Thursday, March 8, 2007

Bagaimana Cara MendekatiNYA

Jadi bagaimanakah kita harus mendekatkan diri kepada Allah?
Ternyata, kuncinya sederhana saja: luruskan 'wajah' kita hanya kepada Allah. Jangan 'tolah-toleh' kemana-mana.

Bagaimana riilnya?Juga sederhana: ikuti dan pahami tatacara ibadah yang diajarkan Rasulullah saw. Jangan terjebak hanya pada kulitnya saja. Jangan terjebak pada 'upacara kosong' belaka. Karena proses kedekatan itu bakal muncul dalam Jiwa kita, seiring dengan 'kedalaman makna' ibadah yang sedang kita jalani.

Semakin paham kita tentang apa yang kita jalani, semakin nyambung hati kita dengan Allah. Dan kemudian tertulari oleh Sifat-Sifat UniversalNya. Maka semakin dekatlah kita kepada Allah. Sifat-Sifat itu, lantas akan terpancar dalam keseharian kita.

Sebaliknya, ketika kita tidak paham makna ibadah, kita bakal menjauh dariNya, karena hati tidak pernah nyambung denganNya. Dan karenanya, Sifat-Sifat Allah juga tidak muncul dalam keseharian kita. Yang muncul egoisme. Maka dalam praktek kehidupan kita, makna jauh' dan 'dekat' kepada Allah tergambar dari pancaran Sifat-Sifat ketuhanan dalam diri kita.

Kalau Allah Maha Adil, dan kemudian kita bergerak ke arah ketidakadilan, maka jelas-jelas kita sedang menjauhi Allah. Kalau Allah tidak pernah berbohong, dan kemudian kita suka berbohong, itu pun sangat jelas kita sedang bergerak menjauhi Allah.

Kalau Allah menebarkan rahmat kepada seluruh alam, dan lantas kita melakukan berbagai perusakan terhadap alam sekitar kita, maka itu pun sangatlah gamblang, kita sedang menjauhi arah.

Pokoknya, ketika Allah menunjukkan Kasih SayangNya yang bersifat universal, tapi kita menunjukkan ego yang bersifat individual, maka kita sedang bergerak menjauhi Allah.

Kalau ingin mendekatkan diri kepada Allah, kuncinya cuma satu: terapkanlah Sifat-Sifat Universal Allah dalam kehidupan kita sebagai refleksi ibadah kita. Maka bisa dipastikan, kita sedang bergerak menuju kepada Allah. Jiwa kita sedang berproses menuju Sifat-Sifat Allah yang universal.

Keadilan, kejujuran, kebijaksanaan, pemaaf, dermawan, lemah lembut, sopan santun, rasa belas kasihan, semangat keilmuan, kecerdasan, dan berbargai sifat positif berkualitas tinggi lainnya, adalah sebagian dari Sifat-Sifat Universal ketuhanan.

Maka, orang yang memiliki sifat-sifat demikian itu pada hakekatnya telah menyatukan sifat-sifatnya dengan Sifat-Sifat Ketuhanan. Semakin universal perilakunya, semakin menyatulah dia dengan Perilaku-Nya.

Jadi, pemahamannya menjadi sangat sederhana. Bahwa orang-orang yang menjalankan perilaku egoistik dalam hidupnya, sebenarnya dia sedang bergerak menjauh dari 'kualitas Ketuhanan'. Sebaliknya, orang yang menjalani perilaku universal, dia sedang mendekatkan diri kepada 'kualitas ketuhanan'. Dan ketika sudah demikian universalnya, maka dia telah 'menyatu' dengan 'Kualitas Ketuhanan' itu sendiri.

Al Qur’an mengajarkan tiga kualitas kepribadian seorang manusia. Yang paling rendah adalah bersifat egois individualis. Yang lebih tinggi, bersifat sosialis. Dan yang paling tinggi adalah spiritualis.

Ketiga sifat itu bertingkat-tingkat kualitasnya menjadi semakin universal. Kenapa sifat-sifat sombong, serakah, menang sendiri, pemarah, pembohong, menipu, pendendam dan sebagainya dilarang oleh Allah? Karena semua sifat itu bertumpu kepada sifat egois. Mementingkan diri sendiri.

Oleh Allah, kita diperintahkan untuk menggesernya menjadi sifat-sifat yang lebih sosial. Kita disuruh banyak berbuat kebajikan kepada orang lain. Menolong dengan harta benda kita, dengan ilmu, dengan kekuasaan, dan dengan apa pun yang kita miliki sebagai kelebihan. Inilah hakikat dari konsep hablum minannas.

