Thursday, March 8, 2007

Manusia Mengikuti Fitrah Allah

Ada yang berpendapat bahwa manusia adalah 'fotokopi' dari Dzat ketuhanan. Salah satu dasarnya adalah ayat yang mengatakan bahwa manusia diciptakan Allah dengan mengikuti fitrahNya. Seperti apa Fitrah Allah, maka seperti itu pulalah fitrah manusia.

QS. Ar Ruum (30) : 30
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama; fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

Tapi, saya kira kita tidak boleh berlebihan dalam mempersepsi hal ini. Jangan sampai, misalnya, karena kita adalah fotokopi dariNya, maka kita menganggap Dzat Ketuhanan itu berbentuk seperti manusia, dalam ukuran yang sangat besar!

Pemahaman seperti ini akan bertabrakan dengan berbagai ayat yang ada di dalam Al Qur’an, yang sama-sama menceritakan tentang eksistensiNya. Banyak ayat yang menceritakan Sifat-Sifat Ketuhanan yang harus kita rumuskan secara holistik. Di antaranya, bahwa Dia adalah Dzat Tunggal yang tidak tersusun dari bagian-bagian. Dia adalah Dzat yang Maha Besar, yang besarnya tidak ada yang menyamai atau pun menandingi. Dia juga Dzat yang Maha Tinggi, Maha Luas, sekaligus Maha Halus, meliputi yang kecil-kecil dalam skala mikro.

Dia adalah Dzat yang Perkasa, Maha Berkuasa, sekaligus Maha Berkehendak, yang kehendakNya tidak ada yang membatasi. Dia Dzat yang Maha Pintar, Maha Berilmu, serta Maha Mengetahui, yang pengetahuanNya meliputi seluruh penjuru alam semesta atau lebih luas lagi. Dia adalah Dzat yang Maha Kaya, Pemberi Rezeki, Sangat Pemurah, sangat suka mengurusi kebutuhan makhluk Nya. Dan Seterusnya, dan seterusnya.

Namun demikian, jangan lupa, bahwa Dia juga mengatakan laisa kamitslihisyai-un. Dia adalah Dzat yang tidak seperti apa pun yang bisa kita bayangkan. Tidak ada yang serupa denganNya. Meskipun hanya selintas angan-angan di dalam pikiran!

Kenapa demikian? Karena untuk merumuskan perpaduan atas seluruh Sifat-SifatNya itu sangatlah kompleks luar biasa! Pikiran kita begitu terbatasnya untuk bisa memahami meleburnya sifat Maha Besar, tapi juga Maha Halus. Antara Maha Awal dan Maha Akhir. Antara Maha Penyayang, tapi juga Maha Keras SiksaNya. Atau, Dzat yang berada di Timur dan Barat dalam waktu yang bersamaan. Atau Dzat yang memiliki sifat Maha Zhahir dan Maha Bathin. Dan, seluruh Sifat Sifat kontradiksi yang pernah kita kenal, atau bahkan yang belum pernah kita ketahui...

Persepsi yang terbentuk dalam benak kita terhadap DzatNya sangat bergantung kepada kemampuan kita dalam memahami perpaduan seluruh sifat kontradiksi itu sebagai suatu Dzat Tunggal. Itulah Dzat Allah Azza waialla, Dzat Maha Dahsyat yang Tiada Terbatas!

Proses pemahamannya bakal berlangsung dalam skala yang tidak terhingga. Karena memang Allah adalah Dzat yang Tiada Berhingga. Bayangkan, untuk memahamiNya, kita harus mengumpulkan dan merumuskan secara Tunggal, semua variabel Sifat-Sifat yang pernah kita kenal dan yang tidak kita kenal, dalam skala tidak berhingga.

Pasti, problem kita akan sangat kompleks. Problem pertama, kita bakal kesulitan mengumpulkan semua variabel yang jumlahnya tidak berhingga tersebut. Yang kedua, kita akan kesulitan karena juga harus mengumpulkan Sifat-Sifat yang tidak kita kenal. Dan yang ketiga, pada saat merumuskanNya kita bakal kesulitan 'merangkum' skala tak berhingga itu dalam kefahaman praktisnya. Apalagi untuk 'mengukur' rumusan itu.

Ya, kalau semua yang kita kenal ternyata berada di dalam Kebesaran Allah, bagaimanakah kita bisa mengukur kebesaran Allah! Kita kan berada di dalamNya, kok mau mengukur besarnya dari dalam.

Mestinya, agar ukurannya bisa benar, kita harus mengukurnya dari luar. Tapi sayang, kita tidak bisa keluar dari DzatNya, karena Dia begitu besarnya. Tidak ada yang lebih Besar dari pada Nya.

Begitu pula, kalau seluruh dimensi waktu berada di dalam Kebesaran DzatNya, bagaimana pula kita bisa menggunakan 'waktu' untuk mengukur KeberadaanNya? Lha wong, waktu itu sendiri cuma merupakan 'secuil' EksistensiNya! Hanya berlaku pada 'sebagian kecil KeberadaanNya'.

Saking Besarnya Dia, maka ada bagian yang tidak berhingga, yang, waktu sudah tidak bermakna lagi ketika digunakan untuk mengukurnya.

