Salah satu hal yang membedakan pendapat saya dengan pendapat Syech Siti Jenar adalah konsep Manunggaling Kawula Kelawan Gusti
Dia berpendapat bahwa makhluk bersatu dengan Allah dalam derajat yang sama. Ketika makhluk melebur ke dalam Dzat Allah, maka dia menjadi Allah. Dan sebaliknya, Allah menjadi dia.
Karena itu, ketika Syech Siti Jenar dipanggil oleh penguasa Demak dan para wali, dia menolak dengan mengatakan bahwa Syech Siti Jenar tidak ada. Yang ada cuma Allah. Sebaliknya, ketika utusan kerajaan itu mengatakan, 'baiklah, kalau begitu Allah dipanggil raja’, maka Syech Siti Jenar mengatakan Allah tidak ada, yang ada hanya Syech Siti Jenar.
Dialog itu, hanya salah satu bagian dari ekspresi Syech Siti Jenar dalam menyampaikan konsep Manunggaling Kawula Kelawan Gusti. Boleh jadi, itu merupakan cara pembangkangannya terhadap penguasa Demak. Baik raja maupun para wali.
Namun, ekspresi kebersatuannya dengan Allah memang terasa berlebihan ketika dia pun tidak menjalankan syariat peribadatan, seperti shalat, misalnya. Karena, dia menganggap dirinya sudah bersatu denganNya. Jadi kenapa mesti menyembah dengan cara ruku' dan sujud. Bukankah seluruh aktivitasnya sudah bertasbih dan berdzikir kepada Allah. Bahkan, semuanya itu adalah Allah sendiri.
Tapi, apakah ini tidak berlawanan dengan perintah Allah di dalam Al Qur’an, bahwa setiap muslim diperintahkan untuk shalat dengan cara ruku' dan sujud. Bahkan, shalat ini adalah salah satu peribadatan paling tua, yang sudah diperintahkan kepada rasul-rasul sebelumnya. Dan cara shalat seperti itu pula yang dicontohkan Rasulullah saw.
Shalat adalah peribadatan yang diajarkan secara turun-temurun sejak Rasulullah masih hidup. Jadi, jelas-jelas, Rasulullah menjalankan shalat seperti yang sekarang kita lakukan. Kalau kita tidak menjalankan, berarti kita telah ingkar terhadap keteladanan Rasulullah saw.
QS. Al Baqarah (2) : 125
Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat shalat Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: Bersihkanlah rumah Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku ' dan yang sujud
QS. Ali Imman (3) : 43
Hai Maryam, ta'atlah kepada Tuhanmu, sujud dan ruku'lah bersama orang-orang yang ruku'.
QS. Al Fath (48) : 29
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.
Jadi, sangat jelas, sejak zaman nabi nabi sebelumnya, termasuk Ibrahim, Maryam dan Muhammad, dalam kitab Taurat dan Injil, semuanya menjalankan shalat dengan cara ruku' dan sujud. Dan itu dalam pengertian yang benar-benar bersifat fisik.
Karena itu, ketika Syech Siti Jenar berpendapat bahwa shalat bukan dalam pengertian ruku' dan sujud, saya kira ia telah membuat interpretasi terlalu jauh. Menyimpang dari perintah Al Qur’an.
Ia hanya mengambil perintah ibadah shalat sebatas makna berdzikir kepada Allah di mana pun berada. Sekadar berupa aktivitas Jiwa. Padahal, jelas-jelas Allah juga memerintahkan tatacara yang bersifat fisik. Bahkan juga menyebut tempat untuk melakukan tatacara itu. Di antaranya masjid, di seputar ka'bah, dan di sebagian maqam Ibrahim.
Lebih jauh, selain meninggalkan tatacara shalat, Syech Siti lenar juga merasa sudah mewakili Allah. Bahkan merasa bahwa ia adalah Allah itu sendiri. Maka, ketika ia mau ditangkap kerajaan, Syech Siti Jenar lantas 'berani' memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan cara menahan nafas, sampai mati.
