Cinta tak memiliki waktu untuk sudut-sudut kosong. siap menyambut nama buruk serta penyalahan. Penolakan selalu memperbarui kesedihan cinta, sampai ia berteriak keras karena sakitnya. Penyalahan akan menjaga agar cinta tergosok mengkilat dan bebas dari karat. Serangannya yang datang dari segala sisi, memecut si pemalas.
Ketika mawar rahasia Zulaikha berkembang, fitnah menyusul bagaikan nyanyian burung hantu. Segera setelah para wanita Mesir mendengar tentang hal ini, mereka menyebarkannya secara luas. Segala sesuatu yang dilakukan Zulaikha, baik atau buruk, menjadi sasaran penyalahan mereka.
"Zulaikha menjadi sepenuhnya tak peduli atas nama baiknya, ia demikian terpikat sampai ke dalam sumsum pada sorang budak Ibrani. Sedemikian dahsyatnya, hingga ia rela mengejek akal maupun imannya."
"Alangkah gila dan tak masuk akal, tertawan oleh pelayannya sendiri!"
"Tetapi inilah bagian yang tak ternilai, budak itu menolaknya sama sekali, dan menolak setiap keakraban dengannya. Budak itu tak pernah memandangnya barang sekejap, dan tak pernah ia melangkah kepadanya. Bilamana Zulaikha berjalan, Yusuf berdiri diam, dan bilamana Zulaikha berhenti, ia terus berjalan. Bilamana Zulaikha menyisihkan tabirnya, ia menutup mata dengan pelupuknya. Bilamana Zulaikha menangis, ia tertawa. Apabila Zulaikha membuka pintu, ia menutupnya."
"Tentulah semata-mata karena ia tidak merasa bahwa Zulaikha itu cantik atau menarik."
"Ah, tetapi andai saja si pemikat itu harus mengerahkan waktu barang sejenak sekalipun bersama kita, tak akan pernah engkau melihat dia pergi atas kemauannya sendiri lagi, atau berusaha melawan kemauan kita!"
"Ya, dengan kita ia akan memberikan kesukaan kita, dan bersenang hati dalam berbuat demikian."
"Tetapi, bukankah tidak setiap orang mempunyai kekuatan untuk menarik rasa cinta. Banyak wanita berwajah cantik dan bersifat bagus yang tak mampu mengilhami cinta seorang lelaki."
Ketika Zulaikha mendengar berbagai gunjingan itu, ia hendak mempermalukan para wanita yang tak adil itu. Ia segera memerintahkan untuk menyiapkan pesta dan mengundang kaum wanita kota tersebut.
Pesta? Apa yang hendak aku katakan? Itu pesta kerajaan, dengan segala makanan lezat yang terbayangkan, dan minuman yang aneka rasa dan warna dalam piala kristal. Di tengah lantai, pada hamparan kain dari emas yang lama bercahaya bagai matahari, piring-piring perak ditebarkan laksana zodiak. Harum dan rasa makanan, minuman, memberikan tenaga dan kekuatan kepada tubuh dan jiwa. Tak ada jenis daging yang tak disuguhkan, dari ikan sampai unggas. Sebagai pencuci mulut, suatu model istana telah dibangun dan irisan-irisan halwa, dengan lantai dari coklat. Juga ada penggalan-penggalan kue almond dan manisan, serta buah-buahan segar berkeranjang-keranjang.
Pada setiap sisi, para gadis pelayan bergerak ke sana kemari dengan gairah bagaikan burung merak, sementara para undangan cantik Mesir duduk dengan nyaman dalam suatu lingkaran bantal berbrokat emas, dan bersenang-senang menghadapi semua hidangan itu.
Ketika semuanya telah dihidangkan, Zulaikha telah mencurahkan kepada mereka semua pujian manis. Ia perintahkan agar setiap orang dari mereka diberi sebilah pisau tajam dan sebuah jeruk di tangan.
Kemudian ia berkata kepada mereka,
"Wahai para tamuku yang menawan hati, yang masing-masing duduk pada tempat kehormatan di pesta kecantikan ini, katakan mengapa kalian mencelaku demikian pahitnya karena perasaan cintaku kepada pelayan Ibraniku? Aku yakin bahwa kalian akan memaafkan diriku atasnya, apabila mata kalian pernah terbuka dengan melihatnya."
Mereka semua menjawab bersama-sama, "Tetapi itulah justru satu-satunya hasrat kami! Tampilkanlah ia dihadapan kami sekarang! Janganlah siapa pun dari kita memakan jeruk sebelum Yusuf datang!"
