Saturday, March 10, 2007

06. Y&Z - Yusuf Dijual Sebagai budak

Berbahagialah orang yang luput dari ikatan penampilan dan menutup matanya dari sihir yang memukau. Matanya dapat dibenamkan ke dalam tidur, tetapi hatinya selalu mengawasi. Siapakah yang pemah melihat orang yang demikian? Matanya tertutup dari dunia fana ini, namun terbuka bagi rahasia hari esok.

Pada suatu malam Yusuf meletakkan kepalanya di atas bantal untuk tidur. Ya`qub, sang ayah, yang telah menjaga bagaikan biji matanya sendiri, duduk memandangnya. Ketika ia tertidur, senyum yang amat manis muncul di bibirnya yang merah delima, sehingga hati Ya`qub dipenuhi rasa kekhawatiran.

Ketika si anak membuka matanya yang lembab karena tidur, ayahnya bertanya kepadanya, "Katakan kepadaku, wahai anakku, yang manisnya membuat gula merasa malu, apa yang baru membuat engkau tersenyum seperti itu?"

Yusuf menjawab, "Aku bermimpi melihat matahari, bulan dan sebelas bintang yang bersinar bersujud bersama-sama di hadapanku dan memberi hormat kepadaku."

"Berhentilah," kata Ya'qub, "Jangan sekali-kali engkau ceritakan mimpi ini kepada siapa pun, terutama sekali kepada saudara-saudaramu, karena apabila mereka mengetahui itu, maka mereka akan menimpakan seratus siksa kepadamu. Sekarang saja mereka sudah dipenuhi dengki kepadamu, mimpi itu hanya akan menambah bahan bakar keberangan mereka yang penuh cemburu, karena makna mimpi itu amat jelas."

Demikianlah perintah ayahnya, tetapi nasib dapat meruntuhkan dalam satu hembusan nafas rantai-rantai nasihat manusia. Yusuf hanya mengatakan mimpinya kepada satu orang, tetapi segera saudara-saudaranya mengetahuinya. Ada suatu peribahasa yang mengatakan,
"Rahasia yang diketahui lebih dari dua orang, sama saja diketahui oleh semua orang."
Banyak rahasia yang hanya melewati dua bibir saja, namun telah melukai ratusan hati orang-orang berani.

Demikianlah, saudara-saudara Yusuf mendengar tentang mimpi itu, dan mereka menyobek baju karena berang. "Tuhan yang Maha Besar!" Seru mereka.

"Apa yang salah pada ayah kita, sehingga ia tak dapat mengatakan kelebihannya sendiri dan segala kekurangan yang dimilikinya? Jadi apakah artinya anak-anak? Bilamana seorang anak tidak lebih baik dari parasit pengisap! Berapa lama si Yusuf ini akan mendesak ke hati setiap orang dengan kebohongan dan membesar-besarkan diri? Orang tua malang itu telah disihir olehnya, hingga tak dapat lagi berada tanpa ditemaninya.

Yusuf telah membuatnya terasing dari kita. Ayah telah demikian membesar-besarkan tipu dayanya sehingga ia tak dapat lagi puas dengan kehormatan yang telah diperolehnya, dan telah memasukkan daya ke kepalanya untuk memaksa kita, yang juga termasuk keturunan suci, untuk membungkuk laksana debu di hadapannya. Bukan cuma itu, ayah dan ibu kita pun selama ini harus tunduk! Tidak! Sama sekali kita tak boleh menerima sikap mengaku besar seperti itu!

Kita adalah sahabat yang sesungguhnya berbakti kepada ayah kita, bukan Yusuf, kitalah yang menjaga kawanan ternak sepanjang hari di padang rumput, dan di waktu malam menjaga rumahnya. Kitalah yang selalu hormat di hadapan sahabat-sahabatnya, dan yang memiliki kekuatan untuk melindungi dari musuh-musuhnya. Apakah artinya, apabila itu bukan pengkhianatan oleh Yusuf, sehingga ayah lebih menyukai Yusuf daripada kita? Maka marilah kita pikirkan suatu cara untuk melepaskan diri darinya, sementara masih ada waktu."

Demikianlah, saudara-saudara Yusuf mengatur pertemuan untuk membuat rencana jahat terhadapnya. Seorang di antara mereka memulai,
"Karena Yusuf telah membuat hati kita berdarah dengan kecemburuan, kita harus mencari daya untuk menumpahkan darahnya sebagai balasan. Apabila engkau mempunyai kesempatan untuk membunuh musuhmu, ambillah kesempatan itu, karena orang mati tidak akan berkata-kata."

