Saturday, March 10, 2007

17. Y&Z - Hancurnya Berhala

Hati yang menderita karena kekasih akan menjadi kebal karenanya, baik terhadap segala bentuk kegembiraan maupun kesedihan. Tak ada kesedihan lain yang melekat pada jubah si pecinta. Tak ada kegembiraan lain yang mengelilinginya. Biarlah dunia menjadi samudera penderitaan baginya, dengan gelombang kesedihan setinggi gunung, niscaya sisi jubahnya pun tak akan basah. Dan apabila keberuntungan harus mempersiapkan suatu pesta kesenangan abadi baginya, ia akan memalingkan punggung atasnya. Tak ada yang dapat menyimpangkannya dan kesedihannya sendiri, yang tidak akan berkurang dalam cara bagaimanapun.

Zulaikha ibarat seekor burung dengan senandung dukanya. Baginya seluruh dunia adalah bagai sebuah sangkar sempit. Sekalipun ketika keberuntungan sedang tersenyum kepadanya, di mana ia hidup di atas pelaminan bertabur mawar di bawah naungan perlindungan Wazir, semuanya dibalut oleh segala macam kemewahan. Masih saja kesedihannya atas Yusuf selalu ada dalam jiwanya, dan ia tidak berbicara tentang apa pun kecuali ingatannya kepada Yusuf. Karena sekarang Wazir tak ada lagi, dan tak ada lagi yang tertinggal dari keberuntungannya dahulu. Kini, bayangan Yusuf adalah satu-satunya teman dan hatinya yang luka.

Ia mendapatkan jalan ke beberapa bangunan runtuh, dan ada suatu sudut yang dijadikan tempat tinggalnya. Ia tak dapat makan atau tidur, dan menangis tak berkesudahan, meratapi masa bahagia ketika ia menikmati hadirnya si kekasih dan telah menatap keindahannya seratus kali setiap hari. Lalu kebahagiaan itu telah direnggut darinya, ketika ia dengan kejam menyebabkan pemuda malang itu dipenjarakan. Bahkan pada waktu itu ia dapat mendekati ruang penjaranya di bawah liputan malam, dan menatap wajahnya.

"Sekarang tak ada yang tinggal bagiku kecuali hatiku yang bersedih dan tubuh yang sakit-sakitan. Yang aku miliki hanyalah bayangan yang selalu hadir dalam hatiku. Apabila ini pun lenyap, maka bagaimana aku dapat terus hidup, karena hal itu tak lain dari jiwa yang menghidupi tubuh ini."

Keluhannya tampak mengisi udara dengan suatu selubung kabut asap. Terkadang ia sobek wajahnya dengan kukunya, seakan memerlukan tinta merah untuk menulis riwayat kesedihannya. Tetapi itu adalah buku yang tak akan pernah dibaca oleh kekasihnya yang ahli mengungkap rahasia. Ia mengerahkan waktu bertahun-tahun, bersedih atas perpisahannya. Ketika tahun-tahun bergulir, kemudaannya melayu, dan rambutnya yang hitam legam menjadi putih susu. Fajar menyusuli malam gelap, dan menebarkan kapur atas rambutnya yang berwewangian kesturi.

Gagak telah melepaskan diri dari panah nasib, dan si punguk pun mengambil alih sarangnya. Matanya menjadi pucat seputih melati disapu air matanya. Wajahnya mengerut, dan ronanya yang segar menjadi layu. Kerutan dahi yang dahulunya sombong dan berpengaruh, sekarang tersebar pada seluruh wajahnya. Tubuhnya yang lurus dan ramping, sekarang menjadi bungkuk di bawah beban cinta. Dengan punggungnya yang melengkung, dan pandangan mata yang menunduk, ia tampak sedang berkelana di atas bumi yang berserap darah guna mencari keberuntungannya yang hilang.

