Begitu besarnya Dzat Allah, sehingga tidak terwadahi oleh pikiran kita! Demikian pula, saking besarnya Dzat Allah, sehingga eksistensiNya tidak bisa dijelaskan oleh bahasa. Tidak ada bahasa yang bisa mewadahi dan menjelaskan tentang keadaan dan sifat-sifat DzatNya.
Karena itu, meskipun Allah sudah mengenalkan DiriNya lewat Al Qur’an, itu belum mentransfer seluruh makna yang terkandung dalam KehendakNya. Makna yang lebih tinggi baru bisa kita rasakan ketika mempraktekkan dan mengonfirmasikannya dalam kehidupan sehari-hari, berupa amalan.
Membaca Al Qur’an adalah menyerap kepahaman dengan menggunakan ungkapan bahasa, lewat pikiran, mata dan telinga. Sedangkan mengamalkan dalam kehidupan adalah menyerap makna dengan menggunakan seluruh potensi kemanusiaan secara utuh. Karena itu, sesungguhnya kita baru akan mengenal Allah dengan lebih baik jika menyerap lewat amalan. Bukan sekadar bahasa dan teori belaka.
Namun demikian, mau tidak mau informasi itu harus dikomunikasikan lewat bahasa. Dan kemudian, Allah memilih bahasa Arab sebagai bahasa untuk memperkenalkan Diri. Tapi, sebenarnya makna yang tersimpan di dalamnya tidak hanya bisa diakses dengan menggunakan bahasa Arab saja. Bahasa apa pun yang dimiliki peradaban manusia bisa digunakan untuk memahami makna itu. Terjemahan adalah salah satu metode untuk menyerap makna yang terkandung di dalam bahasa Al Qur’an.
Makna adalah makna. Bahasa sekadar media untuk menyampaikan makna. Karena itu ungkapan-ungkapan yang ada di dalamnya tidaklah bersifat mutlak. Juga tidak bisa mewadahi makna yang sesungguhnya.
Termasuk ketika Allah memperkenalkan DiriNya dengan bahasa manusia, sebenarnya ungkapan-ungkapan itu tidak pernah bisa mewakili substansi. Dan inilah yang sering menjebak pemahaman kita.
Sebagai contoh, ketika Allah mengatakan bahwa Allah 'melihat' seluruh makhlukNya. Kita seringkali terjebak pada persepsi bahwa Allah memiliki mata, sebagaimana manusia memiliki mata.
Demikian pula ketika Dia mengatakan bahwa Dia 'Maha Mendengar' segala ucapan. Kita pun lantas menyimpulkan seakan-akan Allah memiliki telinga.
Bahkan, ketika Allah mengatakan bahwa Dia menggulung langit dengan tangan kananNya, kita pun membayangkan betapa Allah memiliki tangan. Malahan sepasang, kanan dan kiri. Padahal, pasti bukan demikianlah keadaanNya.
Bahasa memunculkan persepsi. Sedangkan persepsi terbentuk dari pengalaman dan wawasan. Maka jika pengalaman dan wawasan kita sempit, persepsi itu pun ikut sempit. Jika kita ingin memperluas dan menyempurnakan persepsi, kita harus memperluas wawasan dan pengalaman, lewat aktivitas konkret sebanyak-banyaknya.
Begitulah sebenarnya konsep dasar dan mekanisme beragama. Allah memerintahkan banyak-banyak beramal kebajikan, karena dengan beramal itu kita akan mengenal DzatNya yang Maha Sempurna dan Maha Agung. Bukan hanya lewat teori sekadar membaca Al Qur’an. Karena sesungguhnya, inti semua peribadatan kita adalah upaya untuk mengenal dan mendekatkan diri kepadaNya belaka. Dan akhirnya, memuncak dengan berserah diri sepenuhnya KepadaNya.
Nah, bahasa Arab yang dipilih sebagai bahasa Al Qur’an mengkomunikasikan Sifat-Sifat Allah seluas-luasnya. Dengan harapan, kita bisa mempersepsinya secara baik. Mau tidak mau, semua itu menggunakan ungkapan-ungkapan yang sangat manusiawi. Dan karena itu sangat terbatas.
Maka, jangan heran jika Allah memperkenalkan diri secara personifikasi. Punya mata, telinga, tangan, kursi dan singgasana. Tapi kita jangan memahaminya hanya berdasarkan satu dua ayat saja itu bisa menjebak pemahaman kita.
Pemahaman yang lebih baik adalah dengan mengambil sebanyak-banyaknya ayat-ayat tentang Allah. Barulah kemudian kita boleh menafsirinya secara komplementer, saling melengkapi. Berarti kita harus membaca dan memahami minimal 3.326 ayat tersebut? Ya, begitulah!
Dalam memahami makna Al Qur’an, saya memilih metode menyusun puzzle. Anda pernah bermain puzzle? Itu adalah permainan menyusun kembali gambar yang terpotong-potong menjadi banyak bagian. Suatu misal, ada gambar Beruang dengan pemandangan hutan di belakangnya. Gambar itu dipotong-potong menjadi 20 bagian lebih kecil.
