Thursday, March 8, 2007

Makhluk dan Sang Pencipta

Ketika kita berbicara tentang wihdatul wujud, atau saya lebih suka menyebutnya sebagai Tauhidul wujud - manunggaling kawula Ian gusti - kita tidak bisa melepaskan diri dari keberadaan dua tokoh terkenal: Husain bin Mansyur al Hallaj dan Syech Siti Jenar. Mereka adalah tokoh-tokoh yang dikenal sebagai penganut faham bersatunya makhluk dengan Tuhannya. Al Hallaj hidup pada abad ke 10 di Bagdad, sedangkan Syech Siti Jenar abad ke 16 di Pulau Jawa.

Sampai akhir hayatnya dihukum oleh 'penguasa' pada zaman itu kedua tokoh tersebut tetap Istiqamah berpendapat bahwa Allah dan makhluk adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Lepas dari berbagai penyimpangan pemahaman dan kontroversi yang terjadi baik oleh para muridnya maupun periwayat konsep 'Bersatunya Tuhan & Makhluk' ini sangat menarik untuk dikaji.

Benarkah Al Qur'an mengajarkan tentang 'bersatunya Tuhan dengan makhluk 'ataukah tidak. Sebagai konsep Tauhid, tidak bisa tidak, kita harus mendiskusikannya agar memperoleh kefahaman yang holistik alias menyeluruh. Kefahaman Tauhid yang baik akan memberikan dasar yang kuat bagi seluruh proses beragama kita.

Saya mengenal untuk pertama kalinya tentang Tauhidul wujud dari ayah saya. Waktu itu, saya masih sekolah SD, entah usia berapa. Ayah bertanya kepada saya, saat kami masih di meja makan usai makan malam: "tahu nggak kamu, Tuhan ada dimana?"

Ayah memang biasa mengajak diskusi anak-anaknya. Atau kadang sekadar bercerita agama. Tidak ada waktu khusus. Beliau bisa bercerita atau mengajak diskusi kapan saja beliau mau. Kebanyakan, beliau mengajarkan ilmu tauhid kepada kami.

Namun, diskusi di meja makan itu, agaknya telah menjadi 'provokasi' yang sangat mengesankan dalam pemahaman saya terhadap agama, yang kemudian teringat sampai kini. Provokasi itu telah menjelma menjadi inspirasi tiada henti dalam kehidupan saya.Yang kemudian, mengalir di tulisan-tulisan saya: Terus 'mencari' Allah lewat pendekatan empirik.

Waktu itu, saya menjawab pertanyaan ayah sekenanya sebagai anak kecil. Saya katakan, Tuhan ada di Surga! Ayah saya bukan membenarkan atau menyalahkan, tapi malah bertanya lagi. ‘Kalau Tuhan di Surga, apakah di luar Surga tidak ada Tuhan?"

Wah, sulit juga bagi anak kecil untuk menjawab pertanyaan itu! Secara spontan saya menjawab pertanyaan tersebut dengan mencari jawaban lain. Saya katakan, 'kalau begitu, Tuhan pasti ada di langit'

Bayangan saya, langit begitu besarnya. Mungkin lebih besar dari surga. Dan saya sering melihat orang-orang berdoa menengadah ke langit. Pasti inilah jawaban yang benar, pikir saya.

Tapi, lagi-lagi, ayah saya tidak membenarkan atau menyalahkan, melainkan menyodori pertanyaan berikutnya. "Kalau Tuhan berada di langit, apakah DIA tidak berada di Bumi bersama kita? Jauh sekall Tuhan dari kita?"

Saya tidak mau menyerah begitu saja, meskipun saya menangkap nuansa bahwa jawaban saya tersebut dianggap ayah tidak tepat. Maka, saya lantas 'menebak' sekali lagi. "Kalau gitu, Tuhan bersama kita semua" sahut saya! Ayah saya tersenyum, tapi sambil bertanya terus: 'Kalau Tuhan bersama setiap manusia, apakah DIA itu banyak? Bukankah DIA cuma SATU?" Sampai di sini, buntulah akal saya. Menyerah. “Jadi, Tuhan ada di mana?” Sergah saya setengah putus asa.

Ayah lantas mengambil gelas yang berisi air teh di meja makan. Bukan menjawab, tapi masih terus bertanya. "Kamu lihat air teh yang berwarna kecoklatan ini. Dari mana warna tersebut?" Tentu saja saya jawab: "dari daun teh yang dicelupkan ke dalam air"

Beliau lantas bertanya lagi:"apakah kamu bisa membedakan antara warna air dengan warna teh di dalam air teh ini?" Saya menggelengkan kepala. Karena, tentu saja, saya tidak bisa membedakan warna air dengan warna tehnya. Keduanya telah menyatu dalam 'air teh' yang berwarna kecoklat-coklatan.

Begitulah keberadaan Tuhan terhadap makhluk-Nya. Tuhan ibarat air putih, sedangkan makhluk ibarat daun teh yang dicelupkan. Keduanya kini menjadi satu. Warna teh sudah larut ke dalam air putih, menjadi air teh yang berwarna kecoklat-coklatan."

Saya manggut-manggut. Meskipun, sebenarnya tidak cukup mengerti dengan perumpamaan tersebut. Saya hanya menangkap kesan, bahwa ayah saya sedang ingin mengajarkan: Tuhan itu bersatu dengan makhlukNya tanpa dapat dipisahkan, bagaikan warna air putih dengan warna teh, yang telah menyatu ke dalam segelas air teh...

Ketidakpahaman saya itu terus memprovokasi pikiran saya sampai dewasa. Dan baru menemukan bentuknya setelah saya cukup dewasa dalam berpikir, bertahun-tahun kemudian. Apalagi setelah saya membaca beberapa diskusi tentang konsep wihdatul wujud dan Tauhidul wujud yang diturunkan dari Al Hallaj dan Siti Jenar. Ketiganya memiliki kemiripan dalam mempersepsi kebersatuan antara Tuhan dengan makhlukNya.

Konsep ini memang tidak mudah untuk dipahami. bahkan boleh dikata cukup rumit. Karena itu, tidak semua orang bisa memahami dengan tepat. Apalagi jika tidak pas dalam membuat perumpamaannya. Maka, saya lantas bisa mengerti kenapa banyak murid kedua tokoh itu, atau periwayat sejarah dan ajaran mereka, cenderung 'meleset' dalam memahami kebersatuannya dengan Allah.

Saya pun baru menyadarinya belum lama ini. Setelah lebih banyak melakukan eksplorasi ayat-ayat tauhid dari dalam Al Qur’an.

Kesalahan yang paling mendasar dari kefahaman tauhidul wujud selama ini, agaknya terletak pada ‘menyamakan derajat’ antara makhluk dengan Allah. Barangkali, ini dikarenakan sulitnya menjelaskan konsep manunggaling kawula lan gusti itu. Tidak ada perumpamaan yang bisa menjelaskan dengan persis, konsep tersebut.

Ayah saya mengatakan, semakin paham kita tentang konsep tauhid, sebenarnya kita semakin tidak mampu untuk menjelaskan secara tepat. Bahasa manusia sudah tidak mencukupi lagi untuk menceritakan Eksistensi Allah.

Namun, tidak bisa tidak, kita harus menceritakan sebagai pembelajaran. Agar kita memperoleh kepahaman. Disinilah problem utamanya.

Ketika ayah saya mengambil air teh sebagai perumpamaan bersatunya makhluk dengan Allah, saya akui saya terjebak pada kesan bahwa Allah dan makhluk memiliki derajat yang sama. Ya, bagaikan warna air yang telah menyatu dengan warna teh.

Saya terjebak pada kesan bahwa air memiliki volume yang sama persis dengan volume teh yang telah larut di dalam air. Yaitu, sama-sama 1 gelas! Keterjebakan ini dialami juga oleh para murid Siti Jenar atau bahkan mungkin oleh Siti Jenar sendiri ketika mengatakan ‘dirinya adalah Allah’, karena sudah bersatu denganNya. Padahal, bukan begitu maksud perumpamaan di atas. Ada juga yang mengumpamakan api dan kayu bakar, sama-sama terbakar.

Sebenarnya, ayah saya ingin menegaskan bahwa warna teh telah larut ke dalam warna air. Atau dengan kata lain, eksistensi makhluk telah larut ke dalam eksistensi Allah, Tapi, tetap saja, warna teh bukanlah warna air, yang telah melarutkannya. Atau, to the point, makhluk bukanlah Allah. Dan Allah bukanlah makhluk!

Dan yang kedua, dengan perumpamaan itu, beliau ingin mengatakan bahwa warna teh yang telah larut ke dalam warna air itu tidak bisa lagi dibedakan dari warna airnya. Kedua-duanya telah bersatu padu...

Setelah dewasa, saya baru menyadari bahwa perumpamaan itu memang memiliki beberapa kelemahan dalam mewadahi konsep Tauhidul wujud. Karena bisa mengundang persepsi yang keliru. Bukan karena kesengajaan. Tetapi, sekadar karena kekurang tepatan dalam mengambil perumpamaan.

Disinilah saya merasa perlu untuk melengkapi beberapa bagian yang saya anggap kurang pas. Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, saya melakukan berbagai eksplorasi terhadap konsep tauhid ini, dan ternyata saya tidak beranjak jauh dari apa yang diajarkan ayah saya sejak kecil.

Bahwa makhluk memang tak mungkin berada di luar Allah. Tidak bisa tidak, makhluk mesti berasal dari Allah. Berada di dalam Nya & Bersatu denganNya.

Tapi, barangkali sedikit berbeda dalam menguraikan masalah dan mengambil perumpamaannya. Karena, saya lebih banyak menjelaskan dari sudut pandang ilmu-ilmu empirik yang bertumpu pada rasio dan logika yang memang menjadi bahasa komunikasi masyarakat modern.

Tentu saja, dengan satu harapan: jangan sampai pembaca menganggap dirinya sederajat dengan Allah, karena sudah merasa bersatu denganNya. Apalagi, lantas meninggalkan syariat ibadah yang diajarkan oleh Rasulullah saw!

Semoga bermanfaat. Selamat berdiskusi...

Benarkah Tuhan Ada?

Tidak semua kita yakin bahwa Tuhan benar-benar ada! Apalagi yakin tentang keberadaan Allah sebagai Tuhan satu-satunya di alam semesta. Kalau pun yakin, biasanya, tingkatnya tidak 'benar-benar yakin'. Cuma sekadar percaya! Lho, memang apa beda antara 'yakin' dengan 'percaya'? Dan apa pula bedanya Tuhan dengan Allah?

Ada beberapa tingkatan orang ber keyakinan tentang keberadaan Tuhan. Tapi secara garis besar, kita bisa membaginya hanya dalam dua kelompok saja yaitu : mereka yang tidak percaya bahwa Tuhan ada, dan mereka yang mempercayai keberadaanNya. Masing-masing memiliki derajat ketidakpercayaan atau kepercayaan yang berbeda-beda.

1. Tidak percaya bahwa Tuhan ada
Dalam sejarah kemanusiaan, kita mengetahui ada sekelompok orang yang tidak percaya terhadap adanya Tuhan. Mereka sering kita sebut sebagai kelompok Atheis alias orang-orang yang tidak bertuhan.

Mereka terdiri dari berbagai macam golongan masyarakat dan strata kecerdasan. Ada yang mampu secara ekonomi atau sebaliknya. Ada juga yang mampu secara intelektual dan sebaliknya. Sangat menarik untuk memahami bahwa mereka bisa mencapai kesimpulan tentang tidak adanya Tuhan. Lebih jauh, kalau dilihat latar belakangnya, mereka bisa dikelompokkan lagi ke dalam beberapa golongan.
a. Orang yang tidak percaya kepada Tuhan karena kesombongan. Misalnya, mereka merasa tidak perlu bertuhan karena 'merasa' bisa mengatasi segala kebutuhannya sendiri.
b. Orang yang tidak percaya kepada Tuhan, karena kebodohan dan ketidakmampuannya. Ini, tentu saja, sangat memprihatinkan. Karena biasanya mereka hanya menjadi korban dari orang-orang yang dianggapnya pintar dan memiliki otoritas tertentu.
c. Orang yang tidak percaya kepada Tuhan, karena malas berpikir dan tidak mau repot karenanya. Bertuhan, menurut mereka malah dianggap sebagai kegiatan yang merepotkan saja. Karena, lantas harus melakukan upacara-upacara tertentu sebagai konsekuensi bertuhan. Jadi lebih baik tidak bertuhan saja.

Namun, pada dasarnya, tidak ada seorang pun yang benar-benar tidak bertuhan. Dulu, kini maupun nanti. Sebab makna bertuhan, sebenarnya adalah menempatkan 'sesuatu' menjadi pusat dan tujuan bagi kehidupan seseorang.

Jadi, ketika kita menempatkan 'kekuasaan' sebagai 'pusat dan tujuan' hidup kita, maka kita sebenarnya telah bertuhan pada kekuasaan. Dan ini terjadi sejak zaman dulu, kini, maupun nanti.

Diantaranya, yang diceritakan di dalam Qur'an adalah Fir'aun dengan kekuasaannya yang besar. Sehingga, dia lantas menuhankan dirinya. Ini adalah contoh dari tipikal orang yang sombong. Dia merasa dirinya mampu mengatasi berbagai macam hal dalam kehidupannya. Bahkan dia menjadi tempat bergantung orang lain. Maka, dia merasa menjadi penguasa atas segala yang ada di sekitarnya. Kekuasaannya telah mendorong dirinya untuk bertuhan kepada dirinya sendiri. Yang kemudian, justru membawanya kepada kehancuran.

