Langkah selanjutnya adalah 'mempertautkan hati'. Menyatukan ego yang terpisah. Karena kebersatuan bukanlah sekadar berkumpulnya dua ego yang berbeda dalam satu ‘rumah’. Melainkan meleburkannya.
Bagaikan dua insan yang sedang dimabuk asmara, dan kemudian memutuskan untuk menikah membangun sebuah mahligai cinta. Di dalam mahligai itulah dua ego berada, untuk mempertautkan hati yang berbeda.
Apa yang harus dilakukan? Apakah sang istri yang harus mengikuti ego suami ataukah sang suami yang harus mengikuti ego istri?
Ketika suami mengharapkan sang istri mengikuti egonya sendiri, yang terjadi adalah 'penjajahan cinta'. Ia sebenarnya tidak mencintai istri, tetapi 'menjajah' agar mau tunduk kepadanya. Ia tidak mengakui bahwa sang istri adalah ego yang berbeda.
Begitu pula sebaliknya, ketika istri menghendaki sang suami memenuhi segala kemauan egonya, ia juga sedang memaksa ego suami ke dalam penguasaan egonya sendiri.
Ini bukan mekanisme cinta dan kasih sayang. Melainkan mekanisme 'penjajahan'. Hasilnya, bukan kebahagiaan. Tapi pertengkaran, perkelahian, dan penderitaan. Masing-masing ingin menguasai yang lain.
Cinta tidak menawarkan pertengkaran, perkelahian, perebutan kekuasaan, dan penderitaan. Cinta menawarkan ketentraman, kedamaian dan kebahagiaan. Cinta menawarkan jalan keseimbangan: tanpa kemenangan, tanpa kekalahan. Tanpa kesombongan, tanpa keserakahan. Cuma kebahagiaan.
Bagaimana mungkin bisa demikian? Kuncinya, cuma satu: jangan menonjolkan 'aku'. Jangan larut dalam ego masing-masing. Mesti mempertautkan hati. Meleburkan dua pribadi yang berbeda, menjadi satu. Hanya dalam cinta. Atas nama kasih sayang.
Mencintai adalah memberi, bukan menuntut. Kasih sayang adalah 'mengasih' dan 'menyayang'. Pemberian bakal melimpahkan kesenangan dan kebahagiaan. Tuntutan menghasilkan rasa tertekan dengan segala persoalannya.
Kalau kedua ego selalu memberikan sesuatu atas nama cinta kepada pasangannya, maka yang ada cuma rasa senang dan bahagia. Tapi ketika masing-masing menonjolkan tuntutan, maka yang muncul adalah ketidakpuasan. Karena tidak ada orang yang bisa memuaskan ego kita.
Hati bukan lagi bertaut, melainkan berhadap-hadapan untuk saling menghakimi, dengan tuduhan-tuduhan yang melukai.
Pertautkanlah hati dengan cara 'menyerahkan hati' kita kepadanya. Maka, ia akan membalas dengan menyerahkan hatinya kepada kita. Itulah makna cinta yang sejati: berserah diri, untuk kebahagiaan orang yang dicintai.
Maka yang berbahagia bukan hanya yang dicintai, melainkan justru orang yang mencintai. Ia yang lebih banyak merasakan kebahagiaan. Jika orang yang dicintai tidak membalasnya dengan rasa cinta, no problem, justru dia yang akan kehilangan kebahagiaan. Tidak akan merasakan kebahagiaan. Ia hanya akan berkutat dengan ketidakpuasan-ketidakpuasan egonya. Sekali lagi, kebahagiaan hanya milik orang-orang yang bisa mencintai.
Bagaimanakah mempertautkan 'hati' dengan Allah? Apakah sama dengan mempertautkan hati dua insan yang sedang dimabuk cinta?
Tentu saja tidak sama persis, tapi memiliki kemiripan. Pada intinya, mempertautkan hati seorang hamba dengan Tuhannya, adalah sebuah proses 'berserah diri'. Bukan sederet tuntutan dalam do'a yang panjang untuk dicintai. Karena, sebenarnya Allah sudah selalu mencintai kita. Dan akan seterusnya mencintai kita.
Tapi, kenapa kita seringkali tidak merasakannya? Karena, kita belum mencintaiNya. Ingatlah, bahwa rasa bahagia hanya muncul pada orang-orang yang sedang jatuh cinta. Yang mencintai. Bukan yang dicintai. Semakin menuntut, semakin tidak puas. Semakin berserah diri, semakin puas.
Jadi, ketika kita mencintai Allah, tiba-tiba kita bisa merasakan betapa besar CintaNya kepada kita. Betapa banyaknya yang telah Dia berikan kepada kita. Dan kemudian kita merasakan nikmat yang luar biasa terhadap segala yang Dia berikan kepada kita itu.
Hal demikian, tidak akan pernah bisa dirasakan oleh orang yang tidak mencintai. Apalagi yang selalu menuntut untuk dicintai. Karena, orang yang menuntut, selalu berpikir tentang apa yang akan datang. Bukan apa yang sedang dia terima. Dia tidak pernah bisa merasakan apa yang telah dia miliki.
Tapi apa yang dia angan-angankan. Ya, dia hanya hidup dalam angan-angan egonya belaka.
Di sinilah kuncinya, kenapa kita selalu merasakan ketidakpuasan. Bahkan, kadang merasa gagal, dan bahkan menderita karenanya. Sepertinya, hidup kita jauh dari rasa tentram dan damai. Jawabnya: karena tuntutan kita kepada Allah demikian besarnya. Karena kita tidak belajar menyerahkan hasil atas keputusan-keputusan dan keinginan kita kepadaNya saja. Kita serakah. Padahal semua itu hanyalah fatamorgana. Semu belaka.
QS. Al Baqarah (2) : 96
Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling serakah kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih serakah) dari orang-orang musyrik. Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya dari siksa. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.
Ayat di atas memberikan gambaran betapa banyak manusia demikian serakahnya terhadap kehidupan dunia. Mereka terjebak dalam fatamorgana, seakan-akan dunia ini bisa memuaskan dan membahagiakan selama-lamanya. Sehingga mereka ingin hidup seribu tahun. Kata Allah mereka keliru, sebab umur panjang itu tidak akan melepaskan mereka dari penderitaan. Manusia tidak bisa terlepas dari sifat uzur dan penyakit-penyakit degeneratif. Penyakit tua. Tetapi angan-angan mereka terlalu melambung. Mengejar kepuasan tiada batas, yang tiada akan pernah bisa memenuhi ego mereka.
Jadi apa yang mesti dilakukan? Hanya satu, serahkan segala hasil kepada Allah saja. Kita cuma berusaha untuk mencapainya, tanpa harus terjebak oleh angan-angan palsu. Allah pasti akan memilihkan yang terbaik buat kita. Berserah dirilah hanya kepada Allah.
QS. Al Hadid (57) : 20
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu
QS. Fathir (35) : 5
Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syetan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah.
QS. Ali Imran (3) : 83
Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan.
QS. Al Anbiyaa' (21) : 108
Katakanlah: "Sesungguhnya yang diwahyukan kepadaku adalah: "Bahwasanya Tuhanmu adalah Tuhan Yang Esa, maka hendaklah kamu berserah diri (kepada Nya).
QS. Az Zumar (39) : 38
Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?", niscaya mereka menjawab: "Allah". Katakanlah: "Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmatNya?. Katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku". Kepada- Nyalah bertawakkal orang-orang yang berserah diri.