Kalau begitu bagaimanakah posisi antara Allah dan makhlukNya? Pertanyaan ini muncul sebagai konsekuensi dari statement sebelumnya bahwa Allah adalah Dzat yang begitu besarnya, sehingga seluruh ruang di alam semesta ini ditempatiNya. Bahkan masih lebih besar lagi, sehingga kita menyebutnya: justru ruang itulah yang berada di dalam Allah.
Lho, kalau begitu apakah Allah meliputi seluruh langit dan bumi? Padahal langit dan bumi berisi seluruh makhlukNya? Jadi, Allah meliputi segala makhlukNya, tidak ada yang terkecuali?
Ya, begitulah konsekuensinya! kalau begitu, tidak ada makhluk yang berada di luar Dzat Allah? Ya, begitulah keadaanNya! Oh, berarti kita semua berada di dalam Allah?! Ya, begitulah jadinya! Berarti kita menyatu di dalam DzatNya? Mau nggak mau kita jadi berkesimpulan begitu..!!
Tanya jawab di atas bisa 'bikin pusing' kawan-kawan kita yang terlanjur menerima doktrin bahwa Allah dan makhlukNya adalah terpisah. Bahkan beberapa kali saya sempat berdiskusi tentang kesimpulan di atas, dalam berbagai kesempatan. Tapi begitulah, tidak bisa tidak, kalau kita menggunakan akal kita secara logis, yang terjadi adalah kesimpulan tersebut. Bahwa makhluk memang berada di dalam Allah. Dan berarti: seluruh makhlukNya menyatu di dalamNya.
Lho, itu kan pendekatan logika. Bagaimana halnya kalau kita melakukan pendekatan lewat informasi Al Qur’an? Kesimpulannya berbeda ataukah sama?
Ternyata, sama saja! Berbagai ayat yang saya eksplorasi, menggiring kita kepada kefahaman tersebut! Di antaranya adalah ayat-ayat berikut ini.
QS. An Nisaa' (4) : 126
Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan apa yang di bumi, dan adalah Allah Maha Meliputi segala sesuatu.
Ayat di atas sangat gamblang menggambarkan kepada kita bahwa seluruh langit dan Bumi adalah milikNya. Semata-mata untukNya. Dan kemudian Dia tegaskan bahwa segala yang ada di dalamnya diliputiNya. Tidak ada yang tidak diliputinya, karena kalimat yang digunakan adalah: bikulli syai-in mukhith (tiap-tiap sesuatu diliputiNya).
Kalau Allah mengatakan bahwa Dia meliputi segala sesuatu, maka pertanyaan berikutnya adalah: Segala sesuatu yang diliputiNya itu ada di dalam yang meliputi atau di luar yang meliputi?
Jawabannya cuma satu: ya, pasti berada di dalam yang meliputi. Kalau masih ada sesuatu yang berada di luarnya, itu artinya Dia tidak Maha Meliputi segala sesuatu. Tentu, kita tidak boleh mengartikan ada sesuatu di luar Allah, karena itu bertentangan dengan sifat Allah yang Maha meliputi.
Lantas ada yang mengejar dengan pertanyaan begini: Lho, yang meliputi itu DzatNya ataukah ilmuNya?
Ada dua jawaban yang ingin saya berikan. Pertama, kalimat di ayat tersebut sama sekali tidak menyebut kata ‘ilmu’. Kata-kata yang digunakan di situ adalah 'wa kanallahu bikulli syai-in mukhith' (dan adalah Allah meliputi segala sesuatu).
Bahwa yang meliputi itu adalah DzatNya. Bukan sekadar IlmuNya. Sebab, kalau Allah ingin menyampaikan bahwa IlmuNya meliputi segala sesuatu, ayatNya akan menyebutkan kata ilmu, sebagaimana dalam ayat berikut ini.
QS. Thaahaa (20) : 98
Sesungguhnya Tuhanmu hanyalah Allah, yang tidak ada Tuhan selain Dia. Pengetahuan Nya meliputi segala sesuatu".
QS. Ath Thalaq (65) : 12
Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu
Jadi, masalahnya terletak pada 'keberanian' penafsir untuk memahami apakah yang dimaksud dalam ayat tersebut 'ilmu ataukah Dzat. Dalam beberapa terjemahan pada umumnya, ada yang menambahkan penjelasan dalam kurung, bahwa itu ilmu. Tapi di beberapa terjemahan lainnya tidak disebutkan ilmu. Langsung disebut dengan terjemahan : ‘dan adalah Allah meliputi. . .’