Saya kira, ini juga kepahaman yang terlalu berlebihan terhadap hak hidup dan hak mati. Seakan-akan kitalah pemilik kehidupan dan kematian. Islam justru mengajarkan agar kita menyerahkan hidup dan mati kepada Allah sendiri. Dialah yang berhak atas hidup dan mati kita. Dialah yang memulai, maka Dia pula yang mengakhiri.
Di dalam Al Qur’an, Allah jelas-jelas melarang orang-orang beriman untuk membunuh diri sendiri. Karena, itu adalah lambang keputusasaan. Apa pun alasannya. Keputusasaan adalah lambang dari ketidak berimanan kita kepada Allah. Di suatu ayat dikatakan sebagai orang sesat, di ayat lain dikatakan sebagai orang kafir.
QS An Nisaa' (4) : 29
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu denga njalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
QS Al Hijr (15) : 56
Ibrahim berkata: "Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhannya, kecuali orang-orang yang sesat".
QS. Yusuf (12) : 87
Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, Melainkan kaum yang kafir".
Dan kemudian, secara lebih menyeluruh, ajaran Syech mengatakan bahwa kehidupan ini hanya di dunia. Surga dan Neraka hanyalah keadaan dunia. Sedangkan kematian adalah jalan sempurna menuju bersatunya manusia dengan Tuhannya. Karena itu dia mengajarkan jalan kematian untuk bersatu dengan Allah. Menurut dia, itulah kehidupan yang sejati.
Padahal, ratusan ayat di dalam Al Qur’an menjelaskan bahwa manusia bakal mengalami kehidupan akhirat. Sebuah kehidupan fase kedua, dimana manusia bakal memperoleh balasan atas segala perbuatannya. Surga atau Neraka. Setelah itu, barulah terjadi fase ketiga: kembali kepada Dzat Maha Sempurna, Allah Azza Wajalla.
Jadi,menurut saya, Syech telah kelewatan dan melewatkan salah satu fase yang disebut sebagai fase akhirat Surga dan Neraka. Terlalu berlebihan kalau kita melewatkan begitu saja fase akhirat, yang dimulai dengan hancurnya bumi beserta semua isinya. Dan kemudian dilanjutkan dengan fase Kebangkitan dari dalam kubur. Manusia bakal benar-benar dihidupkan dari kematiannya dalam bentuk fisik. Badannya yang hancur di dalam tanah, bakal dikembalikan lagi seperti semula.
Barangkali Syech menganggap itu sebagai perumpamaan saja, karena tidak menemukan gambaran logisnya. Tidak menemukan pijakan akal dalam memahami fase akhirat yang dimulai dengan 'Kebangkitan Massal' tersebut.
Itu semata-mata keterbatasan berpikir seorang manusia. Dan juga oleh keterbatasan perkembangan ilmu pengetahuan di zaman itu dalam memahami mekanisme hancurnya alam semesta, dan kebangkitannya kembali.
Tapi seiring dengan perkembangan pemikiran dalam bidang Astrofisika, semua itu mulai bisa didekati secara lebih baik. Jadi, tidak perlu ada keraguan lagi tentang terjadinya hari kiamat dan kehidupan akhirat. Apalagi Allah menjamin lewat statement-statement yang berjumlah ratusan ayat di dalam Al Qur’an.
Pendekatan Syech Siti Jenar dilakukan lewat asumsi-asumsi pemikiran filsafat belaka. Sedangkan pendekatan modern didasarkan pada data-data pendahuluan yang semakin lengkap, sehinga setingkat lebih maju, dalam bentuk hipotesa, yang kemudian dikemukakan sebagai teori yang menemukan pijakan lebih kokoh.