Yang semacam Fir'aun ini bukan hanya terjadi pada zaman dulu. Sekarang pun banyak terjadi di berbagai belahan bumi. Sampai kapan pun.

Ketika seorang presiden dari sebuah negara adikuasa menempatkan diri dan negaranya sebagai penguasa tertinggi dalam kehidupan manusia, maka ia sebenarnya telah menempatkan dirinya sebagai Tuhan. Padahal, sebenarnya tidak ada hak sedikit pun bagi seorang manusia, atau kelompok, untuk menguasai orang lain dan kelompok lain. Sungguh, ia telah menjadi Fir'aun, dalam dunia modern.

QS. A' A'raaf (7) : 54
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.

Ayat di atas dengan sangat gamblang mengatakan itu. Bahwa menciptakan dan memerintah itu hanyalah hak Allah saja. Sedangkan manusia dengan manusia lainnya cuma saling mengingatkan dan berkoordinasi untuk membentuk kehidupan yang harmonis dan sejahtera, secara adil. Karena, setiap kita memang memiliki derajat yang sama. Tidak boleh ada yang merendahkan dan menghina satu sama lain.

Jadi kembali kepada konsep bertuhan setiap manusia yang telah menempatkan 'sesuatu' sebagai pusat orientasi kehidupannya, maka ia telah menciptakan Tuhan dalam kehidupannya.

Itu bisa berupa apa pun. Seseorang bisa bertuhan kepada diri sendiri, pada kekuasaan, pada harta benda, pada wanita cantik, pada kesenangan duniawi, dan berbagai orientasi kehidupan yang mungkin.

Kalau begitu definisinya, maka bisa dipastikan tidak ada orang yang tidak bertuhan di dalam kehidupannya. Persoalannya tinggal, kepada apa atau siapa dia bertuhan ... !

Namun demikian, banyak juga orang yang mengatakan tidak bertuhan karena tidak paham dengan definisi ini. Termasuk orang yang sombong tersebut. Mereka tidak mau bertuhan kepada sesuatu di luar dirinya, karena menganggap dirinya sudah cukup bisa mengatasi dan memenuhi berbagai kebutuhan dalam hidupnya. Ya, sebenarnya dia telah bertuhan kepada dirinya sendiri.

Atau ada juga, kelompok lain, yang malas bertuhan karena dianggap merepotkan saja. Maka, dia sudah bertuhan kepada kemalasannya. Atau, orang yang lain lagi, mereka yang tidak berpengetahuan dan lantas ikut-ikutan, maka mereka telah bertuhan kepada orang lain. Atau bahkan bertuhan pada 'kebodohannya'. Jadi sekali lagi, tidak ada orang yang tidak bertuhan. Karena setiap kita memiliki kepentingan dan orientasi kehidupan yang mendominasi. Dan itulah Tuhan kita...

2. Mereka yang percaya keberadaan Tuhan.
Sementara itu, kelompok yang lain adalah mereka yang mempercayai bahwa Tuhan ada. Tentu saja dengan berbagai alasan dan latar belakangnya. Yang jika dikelompokkan lagi, maka orang-orang yang percaya terhadap keberadaan Tuhan ini pun ada beberapa golongan.
a. Orang yang percaya pada Tuhan karena doktrin. Sejak kecil ia telah didoktrin oleh sekitarnya, termasuk oleh orang tua dan guru-gurunya, bahwa Tuhan memang ada. Meskipun, boleh jadi dia tidak paham alasannya. Atau tidak mengerti maksudnya. Karena banyak orang di sekitarnya percaya Tuhan itu ada, maka ia pun sepantasnya percaya bahwa Tuhan memang ada.
b. Orang yang percaya kepada Tuhan karena logika dan rasio. Akalnya mengatakan Tuhan mesti ada. Inilah orang-orang yang mencari keberadaan Tuhan lewat kecerdasannya. Akalnya, justru tidak bisa menerima jika ada yang mengatakan bahwa Tuhan tidak ada dalam kehidupannya. Karena dia bisa benar-benar 'melihat' dan merasakan hadirnya 'Suatu Kekuasaan Super' dalam kehidupannya. Dan itulah Tuhan.
c. Orang-orang yang percaya kepada Tuhan karena merasa membutuhkan kehadiranNya. Yang tanpa kehadiranNya, mereka merasa tidak berdaya. Inilah orang-orang yang melakukan pendekatan kepada tuhannya menggunakan Kesadaran Spiritual.
d. Orang-orang yang memperoleh kesimpulan bahwa Tuhan yang ada di alam semesta ini sebenarnya adalah Tuhan Yang Satu. Bukan bermacam-macam seperti yang dianut oleh berbagai agama. Kita harus mencari 'Siapakah' sebenarnya Tuhan yang Satu itu. Dimanakah Dia berada. Bagaimanakah Dia. Dan sebagainya. Inilah orang-orang yang menggunakan Kesadaran Tauhidnya untuk mencari eksistensi Ketuhanan. Sang Penguasa Tunggal Jagad Semesta Raya.

Jadi, bagi orang-orang yang percaya terhadap keberadaan Tuhan pun, belum tentu ia telah bertuhan secara benar. Karena, memang latar belakangnya bisa sangat beragam. Setidak-tidaknya mereka memiliki tingkat-tingkat kualitas yang berbeda-beda di dalam mempersepsi dan berinteraksi dengan Tuhannya.

Ketika seseorang hanya ikut-ikutan dalam bertuhan kepada sesuatu yang dianggapnya Tuhan, maka kita patut mempertanyakan apakah ia telah bertuhan secara benar. Apakah ia telah memiliki persepsi yang juga benar tentang Tuhan yang diimajinasikannya. Atau lebih jauh, apakah ia telah berinteraksi secara benar pula dengan Tuhannya itu.

Jika, mereka merasa risau dengan pertanyaan itu, barangkali akan terjadi stimulasi untuk mencari Tuhan. Baik dalam mempersepsi maupun dalam hal berinteraksi. Jika ini yang terjadi, maka kualitas bertuhan orang itu akan meningkat. Ia mulai berpikir dan menggunakan akalnya untuk mempersepsi Tuhan dan melakukan kontak-kontak denganNya.

Pada tingkatan yang lebih tinggi, orang yang sudah percaya pada keberadaan Tuhan akan menemukan sosok Tuhan yang dia butuhkan. Pada tingkat ini ia akan melakukan interaksi lebih intensif. Apalagi, jika interaksi itu telah terasa terjadi dalam 2 arah: dialogis. Maka, ia telah menemukan Tuhannya!

Puncaknya, orang yang demikian ini akan bertemu dengan Tuhan yang Satu. Dialah Tuhan yang menguasai segala yang ada di dalam semesta. Tuhan yang menciptakan sekaligus memelihara. Tuhan yang Maha mengasihi, Maha Menyayangi. Tuhan yang Penuh Kesempumaan dalam eksistensiNya...

Jadi, pada bagian pertama ini, kita boleh membuat kesimpulan sementara bahwa Tuhan adalah sesuatu yang pasti ada dalam kehidupan seseorang. Tidak mungkin seseorang tidak bertuhan. Tinggal, kepada apa dan kepada siapakah seseorang itu bertuhan .

Perlukah Kita Bertuhan?

Tidak semua kita menganggap perlu untuk bertuhan. Meskipun, ia termasuk orang yang percaya kepada adanya Tuhan. Banyak hal yang melatarbelakangi seseorang sehingga ia memilih tidak bertuhan. Sehingga, bisa jadi, muncul pertanyaan di dalam benak Anda: "Ya, sebenarnya perlukah kita bertuhan?".

Sejarah peradaban manusia menunjukkan, bahwa hampir di seluruh penjuru bumi manusia memiliki kebergantungan kepada sesuatu yang supranatural. Coba saja datang ke berbagai suku primitif di seluruh dunia, pasti mereka memiliki agama atau semacam agama, yang mengajarkan adanya kekuatan-kekuatan supranatural di luar kuasa manusia.

Itulah Tuhan mereka. Apa pun bentuknya. Ada yang bertuhan kepada nenek moyangnya. Atau bertuhan kepada patung-patung. Atau bertuhan kepada 'penghuni' pohon. Bertuhan kepada berbagai macam azimat. Dan lain sebagainya.

Dan sebenarnya bukan hanya pada kalangan primitif, masyarakat modern pun tidak ada yang tidak bertuhan. Meskipun, sebagian mereka menyatakan bahwa mereka tidak percaya kepada adanya Tuhan alias atheis. Pada kenyataannya mereka seringkali meminta bantuan dan bahkan bergantung kepada sesuatu, yang dianggapnya jauh lebih kuat dari dirinya. Kenapa demikian? Karena setiap kita menyadari betapa manusia ini demikian lemah. Nah, ketika seseorang telah bergantung dan bersandar kepada 'Sesuatu yang Lebih Kuat' itulah sebenarnya dia telah mengakui ada dan perlunya bertuhan. Apa pun namanya.

Boleh jadi, masyarakat modern menyebutnya sebagai faktor X, kekuatan supranatural, dewi keberuntungan, dan lain sebagainya. Tapi intinya, setiap kita memerlukan adanya Tuhan dalam kehidupan kita.

Pada skala kecerdasan yang lebih tinggi pun, tidak sedikit orang yang mengaku tidak mempercayai Tuhan. Katakanlah para ilmuwan. Baik ilmu kealaman maupun ilmu ilmu sosial, atau filsafat sekali pun.

Sebagiannya telah saya bahas dalam diskusi sebelum ini : ‘Jiwa & Ruh.’ Mereka adalah orang-orang yang terlalu bertumpu pada 'Kesadaran Inderawi'. Atau, sedikit lebih tinggi, adalah 'Kesadaran Rasional'.

Orang-orang yang membangun kesadarannya hanya bertumpu pada keduanya, hanya akan memperoleh kesadaran yang bersifat materialistik alias lahiriah. Mereka tidak menyangka bahwa ada eksistensi yang bersifat batiniah, yang juga nyata. Tapi, mereka tidak mampu ‘menangkapnya’.

Yang tertangkap olehnya hanya sebagian saja dari sifat ketuhanan: yang bersifat lahiriah. Dan mereka tidak menganggap itu sebagai Tuhan. Karena bagi mereka, Tuhan haruslah bersifat batiniah.

Yang lebih jelek lagi, mereka malah menganggap Tuhan tidak perlu ada karena menurut mereka hukum alam ini sudah bisa berfungsi dengan sendirinya tanpa melibatkan eksistensi Tuhan.

Padahal, Tuhan meliputi segala-galanya. Baik yang bersifat lahiriah maupun yang bersifat batiniah. Termasuk, hukum alam yang mereka sebut-sebut berjalan dengan sendirinya itu sebenarnya adalah perwujudan dari 'sebagian' sifat-sifat Ketuhanan yang bisa kita observasi secara lahiriah. Sedangkan secara holistik, eksistensi Ketuhanan itu meliputi yang lahir maupun yang batin.

Hal ini akan kita bahas lebih jauh pada bab yang lain, ketika kita berusaha mengenal Allah, Tuhan paling sempurna yang disembah oleh manusia.

Jadi, setiap kita sebenarnya telah mengakui keberadaan Tuhan, dan sekaligus membutuhkanNya. Karena, itu memang telah menjadi fitrah manusia. Hal itu, telah Dia firmankan di dalam KitabNya, Al Qur’an al Karim.

QS. Al A'raaf : 172
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)",

Jadi, jelas sekali, bahwa setiap manusia memiliki naluri ketuhanan. Persoalannya adalah, apakah mereka merasa membutuhkan kehadiranNya ataukah tidak. Dalam hal interaksi dengan Tuhan ini, mereka terdiri dari beberapa kelompok, yaitu :

  1. Orang yang tidak mau melakukan interaksi dengan Tuhan, karena merasa tidak butuh. Itulah orang-orang yang kafir alias ingkar. Mengakui keberadaanNya, tetapi tidak mau menjadikan sebagai Tuhannya. Begitulah sifat yang ditunjukkan oleh Iblis dalam kisah penciptaan manusia pertama : Adam dan Hawa.
  2. Orang yang malas berinteraksi denganNya. Mereka anggap bahwa bertuhan merepotkan saja. Mereka tidak paham tentang konsep ketuhanan, dan perlunya bertuhan dalam kehidupannya. Itulah orang-orang yang dalam istilah Qur'an disebut sebagai orang yang lalai dan bodoh. Mereka harus lebih banyak lagi membangun wacana kehidupan. Jangan sampai usianya habis, menemui ajalnya, tapi belum tahu makna kehidupan yang sesungguhnya.
  3. Orang yang melakukan interaksi dengah Tuhan secara terpaksa. Mereka menjalankan agama secara ikut-ikutan, dan menganggap Tuhan sebagai Dzat yang harus disembah. Yang kalau tidak disembah bakal menjatuhkan sanksi neraka. Dan kalau disembah bakal memberikan surga. Inilah orang yang belum tahu makna agama dan makna ibadahnya. Kelompok inilah yang disinyalir oleh rasulullah saw sebagai orang-orang yang melakukan puasa tanpa memperoleh makna puasanya kecuali lapar dan dahaga. Atau seperti orang yang sudah mengerjakan shalat, tetapi disuruh mengulangi shalatnya, karena sesungguhnya dia tidak menegakkan shalat di dalam ritual shalat. Atau seperti orang-orang yang riya' alias pamer di dalam zakat dan infaqnya. Atau seperti orang yang berhaji tanpa memahami makna hajinya, kecuali sekadar tour ke tanah suci. Atau lebih mendasar lagi, bagaikan orang yang membaca syahadat tapi tidak pernah menyaksikan makna syahadat di dalam kesehariannya.
  4. Orang yang merasakan manfaat dalam berinteraksi dengan Tuhan. Ia menemukan bahwa Tuhan adalah 'Sesuatu' yang Hidup, Berkehendak, Berkuasa, Adil, Sangat Penyayang, Suka Memberi, dan Sumber Segala Kenikmatan. Maka ia selalu merindukan untuk bisa selalu berinteraksi denganNya. Orang yang demikian ini, akhirnya melakukan interaksi dengan Tuhannya secara suka rela dan bahkan mencintaiNya. Inilah orang yang disebut sebagai muslimuun, yang telah berserah diri dan bergantung sepenuhnya kepada Dzat Yang paling Sempurna, Penguasa alam semesta.