Jika semua itu kita jalankan dengan penuh keikhlasan, barulah kita beranjak menuju tingkatan paling tinggi, yaitu spiritualis. Tingkatan yang mengamalkan Sifat-Sifat Ketuhanan tanpa pamrih. Kecuali hanya karena Allah semata. Lillahita'ala!

Inilah hakekat hablum minallah. Hubungan dengan Allah itu baru bisa berjalan sempurna kalau kita sudah melatih dan melewati interaksi kemanusiaan secara baik pula. Hablum minannas menjadi landasan bagi hablum minallah!

Semua itu bisa kita lakukan, hanya kalau kita berserah diri kepada Allah. Tidak ada tujuan lain dalam kehidupan kita. Laa ilaaha illallah...

Dirinya lenyap. Yang ada hanya Allah. Inilah yang dikatakan oleh Allah dalam Al Qur’an ketika menolong orang-orang mukmin dalam sebuah peperangan yang sangat menentukan.

QS. Al Anfaal (8) : 17
Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. Dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Atau, dalam sebuah hadits Qudsi sebagaimana kita bahas sebelumnya:
“dia melihat dengan penglihatan Allah, dia mendengar dengan pendengaran Allah, dan dia berbuat dengan bimbingan ilmu-ilmu Allah.”

Memang, badannya masih ada. Karena ia adalah seorang manusia dengan segala keterbatasannya. Tapi, egonya telah lenyap, melebur ke dalam Ego Allah. Dia itulah orang yang paling pantas disebut sebagai khalifatu fil Ardhi - wakil Allah di muka bumi. Keberadaannya selalu mencerminkan keberadaan Allah. Ia menjadi pantulan Sifat-Sifat ketuhanan bagi kemaslahatan makhlukNya tanpa pandang bulu.

Rahmatan lil 'alamin...

Kalau dia hadir, siapa saja yang berada di dekatnya akan merasakan ketentraman dan kedamaian. Bukan malah memperoleh berbagai macam masalah. Begitulah memang Sifat Allah, barangsiapa 'ingat' dan 'dekat' denganNya, maka ia akan merasakan ketentraman dan kedamaian.

QS. Ar Ra'd (13) : 28
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.

Kita jadi teringat kepada rasulullah saw. Seorang teladan yang luar biasa. Keberadaannya selalu memberikan rahmat pada sekitarnya. Kecuali, orang-orang yang memang tidak mau menerimanya. Hati yang tertutup terhadap rahmat.

Sejak kecil sampai wafatnya, beliau mengalami proses penyempurnaan menuju Sifat-Sifat Universal Ketuhanan. Dikenal sebagai orang yang jujur, adil, amanah, sulit marah, penuh belas kasihan dan sangat pemaaf.

Bahkan sampai kepada 'musuh-musuhnya' pun beliau tidak pernah menganggap musuh. Melainkan sebagai orang-orang yang patut dikasihani, karena tidak mengikuti ajaran islam yang dibawanya. Mereka pasti akan mendapat bencana karenanya.

Tidak ada dendam dan kebencian yang beliau tebarkan. Yang ada hanya kasih sayang, Rahmat. Karena itu, ketika beliau ditodong pedang mau dibunuh oleh orang kafir, beliau hanya tersenyum.

‘Siapa yang bakal menolongmu dari pedangku ini Muhammad? Kata orang kafir itu. Rasulullah hanya mengatakan: Allah! Dan pedang itu pun terjatuh.

Beliau memungut pedang, dan ganti menodongkan kepada orang kafir tersebut, sambil berkata: ‘siapa yang bisa menolong kamu dari Pedang ini?’ Sambil gemetar orang itu menjawab: ‘tidak ada, ya Muhammad’. Kecuali engkau mau memaafkanku. Maka, rasulullah mengembalikan pedang itu kepadanya, dan menyuruhnya kembali kepada kaumnya. Diceritakan kemudian, akhirnya orang itu masuk Islam. Bukan karena takut kepada Rasulullah, melainkan terkagum-kagum pada keagungan sifat beliau. Rasulullah bukan menebar dendam, melainkan menebar kasih sayang dan kedamaian.