Demikianlah ia hidup dalam kediaman itu selama berbulan dan bertahun, tanpa mahkota di kepalanya, tak ada gelang di kakinya, tidak ada hiasan satin terumbai dari bahunya, tak ada mutiara di telinganya atau rantai permata pada seputar lehernya. Tidak ada tirai brokat yang menaungi wajahnya. Debu di bawah kakinya adalah alas tidurnya, dan sebongkah batu bantalnya. Sesungguhnya, dengan cintanya kepada Yusuf, tempat tidur tanah ini lebih baik daripada pelaminan bidadari yang beralaskan sutra. Dengan ingatannya kepada Yusuf, batu di mana ia meletakkan kepala lebih pantas daripada kasur dari surga. Satu-satunya pelipur laranya adalah nama Yusuf yang selalu ada di bibirnya.

Di waktu ia masih memiliki kekayaan emas, perak dan permata, maka barangsiapa membawa kepadanya kabar tentang Yusuf, niscaya akan dilimpahinya dengan hadiah-hadiah yang mencengangkan. Tetapi pemberian terus-menerus semacam itu pada akhirnya telah mengosongkan peti-petinya. Sekarang perempuan malang itu harus berpuas diri dengan jubah dan bulu domba dan ikat pinggang dan batang kurma. Arus yang dulu sering datang membawa kabar tentang Yusuf, kini telah kering. Supaya tidak ditolak dari santapan ini, ia memutuskan untuk menetapkan kediamannya di tepi jalan yang biasa dilewati Yusuf, dengan demikian pada akhirnya ia setidak-tidaknya akan disuguhi bunyi iring-iringannya.

Kasihan makhluk malang yang tak berdaya ini, yang telah membiarkan kendali kehendak bebasnya tergelincir. Ia telah ditolak untuk bersatu dengan si kekasih. Nada hidupnya telah jatuh ke dalam konflik. Ia tak dapat menghirup nafas wewangian pemberi hidup dari si sahabat, dan tak ada utusan yang membawa kepadanya suatu kabar tentang si dia. Terkadang ia mengatakan rahasia kesedihannya kepada angin, atau bertanya kepada burung yang lewat demi suatu tanda dan sang kekasih. Apabila seorang musafir berlalu, dengan wajahnya yang tertutup oleh debu pengasingan, ia mencium kakinya dan membasuh debunya, kanena di sini ada seseorang yang datang dan kota si sahabat. Bahkan bilamana kekasihnya datang dengan menunggang kuda, ia tidak mampu menatap kecerlangannya, tetapi debu dan gemuruh rombongannya cukup untuk membangkitkan semangatnya.

***

Direndahkan oleh kesepian, Zulaikha membangun sebuah gubuk bambu di tepi jalan, di mana Yusuf biasa lewat. Di seputar gubuk itu ada pagar dan buluh, lengkap dengan seperangkat keluhan. Bilamana saja ia mulai meratapi kesedihannya, setiap batang buluh akan menggemakannya dalam simpati. Di sana ia biasa duduk, laksana kijang betina yang dikelilingi oleh panah.

Yusuf mempunyai seekor kuda perang bangsawan yang amat besar, berbintik sebagai langit berbintang, galak bagai gemuruh. Ia dapat melewati setiap mangsa dalam perburuan, dan selalu mandi keringat, karena demikian cepat ia berlari. Kuda itu merupakan kekayaan berjalan, dan tak pernah merasakan sedikit pun perihnya lecutan cambuk. Bilamana Yusuf menunggang di atas pelananya dan menekan pahanya ke sisinya, bunyi ringkiknya dapat di dengar sejauh bermil-mil, hingga oleh karena itu tak ada perlunya membunyikan genderang tanda mundur bilamana perkemahan diserang: serentak pasukannya akan berkumpul di sekitarnya bagaikan planet berkumpul di sekitar matahari. Dan Zulaikha pun akan mendengar huru-hara itu, kemudian lari keluar dari gubuk buluhnya untuk duduk di tepi jalan, sambil mengeluh dan menangis terisak-isak. Terkadang iring-iringan datang lewat di mana Yusuf tidak ada, dan anak laki-laki akan berlarian dan menggoda Zulaikha seraya berteriak-teriak, "Hai! Ini Yusuf datang, Yusuf dengan wajah tampan yang membuat iri matahari dan bulan!"