Zulaikha mengutus pelayannya kepada Yusuf dengan sebuah pesan,
"Datanglah kepada kami wahai cemara mulia, supaya kami bersujud di hadapan parasmu yang penuh rahmat, semoga mata kami menjadi batu pijakan bagi jalanmu!" Akan tetapi, Yusuf menolak untuk datang, mawarnya tidak terbuka karena suara si utusan.
Maka Zulaikha harus pergi dan memanggilnya sendiri. Ia sedang sendiri di kamarnya,
"Wahai cahaya mataku," Zulaikha memohon kepadanya, "Hasrat hatiku telah tersiksa. Mula-mula engkau berikan harapan kepadaku, tetapi pada akhirnya engkau melemparkanku pada keputus-asaan semata-mata. Sekarang, karena engkau, kehormatanku tercemar dan terhina di kalangan orang kota. Aku sadar bahwa aku ini murah di hadapan matamu, dan tak berarti dibandingkan denganmu, tetapi masih juga aku memohon kepadamu, jangan hina aku di depan kaum wanita Mesir!"
Hati Yusuf larut ketika ia mendengarkan permohonan yang bersemangat itu, ia pun setuju untuk pergi bersamanya. Secepat angin Zulaikha menghiasinya sebagai cemara dalam jubah hijau, yang di atasnya rambutnya yang harum terurai, bagaikan ular hitam merayap di rerumputan. Ia berikan kepadanya sebuah ikat pinggang bersepuh, ditutup dengan mutiara berlimpah yang demikian beratnya. Pada kepalanya, Zulaikha memasang mahkota bertahtakan permata, hingga menambah lagi daya tariknya. Pada kakinya, ia kenakan sepatu emas bertalikan permata. Kemudian ditempatkannya gelang emas pada tangannya, lalu ia perintahkan kepada seorang gadis pelayan, dengan guratan emas di seputar alis mata sambil membawa sebuah baki perak, demi mengikuti langkah-langkahnya laksana bayangan Yusuf sendiri. Barangsiapa melihat keanggunan itu, niscaya akan dapat mengatakan selamat berpisah kepada kehidupan yang manis dan tenang.
Lebih dari itu tak dapat saya katakan. Ia melampaui semua kemampuan untuk menggambarkannya.
Demikianlah, perbendaharaan ini pun keluar dari persembunyiannya. Para wanita kota itu memandang sejenak, dan itu cukup untuk membuat mereka sama sekali kehilangan kepala mereka. Kendali kehendak bebas tergelincir dari tangan mereka, mereka terpukau dan terpesona oleh keindahan dahsyat itu.
Pada saat itu setiap orang dari mereka telah bersedia untuk memotong jeruknya. Demikian bingungnya mereka sekarang, sehingga tak dapat membedakan buah itu dengan tangan mereka sendiri, hingga yang mereka potong adalah tangannya sendiri.
Pada saat itulah mereka menyadari bahwa Yusuf tak lain dari permata keindahan yang sempurna. "Ini bukan hanya sekedar makhluk!" teriak mereka, "Ia tidak dibentuk seperti Adam, dari lempung dan air, ia merupakan malaikat suci yang turun dari langit!"
"Ini," kata Zulaikha, "Adalah makhluk yang karenanya aku telah menjadi sasaran celaan kalian. Inilah tubuh ramping yang telah menyebabkan aku dikutuk oleh kalian semua. Namun, dengan segala permohonan manisku untuk bersatu dengannya sepenuh tubuh dan jiwa, ia tak pernah memenuhi harapanku sepanjang hidup dan tak sudi menyerahkan dirinya kepadaku.
"Tetapi sekarang, apabila ia masih bersikeras menolak hasratku maka aku akan memenjarakannya, hingga ia melewati hidupnya dalam sel, dalam kehinaan dan siksaan. Penjara akan melembutkan sifatnya yang keras kepala, dan membawa watak baik kehangatan ke dalam hatinya. Itulah satu-satunya jalan untuk menjinakkan burung liar: kurunglah dia ke dalam sangkar."
Lalu, apa yang terjadi dengan para tamu Zulaikha? Dengan tangan mereka yang terluka, sebagian tertangkap dengan pikiran yang demikian kerasnya, indera dan perasaan, sehingga mereka tak mampu melindungi diri dari pedang Yusuf, sehingga di situ juga mereka menyerahkan nyawanya. Sebagian lainnya sama sekali kehilangan akal, dan terdorong menjadi gila oleh cinta mereka kepada malaikat itu, mereka bergegas langsung keluar, tak beralas kaki dan tak bertudung kepala. Mereka tak pernah memulihkan akalnya lagi. Beberapa orang menjadi sadar, tetapi selanjutnya hanya menjadi seperti Zulaikha, sahabat dari kebakaran dan luka cinta yang minum dari cangkir Yusuf. Hati mereka terjerat dalam jaring Yusuf.