Maka, Allah menyindir pendekatan-pendekatan spekulatif seperti itu sebagai hal yang sangat berbahaya. Bahkan bisa-bisa tidak bermanfaat. Karena lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya.
QS. Al Jatsiyah (45) : 24
Dan mereka berkata: "Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa", dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.
QS. Yunus (10) : 36
Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.
Saya kira, kita tidak boleh terlalu spekulatif dalam memahami informasi dari dalam Al Qur’an. Harus ada bukti-bukti pendukung. Meskipun, baru pada bukti-bukti awal. Sangat riskan untuk menyimpulkan Qur'an dengan hanya berdasar asumsi dan dugaan-dugaan saja. Apalagi yang terkait dengan pemahaman alam semesta. Padahal dalam banyak ayatNya, Allah memberikan gambaran kepada kita bahwa keberadaan Allah, kepahaman tentang eksistensi Allah justru sangat terkait dengan eksistensi alam semesta.
Puluhan ayat yang mengatakan bahwa bukti-bukti Eksistensi Allah bisa dilihat dari alam sekitar kita. Terutama penciptaan Langit dan Bumi. Itu pulalah yang dikatakan nabi Ibrahim ketika berdebat tentang keberadaan Allah sebagai Tuhan alam semesta dengan orang kafir pada zamannya.
QS. Al Anbiyaa' (21) : 56
Ibrahim berkata: "Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan langit dan bumi yang telah menciptakannya; dan aku termasuk orang-orang yang dapat memberikan bukti atas yang demikian itu".
QS. An naml (27) : 64
Atau siapakah yang menciptakan (manusia dari permulaannya), kemudian mengulanginya (lagi), dan siapa (pula) yang memberikan rezki kepadamu dari langit dan bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Katakanlah: "Unjukkanlah bukti kebenaranmu, jika kamu memang orang-orang yang benar".
Coba perhatikan bagian penutup ayat tersebut di atas. Bahwa, Ibrahim termasuk orang-orang yang bisa memberikan bukti atas eksistensi Allah sebagai Tuhan alam semesta. Jadi cara yang benar dalam bertuhan adalah dengan argumentasi yang baik dan bisa dipertanggung jawabkan. Bukan sekadar dugaan-dugaan yang tidak berdasar dan tidak masuk akal.
Nah, cara ini pulalah yang saya gunakan. Mencoba menyusun dan memberikan pembuktian-pembuktian atas kebenaran ajaran Islam. Atas keberadaan dan Kebesaran Allah sebagai Dzat Tunggal Penguasa alam semesta ini. Semuanya saya dasarkan kepada pemikiran-pemikiran modern yang bertumpu kepada data data empirik dalam berbagai tingkatannya.
Maka, kembali kepada bersatunya makhluk dengan Allah, saya memiliki 'perumpamaan matematika' sederhana yang barangkali bisa memberikan gambaran agak lebih baik tentang kebersatuan makhluk dengan Allah.
Telah saya katakan, bahwa seluruh eksistensi makhluk ini berasal dari Eksistensi Allah. Logikanya sangat jelas: karena Dia adalah Dzat Tunggal, Yang Paling Awal. Segala 'keberadaan' pasti hanya bersumber dari DzatNya. Tidak ada peluang lain.
Dalam pembahasan matematika tentang himpunan, Allah bisa diumpamakan sebagai 'Semesta Pembicaraan'. Tidak ada lagi 'pembicaraan' yang bisa dilakukan di luar 'DiriNya'.
Katakanlah, sekarang kita sedang berbicara tentang angka. Berarti 'SEMESTA PEMBICARAAN' kita adalah ANGKA. Tidak ada angka apa pun di luar 'Semesta Pembicaraan' ini. ANGKA NEGATIF ada di dalam pembicaraan kita, angka NOL juga di dalam pembicaraan, ANGKA POSITIF juga termasuk, ANGKA PECAHAN pun ada di dalamnya. Pokoknya semua jenis angka berada dalam 'Semesta Pembicaraan'.
