Saturday, March 10, 2007

12. Y&Z - Istana Zulaikha

Para ahli bangunan periwayat ini mengatakan kepada kita, bahwa setelah si inang dengan berani mengusulkan pembangunan sebuah istana yang megah, ia pun mendapatkan seorang ahli bangunan yang dikaruniai bakat yang luar biasa bagi setiap jari tangannya. Pengetahuannya tentang ilmu ukur dan astronomi akan membuat Euclides dan Ptolemaeus merasa malu. Jika ia memegang pahat, sebongkah batu niscaya menjadi selembut bata basah. Ketika ia memalingkan pikirannya untuk melukis, karya kuasnya adalah segala perbaikan bahkan pada kanvas alam sekalipun, serta akan memberikan ilusi sempurna pada gerakan dan kehidupan, bahkan apabila ia memahat patung burung pada batu arca yang dihasilkannya, niscaya burung itu akan terbang.

Semacam itulah seniman tersebut, yang atas perintah si inang, mulai membangun sebuah istana bersepuh emas. Ia mempunyai kecerahan garis pemandangan di waktu fajar. Kamar-kamarnya seluas harapan manusia. Koridornya dilapisi pualam halus. Pintu-pintunya perpaduan antara gading dan eboni.

Di dalamnya, laksana tujuh langit, ada tujuh ruangan indah tiada tara yang saling berhubungan. Masing-masing dibangun dengan batu yang berbeda, yang menonjol dalam cahayanya dan kejelasan warnanya. Pada ‘langit’ yang ketujuh, yang warna dan disainnya membuat orang tak sanggup menggambarkannya, ia dirikan empat puluh pilar dari emas bertatah, masing-masing dihiasi dengan gambar-gambar hewan buas dan margasatwa liar. Pada dasar setiap tiang, ia tempatkan seekor kijang emas dengan pusarnya berisi minyak kesturi yang harum semerbak. Ada halaman di tengah yang diisi dengan burung-burung merak emas, yang dengan sombong melangkah sambil memamerkan ekornya yang bermutiara. Di tengah-tengahnya ada sebatang pohon, yang tak pernah dilihat oleh kebanyakan musafir. Batangnya yang anggun adalah perak, cabang-abangnya emas, dan dedaunannya pirus.

Pada setiap cabang bertengger seekor burung jamrud dengan paruh dari batu delima. Di seluruh penjuru istana tersebut, sang seniman telah melukis gambar Yusuf dan Zulaikha, bagai dua sejoli yang sedang jatuh cinta, terjalin dalam pelukan nafsu. Di sini orang dapat melihat Zulaikha mencium bibir Yusuf, suatu pemandangan yang diperhitungkan untuk mengisi hati siapa saja dengan rasa cemburu. Tak ada di mana pun dalam istana itu, di mana gambar tentang pasangan yang bersenang-senang ini tidak muncul. Ke arah mana pun mata memandang, gambar kedua insan itulah yang pertama-tama menarik perhatian.

Ketika hiasan istana itu telah disempurnakan, kerinduan Zulaikha kepada Yusuf hanya semakin bertambah. Setiap kali ia mengunjungi kuil berhala itu, hasratnya kepada Yusuf bergetar lagi dalam dirinya.

***

Ketika ahli bangunan telah menyelesaikan istana itu, Zulaikha memerintahkannya untuk mengisi dengan perabotan, hingga lengkaplah segala sesuatu dalam kediaman kesenangan itu, kecuali Yusuf!

Tanpa si tercinta, surga sendiri tampak buruk di mata pecinta yang sedang merindu, maka Zulaikha memutuskan menyuruh orang memanggil Yusuf dan memasukannya ke tempat kehormatan itu. Sendirian dengannya di sana, Zulaikha akan memainkan peran cinta dan berlarian dengannya, merenggut hawa nafsu dan bibir merah delimanya yang memberi kehidupan dan mendapatkan kedamaian pada akhirnya, dalam kejarannya yang agresif.