Di ayat yang lain, Allah menjelaskan bahwa yang meliputi makhlukNya itu bukan hanya ilmuNya, melainkan juga RahmatNya. Dan, itu diungkapkan Allah secara eksplisit dalam berbagai ayat. Baik secara bersama-sama maupun terpisah. Di antaranya adalah berikut ini.
QS. Al Mukmin (40) : 7
(Malaikat-malaikat) yang memikul 'Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan): "Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang bernyala-nyala,
QS. Al A'raaf (7) : 156
Dan tetapkanlah untuk kami kebajikan di dunia ini dan di akhirat; sesungguhnya kami kembali (bertaubat) kepada Engkau. Allah berfirman: siksaKu akan Kutimpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami"
QS. Al Baqarah (2) : 255
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan dia yang hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.
Bahkan, dalam 'ayat Kursi' di atas, Allah juga mengatakan bahwa KursiNya meliputi langit dan bumi. Ada yang memaknai Kursi dengan Singgasana. Tapi ada juga yang lebih jauh memaknai dengan 'Kekuasaan'. sebab Singgasana adalah lambang Kekuasaan dalam Kerajaan. Dalam hal ini, terkait dengan 'Kerajaan' Allah yang meliputi Langit dan Bumi, tertuang dalam ayat-ayat berikut.
QS. Al Mulk (67) : 1
Maha Suci Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu,
QS. Al Baqarah (2) : 107
Tiadakah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah? Dan tiada bagimu selain Allah seorang pelindung maupun seorang penolong.
Jadi, kata meliputi tidak selalu hanya bermakna ilmu Allah melainkan sifat-sifat Allah lainnya. Di ayat yang berbeda Allah juga menegaskan bahwa Allah meliputi berbagai perbuatan manusia.
QS. Al Anfaal (8) : 47
Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud ria kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah. Dan Allah meliputi apa yang mereka kerjakan.
QS. Huud (11) : 92
Syu'aib menjawab: "Hai kaumku, apakah keluargaku lebih terhormat menurut pandanganmu daripada Allah, sedang Allah kamu jadikan sesuatu yang terbuang di belakangmu?. Sesungguhnya Tuhanku meliputi apa yang kamu kerjakan."
Bahkan ada ayat yang secara lebih tegas menyebutkan bahwa Allah meliputi seluruh manusia. Di antaranya adalah ayat berikut ini.
QS. Al Israa' (17) : 60
Dan (ingatlah), ketika Kami wahyukan kepadamu: "Sesungguhnya Tuhanmu meliputi segala manusia". Dan Kami tidak menjadikan mimpi yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia dan (begitu pula) pohon kayu yang terkutuk dalam Al Quran. Dan Kami menakut-nakuti mereka, tetapi yang demikian itu hanyalah menambah besar kedurhakaan mereka.
Karena itu, sebenarnya tidak ada keberatan apa pun untuk mengatakan bahwa Dzat Allah memang meliputi segala sesuatu. Sekali lagi saya kutipkan ayat berbeda, untuk maksud yang sama.
QS. Fushilat (41) : 54
Ingatlah bahwa sesungguhnya mereka adalah dalam keraguan tentang pertemuan dengan Tuhan mereka. Ingatlah, bahwa sesungguhnya Dia Maha Meliputi segala sesuatu.
Yang kedua, selain makna 'meliputi' dalam arti DzatNya, saya juga ingin mengkritisi pendapat bahwa yang dimaksudkan 'meliputi' itu hanyalah IlmuNya. Seakan-akan bukan Dzat dan Sifat-Sifat Allah lainnya.
Saya kira, kita sependapat bahwa Allah itu 'Tunggal'. Tidak bisa dibagi-bagi. DzatNya tidak tersusun dari bagian-bagian. Sayangnya, kebanyakan kita justru membagi-bagi Dzat Allah itu ke dalam bagian-bagian penyusunNya.
Kita membedakan-bedakan antara Sifat-Sifat Allah, dengan Dzat Allah, dengan Ilmu Allah, dengan Kekuasaan Allah, dengan Kehendak Allah, dengan Kasih Sayang Allah, dan seterusnya. Seakan-akan, kalau kita berbicara Dzat Allah, itu adalah bagian yang terpisah dari Sifat-Sifat Allah lainnya.
