Alangkah sedih melihat seseorang yang telah diberkati dengan kemakmuran, setelah dengan segala kesulitan mencapai kenikmatan pertemuan, dan menarik wanita cantik ke dalam pelukannya, dengan segala kesedihan karena ketidakhadirannya, dan hidup sementara dalam kebahagiaan murni, tiba-tiba diserang oleh badai kesukaran, tanda perpisahan, yang datang mengganas ke dalam taman persatuan dan menghancurkan pohon hasrat!
Sekarang, Zulaikha sedang dengan hasrat hatinya, dan dalam persatuannya yang terus-menerus dengan Yusuf yang akhirnya mendapatkan kedamaian pikiran, ia menjalani kehidupan panjang dan bahagia, bebas dan segala kerisauan duniawi. Kurma subur ini melahirkan anak-anak Yusuf, dan ada pula cucu. Tak ada suatu keinginan yang tidak diberikan kepadanya.
Tetapi pada suatu hari, Yusuf sedang di atas sajadah, dalam keadaan terjaga, ia di hadang oleh rasa kantuk hingga tertidur. Dalam mimpi ia melihat ayah dan ibunya, yang dikelilingi sebagai matahari dalam suatu lingkaran cahaya suci. Mereka memanggilnya,
"Wahai anakku! Hari-hari perpisahan telah berlangsung cukup lama. Bergegaslah untuk bergabung dengan kami, buanglah bentuk lahiriahmu yang dari lempung, dan lakukanlah perjalananmu ke tempat perhentian kafilah dari hati dan jiwa!"
Ketika terbangun, Yusuf pergi menemui Zulaikha lalu mengatakan kepadanya tentang mimpinya dan menerangkan maknanya. Bagi Zulaikha itu merupakan keterbangunan yang kasar dari impian-impiannya sendiri yang manis, serta hatinya terbakar oleh ketakutan akan kehilangan Yusuf.
Sikap Yusuf berubah, ia semakin tergugah untuk melakukan perjalanan ke dunia yang kekal. Ia hendak meninggalkan kediaman keserakahan dan hawa nafsu yang sempit ini, dan melakukan perjalanan ke istana luas dari dunia gaib. Letih dari dunia fana ini, ia merentangkan tangan dalam berdoa ke arah mihrab keabadian,
"Engkau yang telah memberi segala keinginan orang-orang miskin dan memahkotai kepala yang dimuliakan. Engkau telah mengaruniai aku kemakmuran, seperti yang belum pernah Engkau berikan kepada siapa pun dari hamba-hamba pilihan-Mu. Tetapi sekarang aku merasa terpenjara di kediaman fana ini, dan diberati oleh beban kekuasaan. Bukakanlah sebuah jalan kepada yang membebaskanku dari diriku sendiri dan bawalah aku kepada-Mu. Janganlah meninggalkanku bersama-sama dengan yang lamban. Berikanlah kiranya kepadaku suatu tempat di kalangan yang dekat dengan-Mu."
Kata-kata itu menusuk hati Zulaikha. Ia sangat mengetahui bahwa doa Yusuf akan membawa hasil, dan bahwa setiap anak panah yang ditembakkannya akan langsung mengenai sasaran. Maka ia pun mengundurkan diri ke suatu ruang yang gelap dan sempit, dan di sana, sedih oleh ancaman perpisahan, ia berkabung, menangis dan berdoa,
"Wahai, obat penyembuh bagi luka-luka orang yang menderita. Yang menaruh belas kasihan dan yang memperbaiki hati yang patah. Wahai hasrat hati dan yang sadar. Engkau yang membuka enam pintu kepada yang putus asa mencari jalan keluar, aku adalah tawanan dari hatiku sendiri yang terluka, dan terlempar sepenuhnya ke dalam kebingungan. Aku tak sanggup hidup tanpa Yusuf. Aku mohon kepada-Mu untuk mengambil nyawaku pada waktu yang sama ketika Engkau mengambil nyawanya. Aku tak punya keinginan lagi untuk hidup tanpa keelokan dan keindahannya. Tanpa dirinya, pohon kehidupan tak akan berdaun, dan kehidupan abadi adalah kematian. Apabila Engkau tidak menghendaki kami mati bersama, maka bawalah aku dahulu sebelum Engkau membawanya. Bahkan sedetik pun aku tak ingin melihat dunia yang keindahannya telah direnggut."
Demikianlah ia tinggal dalam kecemasan yang diliputi air mata, tak mampu membedakan siang dan malam
***
Keesokan harinya, ketika cahaya fajar melimpah memenuhi setiap hati dengan kesenangan, Yusuf dan para pengiringnya, dengan pakaian kebesaran, meninggalkan istana untuk pergi menunggang kuda.