Tetapi Zulaikha menjawab,
"Tidak, anak nakal tersayang, aku tidak merasakan tanda keberadaannya. Tak ada gunanya membimbangkan hatiku yang terbakar dengan kelakarmu, karena aroma Yusuf belum merasuki rongga hidungku."

Sebaliknya, kadangkala ketika Yusuf sesungguhnya sedang mendekat, dengan iring-iringannya yang hebat, anak.anak nakal berteriak, "Tidak, tak ada pandangan tentang Yusuf, ia tak ada dalam iring-iringan itu!"

Tetapi Zulaikha akan menjawab,
"Jangan coba-coba mengelabuiku dan menyembunyikan si sahabat dariku! Bagaimana mungkin seseorang menyembunyikan pangeran pujaan dari kerajaan jiwa itu. Aromanya telah menghidupkan taman jiwa, bahkan bukan itu saja, ia menyegarkan seluruh dunia, dan jiwa yang disegarkan semacam itu menyadari dengan baik siapakah penyegar hidup itu!"

Ketika wanita yang bingung dan terbiarkan itu mendengar teriakan-teriakan tentara, "Lebarkan jalan, menjauhlah!" Ia pun akan mengeluh dan berkata,
"Seluruh hidupku telah dikerahkan untuk menjaga supaya selalu menjauh dan menanggung dengan sabar seluruh kesedihan perpisahan. Belum cukupkah aku menderita karena perpisahan? Apa yang tertinggal padaku untuk aku korbankan selain pengorbanan itu sendiri? Berapa lama aku harus tetap terputus dari si kekasih? Aku lebih suka terpisah dari hidupku sendiri !"

Setelah mengatakan hal ini, ia jatuh pingsan. Kemudian, ketika masih asyik dengan mangkuk kegembiraan yang meluap-luap, ia akan kembali ke lingkungan buluhnya, dan buluh-buluh itu akan menggemakan keluhan sedih dari jiwanya yang gersang. Demikianlah pola yang tetap dari hari-harinya.

***

Tak ada istirahat bagi si pecinta yang telah memberikan hatinya. Hasratnya yang penuh gairah meningkat waktu demi waktu. Saat-saat kepuasannya berlalu dalam sejenak, dan setiap saat ia maju kepada aspirasinya yang bahkan lebih besar. Sekali ia mencium wanginya mawar, ia ingin melihatnya, dan setelah melihatnya segera ia ingin memetiknya.

Demikian halnya, maka Zulaikha tidak lagi puas dengan duduk dan menanti di mana Yusuf lewat, sekarang ia merasakan hasrat untuk melihat Yusuf. Pada suatu malam ia sujud di hadapan berhala yang telah dipuja sepanjang hidupnya dan mengajukan doa kepadanya,

"Engkau yang keelokannya selalu merupakan tujuan hidupku, dan yang selalu aku sembah dengan pengabdian yang merendahkan diri, engkau yang melihat keadaanku yang terhina seperti sekarang, tak dapatkah engkau memulihkan lagi mutiara penglihatanku? Apabila aku harus selalu terpisah dari Yusuf, maka sekurang-kurangnya biarkanlah kiranya aku melihat wajahnya dari jauh. Selalu dan di mana-mana, itulah satu-satunya hasrat hatiku. Perkenankanlah keinginanku, karena hal itu berada dalam kekuasaanmu. Dan janganlah meninggalkan kepada nasib yang kejam ini. Jenis hidup apakah ini? Seratus kali lebih baik bagiku untuk menyeberang kepada yang ghaib.

Segera setelah matahari mengambil tempat di atas tahta kerajaannya di timur, ringkik kuda perang perkasa terdengar, Zulaikha pergi dan membungkuk bagai seorang perempuan pengemis di tepi jalan. Dan kedalaman hatinya ia mengangkat teriakan sedih, sebagaimana dilakukan orang-orang tak beruntung bila mereka memohon keadilan. Tetapi demikian besar riuhnya orang-orang dalam pertunjukan itu, dan tentara yang berseru-seru, "Menyingkir!" Kuda-kuda menderu bersaing dengan angin sehingga tak ada dalam seorang pun dalam iring-iringan itu yang memberikan perhatian sedikit pun kepadanya.