Seorang yang lain memprotes,
"Adalah dosa bila kita memikirkan untuk membunuh orang yang tak berdosa. Memang kita hendak berlaku keras kepadanya, tetapi jangan membiarkan kita berlaku terlampau jauh sampai membunuh. Aku sarankan, kita tinggalkan dia di suatu jurang gurun pasir, di mana minumannya hanyalah air mata putus asa, tempat istirahatnya hanyalah pelaminan duri. Maka dalam waktu singkat tentulah ia akan mati secara wajar, pedang kita tak akan dinodai oleh darahnya, tetapi kita tetap terbebas dari siasat-siasat khianatnya."

"Jangan," kata yang ketiga, "Itu hanya akan merupakan suatu bentuk lain dari pembunuhan, bahkan lebih kejam dari yang pertama. Aku pikir gagasan yang terbaik ialah mencari sampai kita dapatkan suatu sumur gelap dan terpencil, lalu kita lemparkan dia ke dalamnya, marilah kita lemparkan dia dari puncak kesombongannya ke dalam lobang kenistaan. Kemudian, barangkali, bila suatu kafilah lewat, seseorang akan menurunkan ember ke dalam sumur itu, dan, sebagai ganti air, mereka akan menarik anak itu ke atas. Setelah itu, apakah mereka mengangkatnya sebagai anak atau mengambilnya sebagai budak, dalam keadaan apa pun Yusuf akan segera dibawa pergi, dan hubungannya dengan kita akan terputus, tanpa kita perlu untuk membinasakannya."

Akhirnya, mereka setuju untuk melaksanakan rencana itu pada keesokan harinya, dan secara munafik menipu ayah mereka. Dengan demikian, mereka semua terjun langsung ke dalam sumur bencana, tanpa sedikit pun mempertimbangkan kedalaman pengkhianatan mereka.

***

Adalah orang-orang pemurah yang sesungguhnya, yang telah melarikan diri dari hawa nafsu, duduk berkumpul di sudut pengabaian diri. Terbebas dari ikatan alam dan jerat ketamakan, mereka laksana debu di jalan penderitaan dan cinta. Tak ada hati manusia yang pernah ditutupi kabut karenanya, tidak pula seseorang memaksakan suatu beban kepada mereka. Mereka mengharmonikan perselisihan dunia ini, dan dengan sabar menanggung apa saja yang menimpanya. Mereka tidur dalam damai di setiap malam, kosong dan setiap kebencian atau permusuhan, dan mereka bangun di setiap waktu fajar dalam keadaan yang sama sebagaimana mereka pergi tidur.

Keesokan harinya mereka masih senang memikirkan rencana mereka, dengan lidah yang penuh cinta kasih dan hati yang membara oleh kebencian, bagai serigala dalam pakaian domba, mereka pergi menemui sang ayah. Segera setelah melihatnya, mereka memasang jubah kesucian dan berlutut dengan hormat di hadapannya. Kemudian, dengan memberikan kebebasan kepada kepura-puraan dan puji-pujian, mereka menempa percakapan yang menyentuh segala bagian.

Akhirnya mereka berkata,
"Kami sedang jenuh tinggal di rumah, besok, dengan izin ayah, kami ingin pergi ke pedalaman. Sekarang, karena ia demikian muda, saudara kami Yusuf yang tercinta, cahaya mata kita, hampir belum pernah melihat lapangan terbuka, menurut pikiran ayah, bolehkah kami mengajaknya? Kami akan sangat bangga apabila dapat membawanya serta! Bagaimanapun juga, ia tinggal di rumah siang dan malam, biarlah besok ia pergi menggembalakan ternak dan bermain sesuka hatinya. Kami dapat berlari-larian di padang bersamanya, dan mendaki bersama di bukit. Kami dapat bersma-sama memerah susu kambing, betapa senangnya nanti dia meminum susu kambing yang segar bersama kami! Ia akan bermain sepanjang hari di padang rumput hijau, dan bersuka ria sehingga ia sama sekali tidak akan rindu pulang ke rumah."

Mula-mula Ya'qub menahan izinnya,
"Bagaimana aku dapat membiarkan kalian membawanya? Aku akan tersiksa oleh kecemasan kalau-kalau kamu lupa mengawasinya, dan di lapangan yang berbahaya itu seekor serigala tua mungkin datang dan menyobek anggota tubuhnya yang lembut dengan taringnya yang tajam, dan dengan demikian berarti menyobek hatiku."

Tetapi orang-orang keji penipu licik itu hanya memperbarui tipuan mereka, "Ayolah! Jangan berpikir bahwa kami ini begitu lemah sehingga kami, sepuluh orang, tak dapat mempertahankan diri terhadap seekor serigala? Tak pernah! Bahkan singa pemangsa sekalipun tidak akan lebih mengganggu kami ketimbang seekor serigala."

Sesudah itu Ya`qub tidak lagi menaruh keberatan. Ia membiarkan mereka membawa Yusuf ke luar kota, dan dengan demikian ia membuka pintu bagi bencana.