Bertuhan Kepada Siapa

Kepada siapakah manusia mesti bertuhan? Semuanya sangat bergantung pada kecerdasan akalnya. Apakah dia bisa menemukan Tuhan yang paling Perkasa atau tidak. Apakah dia bisa menemukan Tuhan yang Paling Baik ataukah tidak. Apakah dia bisa bertemu Tuhan yang Paling Besar di antara segala eksistensi alam semesta ataukah tidak.

Banyak orang memilih Tuhan yang begitu sepele dan lemah. Misalnya, berupa kalung azimat. Atau, patung sesembahan. Atau, Dewi Keberuntungan. Atau, bahkan dirinya sendiri yang dijadikan Tuhan. Kita bisa berdiskusi panjang untuk menunjukkan betapa lemah dan sepelenya Tuhan-Tuhan yang mereka pilih itu. Dan sungguh tidak pantas menjadi Tuhan bagi orang-orang yang memiliki akal dan kecerdasan cukup baik. Apalagi kecerdasan tinggi.

Seseorang yang memiliki kecerdasan cukup baik, pasti akan memilih Tuhan yang layak dijadikan tempat bergantung. Bukan Tuhan yang 'tidak layak', yang justru bergantung kepada kita. Tuhan yang 'memberikan manfaat' ketika disembah. Bukan Tuhan yang justru 'memanfaatkan' kita, atau kita yang memberikan manfaat kepada dia. Tuhan yang jauh lebih Perkasa dari kita, Bukan Tuhan yang kalah perkasa oleh kita. Tuhan yang mampu memberikan pertolongan ketika kita butuhkan, bukan Tuhan yang justru membutuhkan pertolongan kita.

Sayangnya banyak manusia tidak melakukan pemikiran seperti itu di dalam mencari Tuhan yang pantas dia 'sembah' dan agung-agungkan. Entahlah, kenapa banyak manusia lebih suka bertuhan secara untung-untungan, ikut-ikutan, menduga-duga, dan bahkan asal-asalan.

Jarang yang sengaja melakukan pencarian dengan melewati pemikiran panjang yang terstruktur dengan baik. Sehingga dia memperoleh kesimpulan meyakinkan, yang bisa dipertanggung jawabkan.

Saya lebih suka melakukan pendekatan yang terakhir ini, dalam mencari Tuhan. Saya merasa, bahwa saya tidak harus bergantung kepada orang lain untuk mencari Tuhan saya sendiri. Saya juga tidak mau sekadar ikut-ikutan dalam bertuhan. Sebab, semua akibatnya adalah saya sendiri yang menanggungnya. Bahagia maupun derita. Dunia maupun akhirat.

Kepada siapakah kita sebaiknya bertuhan? Tentu pertanyaan ini sangat relevan untuk diajukan kepada siapa pun. Termasuk kepada saya dan Anda. Ya, cobalah Anda pikirkan jawabannya. Menurut Anda, kepada siapakah Anda ingin bertuhan?

Kepada 'sesuatu' yang lemah ataukah yang kuat dan perkasa? Pasti Anda akan menjawabnya: ya, pastilah kepada yang kuat dan perkasa. Masa iya ,kita mau bertuhan kepada yang lemah?!

Kepada siapakah Anda ingin bertuhan, kepada yang pintar ataukah yang bodoh? Pastilah juga Anda akan menjawab: tentu saja kepada yang pintar bahkan sangat pintar!! Tahu segala macam sehingga bisa menjadi tempat bertanya dan berkonsultasi!

Kepada siapakah juga Anda ingin bertuhan, kepada yang besar ataukah yang kecil? Tentu pula Anda akan menjawab: saya kira kita semua ingin bertuhan kepada sesuatu yang besar Jauh lebih besar dari kita. Bahkan sangat besar, sehingga lebih besar dari apa pun yang pernah kita pahami!

Kepada siapakah Anda ingin bertuhan, kepada yang suka ngasih rezeki atau yang malah moroti rezeki kita? Sudah juga bisa dipastikan, bahwa Anda akan bertuhan kepada yang suka ngasih rezeki.

Dan seterusnya. Dan seterusnya. Anda bisa menginventarisasi spesifikasi Tuhan yang Anda inginkan, beratus-ratus spesifikasi lagi.

Tapi intinya, pasti Anda ingin memiliki Tuhan yang bisa dibanggakan. Tuhan yang bisa dijadikan tempat bergantung ketika butuh pertolongan. Tuhan yang bisa ngajari ilmu pengetahuan dan kepahaman tentang segala sesuatu. Tuhan yang selalu menjaga kesehatan kita dan selalu mencukupi kebutuhan hidup kita. Ya, Tuhan yang menyayangi dan sekaligus 'menarik' untuk kita cintai dan kita sayangi.

Pokoknya Tuhan yang banyak memberikan manfaat dan kebahagiaan kepada kita! Bukan Tuhan yang menyusahkan kita. Anda setuju ??! Sudah pasti setuju. Karena, saya juga ingin bertuhan kepada Tuhan yang demikian itu.

Bahkan saya juga ingin Tuhan itu begitu dekatnya dengan saya, sehingga dimana pun dan kapan pun saya memerlukan pertolonganNya, saya bisa langsung bertemu denganNya. Dan pasti, DIA mengabulkan permintaan-permintaan kita dengan penuh kasih sayang.

Bukan Tuhan yang begitu jauh dan tak jelas 'keberadaannya" sehingga sulit dihubungi. Apalagi, Tuhan yang cuek terhadap kita. Tentu tidak masuk dalam kriteria Tuhan yang kita inginkan. Dan, sulit untuk menjadi klangenan kita, alias menjadi yang selalu kita rindukan.

Ya, ringkas kata, tuhan yang pantas dijadikan Tuhan adalah DIA yang penuh perhatian kepada kita, sebagai hambaNya. Tuhan yang tidak membutuhkan kita untuk membangun kepentinganNya, tapi justru DIA menjadi kebutuhan kita, dan selalu memenuhi kepentingan kita. Tuhan yang 'menguntungkan' untuk disembah dan dijadikan pusat dari segala orientasi kehidupan kita!

Wah, adakah eksistensi yang bisa memenuhi spesifikasi yang berat itu? Benarkah ada 'Sosok Sempurna' yang demikian hebat? Itulah yang mesti kita cari, kalau kita memang membutuhkan Tuhan dalam kehidupan kita. (Tapi, sebagaimana telah kita bahas di depan, kenyataannya manusia selalu butuh Tuhan, bukan?!)

Kalau Anda tanya saya, pasti saya katakan dengan sejujurnya bahwa saya butuh Tuhan! Sebab saya sangat menyadari betapa ternyata saya memiliki banyak kekurangan dan kelemahan. Sehingga kalau saya hidup di atas kekuatan saya sendiri sepenuhnya, saya bakal menemui banyak problem yang tidak terselesaikan.

Saya bakal mengalami stress berkepanjangan, karena saya sangat menyadari ternyata begitu banyaknya persoalan dalam hidup ini yang berada di luar kemampuan saya. Meskipun beberapa kawan mengatakan bahwa saya ini termasuk orang yang tidak bodoh-bodoh banget, punya wawasan dan skill lumayan, kemampuan manajerial yang cukup, dan sebagainya dan sebagainya. Tapi, itu kan pandangan orang luar.

Saya sangat tahu diri saya. Bahwa saya seringkali menjadi demikian bodoh dalam menghadapi banyak persoalan. Apalagi yang berat-berat dan di luar dugaan.

Saya juga sering mengalami stress, ketika tidak mampu mencapai sasaran-sasaran pekerjaan saya. Dan tidak jarang, itu menjadi stress berkepanjangan yang sangat menekan jiwa.

Dulu, saya juga suka khawatir terhadap rezeki. Bukan ketika sedang lapang. Tapi ketika sedang terjepit. Saya tak jarang, juga risau dengan kesehatan.

Lebih gelisah lagi, kalau saya ingat usia. Saya sedang antri menuju kematian. Sementara saya tidak tahu ada apakah di balik kematian itu?! Saya menjadi sangat ngeri terhadap kematian. Cerita-cerita mistis di sekitar saya menjadi penambah kegelisahan.

Dan seterusnya. Dan seterusnya. Puluhan, atau mungkin ratusan daftar kelemahan, kekhawatiran, kegelisahan, dan problem saling silang dalam kehidupan saya.

Saya butuh 'Teman' yang kuat. Yang kalau saya perlukan, IA selalu siap menolong tanpa pamrih dan memberatkan saya. Saya juga butuh 'Konsultan' yang hebat, karena begitu banyak pekerjaan besar yang harus saya lakukan dan selesaikan dalam hidup ini.

Disamping itu, saya butuh pula 'Psikiater' yang handal. Yang ketika saya menemui masalah, saya bisa curhat sepuas-puasnya. Didengarkan dengan penuh perhatian dan bisa memberikan solusi yang tepat dan menentramkan.

Dalam hal rezeki, saya memerlukan 'Partner Bisnis' bermodal raksasa. Karena saya ingin hidup sejahtera.Begitu pula saudara-saudara saya yang butuh pertolongan bisa datang kapan saja kepada saya karena saya punya backing yang demikian dermawan. Apalagi, saya juga ingin membuka lapangan kerja seluas-luasnya bagi orang-orang yang tidak beruntung, padahal mereka sebenarnya punya skill dan ingin bekerja keras dalam hidupnya.

Ya, dan akhirnya saya butuh seorang 'Sahabat' yang selalu mendampingi dalam berbagai kondisi, suka dan duka, sedih dan gembira.

Adakah 'orang' yang bisa memenuhi segala keinginan itu? Apakah diri saya sendiri bisa memenuhi segala yang saya sebut di atas? Saya tahu pasti jawabannya: Tidak! Apakah kawan-kawan dan orang di sekeliling saya mau memenuhi semua keinginan 'gila' tersebut? Pasti malah ditertawakan oleh orang sedunia!

Kalau begitu, siapakah yang mau menjadi 'Sahabat' dari orang yang egois menang sendiri seperti saya ini? Orang yang maunya cuma menerima pertolongan atas kepentingannya sendiri. Sementara itu, orang lain yang menolongnya tidak memperoleh imbalan sedikitpun dari apa yang kita minta darinya. Jawabnya cuma satu: TUHAN! Lho, Tuhan yang mana? Tuhan yang Sesungguhnya ... !!

Begitulah Al Qur’an ngajari kita. Kalau bertuhan itu mbok ya jangan kepada hal-hal yang remeh-temeh. Tapi bertuhanlah kepada yang hebat sekalian. Jangan tanggung-tanggung! Masa iya bertuhan kepada patung, kepada azimat, kepada sesama manusia, dan kepada segala sesuatu yang jelas-jelas tidak hebat dan tidak bisa menolong kita.

QS. Ahqaf (46) : 28
Maka mengapa yang mereka sembah selain Allah sebagai Tuhan untuk mendekatkan diri, tidak dapat menolong mereka? Bahkan tuhan-tuhan itu telah lenyap dari mereka? Itulah akibat kebohongan mereka dan apa yang dahulu mereka ada-adakan.

QS. Al A'raaf (7) : 197
Dan berhala-berhala yang kamu seru selain Allah tidaklah sanggup menolongmu, bahkan tidak dapat menolong dirinya sendiri."

QS. Al Anbiyaa (21) : 43
Atau adakah, mereka mempunyai tuhan-tuhan yang dapat memelihara mereka dari (azab) Kami. Tuhan-tuhan itu tidak sanggup menolong diri Mereka sendiri dan tidak (pula) mereka dilindungi dari (azab) Kami itu?

QS. Maryam (19) : 42
Ingatlah ketika la (Ibrahim) berkata kepada bapaknya: "Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun?

Betapa telaknya Allah berfirman di dalam Al Qur’an terhadap orang-orang yang bertuhan secara tidak masuk akal. Masa iya, kita bertuhan kepada sesuatu yang tidak bisa menolong kita. Lha untuk apa kita bertuhan kepadanya.

Wong, menolong dirinya sendiri pun tidak bisa. Ya nggak usah bertuhan aja lah! Ngrepoti! Buang- buang waktu dan energi!

Apakah yang disebut berhala? Allah menjelaskan dalam ayatNya yang lain bahwa berhala adalah segala sesuatu selain 'Tuhan yang Sesungguhnya'. Jadi tidak selalu berupa patung. Dalam contoh di atas, kebetulan yang dimaksud berhala adalah patung-patung yang dibuat oleh orang tua nabi Ibrahim. Hal itu dikemukakan oleh Allah dalam ayat berikut ini.

QS. An Nisaa (4) : 117
Yang mereka sembah selain DIA itu, tidak lain hanyalah berhala, dan (dengan menyembah berhala itu) mereka tidak lain hanyalah menyembah syaitan yang durhaka,

Di era modern ini berhala bisa berarti segala macam selain Tuhan yang mendominasi hidup dan kehidupan kita. Mulai dari kesombongan terhadap diri sendiri, harta benda, kekuasaan, sampai kebergantungan kepada benda-benda supranatural atau pun mistik.