Karena itu, lantas ada pendapat, bahwa yang meliputi itu sebenarnya adalah 'Ilmu Allah', sedangkan DzatNya tidak meliputi. Lho, memangnya, Dzat Allah itu terpisah dari IlmuNya?!! Apa layak kita berpendapat seperti itu?!!
Bagi saya, Dzat dan Sifat-Sifat Allah itu Tunggal. Tidak ada bedanya. Kalau Allah mengatakan bahwa IlmuNya meliputi segala sesuatu, maka pada saat yang bersamaan KehendakNya juga meliputi segala sesuatu, Kasih SayangNya juga meliputi segala sesuatu, KekuasaanNya pun meliputi segala sesuatu, dan DzatNya pasti meliputi segala sesuatu. Karena Allah adalah Dzat Tunggal Mutlak! Jangan dibagi-bagi, 'yang ini' meliputi, sedangkan 'yang itu' tidak meliputi! Ini berbahaya, karena kita telah membagi Allah ke dalam sifat-sifat yang terpecah-belah.
Bahkan, yang diliputi oleh Allah itu bukan hanya yang baik-baik saja. Yang 'buruk' pun diliputiNya. Coba perhatikan ayat-ayat berikut ini. Dengan sangat jelas dan eksplisit Allah mengatakan wallaahu mukhiithun bil kaafirin - ‘dan Allah meliputi orang-orang yang kafir’'
QS. Al Baqarah (2) : 19
Atau seperti hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena petir, sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir.
QS. Maryam (19) : 83
Tidakkah kamu lihat, bahwasannya Kami telah mengirim syaitan-syaitan itu kepada orang-orang kafir untuk menghasung mereka berbuat ma'siat dengan sungguh-sungguh?
Dua ayat di atas menggiring pemikiran kita, bahwa Allah meliputi orang-orang kafir. Sedangkan orang kafir itu dipimpin oleh setan. Artinya, Dzat Allah sebenarnya meliputi segala yang dikerjakan oleh orang-orang kafir bersama setan itu.
Lho, kalau Allah meliputi setan-setan dan segala perbuatannya, apakah Allah meliputi segala keburukan dan kejahatan? Begitulah konsekuensi logisnya!
Sebab kalau tidak demikian, apakah Anda akan mengatakan bahwa Allah 'tidak meliputi' perbuatan-perbuatan buruk dan jahat? Allah tidak meliputi setan? Karena, setan memiliki sifat-sifat yang berseberangan dengan Allah? Lantas, Anda ingin mengatakan setan adalah 'lawan Allah'?
Dan konsekuensi berikutnya, Anda akan mengatakan bahwa Allah ‘tidak berkuasa’ terhadap segala perbuatan jahat, kotor dan buruk? Karena kontrol dan kendalinya ada di tangan 'lawanNya', yaitu setan? Saya kira Anda berada di dalam jalur logika yang salah, kalau membangun persepsi demikian.
Konsekuensi dari kesimpulan itu akan bertabrakan dengan berbagai ayat di dalam Al Qur’an sendiri. Karena, lantas Allah tidak menjadi Tuhan dengan segala KeperkasaanNya yang Mutlak. Menjadi Tuhan yang memiliki keterbatasan. Hanya 'meliputi' yang baik-baik saja. 'Tidak meliputi' yang jelek dan buruk. Dan akhirnya, muncul konsekuensi bahwa Allah tidak meliputi 'segala sesuatu' lagi? Apakah kita tidak salah arah dalam memahami Keagungan Allah?!
Bukankah Allah dengan sangat gamblang telah mengatakan kepada kita: ‘innahu bikulli syai in mukhith - sesungguhnya Dia meliputi segala sesuatu' Termasuk segala kebaikan dan kejahatan.
Memang, ada beberapa kawan yang merasa 'tidak nyaman' dengan pemahaman ini. Seakan-akan mencampur adukkan yang baik dan yang buruk dalam Dzat Ketuhanan. Ah masa iya, Allah meliputi yang buruk, kotor dan jahat. Bukankah Allah Maha Suci dari segala sifat itu?