***

Ketika Yusuf dipercayakan kepada binatang-binatang liar itu, langit tampak berteriak mengingatkan bahwa para serigala sedang membawa pergi seekor domba. Selagi mereka masih dalam pandangan ayah mereka, mereka saling berebut untuk menyatakan kasih sayang kepada anak itu, yang seorang mendukungnya di bahu, kemudian yang seorang lagi memeluknya ke dada. Tetapi hampir belum mereka sampai ke ujung lapangan, dengan kejam mereka mulai melahirkan kedengkian kepadanya. Dan bahu kasih sayang, ia dilemparkan ke tengah bebatuan dan duri. Ia harus berjalan dengan telanjang kaki di semak-semak yang penuh duri, hingga menusuk dan menggores tapak kakinya yang halus, kulit tipisnya pun ternodai dengan darah merah mawar.

Apabila ia tertinggal di belakang, mereka, orang-orang bertangan kasar itu, memukuli wajahnya hingga babak belur. Apabila ia terus maju ke depan, pukulan-pukulan menimpa tengkuknya, dan apabila ia berjalan di samping, pukulan menghujaninya dan segala arah.

Semoga pedang kalian memutuskan tangan yang berani memukul bulan yang mempesona itu! Apabila anak malang itu jatuh dengan menangis di kaki mereka, salah seorang dari mereka hanya menempatkan kakinya di atas kepalanya, dan menjawab keluhan merdu anak itu dengan ejekan kebencian.

Akhirnya, dengan merasa putus asa untuk dapat melembutkan hati mereka, Yusuf pun jatuh, terbaring pada debu yang lembab oleh darah dan air matanya, sembari terisak-isak patah hati, ia mengabarkan kecemasannya kepada angin lalu,

"Wahai ayahku! Di manakah engkau berada? Mengapa engkau tidak mempedulikan kesengsaraanku. Datang dan lihatlah putra-putramu telah sesat dari jalan akal sehat dan agama, datang dan lihatlah putra kesayanganmu, diinjak-injak oleh makhluk-makhluk yang cemburu ini! Engkau telah menyerahkanku kepada penghinaan ini, menyerahkan anak rusa kepada taring-taring serigala buas! Lihatlah bagaimana sesungguhnya perasaan mereka tentang putra yang paling engkau cintai, dan betapa mereka membayar hutang budi mereka kepadamu!

Mawar yang berbunga di bumi jiwamu dan diairi dengan hujan kasih sayang, sekarang telah demikian merana karena kekurangan air sehingga kehilangan segala warna dan aromanya. Kuncup hijau yang segar itu, yang dibesarkan di surga, yang engkau tanam di taman kehidupan, telah direndahkan sedemikian rupa oleh angin kelaliman, bahkan duri dan bebatuan tajam pun turut melukainya."

Hal itu berlanjut hingga akhirnya mereka sampai di suatu sumur lalu berhenti untuk beristirahat. Sumur itu betapa lobang gelap dan suram, bagai kuburan raja-raja lalim. Alangkah gelap kedalamannya. Mulutnya terbuka besar bagaikan rahang naga. Bagian dalamnya, bagai hati penganiaya, penuh dengan ular. Itu adalah jurang membentang yang terdiri dari kotoran yang menjijikkan, air keruh dan kotor. Sebuah lobang kotor yang mereka perlukan untuk menyingkirkan anak itu.

Sekali lagi Yusuf mulai mengucapkan sedu sedan yang demikian menyedihkan sehingga dapat mencairkan batu, sekiranya batu itu berkesadaran. Tetapi semakin duka tangisannya, semakin mengeras hati mereka. Betapa mungkin aku menggambarkan semua kekejaman itu! Hatiku menolak untuk melakukannya.

Tangan-tangan halus itu diikat di belakangnya dengan tali dari bulu kambing yang kasar, mereka mengikat pinggangnya yang ramping dengan tali kasar, dan menyobek bajunya, meninggalkannya sebagai sekuntum mawar merekah telanjang dari kuncup. Tetapi sesungguhnya mereka semua sebernarnya sedang memotong jubah malu yang akan mereka pakai hinga hari pengadilan.

Lalu mereka menurunkan Yusuf ke dalam sumur itu. Airnya setinggi pinggang Yusuf. Untunglah ada sebongkah batu yang menonjol ke permukaan yang ia dapat duduk di atasnya. Batu yang beruntung, permata manakah yang mendapat kedudukan seperti itu.

Jibril yang setia pun turun dari teratai samawi lalu berkata kepada Yusuf,
"Wahai anak malang yang tersisih, Tuhan menghendaki aku mengatakan kepadamu bahwa pada suatu hari Ia akan mengirimkan para pendosa yang keji ini kepadamu. Mereka akan datang kepadamu dengan mata merunduk, kepala mereka tertunduk karena malu, bahkan lebih sengsara daripada keadaanmu sekarang. Engkau akan merincikan kepada mereka semua kesalahan yang telah mereka lakukan kepadamu, tanpa mereka ketahui siapakah engkau sebenarnya."