Tapi begitulah memang cara bertuhan orang yang tidak menggunakan akal. Sekadar ikut-ikutan orang-orang di sekitarnya atau apa yang dilakukan nenek moyangnya saja.

Al Qur’an mengkritik habis-habisan cara bertuhan yang demikian. Sebab, akan sangat mudah terjerumus kepada sesuatu yang salah. Allah telah memberikan akal kepada kita untuk menimbang dan menyeleksi informasi dari sekitar. Kita akan mempertanggung jawabkan segala keputusan itu.

QS. Al Baqarah (2) : 170
Dan apabila dikatakan kepada mereka: Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”

Sehingga dalam ayat yang lain lagi, Allah mengingatkan dengan nada 'mengejek tapi menyadarkan' bahwa berhala-berhala yang mereka jadikan Tuhan itu sebenarnya tidak berpengaruh apa pun bagi mereka. Sama saja mereka berdoa kepada berhala itu ataupun tidak, tidak ada dampaknya!

QS. Al A'raaf (7) : 193
Dan jika kamu menyerunya (berhala) untuk memberi Petunjuk kepadamu, tidaklah berhala-berhala itu dapat memperkenankan seruanmu; sama saja buat kamu menyeru mereka ataupun kamu berdiam diri.

QS. Ar Ra'd (13) : 14
Hanya bagi Allah lah do'a yang benar Dan berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatu pun bagi mereka, melainkan seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air supaya sampai air ke mulutnya, padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya. Dan do'a (ibadat) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka.

Kenapa Mesti Allah

Lantas, kalau begitu : Siapakah 'Tuhan Sebenarnya' yang memenuhi kriteria tersebut? Marilah kita cari bersama. Tidak sulit untuk menemukannya, karena dalam sejarah kemanusiaan kita sudah mengenal berbagai macam Tuhan, dari berbagai bangsa dan berbagai agama.

Islam sendiri tidaklah turun di zaman rasul Muhammad saja. Melainkan sejak zaman pertama kali ada manusia, Allah telah menamakan agamaNya sebagai Islam. Dan Pemeluknya disebut sebagai musslimuun alias orang yang berserah diri. Hal itu bisa kita temukan dalam berbagai ayat Al Qur’an al Karim.

QS. Al Baqarah : 132
Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku! sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam”

Ayat di atas telah memberikan gambaran kepada kita bahwa sejak zaman nabi Ibrahim, beliau telah menyebut agamanya sebagai agama Islam. Padahal kita tahu, bahwa anak cucu Ibrahim inilah yang menurunkan agama-agama besar yang sekarang kita kenal, yaitu Yahudi, Kristen dan Islam. Semua itu sebenarnya hanya berasal dari satu agama saja, yaitu agama Ibrahim, Islam.

QS. Ali 1mran (3) : 19
Sesungguhnya agama di sisi Allah hanyalah Islam, Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab Nya.

QS. Al Hajj (22) : 78
Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.

Ayat ini juga menegaskan bahwa sejak dulu yang namanya Agama yang turun dari Allah itu adalah Islam, yang bermakna 'berserah diri' kepadaNya. Bahwa kemudian ada yang mengubah nama, itu baru terjadi di kemudian hari karena adanya perbedaan-perbedaan kepentingan dari penganutnya. Tapi, 'berserah diri' menjadi makna utama dari ‘Islam’.

Bahkan, Al Qur’an juga memberikan gambaran bahwa yang disebut 'Islam' itu sebenarnya adalah makna universal dari sikap 'berserah diri'. Bukan hanya sekadar atribut, simbol, dan lambang-lambang. Bukan hanya untuk manusia, tetapi semua makhluk berakal. Baik yang di langit maupun di bumi. Hal itu digambarkan dalam ayat berikut ini.

QS. Ali Imran : 83
Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah berserah diri siapa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan.

Maka, 'Tuhan yang sebenarnya' itu sesungguhnya adalah Tuhan yang satu. Tuhannya siapa saja. Tuhan dari semua makhluk yang berakal. Tidak ada yang berhak mengklaim bahwa Tuhan yang benar itu adalah Tuhan golongan atau kelompok tertentu.

Selama kita mengacu kepada sifat-sifat yang benar dari Dzat ketuhanan itu, maka kita telah mengacu kepada Tuhan yang sama. Apa pun namanya. Dalam konteks Al Qur'an itulah yang kita sebut sebagai Allah.

Akan lain halnya, ketika kita mengacu kepada substansi dan sifat-sifat yang berbeda. Tentu saja Tuhan yang kita maksudkan lantas berbeda pula. Al Qur’an sendiri menegaskan hal itu. Bahwa Tuhan para penganut Al Kitab sejak dulu kala, sesungguhnya adalah Tuhan yang sama. Dan kepadaNya sepatutnya setiap kita berserah diri. Sekali lagi, asalkan substansi sifat-sifatNya layak disebut Tuhan.

QS. Al Ankabut : 46
Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan katakanlah: “Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan hanya kepada-Nya kami berserah diri”

Ayat di atas mengingatkan kepada kita, bahwa kita dilarang 'berdebat kusir' dengan para penganut kitab lainnya dalam hal ketuhanan. Apalagi sampai menimbulkan pertengkaran. Yang dianjurkan adalah berdiskusi secara baik untuk mencari kebenaran. Kecuali dengan orang-orang yang memang zalim, mau menang sendiri. Percuma, tidak akan menemukan solusinya. Lebih baik hentikan saja.

Sebenarnya 'Tuhanku dan Tuhanmu adalah Tuhan yang satu' kata Al Qur’an. Dan kepadaNya kita semua berserah diri.

Jadi persoalan pokoknya sebenarnya bukan pada nama penyebutannya, tetapi pada sifat-sifatNya. Meskipun kita menyebut nama Tuhan yang sama, tetapi sifat yang kita maksudkan berbeda, maka sesungguhnya kita telah bertuhan kepada Dzat yang berbeda. Sebaliknya, ketika kita menyebut nama yang berbeda, tetapi mengacu kepada sifat-sifatNya yang sama, maka sebenarnya kita telah menyembah kepada Tuhan yang sama.

Sayangnya, kebanyakan manusia menyembah Tuhan yang namanya berbeda, dengan sifat yang berbeda pula. Sehingga, Tuhan yang dimaksudkan pun menjadi berbeda. Dan, ketika sifat-sifat itu tidak sesuai dengan kriteria 'Tuhan Yang Sempurna', maka Allah mengatakan itu sebagai 'nama kosong' belaka.

QS. Yusuf (12) : 40
Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,

QS. An Najm (53) : 23
Itu tidak lain hanyalah nama-nama Yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuknya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka.

Coba bayangkan, Allah dengah sangat tegas mengatakan, bahwa orang yang menyembah Tuhan yang karakternya tidak mengarah kepada Allah, disebutNya sebagai hanya menyembah 'nama'. Bukan menyembah Dzat!

Allah tidak pernah mempermasalahkan nama-nama. Karena yang lebih substansial adalah Dzat. 'Nama' hanyalah pepesan kosong. Dengan kata lain, Allah ingin menegaskan bahwa Tuhan di alam semesta ini tidak bisa tidak ya cuma satu saja. Apa pun namaNya, jika Ia benar-benar Tuhan, maka pasti akan mengarah kepada Dzat yang Tunggal, yaitu Allah.

Karena itu, meskipun Allah memperkenalkan dirinya di dalam Al Qur’an ribuan kali tidak kurang dari 2500 kali namun Allah memperbolehkan kita menyebut Nya dengan nama apa saja yang kita suka, selama sesuai dengan sifat-sifatNya.

QS. Israa'(17): 110
Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar Rahman, Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu"

Inilah yang diamalkan oleh para sufi sejak lama. Mereka lebih suka menyebut Allah dengan Huwa (DIA). Sedangkan Nama-NamaNya lebih menunjukkan Sifat-Sifat, yang seketika mengisi 'makna' dalam jiwa sang sufi ketika menyebut Huwa.
Ayah saya pernah mengajarkan kepada saya, bahwa Allah hadir di setiap nafas kita. Karena itu, 'barengilah tarikan dan hembusan nafasmu dengan kata Huwa' dalam hati, tanpa bersuara, katanya.

Ketika menarik nafas,’HU’. Ketika menghembuskan nafas,'WA' ' Maka, keluar masuknya nafas adalah sebuah dzikir yang tiada pernah terputus. Sementara itu, batinnya langsung mengarah kepada Allah yang SATU, dengan segala Sifat Ketuhanan yang terdapat dalam Asmaaul Husna. Ada juga yang menyebut asma ‘Allah’ ketika menghembuskan nafas atau menarik nafas. Hal ini sesuai dengan firman-Nya

Ali Imron : 191.
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.

QS. An Nisaa' (4): 103
"Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat (mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman."

Dengan tegas Allah swt memerintahkan kita agar selalu berdzikir (mengingatNya), baik itu di waktu berdiri, duduk, maupun berbaring. Karena kelak di Yaumul Hisab Allah menghisab setiap manusia dengan sangat teliti, sehingga hembusan dan tarikan nafaspun dimintai pertanggungan jawab.

(Setelah dewasa, saya lantas mengembangkan teknik dzikir itu dengan penjelasan-penjelasan yang lebih bersifat ilmiah. Yang kemudian saya sebut sebagai 'Dzikir Tauhid'. Lebih jauh akan kita bahas pada waktu yang lain.)

Maka, kita melihat korelasi yang jelas antara Islam sebagai agama universal yang bermakna ‘berserah diri’, dengan Allah sebagai Tuhan yang juga universal - Tuhannya seluruh umat manusia. Bahkan Tuhan bagi segala yang ada di dalam alam semesta.

Coba telaah kembali ayat-ayat di atas. Bahwa Islam adalah agama universal bagi siapa saja yang ada di langit dan di bumi. Bagi mereka yang menggunakan akal dalam beragama. Bukan orang-orang yang sekadar ikut-ikutan, dikarenakan nenek moyang dan orang-orang di sekitamya berlaku demikian.

Sementara itu, Allah sebagai Tuhannya orang-orang Islam juga bersifat universal. Tuhan yang menyediakan diri menjadi Tuhan umat manusia. Bukan hanya menjadi Tuhan bagi orang-orang yang berKTP dan beratribut Islam. Puluhan ayat dalam Al Qur’an bercerita demikian. Di antaranya adalah berikut ini.

QS. An Nas : 1 - 3
Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhannya manusia. Rajanya manusia. Sesembahan manusia.

QS. Al A'raaf (7) : 67
Hud berkata: "Hai kaumku, tidak ada padaku kekurangan akal sedikitpun, tetapi aku ini adalah utusan dari Tuhan semesta alam.

QS. Az Zumar (39) : 38
Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” niscaya mereka menjawab: "Allah". Katakanlah: "Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmatNya? Katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku ". Kepada Nyalah bertawakkal orang-orang yang berserah diri.

Begitulah, dengan sangat meyakinkan Allah mengatakan bahwa dirinyalah satu-satunya Tuhan alam semesta dengan segala isinya. Bukan hanya karena namaNya, melainkan karena sifat-sifatNya yang Maha Sempurna. Maha Suci dari segala kekurangan. Satu-satunya Dzat yang pantas disebut Tuhan...

QS. At Hasyr (S9) 24
Dia lah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Nama-nama Yang Paling baik. Bertasbih kepada Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dia lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Mencari Allah

Bagian ini adalah suatu tahapan dimana kita mencoba menguji cara berpikir kita, benarkah Allah adalah Dzat yang layak kita jadikan Tuhan.

Maka, cara yang paling tegas adalah dengan 'menghadapkan' Allah kepada eksistensi lain yang dianggap sebagai Tuhan. Benarkah tuhan lain itu TUHAN. Atau sekadar TUHAN-TUHANAN. Sebaliknya, benarkah Allah yang memperkenalkan DIRI sebagai Tuhan itu adalah TUHAN, yang pantas kita jadikan Tuhan.

Jika ada dua 'Tuhan' berhadap-hadapan untuk 'dipertandingkan' maka akan ada tiga kemungkinan yang bakal terjadi. Yang pertama, salah satunya akan kalah, dan yang lainnya menang. Yang kedua, sama-sama kuat. Yang ketiga sama-sama kalah.

Kemungkinan kedua dan ketiga, bisa kita sebut sebagai hasil seri alias draw. Ini berarti, mereka berdua tidak ada yang bisa saling mengalahkan. Dan karena itu, menunjukkan 'kelemahan' sebagai Tuhan. TUHAN yang sesungguhnya mestilah memiliki kekuatan dan kekuasaan yang tidak ada batasnya. Sehingga, tidak ada sesuatu pun yang bisa menandingiNya.

Jadi, kemungkinannya tinggal satu saja, yaitu kemungkinan pertama. Bahwa salah satu tuhan itu pasti kalah dan yang lainnya menang. Yang menang pastilah Lebih Berkuasa dan Lebih Perkasa. Sedangkan yang kalah, pastilah dia bukan Tuhan yang sesungguhnya, alias sekadar TUHAN-TUHANAN.

Begitulah cara Allah menggiring pemikiran dan logika kita dalam mencari Allah. DIA berfirman dalam Al Qur’an, dalam jumlah yang cukup banyak untuk membimbing kita menemukan Tuhan yang sesungguhnya.

Langkah pertama, kita disuruh untuk berpikir dan bermain logika: Benarkah di alam semesta ini cuma ada satu Tuhan. Apa nggak mungkin lebih dari satu? Apa ya jadinya kalau di alam semesta ini ada Tuhan lebih dari satu.