Tetapi pertama-tama ia harus menghiasi kecantikannya sendiri untuk memikat Yusuf. Bukan karena ia memerlukan hiasan, tetapi bagaimanapun juga untuk memperbesar daya tariknya. Betapapun indahnya mawar, akan jauh lebih menawan apabila berkalungkan embun.

Ia pun menambah warna pipinya, menghitamkan dan memperpanjang alisnya. Ia kumpulkan rambutnya yang harum ke belakang, dan membuatnya menjadi lebih harum dengan kesturi dari Cina. Matanya disapu dengan celak, untuk menjadikannya hiasan penyulap. Di sana sini ia tempatkan bintik bintik indah, seolah untuk membuat kekasihnya berkata, "Wajahmu telah menyalakan api di hatiku, yang membakarnya habis bagaikan daun kecemasan!" Kemudian ia menggosok tangannya dengan henna, dan mengecat kukunya dengan sebuah gambar penuh seni: sepuluh bulan sabit yang seolah sedang mengumandangkan pesta cinta. Telinganya dihiasi dengan anting-anting, bagaikan pertemuan bulan dengan sebuah bintang.

Ia membusanai tubuhnya bagai kuncup mawar dalam lapisan mewah pakaian, dan pada akhirnya ia tempatkan mahkota emas yang bertahtakan mutiara pada rambutnya yang hitam. Kemudian, ketika bersandar bagaikan cendrawasih yang anggun di halaman istananya, ia menatap dengan cermat kepada kecantikannya sendiri di kaca, dan gembira melihat bayangan kesempurnaan yang terpantul di situ. Sekarang ia memutuskan untuk mendapatkan pembeli atas kekayaan ini. Ia pun mengutus para gadis pelayan ke seluruh penjuru untuk mencari Yusuf.

Tiba-tiba Yusuf masuk, tampan dan menawan bagai bulan purnama, malu bagaikan bintang Merkuri dan anggun laksana matahari. Makhluk yang luar biasa ini, suci dari segala cela duniawi, dengan wajah dan alisnya yang gemerlap, cahaya di atas cahaya! (QS. 24:35) Sekilas pandang darinya cukup untuk memenuhi dunia dengan cahaya. Sepatah katanya merupakan pujian yang bergema ke setiap arah.

Segera setelah Zulaikha melihatnya, hal itu bagaikan sepercik api jatuh ke alang-alang kering. Ia memegang tangannya seraya berkata, "Wahai pemuda berhati murni, keturun tercinta dari orang-orang pilihan! Demi Tuhan, betapa menakjubkan dirimu, yang patut menerima segala macam kebaikan dan kesenangan! Aku sangat gembira oleh semua pelayananmu yang amat baik, sehingga pada gilirannya aku mempunyai kewajiban kepadamu. Datanglah bersamaku agar aku dapat tunjukkan rasa terima kasih dan perlakuan adilku kepadamu. Hari ini akan kukarang sebuah lagu pada harpa kebaikan, sehingga orang akan berbicara tentang hal itu sampai akhir masa."

Ia berhasil membujuk Yusuf ke dalam kamar pertama dari ke tujuh kamar itu. Segera setelah ia melewati pintu emas, Zulaikha menguncinya dengan kunci besi. Kemudian, dengan menyobek materai dari bibirnya, ia menumpahkan semua rahasia hatinya.

"Engkau adalah hasrat hatiku! Tujuan hidupku satu-satunya. Sejak hadir dalam impianku, telah engkau rebut tidurku. Engkau telah mendorongku menjadi gila dengan hasrat kepadamu, dan menjadikan diriku bersahabat karib dengan kesedihan. Aku mengasingkan diri ke sini lantaran dirimu, dan karena tidak mendapatkan obat bagi keadaan celaka itu, aku menyerah pada duka lara. Sekarang, meski aku sangat gembira melihat wajahmu, aku merasa pedih oleh ketidak pedulianmu yang keras, tak dapatkah engkau melepaskan kedinginan itu, dan setidaknya turun ke arahku lalu mengatakan sepatah kata mans?"