Potongan-potongan gambar itu diburai, kemudian Anda diminta untuk menyusun kembali seperti yang seharusnya. Tentu saja, Anda harus mengambil dan menyusun semua potongan itu agar membentuk gambar yang sempurna. Jika tertinggal satu potongan saja, maka gambar Beruang dan pemandangan di belakangnya bakal tidak sempurna.
Nah, bagi saya, begitulah cara yang baik dalam memahami Al Qur’an. Kenapa demikian? Karena Al Qur'an adalah informasi yang saling melengkapi dan saling menjelaskan antar ayat-ayatnya. Tidak ada ada pertentangan di dalamnya. Hal ini dikemukakan sendiri oleh Allah.
QS An Nisaa' (4) : 82
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapati pertentangan yang banyak di dalamnya.
QS. Yusuf (12) : 111
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.
QS. Al Baqarah (2) : 185
bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.
Ayat-ayat tersebut memberikan guidance kepada kita bahwa pemahaman atas Al Qur’an harus didasarkan pada konsep: tidak ada pertentangan antar masing-masing ayat; semua ayat itu sudah bisa menjelaskan segala sesuatu; dan pemahaman yang diperoleh adalah berupa petunjuk lebih lanjut untuk dijalankan dalam kehidupan praktis sehari-hari.
Maka, ketika kita berbicara tentang Allah dari dalam Al Qur’an, kita juga menyikapinya dengan cara yang sama.
1. Semua informasi itu harus kita pakai untuk saling melengkapi maknanya. Kita tidak boleh mengambil sejumlah ayat, dan mengabaikan makna ayat lainnya. Apalagi saling mempertentang-kannya kalah mengalahkan antar ayat.
2. Dengan ayat-ayat itu sudah cukup untuk memperoleh kepahaman dan guidance, dalam rangka merekonstruksi lebih jauh lewat kegiatan-kegiatan empirik dalam kehidupan kita.
3. Dan lewat kegiatan empirik itulah kita lantas memperoleh kepahaman yang lebih dalam. Karena, ternyata ayat-ayat Qur'an itu memperoleh komplemen alias pasanganya di ayat-ayat 'Kauniyah' yang terhampar di sekitar kita. Teori (ayat-ayat Qauliyah) dan 'praktek' (ayat Kauniyah) akan menghasilkan kepahaman yang mengarah pada kesempurnaan. Itulah saat-saat seorang hamba bisa mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya...
Dengan demikian, Allah telah memperkenalkan DiriNya dengan mekanisme yang sempurna. Tinggal, apakah kita mau dan mampu menyambut perkenalan itu dengan tangan dan hati yang terbuka.
QS. Yusuf (12) : 105
Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di bumi yang mereka melaluinya, sedang mereka berpaling daripadanya.
Personifikasi yang tergambar dalam ayat-ayat Qur'an itu justru akan menemukan 'bentuk' yang lebih abstrak, ketika kita padukan dengan ayat-ayatNya di alam semesta.
Kebesaran Allah, misalnya. Persepsi kita tentang Allah Maha Besar, ketika membaca ayat Qur'an dengan ketika 'membaca' ayat Kauniyah di Langit dan Bumi, sungguh sangatlah berbeda.
Ketika membaca Al Qur’an, yang kita peroleh tidak lebih dari makna bahasa, bahwa Allahu Akbar adalah bermakna Allah Maha Besar. Tapi, ketika kita membaca ayat-ayat Kauniyah tentang Langit dan Bumi, Makna Allahu Akbar itu menjadi demikian 'Besar Tak Terperikan'. Membuat hati kita tercekat mengagumi KebesaranNya...
Demikian pula ketika kita memahami makna Subhanallah dari ayat-ayat Qur'an, yang kita peroleh adalah sekadar arti 'Maha Suci'. Tapi, ketika kita membacaNya dari ayat-ayat Kauniyah, kita memperoleh kepahaman bahwa yang disebut Maha Suci itu bukan berarti Allah 'meninggalkan' benda-benda dan tempat-tempat yang kita anggap kotor. Melainkan, justru memperoleh gambaran betapa Allah adalah Dzat yang mengatur dan mengendalikan semua kekotoran dan kebersihan dalam tatanan seimbang untuk membangun kehidupan yang harmonis.
Bahkan lebih jauh, makna kata Subhanallah itu memberikan gambaran betapa Allah adalah Dzat yang tidak tersentuh oleh sifat-sifat keterbatasan seperti makhlukNya. Jadi, bagi Dia, kotor dan bersih itu tidak ada bedanya. Karena semua itu bersumber dari DzatNya.
Baik dan buruk, demikian pula adanya; sebab Dialah yang menciptakan malaikat dan setan sebagai 'aparat' kebaikan dan keburukan. Surga dan neaka sebagai balasan atas keduanya.