Lantas saya bertanya kepada Anda: ‘Dimanakah angka 1 berada?’ 'Anda akan menjawabnya dengan tegas: 'ada di dalam SEMESTA PEMBICARAAN'
Saya bertanya lagi, dimanakah angka 100 juta? Anda akan jawab tanpa ragu, ia berada di dalam SEMESTA PEMBICARAAN. Dimanakah pula angka minus 1 miliar? Jawabnya juga di dalam SEMESTA PEMBICARAAN. Dimana angka NOL? Ia pun berada di dalam SEMESTA PEMBICARAAN. Dan dimana pula angka seper satu triliun? Jawabnya tetap sama, ia berada di dalam SEMESTA PEMBICARAAN.
Jadi, angka positif, negatif, pecahan, nol alias kosong, dan semua jenis angka apapun yang kita kenal, berada di dalam SEMESTA PEMBICARAAN. Dimana pulakah HIMPUNAN KOSONG berada? Ia juga berada di dalam SEMESTA PEMBICARAAN.
Jadi, SEMESTA PEMBICARAAN kita ini memuat seluruh jenis angka, bahkan termasuk NOL dan sebuah HIMPUNAN KOSONG. Dengan kata lain, SEMESTA PEMBICARAAN ini juga memuat ADA dan TIADA di dalamnya. Apakah ada suatu pembicaraan tentang angka yang tidak terdapat di dalam SEMESTA PEMBICARAAN itu? Jawabnya pasti : Tidak ada!
Begitulah kira-kira perumpamaan EKSISTENSI ALLAH dengan eksistensi makhlukNya. ALLAH bagaikan SEMESTA PEMBICARAAN, sedangkan makhluk adalah himpunan-himpunan dan anggota-anggotaNya yang berada di dalamNya.
Di dalam ALLAH ada himpunan Manusia, yang berisi manusia segala bangsa. Ada laki-laki, perempuan, waria, anak-anak, orang tua, dan segala jenis manusia.
Di dalam ALLAH itu juga ada himpunan Malaikat, yang beranggotakan semua malaikat, termasuk Jibril, Mikail, Izrail, Malik, Ridwan dan seterusnya.
Di dalam ALLAH itu juga ada himpunan Jin dengan segala jenisnya. Setiap jenis itu bisa berarti himpunan yang lebih kecil. Dan lebih kecil lagi.
Ada lagi himpunan binatang, tumbuhan, benda-benda mati, benda angkasa, dan segala macam benda alias materi pengisi alam semesta.
Di dalam ALLAH juga ada himpunan WAKTU dengan segala macam dinamikanya, termasuk relativitas waktu. Termasuk juga himpunan RUANG, himpunan ENERGI, himpunan INFORMASI, himpunan ETIKA, dan segala macam eksistensi yang mungkin.
Di dalam ALLAH itu pun ada himpunan kosong SESUATU YANG TIDAK BERISI. Ada himpunan ADA. Dan ada pula himpuan TIADA. Ada himpunan GHAIB, dan himpunan GHAIRU GHAIB. Ada himpunan'NYATA dan himpunan 'IMAJINER'. Pokonya segala yang menjadi semesta pembicaraan masuk di dalamNya.
Maka, manusia hanyalah salah satu himpunan di dalam ALLAH. Himpunan MANUSIA ini beranggotakan sekitar 5 miliar manusia dari segala bangsa, segala keadaan dan jenis kelaminnya. Lima miliar manusia itu ditempatkan di dalam sebuah himpunan lain yang lebih besar bemama Bumi. Anggotanya, selain manusia, adalah binatang, tumbuhan, air dan samudera, udara dan atmosfer, berbagai jenis tambang, bebatuan, gunung-gunung, dan lain sebagainya.