Dalam keadaan bingung, Yusuf menjawab, "Wahai, Zulaikha, bagi siapa saja yang sepertiku, seribu raja adalah budak, bebaskanlah aku dari ikatan busuk ini, gembirakanlah hatiku dengan membiarkan aku pergi. Menyedihkan bagiku untuk menyendiri bersamamu dan tersembunyi dari penglihatan, karena engkau adalah nyala api yang berkobar, sementara aku hanyalah sehelai kapas kering."

Zulaikha tidak mempedulikan kata-katanya, dengan menggunakan alasan yang fasih, ia mendorongnya ke dalam kamar yang kedua, lalu mengunci pintunya, yang sangat membuat Yusuf ketakutan. Sekali lagi Zulaikha menangis ketika ia mengangkat tirai dari kesedihan rahasianya yang sudah bertahun-tahun,

"Wahai Yusuf! Engkau lebih aku cintai daripada jiwaku sendiri, berapa lama engkau akan berkeras dalam ketidak ramahan ini? Kepalaku terletak di bawah kakimu, apakah kekerasan hatimu tak akan pernah melunak? Aku kosongkan kekayaanku untuk membelimu, demi engkau aku telah menebarkan akal dan imanku kepada angin, dengan selalu berharap untuk mendapatkan kesembuhan atas sakitku. Tak pernah aku harapkan pembangkangan durhaka semacam itu!"

Yusuf menjawab,
"Tak ada kewajiban untuk menaati hal yang dapat didamaikan dengan dosa. Setiap tindakan yang tidak dibenarkan Tuhan, adalah sebuah gangguan dalam pengabdian. Semoga aku dijauhkan Tuhan dari tindakan semacam itu!"

Mereka terus bercakap-cakap sambil lewat kamar berikutnya, dan di sana, setelah mengunci pintunya, Zulaikha berusaha lagi untuk merayu Yusuf. Diiringi tangis dan kata-kata sihirnya, tak letih-letihnya Zulaikha mengeluarkan alasan-alasan baru. Begitulah Zulaikha membuat Yusuf melewati enam pintu dari kamar-kamar itu, dalam keadaan demikian, tetapi semuanya hanyalah sia-sia belaka. Sekarang, tinggal kamar yang ketujuh. Dengan cepat ia membimbingnya ke sana dan melemparkan dadu untuk ketujuh kalinya.

Orang tak boleh kehilangan harapan pada jalan itu, siang hari pada akhirnya selalu memberi jalan kepada kegelapan buta malam. Sekalipun seratus pintu akan menutup harapan, masih tak perlu juga untuk menelan hatimu, ketuklah pada satu pintu lagi, maka dengan tiba-tiba ia akan terbuka, hingga jalan ke tujuanmu akan jelas.

***

Si periwayat yang fasih dari cerita mistis ini sekarang mengungkapkan, bahwa ketika mereka sampai di kamar yang ketujuh, Zulaikha mengeluarkan jeritan kepedihan dan kedalaman jiwanya, "Wahai Yusuf, aku memohon kepadamu, demi belas kasih, melangkahlah ke dalam tempat perlindunganku yang cemerlang!"

Ia mengantarnya ke dalam kamar yang menyenangkan itu, dan mengunci pintu dengan pintu besi dan rantai emas. Ruangan itu begitu luas dan rapat, tertutup bagi semua orang luar, bahkan para sahabatnya pun tak dapat mengharapkan akan beroleh izin masuk ke sana. Hanya ada tempat untuk si pecinta dan si tercinta. Pipi si tercinta bercahaya dengan daya pikat yang menyihir, hati si pecinta mengetuk irama pada melodi cinta yang terbuka lebar kepada hawa nafsu, hasrat yang membakar jiwa.