Dengan kehancuran segala harapannya sekarang, dan dengan mengeluarkan sedu sedannya hati yang patah serta keluhan-keluhan yang membakar, ia terhuyung-huyung kembali ke gubuknya yang bobrok. Di sana ia mengipas kesedihannya pada patung berhalanya.

"Batu celaka, yang menghancurkan jambang kehormatan dan pangkatku, rintangan pada segala usahaku! Engkaulah yang menutup kebahagiaan hatiku, sehingga patutlah apabila aku menghantammu dengan batu! Dengan membungkuk kepadamu, aku berangkat sepanjang jalan raya kesengsaraanku. Melalui semua permohonanku kepadamu, aku hanya menyingkirkan diriku dari setiap kesenangan di dunia ini dan di dunia berikut. Engkau tak lain dari sebongkah batu, dan sekarang aku akan melepaskan diri dari kekuasaanmu yang memalukan. Dengan bantuan sebongkah batu lain, aku akan menghancurkan mutiara kekuatanmu,"

Dengan berkata demikian, ia mengambil sebongkah batu dan, seperti Ibrahim, ia menghancurkan berhala itu dengannya, dan dari pecahan mendadak itu, muncul baginya suatu hiburan baru. Ia tercuci bersih dalam air matanya dan darah hatinya sendiri. Dan dengan dahinya yang tertempel debu, dengan sungguh-sungguh ia memohon keampunan dari Tuhan yang sesungguhnya,
"Wahai Cinta! Engkaulah yang berkuasa atas para berhala, dan atas pembuat dan penyembah berhala. Karena, kecuali apabila suatu berhala mencerminkan keindahan-Mu, tak ada yang akan pernah membungkuk kepadanya. Barangsiapa yang bersujud ke hadapan berhala berpikir bahwa dengan berbuat demikian ia menyembah Ilahi. Wahai Tuhan, apabila aku mempraktekan penyembahan berhala seperti itu, maka kepada diriku sendirilah aku berbuat lalim.

Kasihanilah, dan ampunilah aku atas kesalahan yang menyedihkan ini. Engkau telah merenggut dariku indera penglihatan yang amat berharga, karena selama ini aku menempuh jalan kesesatan. Sekarang, setelah Engkau mengebaskan dariku debu kesesatan, aku memohon kepada-Mu untuk mengembalikan pemberian yang Engkau ambil dariku. Biarlah hatiku disembuhkan dari luka-luka penyesalan, dan biarkanlah aku mendapatkan sekuntum tulip di taman Yusuf. Perkenankanlah aku melihat Yusuf walau sekejap."

Ketika Yusuf, yang dipertuan di Mesir, kembali melalui jalan itu, ia melihat lagi Zulaikha mengambil sikap di tepi jalan. Ketika ia lewat, Zulaikha berseru kepada Tuhan,
"Wahai Wujud Yang Suci, yang membuat raja menjadi budak rendah, dan memahkotai seorang budak dengan mahkota raja...."

Kata-kata itu sampai ke telinga Yusuf. Sambil berpaling kepada pengawalnya, ia bertanya, "Siapakah perempuan itu? Penyuciannya kepada Tuhan telah mengambil nafasku. Bawalah dia ke tempatku agar aku boleh bercakap-cakap dengannya secara pribadi. Aku hendak mendapatkan lebih banyak tentang keadaannya, dan bagaimana aku dapat memperbaiki nasibnya, karena ia telah menyerukan penyuciannya dalam suara yang patut dikasihani, hal itu membuat kesan yang menakjubkan dalam diriku. Kata-katanya tidak akan mengandung pengaruh seperti itu kepadaku, apabila ia bukan korban dari suatu kesialan yang mengerikan."

Betapa berharganya seorang raja yang peka dari orang-orang yang memohon keadilan, yang baginya suatu keluhan atau suatu pandangan sejenak saja sudah cukup untuk mengungkapkan ketulusan, atau sebaliknya.

Betapa bedanya dengan raja-raja di zaman kita, yang hanya mencari-cari dalih demi menumpuk emas.