Thursday, March 8, 2007

Berasal Dari Allah, Kembali Kepada Allah

Inna lillaahi wa inna ilaihi raji’un. ‘Sesungguhnya kita semua berasal dari Allah, dan akan kembali kepadaAllah’ Begitulah Al Qur’an mengajarkan asal usul keberadaan segala sesuatu kepada kita.

Dalam bahasa yang sedikit berbeda, kita bisa mengatakan bahwa semua yang ada ini 'bersumber' dariNya, dan suatu ketika akan lenyap kembali 'ke dalam DiriNya.

Dalam bahasa yang lebih lugas lagi, kita boleh mengatakan bahwa semua yang ada ini 'berasal' dari Dzat Allah, kini 'berada di dalam' Dzat Allah, dan suatu ketika bakal lenyap 'kembali' ke dalam Dzat Allah.

Coba cermati kata-kata di atas. Agak membingungkan juga, ya? Bahwa kita dikatakan berasal dari Allah, sekarang berada di dalam Allah, dan nanti bakal kembali kepada Allah. Bagaimana pemahamannya?

Kalau kita sekarang berada di dalam Allah, kenapa mesti dikatakan kita berasal dariNya, dan akan kembali kepadaNya? Sejak dulu, hingga sekarang, dan nanti, kita sudah berada di dalamNya! Berarti kita kan tidak pernah berpisah dari Allah?

Sesuatu dikatakan 'berasal dari', kalau sesuatu itu sekarang sudah tidak berada di dalamNya. Sehingga, menjadi cocok kalau dikatakan suatu ketika nanti akan kembali kepadaNya. Tapi, kalau sesuatu itu sudah berada di dalamNya terus, tidak pernah terpisah dariNya, bagaimana memahaminya?

Tapi, begitulah Allah berfirman di dalam ayat-ayatNya. Terkesan kontradiktif, namun sebenarnya tidak. justru saling melengkapi pemahamannya. Yang begini, bukan hanya sekali dua kali, tapi berpuluh kali. 'Kontradiksi' bahasa itu muncul secara bersamaan di dalam berbagai penjelasan Nya.

Apakah berarti terdapat pertentangan di dalam Al Qur’an? Jawabnya: tidak! Allah sudah menjamin, tidak ada pertentangan di dalam Al Qur’an. Semua penjelasan di dalam Al Qur’an bersifat saling melengkapi. Saling menjelaskan. Tidak bertentangan.

Maka, untuk bisa memahami secara baik, kita tidak boleh mengambil pemahaman hanya dari 1-2 ayat saja. Harus keseluruhan ayat yang membahas tentang obyek yang sedang dibicarakan.

Selain itu, Allah juga memberikan penegasan bahwa informasi di dalam Al Qur’an adalah akurat. Tidak ada keraguan sedikitpun. Sebab, informasinya datang dari Allah, Tuhan yang mengetahui rahasia langit dan bumi. Yang Maha Berilmu.

QS. An Nisaa' (4) : 82
Maka apakah mereka tidak. memperhatikan Al Qur'an? Kalau kiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya

QS. Yunus (10) : 37
Tidaklah mungkin Al Qur’an ini dibuaat oleh selain Allah; akan tetapi (Al Qur’an itu) membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkannya, tidak ada keraguan di dalamnya, (diturunkan) dari Tuhan semesta alam.

QS. Al Furqaan (25) : 6
Katakanlah: "Al Qur’an itu diturunkan oleh Yang Mengetahui rahasia di langit dan di bumi. Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Jadi, kita tidak boleh mempertentangkan ayat dengan ayat lainnya. Yang benar adalah melengkapi pemahaman terhadap suatu ayat dengan ayat lainnya. Hal hal yang terlihat kontradiktif, justru harus dipahami sebagai sebuah kepahaman tunggal yang holistik.

Yang sering membingungkan kita dalam memahami eksistensi Allah, memang adalah penyatuan sifat-sifat kontradiktifnya. Ini telah kita bahas di bagian depan. Dzat Allah yang Tunggal sangatlah unik, karena meliputi segala hal yang kontradiktif. Termasuk tentang 'Waktu'.