Zulaikha, yang hati dan inderanya mabuk, memegang tangan Yusuf, dan dengan banyak rayuan manis membawanya dengan perlahan dan anggun ke ranjang.

Ia melemparkan diri berbaring di atas ranjang itu, dan dengan penuh air mata ia berkata kepada Yusuf,
"Wahai pemuda yang bercahaya, tak dapatkah engkau lontarkan senyumanmu kepadaku? Seandainya matahari dapat melihat wajahku yang bercahaya, niscaya ia akan menghendakinya, bagaikan bulan yang meminjam cahaya darinya. Berapa lama dirimu akan puas melihatku dalam keadaan menyedihkan ini? Berapa lama dirimu akan menutup mata kasih sayang kepadaku?"

Demikianlah, ia membuka lebar semua hasratnya kepada Yusuf, dan dengan berbuat demikian ia hanya menambah kesedihan dalam hatinya. Tetapi Yusuf selalu menjaga diri, karena takut akan menyerah ia menatapkan pandangannya ke lantai, ia lihat di sana sebuah gambar dan keduanya terentang di atas tempat tidur brokat sutra, berpadu dada dalam pelukan erat. Dengan segera ia mengalihkan pandangannya dari itu, tetapi ke mana pun ia mengarahkan pandangannya, ke pintu maupun ke dinding, ia lihat keduanya dilukiskan, dengan wajah bercahaya, terpadu dalam pelukan cinta. Bahkan ketika ia melihat ke atas, ia melihat lukisan yang sama. Dan akibatnya, ia merasa tertarik kepada Zulaikha, kemudian ia pun menyadari bahwa ia sedang menatap wajah Zulaikha.

Melihat matahari bersinar itu berpaling kepadanya, harapan Zulaikha bangkit. Lalu ia mulai mengeluh, merintih dan tersedu-sedu seraya berkata,
"Wahai pemuda yang hanya ingat diri sendiri, berikanlah keinginanku, ambillah aku dan obatilah sakitku. Aku haus sementara engkau adalah air, aku adalah kematian sedang engkau merupakan kehidupan badi. Selama bertahun-tahun aku telah terbakar, terpanggang oleh hasrat kepadamu, tak beroleh nafsu untuk makan dan tidur, jangan biarkan aku terbakar lebih lama lagi, jangan biarkan aku tersia-sia dalam hasrat hawa nafsuku kepadamu!

Wahai Yusuf! Aku memohon kepadamu dengan nama Tuhan, Majikan atas segala majikan dunia. Demi keindahan yang menaklukan dunia dengan apa yang menghiasi wajahmu. Demi cahaya yang menyinari dahimu dan memaksa bulan untuk menunduk di hadapanmu. Demi alismu yang memikat, matamu yang menyihir, tubuhmu yang bagaikan cemara dan pinggangmu yang ramping. Demi manisnya senyummu yang laksana kuncup mawar. Demi air mata keinginan di mataku, dan keluhan membakar yang disebabkan ketidak hadiranmu. Demi cintaku kepadamu yang telah menguasai seluruh wujudku dan demi ketidak pedulianmu sama sekali atas si perempuan celaka yang gila cinta ini. Lepaskanlah belenggu yang telah menyebabkan aku demikian cemas!

Hatiku menanggung goresan hasrat sepanjang hidup bagi semerbak tamanmu. Wahai Yusuf, jadilah barang sejenak penawar harum yang menyembuhkan hatiku! Aku sedang kelaparan dalam musim paceklik ketidak hadiranmu, aku memohon kepadamu, pulihkan kehidupanku di atas hamparan cinta!"

Yusuf menjawab seraya menyeru nama Tuhan,
"Wahai putri yang kecantikannya menggerhanakan bidadari, jangan menekan begitu keras dan menghancurkan kesucianku yang rapuh! Jangan nodai jubahku dengan dosa. Jangan bakar tubuhku dalam api nafsu!