Pastilah mereka akan 'bertengkar'. Masing-masing tidak mau berada di bawah yang lain. Masing-masing pasti ingin menjadi yang ter'Maha'. Maka tidak ada jalan lain, mereka akan bersaing dan kemudian saling mengalahkan.

Kecuali, kalau kita menganggap bahwa Tuhan bukanlah Dzat Paling Sempurna. Dzat lemah yang butuh pertolongan satu sama lain??! Ayat berikut ini menantang kita untuk bermain logika.

QS. Al Anbilyaa (21) : 22
Sekiranya di langit dan di bumi ada tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang mereka sifatkan.

QS. Al Mukminuun (23) : 91
Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain) beserta Nya, kalau ada tuhan beserta Nya, masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu,

QS. Al Israa (17) : 42
Katakanlah: "Jikalau ada tuhan-tuhan di Samping-Nya, sebagaimana yang mereka katakan, niscaya tuhan-tuhan itu mencari jalan kepada Tuhan yang mempunyai 'Arsy".

Dengan sempurnanya Allah memancing kita untuk berlogika, bahwa tidak bisa tidak, yang namanya Tuhan itu ya hanya satu saja. Masa iya, Tuhan ada ada beberapa?!! Kalau ada beberapa, maka tidak bisa tidak, tuhan-tuhan itu akan memberikan pengakuan kepada Tuhan yang paling kuat. Yang menguasai dan menciptakan seluruh alam semesta. Itulah Tuhan yang memiliki Arsy 'kerajaan' yang mengontrol berlangsungnya seluruh peristiwa yang ada di seluruh penjuru alam.


Jadi, kenapa kita mesti bertuhan kepada tuhan-tuhan yang lemah itu. Kenapa tidak kepada yang Paling Kuat saja?! Begitulah mestinya kita berpikir dan mengambil keputusan dalam bertuhan.

Sehingga, Allah menggambarkan, suatu ketika nanti, orang-orang itu akan menyesal karena telah bertuhan secara keliru. Yang bukan Tuhan dianggapnya Tuhan. Atau, setidak-tidaknya menyamakan yang bukan Tuhan seperti Tuhan.

QS. Asy Syu'araa' (26) : 97-98
Demi Allah; sungguh kita dahulu dalam kesesatan yang nyata. Karena kita mempersamakan kamu dengan Tuhan semesta alam".

Dan selanjutnya, Allah membangun logika kembali dengan pertanyaan: menurut kita, sebenarnya lebih baik mana, bertuhan kepada Allah ataukah kepada yang selain Allah. Sebuah pertanyaan yang sangat eksplisit.

QS. An Naml (27 ): 59
Katakanlah: "Segala puji bagi Allah dan kesejahteraan atas hamba-hamba-Nya yang dipilih-Nya. Apakah Allah yang lebih baik, ataukah apa yang mereka persekutukan dengan Dia?"

Tentu, kita menjadi ragu-ragu karenanya. Dan kemudian berusaha menimbang-nimbang : iya, baik mana ya bertuhan kepada Allah ataukah kepada selain Dia?! Belum sempat kita beranjak jauh, Allah sudah 'memberondong' kita dengan ayat-ayat berikutnya. Agar kita mantap mengambil keputusan lewat logika yang jelas dan gamblang. Bukan sekadar ikut-ikutan.

Dengan frontal, Allah langsung membandingkan Dirinya dengan 'kekuasaan lain' yang dipersaingkan denganNya itu. 'Coba pikirkan siapa yang lebih layak disebut Tuhan' kira-kira begitulah Allah menantang kita untuk berlogika.

QS. An Naml (27) : 60
Atau siapakah yang telah menciptakan langit dan bumi dan yang menurunkan air untukmu dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu kebun-kebun yang berpemandangan indah, yang kamu sekali-kali tidak mampu menumbuhkan pohon-pohonnya? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Bahkan (sebenarnya) mereka adalah orang-orang yang menyimpang (dari kebenaran)

Logika pertama, kita 'ditabrakkan' kepada proses penciptaan alam semesta. Coba pikirkan siapa yang menciptakan alam semesta yang demikian raksasa, dengan bertriliun-triliun benda langit dalam keseimbangan sempurna itu. Apakah ada kekuasaan selain Allah yang bisa menciptakannya?!

Para pakar Astrofisika kini merasa ngeri dengan kenyataan makrokosmos tersebut. Karena tidak bisa tidak, alam semesta ini telah diciptakan oleh 'Suatu Kecerdasan yang Tidak Terbatas' dalam skala besarnya maupun ketelitiannya. Itulah Allah, Tuhan yang sesungguhnya.

Logika kedua, kita 'ditabrakkan' pada kenyataan sirkulasi air di bumi yang telah memegang peranan kunci dalam kehidupan kita. Tidak kurang dari 400 miliar ton air per tahun disirkulasi dengan ketelitian yang menakjubkan, agar terjadi kehidupan di muka bumi. Dalam berbagai ayat yang lain, Allah menggambarkan betapa DIA telah mengatur sirkulasi air dengan kadar yang terukur. Hal ini telah saya bahas pada diskusi-diskusi sebelumnya.

Dengan air itu Allah menumbuhkan berbagai tanaman dan pepohonan, sehingga menjadikan bumi ini subur dan indah. Perhatikan kalimat berikutnya dalam ayat tersebut: ".. yang kamu sekali-kali tidak mampu menumbuhkan pohon-pohon itu.

Maka, Allah lantas 'menyergap' logika kita dengan kalimat berikutnya: "Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)?" Kalau kita berpendapat iya, maka kata Allah, kita termasuk orang-orang yang tidak bisa berpikir dengan baik dan lurus. Kita telah berpikir menyimpang.

Berikutnya, Allah memancing lagi dengan logika bersambung. Siapakah yang menjadikan bumi sebagai tempat berdiam? Ya, pernahkah kita berpikir kenapa kehidupan manusia hanya ada di muka bumi. kenapa tidak di planet lain, semisal Mars, Yupiter atau planet-planet di tatasurya dan galaksi lain.

Sampai detik ini para pakar Astronomi belum bisa menemukan adanya kehidupan di planet lain, selain bumi. Mereka juga tidak faham, kenapa kehidupan mesti muncul di bumi saja? Siapakah yang menyengaja ini?!!

Tiba-tiba muncul kengerian atas adanya 'Kekuasaan dan Kehendak tak Terbatas'. Yang tidak bisa dihalangi oleh apa pun dan oleh siapa pun yang dengan kehendakNya itu, DIA memilih Bumi sebagai tempat berdiam manusia dan segala fasilitas yang menyertainya, (QS. 7: 25, QS. 2: 29). Termasuk sungai, gunung, dan lautan.

QS. An Naml (27) : 61
Atau siapakah yang telah menjadikan bumi sebagai tempat berdiam, dan yang menjadikan sungai-sungai di celah-celahnya, dan yang menjadikan gunung-gunung untuk (mengkokohkan) nya dan menjadikan suatu pemisah antara dua laut? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Bahkan (sebenarnya) kebanyakan dari mereka tidak mengetahui.

Dan kembali, lewat ayat di atas, Allah mempertanyakan: apakah ada Tuhan lain selain Allah yang mampu menciptakan dengan kesempurnaan seperti itu. Jika kita masih juga tidak mampu mengambil kesimpulan yang baik, sungguh patut disayangkan. Sebab, ternyata kita tidak bisa berpikir jernih. Sebagaimana kebanyakan mereka, yang tidak mengetahui.

Allah terus memprovokasi logika kita dengan mengambil contoh-contoh dalam kehidupan kita. Betapa seringnya kita mengalami problematika kehidupan. Dan kemudian Allah mengambilnya sebagai contoh kasus untuk berlogika terhadap keberadaan Dzat yang Maha Penolong.

Siapakah yang menolong kita waktu kita menghadapi berbagai masalah? Menghindarkan kita dari kesusahan yang menghimpit? Bahkan kemudian memberikan jalan kekuasaan kepada orang-orang yang berjuang memperolehnya? Itulah Tuhan yang sebenarnya, tempat kita meminta pertolongan di kala membutuhkannya. Meskipun kebanyakan manusia tidak ingat dan tidak bersyukur atas pertolongan Tuhannya.

QS. An Naml (27) : 62
Atau siapakah yanq memperkenankan (do'a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo'a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi?Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati (Nya).

Dan seterusnya, Allah memberondong kita dengan pertanyaan-pertanyaan retorika yang memaksa kita harus memainkan logika lebih baik, agar kita bisa memiliki kesadaran tentang keberadaan Allah sebagai Tuhan yang sebenarnya. Bukan yang sekadar Tuhan-Tuhanan.

QS. An Naml (27) : 63
Atau siapakah yang memimpin kamu dalam kegelapan di daratan dan lautan dan siapa (pula) kah yang mendatangkan angin sebagai kabar gembira sebelum (kedatangan) rahmat-Nya? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Maha Tinggi Allah terhadap apa yang mereka persekutukan (dengan-Nya)

QS. An Naml (27) : 64
Atau siapakah yang menciptakan, kemudian mengulanginya, dan siapa (pula) yang memberikan rezki kepadamu dari langit dan bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)?. Katakanlah: "Unjukkanlah bukti kebenaranmu, jika kamu memang orang-orang yang benar".

QS. An Naml (27) : 65
Katakanlah: "Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah" dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan,

QS. An Nami (27) : 66
Sebenarnya pengetahuan mereka tentang akhirat tidak sampai, malahan mereka ragu-ragu tentang akhirat itu, lebih-lebih lagi mereka buta dari padanya.

Dalam ayat-ayat berikutnya itu, bahkan Allah langsung menantang orang-orang yang masih belum bisa berpikir jernih. Kata Allah: “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu, jika kamu memang orang-orang yang benar”.

Dan akhirnya, Allah menegaskan kepada kita bahwa orang yang demikian itu sebenarnya adalah orang yang tidak mau mengembangkan wacana berpikir secara terbuka. Atau, bisa jadi karena pengetahuan mereka memang tidak sampai. Mereka ragu-ragu. Sehingga Dampaknya, 'membutakan' mata hati mereka sendiri. Naudzu billahi min dzalik..

Suatu ketika saya hadir sebagai pembicara dalam acara diskusi. Di antaranya, kami berdiskusi tentang hal ghaib. Salah seorang pembahas diskusi mengatakan bahwa di dalam Al Qur’an sudah ditegaskan, kita tidak bisa memahami tentang yang ghaib. Di antaranya adalah tentang Dzat Allah. Menurutnya, Allah adalah Dzat yang Ghaib yang tidak mungkin bisa kita pahami. Harus diterima begitu saja!

Saya adalah orang yang kurang bisa menerima pendapat itu. Ada dua alasan yang menjadi dasar. Pertama, saya tidak pernah menemukan penjelasan di dalam Al Qur’an bahwa Allah adalah Dzat yang Ghaib. Pendapat tersebut, menurut saya, hanyalah kesimpulan penafsir. Bukan pernyataan Al Qur’an secara tekstual.

Dan yang kedua, Allah berulangkali justru memperkenalkan Sifat-Sifat-Nya termasuk DzatNya, lewat Al Qur’an. Sehingga, karenanya, saya justru melakukan eksplorasi terhadap eksistensi Allah itu dari dalam Al Qur’an, agar saya lebih mengenalNya.

Sungguh, saya tidak menemukan satu ayat pun yang menceritakan bahwa Allah itu ghaib. Yang ada justru sebaliknya. Bahwa Allah adalah Dzat yang Nyata. Di ayat yang lain bahkan DIA berfirman bahwa Allah adalah Dzat yang Zhahir dan Bathin. Alias, bersifat Lahiriah Dan Batiniah. 'Tampak' dan 'Tidak Tampak' sekaligus!

Anda tentu terkejut dengan kesimpulan saya ini. Apalagi kesimpulan ini bukan sekadar tafsir buta, melainkan langsung mengutip ayat Qur'an secara tekstual. Ya, ternyata Allah itu tidak ghaib, melainkan NYATA, LAHIRIAH dan BATINIAH sekaligus.

Pernyataan itu bisa kita jumpai dari ayat-ayat yang saya kutip berikut ini. Coba cermati kata-kata yang ditebalkan dalam terjemahannya. Juga perhatikan kata-kata dalam teks aslinya,

‘al Mubiin’
Kata alMubiin itu banyak digunakan dalam ayat-ayat yang lain dengan makna yang sama, yaitu ‘nyata’ dan 'menjelaskan'.

QS. An Nur (24) : 25
Di hari itu, Allah akan memberi mereka balasan yang setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka bahwa Allahlah Al Haq (Yang Maha Benar), lagi Al Mubiin (Yang Maha Nyata dan Maha Menjelaskan).

QS. An Naml (27) : 16
Dan sulaiman telah mewarisi Daud, dan dia berkata: "Hai Manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu kurnia yang nyata (fadhlu al mubiin)".

QS. An Naml (27) : 75
Tiada sesuatupun yang ghaib di langit dan di bumi, melainkan (terdapat) dalam kitab yang nyata (kitaabin mubiin).

QS. An Naml (27) : 79
Sebab itu bertawakkallah kepada Allah, sesungguhnya kamu berada di atas kebenaran yang nyata ('ala al haqqi al mubiin).

QS. Al Qashash (28) : 2
Ini adalah ayat-ayat Kitab yang nyata (al kitaabi al mubiin).

Dan masih banyak lagi ayat-ayat dalam Al Qur’an yang menggunakan kata al mubiin dengan makna 'nyata'. Ayat-ayat di atas sengaja saya kutipkan untuk menegaskan makna bahwa Allah yang al mubiin adalah Dzat yang Maha Nyata. Pembahasan lebih jauh akan kita diskusikan di bagian berikutnya, dalam diskusi ini.