Himpunan BUMI itu pun oleh Allah ditempatkan di dalam himpunan yang lebih besar yang disebut himpunan TATA SURYA. Isinya ada 9 planet, puluhan bulan dan satelit planet selain bumi, berjuta-juta batu angkasa seperti asteroid, dan meteor, berbagai gaya gravitasi antar benda langit, orbit-orbit, debu kosmis, energi elektromagnetik, dan lain sebagainya.
Himpunan TATA SURYA, oleh ALLAH ditempatkan di dalam sebuah himpunan yang lebih besar yang disebut GALAKSI BIMA SAKTI. Anggotanya ada sekitar 100 miliar matahari, miliaran planet dan satelit, dan berbagai macam bintang termasuk bintang neutron nova, supernova, nebula, dan segala macam eksistensi pendukungnya.
Himpunan yang bernama GALAKSI BIMA SAKTI itu pun masih berada di dalam himpunan lain yang lebih besar yang disebut himpunan SUPERKLUSTER. Ia beranggotakan sekitar 100 miliar galaksi, bertriliun-triliun matahari dan bintang, bertriliun-triliun planet termasuk bumi, dan sejumlah TAK BERHINGGA benda-benda angkasa lainnya.
Bumi adalah sebagian kecil dari benda-benda yang TAK BERHINGGA pengisi himpunan yang bernama SUPERKLUSTER ini. Dan tenyata, himpunan yang demikian dahsyatnya itu masih merupakan anggota himpunan yang lebih besar lagi, yaitu himpunan ALAM SEMESTA. Anggotanya bermiliar-miliar SUPERKLUSTER, dan benda benda langit lainnya yang belum diketahui secara persis sampai kini.
Dan, himpunan ALAM SEMESTA ini bukan himpunan yang terbesar. la berada di dalam sebuah himpunan lebih besar yang bernama 'ALAM SEMESTA BERTINGKAT TUJUH'. Masing-masing alam yang tujuh itu besamya berlipat-lipat kali tidak berhingga terhadap alam dunia kita yang dipahami manusia lewat Astronomi
Langit yang tujuh ini pun berada di dalam sebuah himpunan lebih besar lagi yang disebut himpunan MAKHLUK CIPTAAN ALLAH. Dimana kita tidak tahu sedikit pun, apakah ada makhluk ciptaan Allah selain yang bernama ALAM SEMESTA?!! Boleh jadi, ada bertriliun-triliun makhluk selain yang ada di dalam himpunan 'ALAM SEMESTA YANG TUJUH'. Akhirnya, himpunan 'SEGALA MAKHLUK' itu berada di dalam semesta pembicaraan 'ALLAH'.
Nah, kini Anda bisa membayangkan seberapa besarkah hipunan 'MANUSIA' di dalam semesta pembicaraan 'ALLAH' ? Apalagi, 'seorang' manusia di dalam Nya? Ibaratnya sebuah eksistensi yang 'kecil tidak berhingga' di dalam sebuah semesta pembicaraan yang' BESAR TIDAK BERHINGGA'.
Kalau kita kembali kepada realitas ANGKA, maka ibaratnya boleh jadi manusia itu hanya bagaikan angka 1, dibandingkan dengan angka TAK BERHINGGA. Angka 1 dibandingkan angka 'tak berhingga' = NOL.
Jadi, kita ini sebenarnya adalah NOL di dalam Allah. Kita ini KOSONG. Kita ini SEMU. Persis seperti angka NOL. Ada lambangnya, berupa 'bulatan' Tapi makna dari angka NOL itu sebenarnya adalah KOSONG. Tidak ada nilainya. Kelihatannya saja ADA, tapi sebenarnya TIDAK ADA!
Lantas, siapakah yang sesungguhnya ada? Yang ada hanyalah 'SEMESTA PEMBICARAAN', yang meliputi semua 'angka-angka' itu. Dialah DZAT Tunggal Yang Perkasa : ALLAH AZZA WAIALLA...