Dalam pembahasan kita kali ini, kebingungan kita adalah terkait urutan waktu. 'Dulu' kita berasal dari Allah, 'kini' kita berada di dalam Allah, dan 'nanti' kembali kepada Allah. Semuanya, menyodorkan kesimpulan kepada kita bahwa sejak 'dulu' ' 'sekarang' dan 'nanti', sebenarnya kita terus berada di dalam Allah. Tidak pernah keluar dan terpisah dariNya.

Kepahaman yang selama ini terjadi adalah: kita berasal dari Allah, kemudian terpisah dariNya, dan nanti akan bergabung kembali kepadaNya. Sehingga, digambarkan bahwa kita sekarang ini tidak berada di dalam Allah. Berada di luar Allah.

Pemahaman ini tidak menemukan pijakan dalam ayat-ayat Qur'an. Karena ayat-ayat Qur'an tidak ada yang mengatakan bahwa makhluk berada di luar Allah. Yang ada, makhluk diliputi oleh Allah. Kalau makhluk diliputi oleh DzatNya, maka tidak ada pilihan lain, kita semua mesti berada di dalamNya.

Justru ketika kita berkesimpulan bahwa makhluk terpisah dari Allah, kita menyalahi salah satu sifat Allah, Yang Maha Besar. Berarti Allah tidak Maha Besar, karena ada makhluk yang berada di luar DiriNya. Tidak kelirukah pemahaman seperti itu?

Lantas, bagaimana memahami kalimat: kita berasal dari Allah dan bakal kembali kepada Allah, tapi tanpa pernah terpisah sama sekali. 'Dulu', 'sekarang', dan 'nanti' selalu berada di dalamNya?

Hal ini harus kita pahami sebagai kualitas bukan kuantitas. Secara kuantitas, kita tidak pernah berpisah dari Allah. Tapi secara kualitas, kita ini selalu bergerak dinamis antara kutub 'jelek' dan kutub 'baik'.

Kadang kualitas kita turun drastis mendekati kualitas binatang, tapi kadang-kadang naik mendekati kualitas 'insan kamil' manusia yang sempurna. Kadang kualitas kita anjlok mendekati kualitas setan yang penentang. Tapi di lain waktu meningkat mendekati sifat malaikat, yang penuh ketaatan.

Kadang kita terjebak pada hidup keduniawian yang semu dan penuh kepalsuan, tapi di lain waktu menjurus ke arah kehidupan akhirat yang hakiki. Kadang aktivitas kita hanya sekadar memenuhi kebutuhan badaniah, tapi sekali waktu meningkat ke kualitas ruhiyah.

Begitulah kondisi kejiwaan kita. Manusia sebenarnya memiliki fitrah yang sempurna, karena kiat diciptakan berdasarkan Fitrah Allah yang Maha Sempurna, tetapi fitrah itu seringkali merosot kualitasnya menuju ke kutub jelek, yang rendah kualitasnya. Nah ketika, sedang jelek itulah kita ‘jauh’ dari Allah. Dan ketika ‘baik’, kita sedang 'dekat' dengan Allah.

Dalam bahasa universalisme, perjalanan kehidupan kita sebenarnya hanyalah beranjak dari Universal menuju parsial, dan kemudian menuju Universal kembali. Semakin Universal kita, semakin dekatlah kita dengan kualitas ketuhanan. Semakin parsial kita, maka semakin jauhlah kita dari kualitas ketuhanan, justru 'dekat' dengan kualitas makhluk.

Kita berasal dari Kesempurnaan, dilahirkan ke dunia yang penuh dengan ketidak sempurnaan, dan suatu ketika nanti bakal kembali kepada Kesempurnaan.

