Saya Ingin mendekatkan diri kepada Allah. Demikian kata kawan saya. Kawan yang lain lantas bertanya: lho, apakah memang Allah itu jauh, sehingga masih perlu mendekatkan diri kepadaNya?
Kawan yang pertama, bingung juga menjawabnya. Kalau dijawab: Allah itu dekat, menjadi kontradiksi dengan statementnya sendiri, bahwa ia ingin mendekatkan diri kepada Allah. Tapi kalau dijawab: Allah itu jauh, salah juga karena Allah dengan jelas telah mengatakan bahwa Dia dekat kepada kita, lebih dekat daripada urat leher kita sendiri.
Maka, saya bilang kepadanya: coba rasakan saja dalam kehidupan Anda. Apakah Allah itu jauh atau dekat.
Dia berdiam sejenak. Lantas menjawab dengan sejujurnya, bahwa kadang ia 'merasa' dekat dengan Allah, tapi di kali lain 'merasa' jauh. 'Ya, kadang Allah terasa dekat, kadang terasa jauh / tegasnya. Ia tertawa kecil, dalam ketidakpastian. Ia belum memperoleh jawaban yang tuntas atas pertanyaan kawannya...
Maka, mungkin Anda pun ikut bertanya-tanya dalam hati. Kalau gitu, Allah itu jauh apa dekat ya? Kenapa kita juga merasakan kadang jauh kadang dekat dengan Nya. Ketika sedang merasa jauh, hati kita rasanya kosong dan gelisah. Tapi, sewaktu dekat, kita merasakan ketenangan, kententraman dan kedamaian yang sulit digambarkan.
Ketika merasa jauh, persoalan silih berganti datang dalam kehidupan. Ketika dekat, semua persoalan seolah lenyap ditelan terang benderangnya cahaya kehidupan. Ketika merasa jauh, pikiran kita bete dan sumpek, tidak jernih dalam memandang berbagai persoalan. Tapi ketika merasa dekat, segalanya menjadi demikian gamblang dan mudah untuk membuat keputusan keputusan.
Ketika jauh, kita merasa serba sulit dan jadi pemarah. Namun ketika merasa dekat, kita jadi sabar dan penuh keikhlasan. Kenapa ada perasaan dan kondisi demikian? Dan kenapa ini terkait dengan ‘rasa dekat’ dan 'rasa jauh' terhadap Allah?
Ini ada kaitannya dengan fungsi Jiwa dan Ruh, sebagaimana telah kita bahas dalam diskusi sebelumnya. Bahwa diri manusia terdiri dari 3 lapisan: yaitu badan wadag, Jiwa dan Ruh.
Perasaan dekat dan jauh terhadap Allah itu dialami oleh Jiwa kita. Bukan oleh badan wadag atau Ruh. Sebab badan wadag adalah benda mati, yang tidak memiliki 'rasa'. Ia hanya merupakan 'media' bagi jiwa untuk memperoleh berbagai rasa itu. Ketika badan wadag harus berdiri sendiri terpisah dari jiwa maka ia tidak bisa merasakan apa pun. Mati, koma, pingsan ataupun tidur.
Sementara itu, Ruh adalah potensi Sifat-Sifat Ketuhanan yang ditularkan Allah kepada badan wadag. Karena kemasukan Ruh itulah maka badan wadag menjadi hidup dengan segala derivative Sifat-Sifat Allah. Dan, dengan kemasukan Ruh, badan wadag itu memiliki sisi batiniah yang bersifat energial yang disebut jiwa, yang bisa merasakan kedekatan atau kejauhannya dengan Allah Tuhannya.
Jiwa adalah sosok yang ditulari Sifat-Sifat Allah lewat keberadaan Ruh di dalam wadag. Termasuk di dalamnya adalah ‘sifat’ Berkehendak. Jiwa memiliki kehendak yang bebas, dalam pengaruh potensi Ruh. Dia bisa memilih 'keburukan' yang berorientasi hanya pada kebutuhan badaniah duniawiyah, atau 'kebaikan' yang berorientasi pada nilai-nilai luhur Ruhiyah ukhrawiyah. Seluruhnya dibebaskan sebagai pilihan jiwa.
Jadi, jauh dekatnya seseorang dengan Tuhannya lebih bermakna batiniah. Bukan wadag, tapi jiwa. Bukan kuantitaif, melainkan kualitatif.
Secara kuantitatif, manusia tidak bisa jauh dari Allah. Karena, Dia memang lebih dekat daripada urat leher. Dia meliputi kita. Karena itu, penggambaran dekat itu lebih disimbolkan secara fisikal: urat leher. Karena memang Allah hadir di dalam setiap sel-sel tubuh kita. Termasuk, sel-sel urat leher itu sendiri. Bahkan lebih halus lagi, karena Allah juga hadir di dalam molekul-molekul, atom-atom, dan partikel-partikel penyusunnya. Tidak ada penggambaran yang lebih dekat daripada itu.
Tapi secara kualitatif, kedekatan dengan Allah itu bisa agak 'renggang' atau sebaliknya. Kedekatan itu lebih menggambarkan betapa kualitas kita sebagai manusia mengalami pasang surut. Itu adalah gambaran Jiwa: semakin bersih atau semakin kotor.
Jiwa yang bersih bakal memancarkan Sifat-Sifat Ketuhanan dalam diri kita, menjadi semakin benderang. Sedangkan Jiwa yang kotor bakal meredupkan pancarannya. Kuncinya hanyalah membersihkan jiwa atau mengotorinya.
Sebenarnya, dalam diri kita ada sifat-sifat Ketuhanan. Sifat-sifat itu akan memancar dengan kualitas yang semakin tinggi, ketika jiwa kita bersih. Sebaliknya akan meredup, kalau jiwa kita kotor.
Orang-orang yang membersihkan jiwanya pasti akan memancarkan sifat-sifat penyayang, pemurah, adil, jujur, pemaaf, sabar, ikhlas, dan seterusnya, yang menggambarkan sifat-sifat Asmaa'ul husna.
Semakin bersih jiwanya, semakin terpancarlah sifat-sifat itu dari dalam dirinya. Nah, orang yang demikian itu yang dikatakan 'dekat' kepada Allah. kenapa? Karena kualitas sifat-sifatnya 'mendekati Sifat-Sifat Allah'. Sifat-sifat kemanusiaannya yang egoistik memudar. Yang berpendar adalah Sifat-Sifat ketuhanan yang universal. Menebarkan kasih sayang untuk seluruh alam sekitarnya. Itulah sifat-sifat seorang Islam yang sesungguhnya : rahmatan lil 'alamin...