Kata-kata malaikat itu menenteramkan kecemasan Yusuf, dan batu yang di atasnya ia duduk sekarang tampak bagaikan mahligai raja. Roh yang setia itu menjadi teman kesenangannya, yang menenangkan jiwanya yang tersiksa.

Sumur itu disinari oleh cahaya wajah Yusuf, dan ini membuat semua makhluk busuk merayap kembali ke hang mereka. Berkat bibirnya yang merah delima, air yang kotor itu menjadi semanis madu, dan harum semerbak rambutnya yang wangi mengusir semua bau busuk di sekitarnya.

***

Sungguh, adalah suatu kafilah yang mujur yang berhenti di sana untuk menimba sekadar air. Ketika salah seorang dari kafilah itu menarik timba dari sumur itu, ia melihat seorang amat indah yang bersinar bagai bulan purnama.

Selama tiga hari penuh bulan itu telah terbengkalai dalam sumur. Pada hari keempat sekelompok kafilah orang Madyan dalam perjalanan mereka menuju Mesir melewati tempat itu. Karena telah tersesat dari jalannya, mereka memutuskan untuk menurunkan muatannya dan berkemah di tepi sumur itu. Suatu kesalahan yang beruntung yang membawa mereka kepada seorang seperti Yusuf!

Orang pertama yang sampai ke sumur itu adalah sesungguhnya orang yang disukai takdir. Seperti Khidir di sumber keremajaan, ia menurunkan timba ke dalam terowongan gelap itu.
Jibril yang setia sekarang berkata kepada Yusuf,

"Marilah sekarang, tumpahkan sebagian dari air bersih kesayangan orang-orang yang sedang kehausan itu! Berdirilah di timba, dan bilamana engkau muncul di atas permukaan sumur, engkau akan memenuhi langit dengan cahaya."

Yusuf melompat dari batu dan memanjat ke timba itu. Si musafir menarik timba itu dengan segala kekuatannya seraya berseru,
"Betapa beratnya ember ini! Tentu di dalamnya ada sesuatu selain air." Dan ketika makhluk dengan cahaya bersinar itu muncul, si musafir berteriak, "Betapa beruntungnya nasib ini, yang mengirimkan bulan bersinar seperti ini dari kedalaman sumur yang gelap!"

Ia tak mengatakan kepada para musafir lain tentang temuannya, tetapi mengambil Yusuf kembali bersamanya ke kemahnya dan secara rahasia mempercayakannya kepada teman-temannya.

Sementara itu, saudara-saudara Yusuf yang cemburu telah mengembara berkeliling di sekitarnya, sambil berusaha untuk melihat bagaimanakah hasil perbuatan mereka. Ketika mereka melihat kafilah itu, mereka mendekati sumur itu dan secara sembunyi-sembunyi berseru kepada Yusuf, tetapi mereka hanya mendengarkan gema suaranya sendiri. Mereka pun pergi ke perkemahan untuk mencari saudara mereka, dan setelah itu, meski sebuah pencarian yang sia-sia, akhirnya mereka dapat menemukannya.

Mereka memegangnya seraya mengatakan,
"Anak ini adalah salah seorang budak kami. Ia melepaskan diri dari belenggu kesetiaannya. Ia malas bekerja, dan selalu berusaha melarikan diri. Kami sedang berpikir untuk menjualnya, walaupun ia lahir dalam keluarga kami. Pada saat seorang budak mulai memberikan pelayanan yang buruk, ia lebih merupakan gangguan daripada harga, dan adalah lebih baik untuk berpisah dengannya, sekalipun tanpa imbalan, karena kamu tak akan pernah dapat meluruskannya."

Dengan demikian, laki-laki baik yang telah menarik Yusuf dari sumur itu sekarang membelinya dengan harga yang sangat murah. Malik, demikian nama orang itu, mendapatkan Yusuf dengan membayar beberapa mata uang tembaga. Kemudian kafilah itu dimuati sekali lagi dan mereka pun berangkat ke Mesir.

Betapa bencananya jual beli itu, menjual jiwa seakan ia merupakan barang dagangan. Jiwa seperti itu dengan harga secelaka itu! Sekejap lirikannya saja sudah sama dengan harga semua upeti di Mesir. Sepatah katanya sama harganya dengan sepanjang kehidupan. Tetapi hanya Ya`qub yang mengetahui betapa besar harganya, dan hanya Zulaikha yang membayar harga itu.

Demikianlah si tak peduli memubazirkan perbendaharaan kebahagiaan, dan pergi dengan beberapa keping uang kusam.