Aku juga memohon kepadamu, dengan nama Wujud Suci yang menyatakan diri-Nya dalam sifat-sifat lahir dan batin, yang bagi-Nya langit hanyalah gelembung di samudera kemurahan-Nya, dan matahari hanyalah percikan kecil dalam kecerlangan-Nya yang berlimpah. Aku memohon kepadamu dengan nama-nama makhluk suci di mana aku adalah keturunannya, dan kepada siapa aku berhutang atas mutiara cemerlang dari kesucianku, dan kemuliaan cemerlang dari kelahiranku.

Apabila engkau menjauh dariku sekarang, dan membiarkan aku melepaskan diri dari situasi mengerikan ini, maka pada suatu hari aku akan membayarmu seribu kali lipat dari memuaskan hasratmu. Tetapi aku memohon kepadamu, janganlah ada desakan, karena seringkali lebih baik menunggu dan menangkap mangsa yang besar dalam jaring, daripada hanya berhasil menangkap tangkapan kecil."

Tetapi Zulaikha mendesak,
"Apakah engkau akan mengatakan kepada seseorang yang sedang hendak mati kehausan untuk menunda minum hingga esok hari? Hasrat telah membawa jiwaku ke bibir. Bagaimana mungkin aku dapat menahan penundaan lagi? Alangkah baiknya sekiranya aku mengetahui apa yang mencegahmu menikmati kesenangan sejenak denganku."

"Dua hal." jawab Yusuf, "Azab Tuhan dan pembalasan dendam oleh Wazir. Apabila Wazir sampai mendengar tentang pembicaraan curang, engkau sangat tahu bahwa ia akan menimpakan kepadaku seratus penghinaan sebelum ia mengambil nyawaku. Dan bayangkan rasa maluku di hari pengadilan, ketika para pezina harus menerima hukuman atas perbuatan mereka, apabila namaku akan memulai daftar para penjahat itu dalam catatan Ilahi!"

"Engkau tak perlu khawatir akan permusuhan Wazir," kata Zulaikha. "Pada suatu hari ketika ia dan aku sedang bersuka ria, aku akan memberikan padanya suatu cangkir yang sangat tidak sepakat dengan wataknya, sehingga ia tak tahan bangun dari tidur mabuknya sampai ke hari pengadilan. Tentang Tuhan, engkau sendiri mengatakan bahwa Ia Maha Pemurah, dan selalu menaruh belas kasihan kepada orang berdosa. Sekarang di dalam istana ini telah aku sisihkan suatu perbendaharan besar mutiara dan permata. Apabila aku menawarkannya sebagai tebusan atas dosa-dosamu, maka pastilah Tuhan akan mengampunimu."

Yusuf menjawab,
"Aku bukan jenis orang yang dapat membiarkan orang lain menderita atas perbuatannya, paling tidak bagi si Wazir yang mulia, yang memerintahkanmu secara pribadi untuk mengurusku. Tentang Tuhan, yang terhadap-Nya kita tak mungkin dapat melunasi hutang budi kita, maka bagaimana engkau membayangkan bahwa Dia yang dengan bebas memberikan hidup itu sendiri kepada kita, akan memberikan ampunan sebagai tukaran sogokan?"

Zulaikha menjawab,
"Wahai pangeran yang diberkati, semua dalih yang engkau kumpulkan ini tidak lain daripada siasat licik dan tipu daya. Tuhan memeliharaku dari cara curang seperti itu! Mulai sekarang aku tidak akan dengarkan kata-katamu yang licik. Aku dalam kebingungan tak berdaya, berilah kedamaian kepadaku! Dengan tekad baik atau tidak, penuhilah hasratku. Bicara, bicaralah! Hari-hariku berlalu dalam bicara, dan masih saja tak lebih dekat kepada apa yang aku kehendaki darimu. Ayolah sekarang! Cukuplah dengan segala dongengan ini! Lihatlah dengan bersemangat, karena orang yang ragu-ragu akan kalah. Api sedang memakanku laksana rabuk, dan nampaknya engkau hanya beroleh kesenangan karenanya. Apa gunanya semua asap ini, apabila bahkan tidak membawa air mata di matamu? Karena ada asap, tentulah ada api, ayolah Yusuf, tumpahkan sedikit air pada apiku!"