Keelokan Yusuf adalah ibarat semangkuk anggur yang mengandung akibat lain pada setiap watak. Bagi yang satu ia membawa mabuk kesenangan, yang lain sepenuhnya melarikan diri dari ilusi kehidupan. Bagi yang satu itu berarti meletakkan hidup dan jiwa demi pengabdian kepada Yusuf. Namun yang lain hilang dalam renungan pesona dari rupanya yang menawan. Tetapi satu-satunya yang pantas dikasihani ialah orang yang padanya anggur itu sama sekali tidak berpengaruh.
***
Makin banyak sesuatu diminta, makin banyak pelanggan tertarik padanya. Begitu pula, bilamana seorang pecinta jatuh tergila-gila ke dalam jeratan cinta, ia mungkin melalui cinta memperoleh kembali kedamaian jiwanya, tetapi ia hanya perlu melihat seorang pesaing tampil, dan hawa nafsunya akan membakarnya sekali lagi.
Demikianlah adanya, bahwa ketika keadaan korban-korban Yusuf telah melengkapi bukti yang tanpa kata atas keelokannya, gairah Zulaikha yang bergelora di perbarui. Cintanya kepada Yusuf bahkan menjadi lebih besar dari sebelumnya.
Ia berkata kepada para wanita cantik itu, yang ketika melihat Yusuf telah menyayatkan tangan mereka pada pedang cinta,
"Apabila kalian menilai cintaku kepadanya dapat dimaafkan, maka berhentilah mengutukku. Apabila kalian sahabatku maka bertindaklah seperti sahabat dan tolonglah aku!"
Kemudian mereka membunyikan harpa kasih sayang, dan dengannya memainkan lagu pengampunan bagi Zulaikha. Mereka berkata kepada Zulaikha,
"Yusuf adalah raja pada dunia jiwa. Semua yang memandangnya, tentu akan menyerahkan hati mereka, sekalipun hati itu terbuat dari batu. Apabila penderitaan dikarenakan bersedih untuknya, maka keelokannya cukuplah sebagai dalih. Tak ada seorang di kolong langit yang dapat melihat wajahnya tanpa jatuh cinta tergila-gila kepadanya. Apabila engkau telah menyerah kepada cinta penuh gairah ini, maka dirimu tak pantas dicela atau dihukum, karena alam semesta telah membuat banyak perubahan di bumi, bahkan tanpa suatu wujud yang patut dicinta! Semoga hatinya yang membatu akan lembut padamu. Semoga ia malu atas kekejamannya!"
Setelah itu mereka pergi kepada Yusuf dan menegurnya,
"Wahai jiwa yang mahal! Dengan bajumu yang sobek engkau bela kehormatanmu yang tanpa cela. Di taman ini, engkaulah satu-satunya mawar yang berbunga tanpa duri. Tetapi janganlah mancatatkan itu pada kedudukan derajatmu yang mulia, sehingga engkau tak dapat melangkah turun darinya walau sedikit pun.
Wahai pemuda tanpa dosa, Zulaikha telah menjadikan dirinya debu di jalanmu. Apabila engkau biarkan ujung jubahmu menyapu debu itu dari waktu ke waktu, apakah dengan demikian engkau akan berkurang? Ia menghasratkan darimu hanya satu kebaikan, tak dapatkah engkau memperkenankannya? Apabila satu-satunya keperluanmu ialah untuk tidak mempunyai keperluan, janganlah menolak orang-orang yang masih mempunyai kepentingan.
Karena Zulaikha demikian berbakti kepadamu, janganlah lalai menunjukkan kepadanya rasa terima kasih sebagai imbalan. Dengarlah dengan ramah doa-doanya, dan janganlah terlalu jauh mendorong penghinaan. Karena, kami khawatir wahai pemuda sombong, apabila engkau terus bersikeras membangkang kepada Zulaikha, kekerasan kepalamu mungkin membawa akibat yang tak enak. Barangkali Zulaikha mungkin akan melenyapkan rasa cinta kepada keelokanmu dari hatinya, dan kekejaman akan melumatkanmu di bawah tapak kakinya.