Beliau orang yang sangat sulit marah. Bahkan di kali yang lain, beliau dilempari batu sampai mukanya berdarah-darah. Bukannya marah dan sakit hati, tapi malah doa tulus yang keluar dari mulut beliau.
'Ya, Allah jangan Engkau azab mereka, karena sesungguhnya mereka belum mengerti tentang Risalah yang aku bawa ini Bukalah hati mereka untuk menerima agama ini...'

Begitu agungnya! Karena itu, digambarkan bahwa akhlak beliau adalah akhlak Qur'an. Sedangkan Qur'an adalah Firman Allah. Jadi, akhlak dan amal perbuatan rasulullah itu sebenarnya adalah manifestasi dari FirmanNya. Seorang manusia biasa, tapi mencerminkan dan memantul-mantulkan Sifat-Sifat Allah bagi sekitarnya. Rahmatan lil 'alamln...

Di akhir hayatnya, yang meluncur dari mulut beliau adalah: ummati... ummati... ! Sebuah kegelisahan kalau umatnya tersesat. Tidak mengikuti jalan Allah, terjebak pada kehidupan duniawi yang semu. Ego beliau telah lenyap, lebur ke dalam Sifat-Sifat Allah yang Universal. Maha Mengasihi dan Maha Menyayangi...

Secara teknis operasional, sifat-sifat yang demikian itu bisa diperoleh dan dilatih dengan teknik-teknik peribadatan yang diajarkan beliau. Mulai dari Dzikir, shalat puasa, berzakat, sampai pada ibadah haji. Seluruh ibadah yang beliau ajarkan itu adalah mekanisme untuk memperoleh kualitas jiwa tersebut. Tapi tentu saja bukan sekadar tatacaranya, karena beliau juga mengajarkan: innamal a’malu binniyat. Semua peribadatan itu akan menghasilkan kualitas pribadi yang maksimal jika dilakukan dengan niat yang benar. Bukan sekadar seremonial belaka. Nabi memperingatkan, betapa banyak orang beribadah tetapi tidak memahami maknanya. Sehingga mereka tidak mencapai tujuan yang dimaksud, kecuali Cuma 'upacara kosong' belaka.

Shalat dan Dzikir memiliki makna untuk selalu ingat dan mendekatkan diri kepada Allah Setiap saat, Shalat 5 waktu itu lebih bersifat mendisiplinkan saja. Intinya kita diajari untuk selalu ingat bahwa Allah besama kita terus, sehingga kita diajari untuk terus berdzikir di luar shalat 5 waktu.

Karena itu, orang yang mampu selalu berdzikir kepada Allah, dia akan terhindar dari perbuatan keji dan munkar. Itulah yang dijanjikan Allah kepada orang-orang yang menegakkan makna shalat di dalam hidupnya.

Puasa juga adalah tatacara untuk mencapai tujuan mendekatkan diri kepada Allah. Dengan puasa kita dilatih untuk mengontrol ego kita. Bahkan merendahkan ego, untuk mengakui Ego Allah saja.

Sayangnya, banyak orang mengira bahwa dengan tidak makan dan tidak minum, serta yang membatalkan puasa saja, mereka akan bisa mendekatkan diri kepadaNya. Tidak, kata Rasulullah. Banyak orang berpuasa, ternyata tidak memperoleh makna puasa, kecuali cuma lapar dan dahaga.

Begitu pula zakat dan haji. Zakat adalah latihan untuk tidak bersifat posessive secara berlebihan kepada harta benda. Ini adalah bagian dari latihan untuk menjauhkan kita dari dunia dan mendekatkan diri kepada Allah.

Bukan berarti kita tidak boleh menikmati dunia, melainkan menghilangkan rasa 'memiliki'. Sebab semua ini adalah milik Allah. Dialah yang memberi dan mencabut rezeki dari hamba-hambaNya, kapan pun Dia menghendaki.

Sedangkan haji, adalah sebuah prosesi unik, dimana kita diperintahkan Allah untuk meneladani dan napak tilas perjalanan hidup nabi Ibrahim. Seorang nabi yang berderajat sangat tinggi, sehingga memperoleh gelar Kholilullah: nabi Kesayangan Allah.

Jadi, ringkas kata, cara pendekatan kita kepada Allah sebenarnya sangatlah sederhana. Ikutilah cara Rasulullah saw dengan berbagai teknik ibadah yang beliau ajarkan. Dijamin ego kita akan semakin rendah dan semakin rendah. Akhirnya bisa berserah diri hanya kepada Allah. Asalkan ini yang penting niatnya benar. Kepahamannya benar, Lurus hanya karena Allah semata : lillahi ta'ala...