Sekarang saya bertanya kepada Anda: 'Sebenarnya siapakah yang bisa dinilai baik dan buruk itu? Apakah Allah bisa dikenai 'kebaikan' dan 'keburukan'? Apakah kita bisa mengatakan : ini baik untuk Allah, sedangkan yang ini buruk untuk Allah. Ini bermanfaat buat Allah, dan yang ini memberikan mudharat padaNya?
Apakah ada yang bisa memberikan manfaat dan mudharat kepadaNya? Jawabnya, pasti tidak! Justru dialah sumber manfaat dan mudharat itu. Dialah sumber segala kebaikan dan keburukan. Karena sesungguhnya kebaikan dan keburukan itu tidak berdampak pada DzatNya, melainkan berdampak pada makhlukNya.
Yang dinamakan baik adalah sesuatu yang memberikan manfaat kepada kita. Jika sesuatu itu memberikan kerugian dan mudharat, maka kita menyebutnya itu sebagai keburukan atau kejahatan. Bagi Allah kedua 'penilaian' itu tidak ada dampaknya. Tidak ada yang bisa mem'baik'i Allah sebagaimana juga tidak ada yang bisa men’jahat’i Allah.
Karena itu, Keagungan dan Kesucian Allah tidak terganggu sedikit pun oleh pernyataan bahwa Dia adalah sumber segala hal, termasuk yang baik dan yang buruk, yang bermanfaat maupun yang merugikan. Sebab, semua itu memang dalam Kekuasaan dan KehendakNya. Allah bisa memberikan manfaat dan mudharat, kesenangan dan musibah, kapan saja Dia Kehendaki. Dia mengontrol segalanya, berdasarkan Sifat Rahman dan RahimNya.
Contoh yang lebih konkret, ada yang bertanya begini: apakah Allah meliputi dan berada di tempat-tempat kotor seperti WC, sampah, saluran pembuangan, dan lain sebagainya?
Jawaban saya sangat jelas: ya, Allah berada dan meliputi seluruh tempat-tempat yang kita anggap kotor itu.
Ada 3 hal yang terkandung di dalam jawaban saya itu. Pertama, Allah pasti berada dan meliputi semua tempat itu, karena Dia adalah Dzat Yang Maha Meliputi segala sesuatu. Jika tidak, maka sifat itu tidak layak kita kenakan pada dzat yang tidak meliputi segala sesuatu.
Kedua, Allah pasti meliputi segala tempat dan benda-benda, karena Dia adalah Dzat Yang Maha Besar. Sehingga tidak ada sesuatu pun yang berada di luar KebesaranNya. jika ada sesuatu yang tidak diliputiNya maka ia berarti bukan dzat yang Maha Besar. Karena ada ruang yang lebih besar dari eksistensinya. Maka, itu pastilah bukan Allah.
Yang ketiga, kalau sampai Allah tidak hadir dan tidak meliputi tempat dan benda-benda tersebut, maka seluruh proses di tempat-tempat yang kita angap kotor itu bakal berhenti.
Korban pertamanya adalah manusia. jika Allah tidak hadir dalam proses pembusukan di dalam perut dan pencernaan kita, misalnya, maka kita akan mengalami problem yang sangat serius dengan kesehatan dan lingkungan hidup kita.
Bayangkan, makanan yang kita makan tidak mengalami proses pencernaan, karena DzatNya tidak hadir di seluruh proses tersebut. Kita tidak bisa buang kotoran, karena tidak ada lagi 'Kekuasaan' yang mengendalikannya. Bahkan, seluruh sampah, air limbah dan kotoran juga tidak bisa membusuk dan terurai, karena Allah tidak mengurusinya. Maka, sungguh dunia kita bakal mengerikan karena penuh dengan kotoran dan sampah.
Begitu dramatisnya kerusakan dalam diri dan lingkungan kita bakal terjadi, ketika Allah tidak ‘meliputi’ proses-proses tersebut. Seluruh kejadian bakal terhenti, dan kemudian mengalami kehancuran.
Justru di hal-hal yang kita sebut 'kotor' itu Allah menampakkan KekuasaanNya dengan penuh Kasih Sayang. Kalau Allah merasa 'jijik' dengan yang kita anggap kotor itu, atau 'Maha SuciNya' digambarkan dengan meninggalkan semua 'kekotoran' tersebut, sungguh bukan Rahmat yang bakal kita terima, tetapi bencana yang tiada terkira!