Kapankah itu terjadi? Ketika Ruh kita sudah terlepas dari Badan dan Jiwa. Apakah itu terjadi pada saat kematian kita? Bukan! Tapi, ketika alam semesta mengalami Kiamat Kubro. Saat-saat Allah menggulung alam semesta termasuk Surga dan Neraka kembali pada Ketiadaan Mutlak. Saat itu pula Ruh kita kembali kepadaNya. Bahkan bukan hanya Ruh kita, melainkan juga badan, jiwa, dan seluruh isi alam semesta. Itulah saat-saat kembali kepada 'Kesempurnaan'.
Jadi kalau dibuat runtut ceritanya, begini:

  1. Allah adalah Dzat yang paling awal tidak terikat waktu. Atau lebih tepat, Allah adalah Dzat yang tiada berawal.
  2. Allah menciptakan 'Waktu'. bersamaan dengan 'Ruang' alam semesta, dan isinya berupa 'Materi & Energi’. Selain itu, Allah mengendalikan alam semesta lewat 'PerintahNya' - 'Informasi'.
  3. Kelima parameter alam semesta: Waktu, Ruang, Materi, energi dan Informasi, diciptakan Allah dari DiriNya sendiri. Karena memang tidak ada dzat lain yang ada bersamaan dengan Nya.
  4. Alam semesta terus berkembang mengikuti rumusan yang disebut Sunnatullah. Seluruh realitas itu berlangsung dalam sebuah Kitab Induk yang berisi seluruh kenyataan, yang kita kenal sebagai Lauh Mahfuzh.
  5. Proses penciptaan tersebut sampai sekarang terus berlangsung sampai lenyapnya alam semesta. Di antaranya, sampai sekarang Allah masih menciptakan bintang-bintang baru, planet planet baru, galaksi baru, manusia baru, menumbuhkan pepohonan, buahan-buahan, bunga yang bermekaran dan lain sebagainya.
  6. Di antara ciptaan itu ada yang bernama manusia sebagai makhluk yang paling sempurna, terdiri dari 'Badan, Jiwa dan Ruh'
  7. Keberadaan Ruh itulah yang menyebabkan manusia berbeda dengan makhluk lainnya. Untuk mewadahi Ruh itu, badan manusia diciptakan dengan struktur yang paling sempurna. Di antaranya diwakili oleh struktur otak yang sangat canggih. Dimana di balik Otak itulah Jiwa manusia berada.
  8. Ruh adalah Dzat pembawa Sifat-Sifat Ketuhanan agar manusia ketularan Sifat-Sifat Ketuhanan itu dan kemudian layak untuk menjadi wakil Allah di muka Bumi khalifatu fil ardhi.
  9. Ketika mati, badan manusia dipisahkan Allah dari Jiwa dan Ruhnya. Tapi Jiwa masih tetap hidup dalam pengaruh potensi Ruh. Tapi, dalam alam yang sama sekali berbeda dengan manusia. Jiwa telah kehilangan badannya media untuk merasakan suka dukanya dunia. Jiwa tidak bisa lagi merasakan bahagia dan derita sebagaimana saat manusia hidup di dunia. Badannya telah rusak dan hancur menjadi unsur dalam tanah. Otak dan seluruh sistem sarafnya musnah. Jiwa kehilangan rasa. Tapi ia tetap 'hidup' di sisi Allah, dalam pengaruh Ruh.
  10. Setelah Kiamat Sughro - Kiamat Kecil, manusia akan dibangkitkan kembali oleh Allah. Badannya direkonstruksi kembali, dibangkitkan dari dalam kubur masing-masing. Jiwa dan Ruhnya dikembalikan ke badan tersebut. Maka, manusia menjadi hidup kembali di alam akhirat. Bisa merasakan bahagia dan derita, karena sistem saraf dan otaknya berfungsi kembali. Karena itu, manusia lantas dimintai pertanggung jawaban atas segala perbuatannya. Manusia bakal merasakan balasan surga dan neraka. Ia bisa bahagia dan menderita.
  11. Tapi semua itu tidak akan kekal selama-lamanya, karena Allah akan menggulung kembali alam semesta beserta segala isinya. Termasuk Surga dan Neraka. Termasuk juga manusia yang ada di dalamnya. Seluruh makhluk tidak ada yang terkecuali, bakal lenyap kembali kepada ‘Ketiadaan Mutlak’. Begitu pun manusia. Badan, Jiwa, dan Ruh manusia 'lebur' menjadi satu ke dalam Dzat Allah, Sang Pencipta Yang Maha Kekal. Itulah saat-saat kembali kepada Kesempurnaan. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raajiluun...