Ya, seluruh ruang, waktu, materi, energi dan etika (sistem nilai) juga tidak ada pengaruh bagiNya. Ia adalah Dzat Yang Maha Suci dari segala keterbatasan kepahaman kita.
Maka, jangan heran, meskipun Allah telah memperkenalkan DiriNya kepada kita, Dia masih menambahkan bahwa DzatNya jauh lebih Dahsyat daripada yang telah kita pahami.
QS. Asy Syuura (42) : 11
(Dialah) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan- pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.
Ketika Allah menginformasikan, bahwa tidak ada sesuatu pun yang menyerupaiNya, maka sesungguhnya Dia telah mengatakan bahwa segala kepahaman kita tentang DzatNya tidak ada yang sempurna.
Kita menganggap bahwa Allah melihat dengan mata, misalnya. Sebenarnya adalah salah. Sebab Allah tidak serupa dengan yang kita bayangkan.
Ketika Allah mengatakan bahwa Dia Maha Mendengar, dan kemudian kita mempersepsiNya sebagai Dzat yang memiliki telinga, maka kita pun sedang tidak benar dalam mempersepsi Allah. Karena Ia tidak serupa dengan pemahaman itu.
Atau ketika kita menganggap Dia memiliki tangan karena menggulung langit dengan tangan kananNya, sebenarnya, lagi-lagi kita telah keliru mempersepsi DzatNya. Karena Ia memang bukan seperti yang tergambar dalam benak kita.
Dan masih banyak lagi informasi dalam Al Qur’an yang kita persepsi secara keliru, karena terjebak oleh ungkapan-ungkapan yang bersifat personifikasi. Di antaranya adalah Allah memiliki kursi 'Singgasana', bersemayam di atas Arsy, memiliki Kerajaan, Allah Berbicara kepada hambaNya, dan sebagainya, dan seterusnya.
Semua itu adalah sekadar ungkapan manusiawi yang sangat terbatas atas Sifat-Sifat Ketuhanan yang Tiada terbatas. Allah 'terpaksa' menggunakan bahasa yang dikuasai oleh manusia untuk memperkenalkan diriNya. Maka, DzatNya lantas menjadi terpersonifikasikan secara terbatas pula, seiring dengan persepsi kita.
Tapi, bukan berarti kita lantas tidak bisa dan tidak boleh mempersepsi Allah. Jangan lantas mengatakan: 'kalau begitu nggak usah memahami Allah saja, toh kepahaman kita itu selalu keliru.'
Bukan begitu! Maksud ayat itu adalah untuk menyadarkan kita bahwa Allah yang kita persepsi itu sebenarnya 'belum' Dzat Allah yang sesungguhnya. Masih kurang Besar. Masih Kurang Suci, Masih kurang Perkasa. Masih Kurang Agung. Dan masih kurang Dahsyat dengan segala kemutlakanNya...
Ya, Allah adalah Dzat yang Kualitas Keagungan dan Kesuciannya tiada terhingga. Kita diajari untuk terus membangun kepahaman menuju kepahaman tiada berhingga itu. Bukan berpuas diri pada kepahaman sementara yang berkualitas rendah.
Disinilah memang kuncinya. Allah sedang menggiring kita menjadi manusia berkualitas tinggi lewat proses pemahaman itu. Manusia adalah makhluk tertinggi yang pernah diciptakan Allah. Karena itu kita harus menuju kualitas tertinggi itu.
Bagaimana caranya? Dengan 'memompa' setinggi-tingginya kualitas kemanusiaan kita. Meningkatkan substansinya lewat fungsi akal dan jiwa, berdasarkan pencerahan ilmu pengetahuan. Inilah yang sebagiannya telah kita bahas dalam diskusi sebelumnya :'Menyelam ke Samudera Jiwa dan Ruh'.
Karena itu, Allah sangat menghargai orang-orang yang berilmu pengetahuan lebih dari yang lain. Ilmu pengetahuan memberikan pencerahan pada jiwa. Dan pada gilirannya memberikan kemampuan mengenal Dzat Allah dengan lebih baik.
QS. Al Ankabuut (29) : 43
Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.
QS. Ali Imran (3) : 18
Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
QS. Al Mujaadilah (58) : 11
Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi i1mu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Begitu tinggi Allah menghargai orang-orang yang berilmu. Bahkan sebagaimana malaikat, mereka adalah orang-orang yang paham tentang eksistensi Ketuhanan. Belum sempurna, memang. Tapi terus menuju pada kesempurnaan. Kepahaman yang sesungguhnya akan terjadi ketika kita 'bertemu' denganNya kelak, di hari Akhir..
QS. Ar Ra'd (13) : 2
Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan (mu) dengan Tuhanmu.
QS. Huud (11) : 29
Dan (dia berkata): "Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah dan aku sekali-kali tidak akan mengusir orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya mereka akan bertemu dengan Tuhannya, akan tetapi aku memandangmu suatu kaum yang tidak mengetahui".