Padahal apa yang kita anggap kotor itu sebenarnya adalah zat yang bisa sangat berguna bagi proses-proses kehidupan lainnya. Bukankah kita bisa membuat pupuk yang bermanfaat menyuburkan tanaman dari kotoran binatang, misalnya.
Atau, bau yang menyengat dari tinja dan urine, itu sebenarnya berasal dari kandungan zat kimiawi bernama amoniak, ureum, dan asam belerang. Dan, semua itu adalah zat-zat yang sangat berguna dalam sebuah industri kimia.
Jadi, sebenarnya, apa yang kita sebut kotor dan tidak bermanfaat itu, belum tentu hal yang kotor bagi makhluk lain. Bahkan bisa bermakna sebagai kebutuhan pokok bagi makhluk Allah lainnya. Bukankah semua ciptaan Allah tidak ada yang tidak bermanfaat? Semua pasti ada manfaatnya. Disinilah Allah menunjukkan Kebesaran dan Kasih SayangNya.
Maka, kita harus bijak dan waspada dalam membangun kepahaman terhadap sifat-sifat Allah. Karena Dia sebenarnya merangkum seluruh sifat-sifat ekstrim yang bertolak belakang, secara sekaligus. Bukan hanya salah satu sisi saja.
Dalam hal waktu misalnya, Dia meliputi 'dulu', 'sekarang' dan 'nanti'. Dalam hal ruang, Dia meliputi 'Barat' dan 'Timur'. 'atas' dan 'bawah'. 'kiri' dan 'kanan' 'muka' dan 'belakang' secara bersamaan. Demikian pula dalam hal nilai-nilai etika, Dia sekaligus merangkum 'kebaikan' dan 'keburukan'. Sebab, sekali lagi, semua kontradiksi itu menyatu di dalam Dzat Allah Yang Maha Tunggal.
Sehingga, dalam beberapa ayatNya Allah mengatakan, bahwa sesungguhnya kebaikan dan keburukan itu semuanya berasal dari sisi Allah. Memang ada mekanisme tertentu yang menyebabkan seseorang memperoleh kebaikan atau keburukan. Namun, pada dasarnya semua itu berasal dari Allah.
Begitulah memang logika tauhidnya. Bahwa semua 'keberadaan' ini berasal dari Allah dan bakal kembali kepada Allah. Keburukan bukan berasal dari setan, meskipun setan menjadi penyebabnya. Sebagaimana juga kebaikan. Semuanya berasal dari Allah, meskipun disebabkan oleh perbuatan dan usaha kita.
QS. An Nisaa' (4) : 78
Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)". Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi Allah". Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?
QS. Al Baqarah (2) : 156
(Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Innaa lillaahi wa innaa liaihi raaji’uun (sesungguhnya semua berasal dari Allah dan bakal kembali kepadaNya)"
Lebih jauh lagi, Allah digambarkan merangkum seluruh titik ekstrim dalam kehidupan manusia. Ruang, Waktu, Materi, Energi, dan Informasi, seluruhnya berada di dalam 'Genggaman'Nya.
QS. Al Hadid (57) : 3
Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.
Ayat di atas adalah informasi universal tentang ke Maha Besar an Allah. Dialah Dzat yang merangkum seluruh kondisi ekstrim yang berlawanan dan kita anggap kontradiktif. Betapa tidak, coba bayangkan. Ia adalah Awal sekaligus Akhir. Ia Zhahir sekaligus Bathin. Ia Maha Mengetahui segala sesuatu.
Itu menunjukkan bahwa Allah meliputi seluruh dimensi waktu yang mengikat kehidupan makhlukNya. Ia juga Zhahir dan Batin, yang menunjukkan bahwa seluruh materi yang tampak dan energi yang tidak tampak, berada di dalam 'genggamanNya'. Dan kemudian, la adalah Dzat Yang Maha Tahu, sebuah gambaran betapa Allah ‘meliputi’ seluruh dimensi Informasi. Tak ada perkecualian.
Dalam ayat yang lain berikut ini, Dia bahkan melengkapi statement itu dengan mengatakan, bahwa dimensi Ruang pun berada di dalam DzatNya. Karena Ia adalah Dzat yang Maha Luas, merangkum seluruh titik ekstrim dalam kehidupan makhlukNya.
QS Al Baqarah (2) : 115
Dan kepunyaan Allah lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui.