Thursday, March 8, 2007

Selalu BersamaNYA

Cinta tidak harus memiliki. Cinta juga tidak harus bersama. Begitulah kata orang. Tetapi, betapa nikmatnya, ketika bercinta itu kita bisa 'memiliki', dan selalu bisa bersama dengan yang kita cintai.

Berbeda dengan mencintai makhluk, cinta kepada Allah memberikan segalanya kepada kita. Selain perasaan Cinta dan rasa Rindu yang selalu menggelora, kita juga bisa memilikiNya. Dan sekaligus, bisa selalu bersamaNya. Kurang apa lagi?!

Rasa cinta, rindu dan memiliki, terserah Anda bagaimana membangunnya. Karena, itu sangat bergantung kepada kehendak bebas Anda: apakah mau mencintai atau tidak. Akan tetapi rasa kebersamaan, harus dibangun berdasar kepahaman. Bahwa benar-benar Dia sudah dan akan selalu bersama kita dalam seluruh kehidupan kita.

Tapi, bagaimana kita bisa merasakan bahwa Dia telah hadir bersama kita? Disinilah perlunya kita membuka-buka FirmanNya. Mencari petunjuk tentang cara untuk bisa selalu bersamaNya.

Sebenarnya, Allah telah menginformasikan kepada hamba-hambaNya bahwa Dia selalu dekat dan bersama hambaNya dimana pun berada. Bahkan dalam kondisi apapun, Dia selalu hadir di dekat kita. Hanya kita saja yang tidak bisa merasakan kehadiranNya.

Bahkan, sebagaimana telah kita singgung di depan, Allah bukan hanya hadir bersama kebaikan, tapi juga keburukan. Bukan hanya di tempat-tempat suci, tapi juga di tempat-tempat yang 'kotor' menurut kita. Bukan hanya meliputi orang-orang mukmin dan bertakwa, tetapi juga meliputi orang-orang kafir.

Tapi, kehadiran Allah itu seringkali masih tidak bisa kita rasakan. Sehingga sampai ada yang mempelajari ilmu ‘hudur’, ilmu untuk 'menghadirkan' Allah. Hanya karena kita tidak bisa merasakan kehadiranNya, yang begitu dekat.

Saya beri contoh, banyak hal yang hadir di dekat kita, tapi tidak kita sadari. Misalnya, udara. Kita tahu persis bahwa udara ada di sekitar kita. Bahkan telah kita hirup untuk menyokong kehidupan kita. Tapi, tidak banyak di antara kita yang 'menyadari' bahwa di sekitar kita ada udara tersebut.

Boleh jadi, perhatian dan kesadaran kita lebih tertuju kepada mobil yang lewat. Atau acara-acara televisi. Atau ngobrol ‘ngalor ngidul’ dengan kawan. Dan sebagainya, dan sebagainya. Sehingga kita tidak menyadari bahwa udara telah hadir bersama kita. Telah meliputi kita.

Begitulah kira-kira interaksi kita dengan Allah. Sebenarnya, Allah telah hadir dan meliputi kita, tapi perhatian dan kesadaran kitalah yang tidak tertuju kepadaNya. Maka, seakan-akan Allah tidak hadir bersama kita. Sampai-sampai kita perlu mempelajari ilmu menghadirkan Allah.

Padahal, sederhana saja. Kita hanya perlu memberikan perhatian dan mengarahkan kesadaran kita kepadaNya. Maka Ia akan segera 'hadir' dalam pikiran kita. Karena sesungguhnya-lah Dia sejak semula telah hadir di dekat kita. Bahkan mengendalikan seluruh aktivitas kehidupan kita. Tidak pernah meninggalkan, meskipun hanya sedetik!

Sebab, kalau sampai kita ditinggal Allah 1 detik saja, tubuh kita ini telah hancur terburai menjadi partikel-partikel subatomik atau lebih kecil lagi. Ikatan-ikatan antara partikel penyusun tubuh kita bakal buyar, karena ditinggal sumber energinya: Allah, Rabbul'Alamin.