Yusuf bahkan membuat lebih banyak alasan, sampai akhirnya Zulaikha berkata,
"Engkau dan cara bicara Ibranimu telah menyia-nyiakan waktuku dengan tanpa tujuan! Apabila engkau menolakku lagi, maka aku akan bunuh diri. Apakah engkau mengulurkan tanganmu melilit tubuhku dalam pelukan, atau aku akan memotong kerongkonganku, kemudian tanggung jawab atas kematianku akan terletak pada pundakmu. Aku akan memisahkan tubuh dan nyawa ini dengan kasar, dan dengan demikian aku akan terbebas dan permainan hujah kata-katamu. Suamiku akan mendapatkanku terbunuh, sementara engkau ada bersamaku, dan ia akan memutuskan untuk membunuhmu sebagai balasan. Dengan demikian jiwaku yang merindu setidak-tidaknya akan disatukan denganmu dalam kubur."

Ketika ia sedang berkata-kata dengan penuh ancaman, tiba-tiba secara mendadak, Yusuf melihat di sudut kamar itu sehelai tirai yang bersulam emas. "Apa gunanya tirai itu?" ia bertanya. "Apa yang tersembunyi di baliknya?"

"Itu," jawab Zulaikha, "Adalah berhala yang selalu aku puja. Ia terbuat dari emas dan mempunyai mata dari mutiara, di dalamnya penuh dengan kesturi yang harum. Aku meletakkannya di balik tirai itu supaya ia tidak melihat perbuatan tak saleh yang akan aku perbuat denganmu di sini."

Mendengar itu, Yusuf menjerit keras,
"Apabila kesalehanmu seharga satu dinar, kesalehanku tak seharga satu titik zarah! Engkau malu untuk dilihat oleh suatu objek yang tak bernyawa, dan aku berdiri tanpa malu di hadapan Dia yang Maha Melihat segala sesuatu, Tuhan yang Maha Kekal dan Maha Kuasa!"

Setelah itu, ia melompat, seakan terbangun dari tempat tidur kesenangan itu, kemudian lari secepat-cepatnya. Setiap pintu terbuka dihadapannya, tanpa memerlukan kunci, palang-palangnya terlempar ke pinggir. Zulaikha memburunya dengan cepat, dan berusaha untuk meraih serta memegang bagian belakang bajunya. Yusuf meloloskan diri dari wanita yang patah hati itu dengan bajunya yang sobek.

Menyadari kesalahan besar yang dilakukannya, Zulaikha pun menyobek bajunya dan menjatuhkan dirinya ke tanah, di sana ia terbaring tak berdaya dengan mengucapkan kata-kata kecemasan, meratapi nasib buruknya. Hasrat hatinya telah meninggalkannya. Buruan telah meluputkan diri dari jaringnya. Madu telah direnggut dari mulutnya.

Ia merasa bagai laba-laba dalam dongeng, yang melihat seekor elang bertengger di sebuah cabang, setelah dibebaskan dari tangan raja sendiri. Dengan sungguh-sungguh si laba-laba mulai bekerja, menenun jaringnya di seputar si burung, sambil berpikir bahwa dengan demikian ia mencegahnya terbang jauh. Ia melewatkan beberapa waktu dalam pekerjaan itu, dan menghabiskan semua sutranya. Akhirnya burung itu hanya terbang pergi, meninggalkan si laba-laba malang yang hanya mempunyai beberapa utas benang lagi.

"Aku tepat seperti si laba-laba," keluh Zulaikha, "Jiwaku disobek-sobek seperti jaring laba-laba itu, dan burung harapanku telah terbang."