Demikian pula, kalau seluruh ukuran energi dan materi berada di dalam Kebesaran DzatNya, bagaimana pula kita bisa mengukur Kuantitas dan Kualitas Nya? Bukankah segala ukuran benda dan energi hanya 'sak ndulit' dari Kebesaran Dzat yang tak ada tepiNya.

Dan, kalau seluruh 'sistem nilai' yang berlaku di alam semesta ini semuanya bersumber dari Kebesaran dan Keagungan Sifat-SifatNya, bagaimana pula kita bisa mengukur Allah itu dengan ukuran Baik dan Buruk? Adil atau Sewenang-wenang, Pemurka ataukah Bijaksana, Pemurah atau Pelit, Penuh Perhatian ataukah Cuek!

Allah menjadi sumber dari seluruh sifat-sifat itu.Baik dan Buruk melebur dalam kemutlakan SifatNya. Adil dan Sewenang-wenang juga melebur dalam Kemutlakan SifatNya. Pemberi Rezeki dan Penahan Rezeki juga menyatu dalam kemutlakan DzatNya. 'Penyantun' dan Penyombong juga lebur di dalam DiriNya. Pokoknya, seluruh kontradiksi dari kutub-kutub ekstrim Sifat-Sifat, telah lebur dari menyumber dari DzatNya yang Maha Agung...

Dia tidak terikat oleh seluruh sistem nilai, malah sebaliknya, menjadi sumber dari sistem nilai. Bagaimana mungkin, kita bisa mengenakan sistem nilai untuk mengukur dan menilai Dia?

Sungguh, kita tidak akan pernah mampu untuk merumuskan Dzat yang Luar Biasa Dahsyatnya itu? Segala 'ukuran' lenyap tertelan oleh Kebesaran dan Keagungan DzatNya. Itulah yang dimaksudkan Allah dengan kalimat: laisa kamitslihi syai-un tidak ada rumusan apa pun yang menyerupaiNya. Meski hanya selintas dalam pikiran... !

Nah, itulah Fitrah Allah. Fitrah Dzat Ketuhanan yang tidak bisa kita ukur EksistensiNya. Tidak seperti apa pun yang bisa kita bayangkan.

Lantas, Allah menginformasikan bahwa Dzat itu telah menciptakan manusia mengikuti FitrahNya yang begitu dahsyat. Ooh, beranikah kita membayangkan bahwa eksistensi kita adalah seperti Eksistensi Ketuhanan itu? Adakah realitas yang menunjukkan bahwa kualitas dan kuantitas kita sederajat denganNya?

Benarkah kita memiliki kekuasaan yang tiada terhingga? Benar jugakah kita memiliki sifat-sifat pemurah yang tak pilih kasih? Apa benar kita memiliki sifat-sifat Ketuhanan dalam skala begitu besarnya? Kalau kita mau jujur, jawabnya pasti cuma satu: tidak!


Kita memang memiliki dzat berupa badan wadag ini. Tapi, tubuh dan badan wadag yang terbatas. Kita memiliki ‘daya Hidup’, tapi juga kehidupan yang terbatas. Kita memiliki kehendak, namun kehendak yang terbatas. Kita pun memiliki kekuasaan, tapi juga kekuasaan yang terbatas. Kita punya seluruh sifat-sifat Allah : pemurah, pengasih, penyombong, pemarah, pemaaf, penyiksa, bijaksana, keadilan, kejujuran dan seluruh sifat-sifat Allah lainnya, tetapi dalam skala yang sangat terbatas!

Inilah yang dalam diskusi sebelumnya : Menyelam ke samudera Jiwa dan Ruh, telah kita bahas beberapa. Bahwa Allah telah meniupkan 'sebagian' RuhNya kepada manusia, sehingga manusia 'ketularan' Sifat-Sifat Ketuhanan. Tapi dalam skala makhluk. Tentu saja sangat berbeda dibandingkan dengan skala Ketuhanan. Dalam kualitasnya maupun kuantitasnya.

Ya, fitrah manusia adalah ‘sebagian’ kecil dari Fitrah ketuhanan. Atau dalam bahasa yang lain, manusia adalah derivative alias 'turunan' dari Dzat Ketuhanan. Karena itu, manusialah yang dipilih sebagai khalifah di muka bumi. Manusia menyandang sifat-sifat ketuhanan dalam skala terbatas. Teristimewa ia memiliki 'kehendak bebas' untuk menentukan dirinya. Sifat ini diturunkan dari Sifat Allah Al Iradat Yang Maha Berkehendak.

Berbeda dengan malaikat dan iblis yang keduanya tidak memiliki 'kehendak bebas'. yang karena itu tidak ditunjuk sebagai khalifah. Mereka hanya ditunjuk sebagai 'aparat' saja. Tidak punya pilihan. Yang satu sebagai aparat kebaikan, dan lainnya sebagai aparat keburukan.

Ketinggian derajat manusia ditumpukan kepada 'kebebasan kehendaknya'. Dan karena kebebasannya itu ia harus bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Ia dipersilakan memilih sifat-sifat malakiyah ataukah sifat-sifat setaniyah, dengan segala konsekuensinya.

Memilih sifat-sifat setaniyah berarti menuju pada api bernyala-nyala yang sangat panas, menjanjikan penderitaan. Sedangkan memilih sifat-sifat malakiyah berarti menuju pada cahaya yang terang benderang yang menjanjikan kedamaian, ketentraman dan kebahagiaan...