Ia terus-menerus mengancammu dengan penjara, tempat memalukan para penjahat terkutuk yang hanya pantas untuk mati. Laksana kubur gelap dan sempit dari orang lalim, di mana orang hidup menjauh. Udaranya yang beracun tak tertarik dengan napas, karena bangunannya tidak menyediakan jalan masuk bagi udara maupun cahaya, dan tanah yang di bawah kaki adalah persemaian benih bagi setiap kerusakan. Putus asa adalah gembok pintunya, cahaya fajar tak pernah tampak di sana. Ia gelap dan terbatas bagaikan sebotol tinta hitam. Rantai dan belenggu adalah satu-satunya perabot yang dimiliki penghuninya. Kalau ada satu hal yang memuaskan mereka—bukan hanya meja yang kosong bahkan dari roti dan air—tak lain hanyalah hidup itu sendiri. Para algojo yang menatap mengerikan menggoda dan menyiksa dengan pahitnya para tawanan mereka, masing-masing baris pada alis mereka yang berbuku meramalkan seratus penghinaan. Watak jahat mereka telah menyalakan api di seluruh dunia, dan wajah mereka menjadi hitam karenanya!
Dapatkah dibayangkan bahwa neraka semacam itu akan menjadi rumah bagi seorang makhluk menawan sepertimu. Demi cinta Tuhan, luputkanlah dirimu, dan bukalah untuk Zulaikha sebuah pintu bagi hasratnya.
Dan bahkan apabila engkau sampai menjadi bosan dengannya, atau apabila kecantikannya tidak memikatmu secara khusus, jauhkanlah dirimu darinya dan datanglah kepada kami! Nikmatilah keakraban kami sebagai gantinya, karena kami semua cantik tanpa tandingan, layaknya bulan-bulan yang bercahaya di langit rahmat. Apakah Zulaikha dibandingkan dengan kami?"
Ketika mendengar pembicaraan yang menyesatkan ini, Yusuf memalingkan wajahnya menjauh dari mereka dengan rasa jijik, dan dengan mengangkat tangannya kepada Tuhan, ia mengucapkan doa,
"Wahai Penopang orang miskin. Tempat pelarian orang bajik. Sahabat bagi yang kesepian. Lampu kebahagiaan bagi yang tak berdosa dan penjara kesedihan bagi penjahat! Para wanita ini telah melemparkan aku ke dalam kebingungan. Aku lebih suka masuk penjara daripada melihat mereka. Aku lebih suka hidup seratus tahun dalam penjara daripada melihat wajah mereka, walau hanya sejenak, karena melihat kepada orang terlarang akan membutakan hati, dan melemparkannya jauh-jauh dari kediaman bahagia berakrab dengan-Mu. Lindungilah aku dari jerat makhluk-makhluk licik ini, yang telah tersesat dari jalan kebajikan dan kebijaksanaan, serta yang mendesak begitu dekat kepadaku. Apabila tidak demikian maka sesungguhnya aku akan sangat merugi."
***
Demikianlah, Yusuf melawan ketololan para wanita cantik itu, para pemuja diri sendiri. Mereka hanyalah bagai kelelawar yang mengitari matahari yang bersinar, dan hanya memiliki secuil harapan untuk menikmati persahabatannya yang bersinar.
Mereka kembali kepada Zulaikha lalu mendorong dan mendesaknya untuk melemparkan yusuf ke dalam penjara,
"Engkau, makhluk yang malang, yang diperlakukan demikian kejam, yang begitu patut untuk dicintai, yang dikecewakan demikian sakitnya! Memang betapa putra bidadari pun tak dapat dibandingkan dengan Yusuf, namun engkau tak mungkin bersatu dengannya. Kami telah mencoba segalanya dalam kemampuan kami untuk menggerakkan hatinya, tetapi tutur kata kami tak dapat menggigit tekadnya yang membaja.
Engkau harus membakar tungku penjara di sekelilingnya, pada waktu itu niscaya kemauan besinya akan melembut dalam tempaan. Itulah satu-satunya jalan pandai besi menempa logam. Apalah guna menempa besi dingin?"
Zulaikha membiarkan dirinya diyakinkan oleh lidah-lidah sihir itu, bahwa dengan jalan memenjarakannya ia akan berhasil memiliki kekasihnya. Demikianlah, ia mencari kesenangannya sendiri dalam penderitaan Yusuf, dan memutuskan untuk menyimpan kekayaannya dalam reruntuhan kesendirian.
Selama cinta belum mencapai kesempurnaan, usaha satu-satunya si pecinta adalah dengan memenuhi hawa nafsunya sendiri. Ketika ia menyintai seseorang, keuntungannya sendirilah yang dituju, dan semua tindakannya diperintah oleh rasa mementingkan diri sendiri.
Demi harumnya sekuntum mawar dari taman si kekasih, ia bersedia menusuk si tercinta dengan seratus duri.