Selain Maha Nyata, Allah juga bersifat Zhahir dan Bathin. Kata Zhahir seringkali diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata 'lahir' (Lahiriah, fisikal). Sedangkan kata Bathin diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan 'batin' (batiniah, sesuatu yang tersembunyi).

Maka, ketika Allah memproklamirkan DiriNya sebagai Dzat yang al zhaahiru wal baathinu, maka kita bisa menerjemahkannya sebagai 'lahir dan batin', alias bersifat lahiriah dan batiniah sebagaimana kefahaman kita pada umumnya.

Tentu ini agak merancukan kefahaman kita selama ini, bahwa Allah adalah Dzat yang ghaib. Kita sudah terlanjur yakin bahwa Allah memang tidak bisa kita observasi dengan panca indera, sehingga kita menyimpulkan sebagai Dzat yang Ghaib. Namun, Cobalah mencermati ayat-ayat berikut ini.

QS. Al Hadid (57) : 3
Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.

QS. Ar Ruum (30) : 7
Mereka hanya mengetahui yang zhahir (Zahiriah saja) dari kehidupan dunia; sedang tentang (kehidupan) akhirat mereka lalai.

Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan) mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu ni'mat-Nya lahir dan batin (zhaahiratan wa baathinatan). Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petuniuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.

Makna zhaahir benar-benar menunjuk kepada suatu makna Yang bersifat lahiriah! Jadi, apakah kita harus memahami bahwa Allah adalah Dzat Yang bersifat lahiriah?! Tentu saja jangan mengambil kefahaman sempit dengan hanya mengambil satu ayat sebagai pijakan untuk menyimpulkan. Ayat-ayat tentang Allah jumlahnya ratusan. Kita harus mengambi kesimpulan secara holistik dari keseluruhannya.

Sebagai contoh, ketika Allah mengatakan ‘Dia Maha melihat’. bukan berarti Allah punya mata. Atau ketika Dia menyebut 'Maha Mendengar', lantas kita membayangkan Allah punya telinga. Atau, ketika Allah mengatakan memiliki Kursi, lantas kita bayangkan bahwa Allah duduk di atas Singgasana-Nya. Tentu, kita tidak bisa mengambil pemahaman secara terpotong-potong begitu. Sekali lagi pernahamannya
harus bersifat holistik menyeluruh.

Meskipun Allah 'Nyata' dan 'Zhahir’ . tidak berarti kita lantas bisa melihatNya. Tidak selalu kita bisa melihat 'sesuatu', meskipun 'sesuatu' itu nyata dan zhahir.

Sebagai contoh, seekor gajah. Apakah seekor gajah bersifat nyata? Pastilah Anda menjawab ya. pertanyaan berikutnya, apakah gajah bersifat zhahir? Jawabnya pun pasti ya. Kemudian Anda bertanya kepada saya, apakah saya bisa melihat gajah itu? jawabnya: belum tentu!! Kenapa demikian?

Kalau gajah itu disembunyikan di balik tembok, maka gajah yang nyata dan zhahir, ternyata tidak bisa terlihat oleh mata saya. Begitu pula jika gajah itu dijauhkan, sejauh-jauhnya, gajah itu pun tidak akan terlihat oleh mata saya. Demikian juga jika gajah tersebut didekatkan sedekat-dekatnya ke mata saya, maka justru saya tidak pernah bisa melihatnya.

Kenapa bisa demikian? Jawabnya: karena kemampuan indera saya sangat terbatas. Jadi, kesimpulannya, belum tentu sesuatu Yang nyata dan zhahir bisa kita observasi dengan sejelas-jelasnya, disebabkan oleh adanya keterbatasan Yang kita miliki.

Begitulah Allah. Meskipun Dia memproklamirkan DiriNya sebagai Yang Nyata dan Zhahir, tidak mesti kita bisa memahamiNya secara keseluruhan DzatNya. Bahkan, Allah mengatakan, Dzat Yang Zhahir dan Nyata itu ternyata tidak bisa dicapai oleh penglihatan mata. Itu terungkap dari ayat berikut ini.

QS. Al An'am (6) : 103
Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui

Kita juga sudah mengetahui, bahwa nabi Musa pernah pingsan karena ingin melihat Allah. DzatNya terlalu dahsyat untuk bisa dilihat dengan mata. Jadi, masalahnya bukanlah Dzat itu yang tidak bisa dilihat dengan mata, tetapi mata kita yang tidak mampu melihatNya.

Justru, karena 'sangat nyata' dan 'sangat zhahir' itulah, maka Dzat Allah menjadi di luar kemampuan inderawi manusia. Lebih jauh akan kita bahas pada bagian selanjutnya...

Dimanakah DIA Berada?

Ya, dimanakah Tuhan berada? Di langit, di Bumi, Di surga, atau kah di hati setiap manusia? Kapan dan dimanakah kita bisa bertemu dan berinteraksi denganNya? Ini sungguh sebuah pertanyaan yang mendasar.

Setiap hamba selalu ingin bisa berinteraksi dengan Tuhannya. Karena pertemuan itu akan memberikan kekuatan dan keyakinan lebih jauh, bahwa Tuhan yang disembahnya itu memang ada. Bahwa Tuhan yang dijadikan tempat bergantung itu memang bisa memberikan pertolongan ketika dibutuhkan. Bahwa Tuhan yang dipuja-pujanya itu bisa memberikan ketentraman dan kebahagiaan saat ia gelisah menghadapi berbagai persoalan kehidupannya.

Ada dua hal yang perlu dijelaskan terlebih dahulu sebelum kita membahas keberadaan Allah. Yang pertama: apakah Allah menempati ruang, sehingga bisa disebutkan lokasi keberadaanNya. Dan yang kedua: Bagaimana kita bisa berinteraksi dengan Dzat Yang Maha Sempurna itu.

Pertanyaan tentang dimana Allah memang mengarahkan kita untuk berpikir bahwa Allah itu berada di dalam ruang alam semesta. Sebuah kesan spontan yang muncul, ketika kita ditodong dengan pertanyaan : 'Dimana'

Pertanyaan 'Dimana' sebenarnya hanya cocok diajukan kepada sesuatu yang berpindah-pindah tempat. Sekali waktu ada di sana, sekali waktu ada di sini. Di saat tertentu berada di atas, di waktu yang lain berada di bawah. Kadang di kanan, kadang di kiri, muka belakang. Dan seterusnya. Maka, lantas kita menanyakan: di mana dia? Dan jawabnya bisa berubah-ubah: di sana, di sini, di situ, dan seterusnya.

Sekarang bayangkan ada 'Sesuatu' yang Dia tidak berubah tempat dan sekaligus ada di mana-mana. Kemana pun kita menghadap di situ ada Dia! Dimana pun kita berada, di situ ada Dia! Ke atas, ke bawah, kanan, kiri, depan, belakang, di langit dan di bumi, selalu ada Dia dalam waktu yang bersamaan. Saat itu juga!

Bagaimana kita bisa bertanya: dimanakah Dia? Lho, apakah tidak boleh bertanya demikian untuk menegaskan keberadaanNya? Oh, tentu saja boleh. Tetapi pertanyaan itu adalah pertanyaan yang 'keliru alamat' dan ‘tidak bermakna’. Karena kita sedang bertanya tentang 'Sesuatu' yang 'posisiNya' tidak pernah berubah. Dulu, sekarang, dan nanti, ya tetap saja ‘posisiNya’. Untuk apa kita bertanya Dia ada dimana?

Apalagi, jika 'Sesuatu' itu tidak menempati 'tempat’ melainkan, justru 'ditempati' oleh tempat alias ruang. Artinya seluruh tempat dan ruang itu justru berada di dalam Dzat itu. Kenapa demikian? Karena Sesuatu itu adalah Dzat yang Maha Besar sehingga 'ruang' dan 'tempat' tidak cukup 'mewadahi' DzatNya. Justru 'Ruang' dan 'tempat' itulah yang berada di dalam DzatNya! Itulah Dzat Allah Azza wajalla, Tuhan yang Maha Agung.

Ruang alam semesta ini 'terlalu kecil' untuk mewadahi eksistensi Dzat Allah Yang Maha Besar! Padahal, alam semesta ini luar biasa besarnya. Yang ilmu astronomi mutakhir pun tidak bisa mengetahui dimana batasnya.

Itulah konsep ‘Allahu Akbar’ di dalam Al Qur’an yang mengajarkan kepada kita, bahwa tidak ada yang lebih besar dari pada Dzat Allah. Sehingga kalau kita membayangkan Allah berada di dalam ruang alam semesta, maka berarti alam semesta ini jauh lebih besar dari Dzat Allah. Ini kekeliruan yang sangat mendasar!

Ada memang, suatu kitab suci agama lain yang menginformasikan bahwa 'Ruh Tuhan' melayang-layang di angkasa sebelum menciptakan benda-benda langit seperti galaksi, bintang, dan planet-planet. Saya kira ini sebuah kekeliruan yang sangat fatal, karena mempersepsi Tuhan demikian kecilnya. Jauh lebih kecil dari ruang alam semesta.

Yang benar, Tuhan Allah adalah Dzat yang Maha Besar. Paling Besar. DzatNya tidak berada di dalam jagad raya semesta, melainkan jagad raya itulah yang berada di dalam Kebesaran Dzat Allah. Bahkan, jagad raya yang berisi triliunan benda langit itu, sebenarnya hanyalah setitik debu dari kebesaran Allah, Sang Maha Besar dan Maha Perkasa!

Maka, ketika kita bertanya: Dimanakah Dia berada? Kita bakal kebingungan menjawabnya. Bukan karena kita tidak tahu dimana Allah berada, melainkan karena kita sangat tahu bahwa Allah Demikian Besarnya, sehingga kemana pun kita menunjuk dan menghadapkan wajah kita, di situlah Allah berada! Ini persis dengan statement Allah di dalam Al Qur’an, berikut ini.

QS. Al Baqarah (2) : 115
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui.

Setidak-tidaknya, ada dua informasi yang terkandung di dalamnya ayat tersebut. Yang pertama, Allah mengatakan bahwa Allah meliputi Timur dan Barat, sehingga kemana pun kita menghadap, kita sedang menghadapi 'Wajah' Allah.

Hal ini menunjukkan betapa Luas dan Besarnya Tuhan yang menamakan Dirinya Allah itu. Apalagi, di bagian akhir ayat itu Allah menegaskan lagi dengan kalimat innallaha waasi’un 'aliim Sesungguhnya DIA Maha Luas lagi Maha Mengetahui.

Yang kedua, ayat tersebut juga menginformasikan tentang sifat Dzat Allah. Maksud saya, selama ini ada sementara kalangan yang sering mengemukakan pendapat bahwa kita tidak boleh dan tidak bisa memikirkan tentang Allah. Yang boleh adalah sekadar berpikir tentang ciptaanNya.

Tapi, kalau kita mau mencermati berbagai ayat di dalam Al Qur’an, Allah justru banyak memperkenalkan DiriNya kepada kita secara langsung maupun tidak langsung. Ratusan ayat yang memberikan informasi tentang Dzat Allah secara langsung. Dan ratusan lainnya lagi memberikan informasi tidak langsung lewat tanda-tanda, CiptaanNya, di sekitar kita. Maka, bagi saya, justru itu mendorong agar kita memahami apa dan bagaimanakah sebenarnya Allah Tuhan kita. Lebih jauh kita akan terus membahas di bagian-bagian berikutnya secara berkelanjutan.

Tapi di bagian ini, saya ingin memberikan kesimpulan sementara agar pembahasan kita bisa menemukan pijakan yang sama. Bahwa, Allah adalah Dzat yang Luar Biasa Besar Tidak Terbatas, sehingga alam semesta pun tidak mampu mewadahi EksistensiNya.

Karena itu, tidak perlu bingung-bingung mencari Allah berada di mana, karena kemana pun kita menghadapkan wajah, disanalah kita sedang berhadapan dengan ‘Wajah’ Allah...

Allah Meliputi Segalanya

Kalau begitu bagaimanakah posisi antara Allah dan makhlukNya? Pertanyaan ini muncul sebagai konsekuensi dari statement sebelumnya bahwa Allah adalah Dzat yang begitu besarnya, sehingga seluruh ruang di alam semesta ini ditempatiNya. Bahkan masih lebih besar lagi, sehingga kita menyebutnya: justru ruang itulah yang berada di dalam Allah.

Lho, kalau begitu apakah Allah meliputi seluruh langit dan bumi? Padahal langit dan bumi berisi seluruh makhlukNya? Jadi, Allah meliputi segala makhlukNya, tidak ada yang terkecuali?

Ya, begitulah konsekuensinya! kalau begitu, tidak ada makhluk yang berada di luar Dzat Allah? Ya, begitulah keadaanNya! Oh, berarti kita semua berada di dalam Allah?! Ya, begitulah jadinya! Berarti kita menyatu di dalam DzatNya? Mau nggak mau kita jadi berkesimpulan begitu..!!

Tanya jawab di atas bisa 'bikin pusing' kawan-kawan kita yang terlanjur menerima doktrin bahwa Allah dan makhlukNya adalah terpisah. Bahkan beberapa kali saya sempat berdiskusi tentang kesimpulan di atas, dalam berbagai kesempatan. Tapi begitulah, tidak bisa tidak, kalau kita menggunakan akal kita secara logis, yang terjadi adalah kesimpulan tersebut. Bahwa makhluk memang berada di dalam Allah. Dan berarti: seluruh makhlukNya menyatu di dalamNya.

Lho, itu kan pendekatan logika. Bagaimana halnya kalau kita melakukan pendekatan lewat informasi Al Qur’an? Kesimpulannya berbeda ataukah sama?

Ternyata, sama saja! Berbagai ayat yang saya eksplorasi, menggiring kita kepada kefahaman tersebut! Di antaranya adalah ayat-ayat berikut ini.

QS. An Nisaa' (4) : 126
Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan apa yang di bumi, dan adalah Allah Maha Meliputi segala sesuatu.

Ayat di atas sangat gamblang menggambarkan kepada kita bahwa seluruh langit dan Bumi adalah milikNya. Semata-mata untukNya. Dan kemudian Dia tegaskan bahwa segala yang ada di dalamnya diliputiNya. Tidak ada yang tidak diliputinya, karena kalimat yang digunakan adalah: bikulli syai-in mukhith (tiap-tiap sesuatu diliputiNya).

Kalau Allah mengatakan bahwa Dia meliputi segala sesuatu, maka pertanyaan berikutnya adalah: Segala sesuatu yang diliputiNya itu ada di dalam yang meliputi atau di luar yang meliputi?

Jawabannya cuma satu: ya, pasti berada di dalam yang meliputi. Kalau masih ada sesuatu yang berada di luarnya, itu artinya Dia tidak Maha Meliputi segala sesuatu. Tentu, kita tidak boleh mengartikan ada sesuatu di luar Allah, karena itu bertentangan dengan sifat Allah yang Maha meliputi.

Lantas ada yang mengejar dengan pertanyaan begini: Lho, yang meliputi itu DzatNya ataukah ilmuNya?

Ada dua jawaban yang ingin saya berikan. Pertama, kalimat di ayat tersebut sama sekali tidak menyebut kata ‘ilmu’. Kata-kata yang digunakan di situ adalah 'wa kanallahu bikulli syai-in mukhith' (dan adalah Allah meliputi segala sesuatu).

Bahwa yang meliputi itu adalah DzatNya. Bukan sekadar IlmuNya. Sebab, kalau Allah ingin menyampaikan bahwa IlmuNya meliputi segala sesuatu, ayatNya akan menyebutkan kata ilmu, sebagaimana dalam ayat berikut ini.

QS. Thaahaa (20) : 98
Sesungguhnya Tuhanmu hanyalah Allah, yang tidak ada Tuhan selain Dia. Pengetahuan Nya meliputi segala sesuatu".

QS. Ath Thalaq (65) : 12
Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu

Jadi, masalahnya terletak pada 'keberanian' penafsir untuk memahami apakah yang dimaksud dalam ayat tersebut 'ilmu ataukah Dzat. Dalam beberapa terjemahan pada umumnya, ada yang menambahkan penjelasan dalam kurung, bahwa itu ilmu. Tapi di beberapa terjemahan lainnya tidak disebutkan ilmu. Langsung disebut dengan terjemahan : ‘dan adalah Allah meliputi. . .’

Di ayat yang lain, Allah menjelaskan bahwa yang meliputi makhlukNya itu bukan hanya ilmuNya, melainkan juga RahmatNya. Dan, itu diungkapkan Allah secara eksplisit dalam berbagai ayat. Baik secara bersama-sama maupun terpisah. Di antaranya adalah berikut ini.

QS. Al Mukmin (40) : 7
(Malaikat-malaikat) yang memikul 'Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan): "Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang bernyala-nyala,

QS. Al A'raaf (7) : 156
Dan tetapkanlah untuk kami kebajikan di dunia ini dan di akhirat; sesungguhnya kami kembali (bertaubat) kepada Engkau. Allah berfirman: siksaKu akan Kutimpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami"

QS. Al Baqarah (2) : 255
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan dia yang hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.

Bahkan, dalam 'ayat Kursi' di atas, Allah juga mengatakan bahwa KursiNya meliputi langit dan bumi. Ada yang memaknai Kursi dengan Singgasana. Tapi ada juga yang lebih jauh memaknai dengan 'Kekuasaan'. sebab Singgasana adalah lambang Kekuasaan dalam Kerajaan. Dalam hal ini, terkait dengan 'Kerajaan' Allah yang meliputi Langit dan Bumi, tertuang dalam ayat-ayat berikut.

QS. Al Mulk (67) : 1
Maha Suci Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu,

QS. Al Baqarah (2) : 107
Tiadakah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah? Dan tiada bagimu selain Allah seorang pelindung maupun seorang penolong.

Jadi, kata meliputi tidak selalu hanya bermakna ilmu Allah melainkan sifat-sifat Allah lainnya. Di ayat yang berbeda Allah juga menegaskan bahwa Allah meliputi berbagai perbuatan manusia.

QS. Al Anfaal (8) : 47
Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud ria kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah. Dan Allah meliputi apa yang mereka kerjakan.

QS. Huud (11) : 92
Syu'aib menjawab: "Hai kaumku, apakah keluargaku lebih terhormat menurut pandanganmu daripada Allah, sedang Allah kamu jadikan sesuatu yang terbuang di belakangmu?. Sesungguhnya Tuhanku meliputi apa yang kamu kerjakan."

Bahkan ada ayat yang secara lebih tegas menyebutkan bahwa Allah meliputi seluruh manusia. Di antaranya adalah ayat berikut ini.

QS. Al Israa' (17) : 60
Dan (ingatlah), ketika Kami wahyukan kepadamu: "Sesungguhnya Tuhanmu meliputi segala manusia". Dan Kami tidak menjadikan mimpi yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia dan (begitu pula) pohon kayu yang terkutuk dalam Al Quran. Dan Kami menakut-nakuti mereka, tetapi yang demikian itu hanyalah menambah besar kedurhakaan mereka.

Karena itu, sebenarnya tidak ada keberatan apa pun untuk mengatakan bahwa Dzat Allah memang meliputi segala sesuatu. Sekali lagi saya kutipkan ayat berbeda, untuk maksud yang sama.

QS. Fushilat (41) : 54
Ingatlah bahwa sesungguhnya mereka adalah dalam keraguan tentang pertemuan dengan Tuhan mereka. Ingatlah, bahwa sesungguhnya Dia Maha Meliputi segala sesuatu.

Yang kedua, selain makna 'meliputi' dalam arti DzatNya, saya juga ingin mengkritisi pendapat bahwa yang dimaksudkan 'meliputi' itu hanyalah IlmuNya. Seakan-akan bukan Dzat dan Sifat-Sifat Allah lainnya.

Saya kira, kita sependapat bahwa Allah itu 'Tunggal'. Tidak bisa dibagi-bagi. DzatNya tidak tersusun dari bagian-bagian. Sayangnya, kebanyakan kita justru membagi-bagi Dzat Allah itu ke dalam bagian-bagian penyusunNya.

Kita membedakan-bedakan antara Sifat-Sifat Allah, dengan Dzat Allah, dengan Ilmu Allah, dengan Kekuasaan Allah, dengan Kehendak Allah, dengan Kasih Sayang Allah, dan seterusnya. Seakan-akan, kalau kita berbicara Dzat Allah, itu adalah bagian yang terpisah dari Sifat-Sifat Allah lainnya.

Karena itu, lantas ada pendapat, bahwa yang meliputi itu sebenarnya adalah 'Ilmu Allah', sedangkan DzatNya tidak meliputi. Lho, memangnya, Dzat Allah itu terpisah dari IlmuNya?!! Apa layak kita berpendapat seperti itu?!!

Bagi saya, Dzat dan Sifat-Sifat Allah itu Tunggal. Tidak ada bedanya. Kalau Allah mengatakan bahwa IlmuNya meliputi segala sesuatu, maka pada saat yang bersamaan KehendakNya juga meliputi segala sesuatu, Kasih SayangNya juga meliputi segala sesuatu, KekuasaanNya pun meliputi segala sesuatu, dan DzatNya pasti meliputi segala sesuatu. Karena Allah adalah Dzat Tunggal Mutlak! Jangan dibagi-bagi, 'yang ini' meliputi, sedangkan 'yang itu' tidak meliputi! Ini berbahaya, karena kita telah membagi Allah ke dalam sifat-sifat yang terpecah-belah.

Bahkan, yang diliputi oleh Allah itu bukan hanya yang baik-baik saja. Yang 'buruk' pun diliputiNya. Coba perhatikan ayat-ayat berikut ini. Dengan sangat jelas dan eksplisit Allah mengatakan wallaahu mukhiithun bil kaafirin - ‘dan Allah meliputi orang-orang yang kafir’'

QS. Al Baqarah (2) : 19
Atau seperti hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena petir, sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir.

QS. Maryam (19) : 83
Tidakkah kamu lihat, bahwasannya Kami telah mengirim syaitan-syaitan itu kepada orang-orang kafir untuk menghasung mereka berbuat ma'siat dengan sungguh-sungguh?

Dua ayat di atas menggiring pemikiran kita, bahwa Allah meliputi orang-orang kafir. Sedangkan orang kafir itu dipimpin oleh setan. Artinya, Dzat Allah sebenarnya meliputi segala yang dikerjakan oleh orang-orang kafir bersama setan itu.

Lho, kalau Allah meliputi setan-setan dan segala perbuatannya, apakah Allah meliputi segala keburukan dan kejahatan? Begitulah konsekuensi logisnya!

Sebab kalau tidak demikian, apakah Anda akan mengatakan bahwa Allah 'tidak meliputi' perbuatan-perbuatan buruk dan jahat? Allah tidak meliputi setan? Karena, setan memiliki sifat-sifat yang berseberangan dengan Allah? Lantas, Anda ingin mengatakan setan adalah 'lawan Allah'?

Dan konsekuensi berikutnya, Anda akan mengatakan bahwa Allah ‘tidak berkuasa’ terhadap segala perbuatan jahat, kotor dan buruk? Karena kontrol dan kendalinya ada di tangan 'lawanNya', yaitu setan? Saya kira Anda berada di dalam jalur logika yang salah, kalau membangun persepsi demikian.

Konsekuensi dari kesimpulan itu akan bertabrakan dengan berbagai ayat di dalam Al Qur’an sendiri. Karena, lantas Allah tidak menjadi Tuhan dengan segala KeperkasaanNya yang Mutlak. Menjadi Tuhan yang memiliki keterbatasan. Hanya 'meliputi' yang baik-baik saja. 'Tidak meliputi' yang jelek dan buruk. Dan akhirnya, muncul konsekuensi bahwa Allah tidak meliputi 'segala sesuatu' lagi? Apakah kita tidak salah arah dalam memahami Keagungan Allah?!

Bukankah Allah dengan sangat gamblang telah mengatakan kepada kita: ‘innahu bikulli syai in mukhith - sesungguhnya Dia meliputi segala sesuatu' Termasuk segala kebaikan dan kejahatan.

Memang, ada beberapa kawan yang merasa 'tidak nyaman' dengan pemahaman ini. Seakan-akan mencampur adukkan yang baik dan yang buruk dalam Dzat Ketuhanan. Ah masa iya, Allah meliputi yang buruk, kotor dan jahat. Bukankah Allah Maha Suci dari segala sifat itu?

Sekarang saya bertanya kepada Anda: 'Sebenarnya siapakah yang bisa dinilai baik dan buruk itu? Apakah Allah bisa dikenai 'kebaikan' dan 'keburukan'? Apakah kita bisa mengatakan : ini baik untuk Allah, sedangkan yang ini buruk untuk Allah. Ini bermanfaat buat Allah, dan yang ini memberikan mudharat padaNya?

Apakah ada yang bisa memberikan manfaat dan mudharat kepadaNya? Jawabnya, pasti tidak! Justru dialah sumber manfaat dan mudharat itu. Dialah sumber segala kebaikan dan keburukan. Karena sesungguhnya kebaikan dan keburukan itu tidak berdampak pada DzatNya, melainkan berdampak pada makhlukNya.

Yang dinamakan baik adalah sesuatu yang memberikan manfaat kepada kita. Jika sesuatu itu memberikan kerugian dan mudharat, maka kita menyebutnya itu sebagai keburukan atau kejahatan. Bagi Allah kedua 'penilaian' itu tidak ada dampaknya. Tidak ada yang bisa mem'baik'i Allah sebagaimana juga tidak ada yang bisa men’jahat’i Allah.

Karena itu, Keagungan dan Kesucian Allah tidak terganggu sedikit pun oleh pernyataan bahwa Dia adalah sumber segala hal, termasuk yang baik dan yang buruk, yang bermanfaat maupun yang merugikan. Sebab, semua itu memang dalam Kekuasaan dan KehendakNya. Allah bisa memberikan manfaat dan mudharat, kesenangan dan musibah, kapan saja Dia Kehendaki. Dia mengontrol segalanya, berdasarkan Sifat Rahman dan RahimNya.

Contoh yang lebih konkret, ada yang bertanya begini: apakah Allah meliputi dan berada di tempat-tempat kotor seperti WC, sampah, saluran pembuangan, dan lain sebagainya?

Jawaban saya sangat jelas: ya, Allah berada dan meliputi seluruh tempat-tempat yang kita anggap kotor itu.

Ada 3 hal yang terkandung di dalam jawaban saya itu. Pertama, Allah pasti berada dan meliputi semua tempat itu, karena Dia adalah Dzat Yang Maha Meliputi segala sesuatu. Jika tidak, maka sifat itu tidak layak kita kenakan pada dzat yang tidak meliputi segala sesuatu.

Kedua, Allah pasti meliputi segala tempat dan benda-benda, karena Dia adalah Dzat Yang Maha Besar. Sehingga tidak ada sesuatu pun yang berada di luar KebesaranNya. jika ada sesuatu yang tidak diliputiNya maka ia berarti bukan dzat yang Maha Besar. Karena ada ruang yang lebih besar dari eksistensinya. Maka, itu pastilah bukan Allah.

Yang ketiga, kalau sampai Allah tidak hadir dan tidak meliputi tempat dan benda-benda tersebut, maka seluruh proses di tempat-tempat yang kita angap kotor itu bakal berhenti.

Korban pertamanya adalah manusia. jika Allah tidak hadir dalam proses pembusukan di dalam perut dan pencernaan kita, misalnya, maka kita akan mengalami problem yang sangat serius dengan kesehatan dan lingkungan hidup kita.

Bayangkan, makanan yang kita makan tidak mengalami proses pencernaan, karena DzatNya tidak hadir di seluruh proses tersebut. Kita tidak bisa buang kotoran, karena tidak ada lagi 'Kekuasaan' yang mengendalikannya. Bahkan, seluruh sampah, air limbah dan kotoran juga tidak bisa membusuk dan terurai, karena Allah tidak mengurusinya. Maka, sungguh dunia kita bakal mengerikan karena penuh dengan kotoran dan sampah.

Begitu dramatisnya kerusakan dalam diri dan lingkungan kita bakal terjadi, ketika Allah tidak ‘meliputi’ proses-proses tersebut. Seluruh kejadian bakal terhenti, dan kemudian mengalami kehancuran.

Justru di hal-hal yang kita sebut 'kotor' itu Allah menampakkan KekuasaanNya dengan penuh Kasih Sayang. Kalau Allah merasa 'jijik' dengan yang kita anggap kotor itu, atau 'Maha SuciNya' digambarkan dengan meninggalkan semua 'kekotoran' tersebut, sungguh bukan Rahmat yang bakal kita terima, tetapi bencana yang tiada terkira!

Padahal apa yang kita anggap kotor itu sebenarnya adalah zat yang bisa sangat berguna bagi proses-proses kehidupan lainnya. Bukankah kita bisa membuat pupuk yang bermanfaat menyuburkan tanaman dari kotoran binatang, misalnya.

Atau, bau yang menyengat dari tinja dan urine, itu sebenarnya berasal dari kandungan zat kimiawi bernama amoniak, ureum, dan asam belerang. Dan, semua itu adalah zat-zat yang sangat berguna dalam sebuah industri kimia.

Jadi, sebenarnya, apa yang kita sebut kotor dan tidak bermanfaat itu, belum tentu hal yang kotor bagi makhluk lain. Bahkan bisa bermakna sebagai kebutuhan pokok bagi makhluk Allah lainnya. Bukankah semua ciptaan Allah tidak ada yang tidak bermanfaat? Semua pasti ada manfaatnya. Disinilah Allah menunjukkan Kebesaran dan Kasih SayangNya.

Maka, kita harus bijak dan waspada dalam membangun kepahaman terhadap sifat-sifat Allah. Karena Dia sebenarnya merangkum seluruh sifat-sifat ekstrim yang bertolak belakang, secara sekaligus. Bukan hanya salah satu sisi saja.

Dalam hal waktu misalnya, Dia meliputi 'dulu', 'sekarang' dan 'nanti'. Dalam hal ruang, Dia meliputi 'Barat' dan 'Timur'. 'atas' dan 'bawah'. 'kiri' dan 'kanan' 'muka' dan 'belakang' secara bersamaan. Demikian pula dalam hal nilai-nilai etika, Dia sekaligus merangkum 'kebaikan' dan 'keburukan'. Sebab, sekali lagi, semua kontradiksi itu menyatu di dalam Dzat Allah Yang Maha Tunggal.

Sehingga, dalam beberapa ayatNya Allah mengatakan, bahwa sesungguhnya kebaikan dan keburukan itu semuanya berasal dari sisi Allah. Memang ada mekanisme tertentu yang menyebabkan seseorang memperoleh kebaikan atau keburukan. Namun, pada dasarnya semua itu berasal dari Allah.

Begitulah memang logika tauhidnya. Bahwa semua 'keberadaan' ini berasal dari Allah dan bakal kembali kepada Allah. Keburukan bukan berasal dari setan, meskipun setan menjadi penyebabnya. Sebagaimana juga kebaikan. Semuanya berasal dari Allah, meskipun disebabkan oleh perbuatan dan usaha kita.

QS. An Nisaa' (4) : 78
Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)". Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi Allah". Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?

QS. Al Baqarah (2) : 156
(Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Innaa lillaahi wa innaa liaihi raaji’uun (sesungguhnya semua berasal dari Allah dan bakal kembali kepadaNya)"

Lebih jauh lagi, Allah digambarkan merangkum seluruh titik ekstrim dalam kehidupan manusia. Ruang, Waktu, Materi, Energi, dan Informasi, seluruhnya berada di dalam 'Genggaman'Nya.

QS. Al Hadid (57) : 3
Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.

Ayat di atas adalah informasi universal tentang ke Maha Besar an Allah. Dialah Dzat yang merangkum seluruh kondisi ekstrim yang berlawanan dan kita anggap kontradiktif. Betapa tidak, coba bayangkan. Ia adalah Awal sekaligus Akhir. Ia Zhahir sekaligus Bathin. Ia Maha Mengetahui segala sesuatu.

Itu menunjukkan bahwa Allah meliputi seluruh dimensi waktu yang mengikat kehidupan makhlukNya. Ia juga Zhahir dan Batin, yang menunjukkan bahwa seluruh materi yang tampak dan energi yang tidak tampak, berada di dalam 'genggamanNya'. Dan kemudian, la adalah Dzat Yang Maha Tahu, sebuah gambaran betapa Allah ‘meliputi’ seluruh dimensi Informasi. Tak ada perkecualian.

Dalam ayat yang lain berikut ini, Dia bahkan melengkapi statement itu dengan mengatakan, bahwa dimensi Ruang pun berada di dalam DzatNya. Karena Ia adalah Dzat yang Maha Luas, merangkum seluruh titik ekstrim dalam kehidupan makhlukNya.

QS Al Baqarah (2) : 115
Dan kepunyaan Allah lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui.

DIA Memperkenalkan DiriNYA

Setelah melakukan pencarian terhadap eksistensi Allah, marilah kita mulai mengenal Dzat yang Maha Agung dan Maha Suci itu. Tapi, bisakah kita mengenalNya? Dan, Bagaimana pula cara mengenalNya? Bukankah Dia Dzat yang tidak tergambarkan oleh akal manusia?

Sejarah manusia telah menunjukkan bahwa manusia memiliki naluri untuk berusaha mencari dan mengenal Dzat Ketuhanan. Namun kenyataan selalu menunjukkan, upaya itu seringkali tersesat. Bukan ketemu Tuhan Allah, melainkan ketemu dengan Tuhan-Tuhanan.

Kenapa bisa demikian? Sebab, Dzat Tuhan yang Sesungguhnya itu memang jauh di luar perkiraan akal kita. Meskipun, bukan berarti tidak bisa 'didekati' dengan akal manusia.

Karena kenyataan itulah, Allah lantas memperkenalkan DiriNya kepada manusia. Ya, Dia sengaja memperkenalkan Diri, agar manusia mengenalNya. Bukan kenal lewat 'sekadar dugaan-dugaan' saja. Karena dugaan alias persangkaan memang tidak bakal mengantarkan kita kepada kebenaran yang hakiki. Hal ini berulangkali Dia firmankan dalam Al Qur’an al Karim.

QS. Yunus (10) : 66
Ingatlah, sesungguhnya kepunyaan Allah semua yang ada di langit dan semua yang ada di bumi. Dan orang-orang yang menyeru sekutu-sekutu selain Allah, tidaklah mengikuti (suatu keyakinan). Mereka tidak mengikuti kecuali prasangka belaka, dan mereka hanyalah menduga-duga.

QS. Fushshilat (41) : 23
Dan yang demikian itu adalah prasangkamu yang telah kamu sangka terhadap Tuhanmu, prasangka itu telah membinasakan kamu, maka jadilah kamu termasuk orang-orang yang merugi.

QS. Hujuraat (49) : 12
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.

Jadi, kunci pengenalan Dzat Allah itu harus berdasar pada informasi yang akurat dan bisa dipercaya. Bukan sekadar dugaan. Lantas, dimanakah informasi akurat itu berada? Tentu saja ada di dalam firman-firmanNya.

Apakah kita tidak bisa menemukan Tuhan Allah lewat pendekatan akal dan sains? Sebenarnya bisa, tapi butuh waktu sangat panjang. Dan tidak semua orang bisa memahamiNya dengan baik. Seringkali, usia manusia bahkan sepanjang peradabannya tidak cukup untuk menemukan Allah. Yang ketemu adalah Tuhan-Tuhanan dzat yang spesifikasinya jauh lebih rendah dari Tuhan Yang Sesungguhnya.

Maka, kita harus membalik model pencarian itu. Bukan dari sains ke Al Qur’an, melainkan dari Al Qur’an ke Sains. Pendekatan Sains tetap diperlukan untuk menguraikan simpul-simpul informasi yang ada di dalam Al Qur’an. Tanpa Sains kita hanya akan memperoleh pokok-pokok informasi tanpa memperoleh kedalaman maknanya. Sekadar pendekatan bahasa, sebagaimana dilakukan oleh kebanyakan penafsir. Pendekatan Sains akan lebih memperkaya makna yang terkandung dalam ayat-ayat tersebut.

Tapi, tentu saja pemahaman bahasa merupakan kunci utama dalam memahami informasi. Dalam era modern ini metode pemahaman bahasa telah berkembang demikian pesatnya. Sehingga sangat memudahkan kita dalam memahami Al Qur’an.

Dan saya kira, ini memang fasilitas yang diberikan Allah kepada umat manusia di muka Bumi, yang tidak semuanya berbahasa Arab. Allah menjamin, bahwa Al Qur’an ini didesain secara khusus dan mudah untuk seluruh umat manusia. Bukan hanya untuk orang Arab. Hal itu berulang kali ditegaskan Allah dalam QS. Al Qamar : 17, 22, 32, 40.

Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?

Saya selalu menggunakan metode itu untuk memahami dan mengenal Allah. Mengambil informasi dari ayat-ayat Qur'an dan menafsirinya lewat pendekatan Sains dan logika modern.

Apakah memang Allah memberikan banyak informasi tentang diriNya di dalam Al Qur’an? Ya, begitulah. Kata-kata yang paling banyak diulang di dalam Al Qur’an adalah kata ‘Allah’. Tidak kurang dari 3.326 kali. Itu artinya, Dia memang sedang memperkenalkan Diri kepada kita, seluas-luasnya.

Sehingga, kalau kita mau mencermati dan memahami ayat-ayat itu, sebenarnya kita sedang dibimbing olehNya untuk kenal dengan Dzat yang Maha Agung itu. Tapi, sekali lagi, harus diuraikan dengan menggunakan akal dan sains. Sebab bukti-bukti keberadaanNya bukan hanya berada di dalam Al Qur’an melainkan lebih banyak berada di alam sekitar kita.

Al Qur’an bersifat menggiring perhatian kita dengan informasi-informasi pokok, sedangkan penjabarannya ada dalam realitas kehidupan kita. Karena itu, jika kita ingin kenal Allah kita harus banyak-banyak merefleksikan ayat-ayat Qur'an itu dalam kehidupan. Jika tidak, maka yang kita dapatkan hanyalah teorinya saja. Bukan makna yang sesungguhnya.

QS. Yusuf (12) : 105
Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di bumi yang mereka melaluinya, sedang mereka berpaling daripadanya.

Coba perhatikan, ayat di atas dengan sangat jelas memberikan gambaran kepada kita bahwa tanda-tanda kebesaran Allah itu sebenarnya tersebar di langit dan di Bumi dalam keseharian kita. Sayangnya, kebanyakan kita melewatinya begitu saja. Sehingga, kita tidak menggenal Allah sebagai Tuhan yang sesungguhnya.

Seringkali, kita mengenal Allah hanya sebatas teori. Bahwa Allah adalah Dzat yang Maha Besar. Tapi, sebenarnya kita tidak merasakan apa-apa tentang Kebesaran Allah itu. Kita juga tahu secara teori, bahwa Allah Maha Mengasihi dan Menyayangi. Namun toh, kita tidak bisa merasakan seberapa besar Kasih Sayang Allah kepada kita.

Sehingga jangan heran kalau Allah mengatakan bahwa kita ini sebenarnya tidak begitu mengenal Allah, bahwa Allah adalah Dzat yang benar-benar Maha Kuat dan Maha Perkasa. Pengenalan kita terhadap Allah hanya di kulit saja. Cuma teori belaka. Tanpa merasakan prakteknya. Atau, kalaupun merasakan, sangatlah sedikit.

QS. Al Hajj (22) : 74
Mereka tidak mengenal Allah dengan sebenar-benamya. Sesungguh-nya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.

QS. Az Zumar (39) : 67
Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan Nya. Maha suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.

Ayat yang terakhir itu memberikan gambaran betapa kita tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya. Persepsi kita perlu dibenahi dan dibangun kembali dengan wawasan yang lebih baik. Di antaranya, kita diperintahkan untuk membandingkan dengan sains dan penemuan-penemuan mutakhir tentang realitas di sekitar kita.

Untuk memperoleh perbandingan yang ekstrim, Allah seringkali menyebut-nyebut langit dan Bumi sebagai bukti-bukti kebesaranNya. Kenapa? Karena dengan memahami langit dan bumi kita menjadi tahu betapa besarnya alam semesta ini. Apalagi Yang Menciptakannya!!

Begitulah. Dengan berusaha memahami ayat-ayat Qur'an dan menyesuaikan pemahamannya dengan realitas di sekitar, maka diharapkan kita akan mengenal Allah dengan lebih baik. Mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya! Semua itu bisa terjadi, karena DIA memang memperkenalkan DiriNya kepada kita...