Jiwa dan Ruh juga bakal lepas dari badan yang terburai itu. Bahkan, jika Allah tidak hadir pada Jiwa dan Ruh, keduanya bakal kehilangan eksistensi. Lenyap, musnah entah kemana.

Allah selalu hadir bersama kita, tetapi tidak kita sadari. Maka, di dalam kesadaran itulah sebenarnya interaksi kehadiranNya terjadi. Semakin 'sadar' kita, semakin intensif juga Dia hadir bagi kita.

QS. Al Anbiyaa' (21): 64 - 65
Maka mereka telah kembali kepada kesadaran mereka dan lalu berkata: "Sesungguhnya kamu sekalian adalah orang-orang yang menganiaya (diri sendiri)", kemudian kepala mereka jadi tertunduk (lalu berkata): "Sesungguhnya kamu (hai Ibrahim) telah mengetahui bahwa berhala-berhala itu tidak dapat berbicara"

Dalam kasus yang sebaliknya, Allah mengatakan bahwa orang-orang kafir pada zaman nabi Ibrahim kehilangan 'kesadarannya', sehingga sampai bertuhan kepada patung yang tidak selayaknya dipertuhan. Namun, ketika 'kesadaran' mereka telah kembali, mereka jadi malu dan tertunduk. Karena sesungguhnyalah sangat memalukan bertuhan kepada patung. Lha wong, berbicara saja tidak bisa, kok dimintai pertolongan. Apalagi mengabulkan do'a, dan jadi tempat bergantung.

'Kesadaran' sangat terkait dengan potensi tertinggi manusia. Hal ini telah kita bahas pada diskusi sebelumnya : 'Menyelam ke samudera Jiwa dan Ruh' Bahwa dengan kesadaran itulah kita bisa membedakan secara jujur tentang eksistensi Tuhan dalam kehidupan kita.

Sehingga Allah menegaskan, Jika kamu bertanya kepada manusia: siapakah Tuhan yang menciptakan alam semesta ini? Mereka pasti akan menjawab ‘Allah’ Jika, mereka berada dalam kesadarannya.

QS. Az Zumar (39) : 38
Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka menjawab: "Allah" Katakanlah:

"Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah berhala berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmatNya? Katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku" Kepada Nyalah bertawakkal orang-orang yang berserah diri.

Maka, kualitas kesadaran kita menjadi kunci utama atas 'kehadiran' Allah dalam kehidupan kita. Semakin tinggi kualitas kesadaran kita, semakin jelas pula 'kehadiranNya' bagi kita.

Sekadar mengingatkan kembali, seperti kita bahas dalam diskusi tentang Jiwa dan Ruh, kesadaran ada 4 tingkatan: Kesadaran Inderawi, Kesadaran Rasional, Kesadaran Spiritual, dan Kesadaran Tauhid. Pada kesadaran tertinggi itulah Allah hadir demikian dekatnya kepada seorang hamba. Sehingga kemana pun kita menghadapkan wajah, disitulah kita 'melihat' kehadiran Allah.

QS. Al Baqarah (2) : 115
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat Nya) lagi Maha Mengetahui.

Dengan demikian, jika kita ingin selalu dekat dengan Allah, dan 'menyaksikan' kehadiranNya, marilah kita tingkatkan terus kualitas kesadaran kita, agar mencapai 'Kesadaran Tauhid'

Secara teknis, untuk membangun Kesadaran Tauhid itu, nabi Ibrahim mengajarkan 'kalimat-kalimat tauhid' kepada anak turunnya, sampai kepada nabi Muhammad saw.

QS Zukhruf (43) : 27 - 28
Tetapi (aku menyembah,) Tuhan Yang menjadikanku, karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku".

Dan (Ibrahim) menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka kembali kepada kalimat tauhid itu.