Ketika seorang pecinta tercuri hatinya pada si tercinta, ia akan mengatakan selamat tinggal pada kedamaian pikirannya. Sekali darah telah terhisap dari hati, kesibukannya berpindah dari hati kepada matanya. Ketika telah terpuaskan oleh sebuah pandangan yang penuh hasrat, tidaklah lama, maka ia akan berpaling kepada pikiran tentang ciuman dan pelukan, dan apabila ia berhasil memperoleh hal-hal tersebut, persahabatan akan segera dirusak oleh rasa takutnya perpisahan. Tak pernah ada suatu kepuasan sempurna dalam cinta, tak ada kesenangan yang sesungguhnya.
Mula-mula si pecinta akan meminum darah hatinya sendiri, kemudian berakhir dengan kematian dirinya! Kesenangan apakah yang akan pernah didapat seseorang dalam keadaan seperti itu?
Sebelum ia bertemu dengan Yusuf, Zulaikha telah puas dengan khayalan impian, dan pada waktu itu ia tak sadar akan adanya aspirasi lain, kecuali suatu saat nanti akan melihat dengan matanya sendiri. Sekarang setelah ia dianugerahi penglihatan itu, hasratnya bertambah. Ia mulai berusaha, dengan harapan akan menariknya ke dalam suatu pelukan, demi membangkitkan hasratnya dengan mencium bibir merah delima, dan menenteramkan hasrat itu dengan melekatkan tubuh sang pujaan kepadanya.
Namun, Yusuf cukup menjaga jarak. Ia abaikan segala keluhan Zulaikha yang penuh air mata, dan tidak terserang demam yang membakar hati itu. Sementara pandangan Zulaikha yang penuh nafsu, tak pernah meninggalkan wajahnya yang memikat. Ia teguhkan tatapan matanya ke tanah. Ia jauhkan diri dari membiarkan pandangannya bertemu dengan pandangan Zulaikha, agar tidak terbuka godaan wanita yang menggodanya itu.
Sekarang hanya sedikit saja keuntungan bagi seorang pecinta, yaitu apabila pandangannya tak terbalas. Ketika si kekasih menutup matanya kepada keadaan si pecinta, cukuplah itu untuk membawa keluar air mata panas dari hatinya yang berdarah.
Segera Zulaikha mulai lagi menanggung pedihnya kesedihan. Baginya, telah mulai musim gugur kesedihan, yang membawa warna kuning kepada wajahnya yang merah mawar. Hatinya terasa perih karena kesedihan, dan tubuhnya yang ramping menjadi bungkuk karena penderitaan. Bibirnya yang merah delima kehilangan ronanya, dan pipinya kehilangan warna. Ia tidak lagi menyisir rambutnya yang wangi, dan menjauhkan wajahnya dari cermin. Ia tak memakai celak pada matanya. Apakah guna ia memakainya, sedang air mata hanya akan menyapunya?
Pada akhirnya, si wanita malang yang sakit hati itu mulai menyalahkan dirinya,
"Mengapa engkau membuka dirimu pada hawa nafsu ini untuk seorang budak yang engkau beli dengan emas? Pantaskah bagimu, putri bangsawan, untuk menggoda budakmu sendiri? Dapatkan bagi dirimu seorang pecinta yang keturunan raja seperti dirimu sendiri, karena hanya keturunan raja yang patut bagi keturunan raja. Selain dan itu, tentulah ia amat sangat membanggakan diri, tidak mau menyambut cinta seperti cintamu. Dan ingatlah akan kesukaran dan kehinaan yang akan ditimpakan oleh kaum wanita Mesir, apabila mereka sampai mendengar tentang hal ini!"
Tetapi sis-sia, si pemuda yang tiada bandingannya itu memenuhi tempat dalam hatinya sedemikian rupa, sehingga ia tak dapat lagi melepaskannya dengan pikiran sesederhana itu. Bahkan hanya meningkatkan kesedihan hatinya.
Sesungguhnya, apabila seorang tercinta telah bercampur dengan jiwa kita sendiri, ikatan seperti itu tak dapat diputuskan. Dalam sekejap jiwa ia dapat memutuskan hubungannya dengan tubuh, tetapi ikatan cinta berlangsung selama-lamanya. Ini dinyatakan dengan sangat tepat oleh seorang korban luka cinta, ketika ia berkata,
"Kesturi mungkin kehilangan wanginya, dan mawar mungkin kehilangan warnanya, tetapi adalah di luar kemampuan jiwa yang bercinta untuk menyangkal cintanya kepada si kekasih."
***
Melihat Zulaikha dalam keadaan seperti itu, lagi-lagi inangnya bertanya kepadanya, dengan air mata,
"Wahai cahaya hatiku, kesenangan mataku, katakanlah kepadaku mengapa engkau demikian sedihnya. Apakah hasrat hatimu tidak selalu di matamu? Mengapa aku melihatmu dalam keadaan cemas seperti ini? Ketika engkau jauh dan Yusuf, demammu dapat dipahami, tetapi kini setelah engkau telah bersatu dengannya, mengapa engkau dalam keresahan seperti ini? Nasib bahagia telah membuat sultan menjadi budakmu, seorang yang indah yang patut mendapatkan mahkota raja tunduk kepada kekuasaanmu. Apalagi yang engkau kehendaki? Lupakanlah urusan dunia, nikmatilah kepuasan hatimu dengan melihat wajahnya yang menyihir. Ambillah kesenanganmu dalam keanggunan sikapnya. Pandang dan kecuplah bibirnya, karena di sana terdapat santapan bahagia jiwa, dan dari tubuhnya yang ramping yang berwarna tulip ambillah apa yang engkau hasratkan!"
"Wahai ibuku yang tercinta," jawabnya, "Engkau tidak memahami seluruh cerita. Engkau tidak mengetahui apa yang ada dalam hatiku, dan keuntungan apakah yang aku peroleh dari jiwa dunia ini. Memang benar, ia berdiri di sana dan menanti untuk melayaniku, bahkan mengeluh karena tak ada pekerjaan. Aku akui bahwa ia tak pernah tersesat jauh dariku, tetapi tak pernah pula ia menatap wajahku. Tidakkah patut diratapi ketika berdiri menahan haus di tepian sungai, sementara air itu tak pernah mampu memuaskan hausku? Ketika pandanganku dinyalakan oleh keindahan yang bersinar, ia menghindari mataku dan memandang dengan teguh ke kakinya. Bukanlah aku hendak menyalahkannya atas hal itu, karena kakinya jauh lebih indah dari wajahku. Apabila saja aku melihat kepadanya dengan mata terbuka lebar, ia hanya menunjukkan kepadaku pandangan sungkan, aku tak dapat menyalahkan atas hal itu pula, karena aku tahu bahwa tak ada perbuatan salah dan yang ia lakukan.
Kemudian hatiku menjadi demikian terikat dalam buku-buku bila ia menggunting alisnya, sehingga aku tak berani lagi melemparkan pandangan kepadanya. Lidahnya tertutup dengan ketat, maka apa lagi yang dapat aku lakukan selain meminum darah hatiku sendiri? Penglihatan kepada bibirnya, membuat mulutku berair dan mengalirkannya ke mataku. Aku cemburu, bahkan kepada lengan bajunya yang dapat menyapu tangannya, serta pada ujung jubahnya, yang menyapu debu di kakinya."
Sang inang sangat sedih mendengarkan kata-kata Zulaikha, "Engkau tak boleh terus-menerus hidup dalam penderitaan seperti itu," katanya. "Lebih baik tidak berjumpa daripada pertemuan yang pahit seperti itu. Berpisah dengannya adalah menderita, namun hanya sekali, untuk selamanya. Tetapi dalam hubungan seperti itu, penderitaan diperbarui dan waktu ke waktu."
***
Melihat lipuran pengasuhnya yang penuh kasih sayang, Zulaikha berkata dengan memohon kepadanya, "Engkau adalah hiburan bagiku, engkau telah datang menolongku seratus kali. Kasihanilah keadaanku yang menyedihkan dan tolonglah aku sekali lagi. Pergilah kepadanya, untukku, jadilah lidahku, dan sampaikanlah pesan ini atas namaku:
"Wahai pemuda manja berwajah tampan yang kepala batu! Bibit yang tak bertara dan taman kecerlangan dan keanggunan! Ke dalam lempung, hati dan jiwamu dipadu, dan ke dalam lempung ini pula telah ditanamkan sebuah bibit dan pohon surga. Sejak pengantin keabadian memberikan kelahiran pertama, tak pernah ia membawa ke dunia ini anak yang lebih suci darimu.
Kelahiranmu membuat mata Adam bercahaya karena gembira. Bunga indah dan wajahmu mengubah dunia ini menjadi taman mawar yang semerbak. Keindahanmu yang sempurna adalah di atas manusia, bahkan bidadari pun tidak ikut memilikinya, karena itu mereka menyembunyikan wajahnya karena malu. Para malaikat, dengan segala keadaannya yang mulia, tunduk bersujud di hadapanmu.
Maka engkau yang telah ditempatkan langit setinggi itu, tak dapatkah engkau merendahkan diri untuk melemparkan bayanganmu kepada orang yang tertimpa derita karenamu, Zulaikha, demi semua keindahannya yang menawan, terbaring tak berdaya tertangkap dalam jeratmu.
Sejak kanak-kanak dadanya telah nyala dengan cinta kepadamu, selama itu cinta ini telah menyiksanya. Tiga kali di negeri asalnya ia melihatmu dalam impian, sejak itu ia hidup dalam kegilaan, sekarang tercambuk seperti air dalam badai, kemudian terhempas ke sana ke mari bagai prahara. Hasratnya telah membuat tubuhnya setipis rambut. Engkaulah satu-satunya hasrat hatinya. Dalam ketidakberdayaannya, ia telah kehilangan harta kehidupan.
Belas kasihan adalah sesuatu yang manis, kasihanilah ia! Di bibirmu ada air suci penawar hidup, tak dapatkah engkau memberikan setetes kepadanya? Biarlah ia memuaskan hasratnya pada bibir merah delimamu, dan dengannya mendapatkan peristirahatan dari hawa nafsu yang memakannya.
Di sana engkau berdiri bagai pohon yang subur, biarkanlah ia memuaskan dirinya atas buahmu, biarkanlah ia mengumpulkan kurma-kurma matang pada pohon kurmamu yang memikat, kemudian menjatuhkan dirinya ke bawah kakimu.
Apakah engkau akan kehilangan demikian banyak martabatmu, apabila engkau menghargainya dengan suatu pandangan. Ketika bagi seluruh kemampuannya, hasrat satu-satunya adalah masuk ke dalam bilangan budak-budakmu?"
Ketika Yusuf mendengar pembicaraan yang memikat itu, ia menjawab pengasuh itu,
"Wahai wanita pandai, jangan mencoba melemparkan sihirmu yang menipu kepadaku! Aku budak Zulaikha, dibeli dengan suatu harga. Aduhai, betapa banyak kebaikan yang telah dianugerahkannya kepadaku! Lempung tubuhku telah menjadi makmur berkatnya. Hati dan jiwaku dipelihara oleh keramahan kasih sayangnya. Apabila aku harus melewati sepanjang sisa hidupku menghitung seluruh kebaikannya kepadaku, masih tak dapat aku ucapkan terima kasihku kepadanya. Aku akan selalu menaati perintahnya setepat-tepatnya, di sini aku berdiri, siap untuk melayaninya.
Tetapi lenyapkanlah pikiran bahwa aku dapat melanggar perintah Tuhan, dan bahwa terdorong oleh hawa nafsu penuh dosa, aku bahkan dapat memulai jalan pengkhianatan yang menggelincirkan. Wazir Agung itu memperlakukanku seperti anaknya sendiri, dan mempercayakan rumah tangganya pada kesetiaanku. Betapa mungkin aku mengkhianatinya!
Tuhan telah menaburkan di hati manusia kecenderungan yang sangat beraneka ragam, ada makhluk suci, yang baginya kesucian adalah fitrahnya, sedang yang lainnya dilahirkan untuk menyeleweng. Seorang manusia tak akan melahirkan anjing, sebagaimana seekor anjing tak akan melahirkan manusia. Jagung tidak tumbuh dari gandum, dan gandum tak tumbuh dari jagung.
Di hatiku ada kemuliaan dan kebijaksanaan Jibril. Aku ditakdirkan untuk menjadi Nabi, dan tugas ini ditetapkan padaku oleh Ishaq. Aku mawar mistik dari taman sahabat Allah. Semoga Tuhan menjauhkan bahwa aku akan melakukan suatu perbuatan yang akan mencegahku mengikuti jejak langkah para pendahuluku!
Maka biarlah Zulaikha melawan hasratnya, dan membebaskan hatinya dan hatiku dari itu. Bagiku, dengan rahmat Tuhan aku berharap menjaga kesucianku!"
***
Ketika Zulaikha mendengar kata-kata ini diperdengarkan oleh sang inang, pikirannya menjadi sama kacaunya dengan rambutnya yang kusut. Air mata membanjiri matanya yang indah. Ia pun berangkat untuk menemui sendiri kekasihnya itu.
"Semoga kepalaku menjadi debu di jalan yang engkau pijak. Semoga dijauhkan Tuhan bahwa aku harus mengosongkan hatiku dan hasrat kepadamu! Tak ada rambut di kepalaku yang tidak dipenuhi oleh cinta kepadamu, tidak sebutir pasir dan wujudku yang masih menjadi milikku. Jiwaku, yang melanglang di atas bibirku, diberi makan dengan kesedihan yang engkau bawakan kepadanya. Dan apa yang dapat aku katakan tentang keadaan hatiku? Hatiku berada dalam genangan besar air mata darah. Aku tenggelam dalam samudera cinta bagimu, sehingga dipenuhi dengannya dari ubun-ubun hingga telapak kakiku. Bedahlah nadiku, maka yang akan engkau dapati bukanlah darah! Melainkan hanya kecemasan yang mengalir!"
