kerang, dan lebih bersinar dan bintang yang berkelip. Selain cerminnya, tak ada yang pernah melihat wajahnya, kecuali hanya sisirnya. Tak ada yang telah menyapu rambutnya, namun meskipun ia telah berada dengan cermat di balik tabir kesuciannya, kecantikannya yang masyhur telah melintasi dunia. Setiap raja, dari timur ke barat terlanda cinta kepadanya, dan telah meminum darah hatinya karenanya.
Tetapi tak satu pun dari mereka yang menarik hatinya, ia hanya memikirkan Mesir. Air matanya, seperti sungai Nil, membasahi jalan yang menuju ke sana. Aku tak tahu penyebab keterpikatannya kepada Mesir. Tak ragu bahwa ia terbentuk dari lempungnya, dan ditakdirkan bahwa ia harus hidup di sana.
Oleh karena itu apabila yang Mulia menyukai, kami akan mengirimkannya ke negerimu, dan apabila kecantikannya tidak pantas menempati kehormatan istanamu, maka setidaknya izinkanlah ia menyapu lantainya sebagaimana layaknya seorang budak yang sederhana."
Ketika Wazir mendengar pesan itu, ia amat merasa tersanjung. Dengan membungkuk rendah ia menjawab:
"Siapakah aku maka aku akan berani manabur dalam hatiku benih pikiran seperti itu? Tetapi karena Paduka telah merendah untuk mengangkatku dari debu, maka patutlah aku mengangkat kepalaku ke langit. Aku bagaikan tanah gersang yang tiba-tiba dibasahi dan atas dengan awan musim nikmat oleh Yang Mulia. Sekali pun aku mempunyai seratus lidah, tak dapat aku berterima kasih dengan cukupnya kepada sang Raja.
Kewajibanku yang pertama adalah harus bergegas untuk memberikan penghormatan kepadanya, tetapi, alangkah sayangnya, semua waktuku telah diambil oleh tugasku kepada istana Raja tambang kebijaksanaan itu! Aku khawatir dengan ketidakhadiranku untuk waktu singkat pun aku akan terserang oleh pedang kuat kekuasaannya. Oleh karena itu, aku mohon ampunanmu agar aku tidak mengadakan perjalanan ke sana, dan aku percaya bahwa hal ini tidak akan dianggap sebagai ketidakpedulianku.
Dengan izin Raja, aku akan berusaha melaksanakan kewajibanku kepadanya dengan mengirimkan suatu kafilah dua ratus tandu emas, yang disertai oleh seribu pemuda dan gadis cantik, yang seluruhnya dikawal oleh laki-laki berakal dan berwawasan. Semua ini akan mengantarkan pengantinku ke istana menakjubkan yang telah disediakan."
Setelah mendengar kata-kata itu, utusan yang bijaksana itu membungkukkan badannya sampai ke tanah seraya berkata,
"Tuhan Mahamulia, yang seratus kali membawa kemuliaan ke negeri Mesir dan kehidupan baru yang segar ke lapangan kemurahan! Rajaku tidak memerlukan kemewahan dan upacara dari pengiring, karena ia tidak kekurangan suatu apa dari yang engkau sebutkan. Budak-budaknya, laki-laki dan perempuan, tak terhitung jumlahnya, permata yang berkilauan miliknya lebih banyak dari pasir di gurun. Satu-satunya hasratnya ialah penerimaanmu. Berbahagialah orang yang mampu menyenangkan mu, karena buah yang ia tawarkan dapat di terima di mejamu. Ia tidak akan menunda pengirimannya kepadamu."
Duta yang bijaksana itu segera pulang dari Mesir, ia telah menghancurkan belenggu yang mengikat jiwa Zulaikha. Ketika mendengar berita tersebut, hatinya dikosongkan dan diisi dengan sang Wazir tercinta. Mawar kebahagiaannya mulai berkuncup dan rajawali keberuntungannya membubung.
Suatu mimpi telah menjadikannya tawanan, dan sebuah bayangan membebaskannya. Demikianlah cara dunia, semua kegembiraan dan semua kesusahan, sama-sama hanyalah hasil dari mimpi dan khayal. Berbahagialah orang yang dapat mengabaikan hal-hal seperti itu, dan lari terhindar tanpa cedera dari pusaran airnya!
* * *
Melihat kegembiraan Zulaikha, ayahnya mulai mempersiapkan iring-iringan pengantin itu. Ia mengumpulkan seribu budak perempuan yang anggun, berpipi merah mawar, boneka-boneka dengan dada berkuncup dari Yunani dan Rusia, dengan alis hitam bak kesturi, warna mereka, meski tanpa pewarna, sama segarnya dengan bunga-bunga pagi.
Ada pula seribu pelayan yang tak berjanggut, para pemikat hati dan perayu dengan pandangan mata nakalnya yang menggoda. Mawar merah mereka ditenggerkan di atas rambut harum yang terurai, yang akan menawan seratus hati ke mana saja mereka pergi.
Kemudian ada seribu ekor kuda perang tanpa cela, sama gairah dan patuhnya, lebih cepat dari bola yang dipukul oleh tongkat. Gerakan mereka sama halusnya dengan air yang mengalir di atas rerumputan. Bayangan cambuk saja pun cukup untuk membuatnya melompat dari muka bumi.
Yang terakhir adalah rombongan seribu unta yang megah dengan tubuh kuat bagaikan gunung, namun menyaingi angin dalam kecepatan kakinya. Mereka khidmat bagaikan pertapa, dengan sabar menanggung bebannya seperti para wali. Dengan penuh keyakinan kepada Tuhan, mereka telah menyeberangi seratus gurun. Muatan mereka terdiri dari barang-barang berharga, masing-masing adalah berupa upeti.
Bagi Zulaikha sendiri, sebuah tandu telah disiapkan, satu ruangan pengantin yang meyakinkan, dibentuk dari kayu gaharu dan cendana. Tirainya disulami dengan emas dan atapnya dilapisi intan permata, bubungannya yang keemasan berkilau laksana matahari. Baik di dalam maupun di luar, merupakan kumpulan emas dan mutiara, dengan umbai-umbai brokat yang merupakan keajaiban corak dan rancangan.
Di situlah Zulaikha ditempatkan dengan seribu kata-kata halus. Pawai khidmat itu berangkat menuju Mesir. Dipikul oleh para pemikul yang berkaki lincah, ia maju bagaikan kuncup berayun pada bayu musim semi. Seakan musim semi sedang berpindah dan satu negeri ke negeri lainnya.
Demikianlah, tahap demi tahap mereka maju ke Mesir. Segera setelah mereka hampir mencapai tujuan, seorang penunggang disuruh memacu kudanya untuk memberitahukan kedatangan mereka kepada sang Wazir.
Zulaikha merasa puas dengan nasibnya ketika ia memikirkan bahwa perjalanan itu akan segera berakhir. Di malam kesedihannya, fajar sedang mendekati, dan sedihnya perpisahan akan segera berakhir. Ia tidak menduga betapa gelap malam yang masih akan dilewatinya, dan masih berapa lama panjang perjalanan sampai ke fajar.