Kata-kata ini membawa air mata ke mata Yusuf, dan Zulaikha bertanya dengan kaget mengapa ia menangis. Yusuf terharu oleh penderitaan Zulaikha yang amat sangat, dan sekarang mutiara jatuh dari bibir maupun matanya.
"Hatiku yang sedang bersedih membuatku menumpahkan air mata ini, karena cinta yang aku timbulkan ke dalam diri orang lain selalu mengandung pertanda buruk. Bibirku menyesatkan cintanya kepadaku dengan menuduhku secara dusta sebagai pencuri. Dengan lebih menyukaiku ketimbang saudara-saudaraku, ayahku menaburkan benih kecemburuan di hati mereka, mereka membuangku jauh darinya, dan menyebabkan aku terasing di sini, di Mesir. Dan sekarang hatiku pingsan bila aku pikirkan kejahatan apa yang engkau timpakan ke atas kepalaku. Tentulah Pangeran Cinta cemburu kepadaku, karena ikut serta memiliki sangatlah asing bagi kerajaannya."
Tetapi Zulaikha bersikeras,
"Wahai cahaya mataku, wahai suluh yang lembut, yang berkat sinar cahayanya aku tidak memerlukan bulan! Aku tahu bahwa aku tak mempunyai arti di matamu. Di antara semua pelayanmu, akulah budak yang paling rendah, tetapi mengapa engkau tak dapat menaruh belas kasihan kepada seorang perempuan budak yang malang, dan menghibur dalam kesedihannya?
Tak ada sesuatu dalam hatiku kecuali hasrat yang bernyala-nyala untukmu. Terlalu kejam untuk mencurigai permusuhan dalam diri seseorang yang mencintaimu lebih dari jiwanya sendiri. Hatiku teriris dengan pedang cinta untukmu, maka mengapakah engkau takut akan kebencianku?
Tunjukkan kepadaku suatu kebaikan, izinkan aku memuaskan hasratku pada bibirmu. Biarlah hatimu mencair, sekalipun hanya sejenak, dan berikan kembali kepadaku kedamaian pikiranku. Berikanlah sejenak waktu untuk menemaniku, dan saksikanlah keluasan maksud baik yang aku rasakan bagimu."
Yusuf menjawab,
"Wahai putri bangsawan, aku berdiri di hadapanmu sebagai seorang tawanan dalam ikatan pelayanan, di situlah kewajibanku berakhir. Dengan segala cara, berikan kepadaku tugas sesuai dengan kedudukanku sebagai budak, tetapi janganlah berusaha untuk membuat budakmu menjadi majikan. Dengan menyukaiku semacam itu, engkau membuatku malu. Siapakah aku sehingga engkau sampai menjadikan aku temanmu, duduk di meja yang sama seperti Wazir, padahal yang benar hanyalah apabila seorang raja menghukum mati budak yang berani meletakkan jarinya pada piring yang sama. Akan jauh lebih baik bagimu untuk menyuruhku melakukan tugas yang sama, yang terhadapnya aku dapat mengabdikan semua waktuku. Aku tak pernah melakukan kewajibanku kepadamu, aku siap untuk melakukan seratus kewajiban yang berat bagimu. Hanya melalui pelaksanaan kewajiban maka seorang budak akan mampu mendapatkan nikmatnya kemerdekaan,"
Zulaikha tak mau berkecil hati,
"Wahai permata mahal, yang pada kehadirannya aku ini tak lebih hanya seorang budak, ada ratusan pekerja padaku, untuk pekerjaan apa saja yang mungkin diperlukan. Sungguh bodoh apabila aku mengabaikan mereka lalu membebanimu. Kaki hanya sesuai untuk berjalan di jalanan berduri, sedang mata berhak mendapatkan perlakuan yang lebih baik!"
"Dengarkanlah aku," kata Yusuf, "Engkau yang hati dan jiwanya terbungkuk karena beratnya cintamu kepadaku, apabila pengakuan cintamu sepenuhnya benar seperti cahaya fajar, maka seharusnyalah mengikut bahwa satu-satunya keinginanmu adalah menyesuaikan diri dengan hasratku. Sekarang, yang aku minta kepadamu adalah melayanimu, dan apabila engkau menolak pemintaanku ini, maka bukanlah itu cara seseorang yang mencintai. Hati yang rindu cinta tidak mencari apa-apa kecuali untuk memuaskan si tercinta, kepuasan pribadi sepenuhnya akan dikorbankan ke dalam hasrat untuk menyenangkan."
Yusuf mengatakan ini semata-mata untuk melepaskan diri dari Zulaikha, dan meluputkan diri dari percakapan ini, di mana terletak bahaya godaan dan petaka. Berkas kapas yang bahagia terbang jauh dari api yang ia tak berdaya untuk melawannya.