Hampir belum ia meletakkan kakinya di sanggurdi ketika Jibril berkata kepadanya,
"Jangan berusaha untuk pergi lebih jauh, surga, yang dengan perlahan melusuhkan hidup, tidak akan mengizinkanmu untuk memasukkan kakimu ke sanggurdi yang satunya lagi. Kendalikan harapan dan urusanmu: lepaskan kakimu dari sanggurdi kehidupan!"
Ketika ia mendengar kabar gembira ini, Yusuf dipenuhi dengan kegembiraan sedemikian rupa sehingga ia segera lupa akan keberadaannya di bumi. Serentak ia tinggalkan semua pikiran untuk kekuasaan, dan memanggil salah seorang ahli warisnya datang kepadanya, supaya ia dapat mengalihkan semua wewenang kekuasaan dan menginstruksikannya tentang semua masalahnya. Kemudian ia menyuruh untuk memanggil Zulaikha demi mengucapkan selamat berpisah.
"Zulaikha diliputi kesedihan," kata mereka, "Terbaring dalam debu yang basah oleh air mata. Ia tak dapat menanggung pertemuan terakhir ini. Lebih baik membiarkannya dalam kedamaian."
Yusuf menjawab, "Aku khawatir kalau-kalau nafsu yang berkobar-kobar ini menawannya hingga ke hari pengadilan."
"Semoga Tuhan menganugerahinya ketenangan," kata mereka, "Karena dalam ketenangan terletak kekuatan."
Jibril mengulurkan kepada Yusuf sebuah apel, yang di saat kemudian telah merahmati taman keabadian. Setelah Yusuf mencium harumnya, ia menghembuskan nafas terakhir, dibangkitkan oleh wewangian surga yang diberikan buah itu, Yusuf bergegas menuju Taman Abadi.
***
Ketika Yusuf telah menghembuskan nafas terakhir, semua orang di sekitarnya mengeluarkan tangisan berkabung ke langit biru. Zulaikha menanyakan bunyi bising apakah itu, dan dikatakan kepadanya bahwa Yusuf telah menukar mahkotanya dengan keranda, mengucapkn selamat berpisah kepada kediaman terbatas di dunia ini, dan membuat rumah di istana abadi di balik ruang dan waktu.
Ketika mendengar kabar itu, Zulaikha pun jatuh tak sadarkan diri. Selama tiga hari ia terbaring terlentang bagaikan bayang-bayang di atas tanah. Pada hari kempat, ketika telah sadar, belum lagi ia menyadari apa yang telah terjadi, ia pun kehilangan kesadarannya lagi, tiga kali berturut-turut ia jatuh pingsan. Kemudian, ketika akhirnya tersadarkan, dan bertanya tentang Yusuf, ia tidak lagi mendapatkan jenazah maupun peti matinya. Yang dapat dikatakan orang kepadanya hanya bahwa Yusuf telah ditempatkan sebagai perbendaharaan di muka bumi.
Atas itu, ia menyobek kerah bajunya, seakan hendak memberi jalan keluar kepada api yang membara dalam hatinya, tetapi ternyata hanya lebih mengobarkan api itu. Ia menancapkan kuku pada pipinya yang seputih melati, seolah membuat saluran bagi air mata darahnya. Tak henti-hentinya ia memukul dada, menampar pipinya dan menjambak rambutnya, sambil terus berteriak memanggil Yusuf,
"Di manakah Yusuf, permata mahkota, pendukung para fakir miskin? Ketika ia memutuskan untuk berpisah ke kerajaan abadi, ia pergi begitu mendadak sehingga aku tak sempat bahkan mencium kakinya di sanggurdi. Telah ia tinggalkan istana dengan musuh yang semakin bertambah. Dan aku tidak berada di sana untuk melihatnya pergi, menatap kepalanya yang beristirahat di atas bantal, mencium pipinya yang pucat. Ketika pukulan berat itu menimpa, aku tak berada di sana guna menopangnya di dadaku. Tidak pula ratapan hatiku yang patah berkabung mengiringi kerandanya. Dan ketika mereka membuka tempat peristirahatan-nya, serta meletakkan mutiara mumi itu ke dalam tanah, aku tidak berada di sana untuk menyapu tanah dari dada dan bahunya, dan berbaring bersama dalam pelukannya!
Wahai, betapa ngeri akan kehilangannya! Betapa tak tertanggungkan penderitaan ini! Wahai kekasihku, lihatlah harapanku yang hancur lebur, lihatlah penderitaan yang ditimpakan nasib yang tak berhati kepadaku! Engkau telah pergi tanpa meninggalkanku meski sebuah senyuman. Engkau yang selalu begitu setia, kesetiaan jenis apakah ini? Beginikah perilaku kekasih? Engkau telah membuang aku dari hatimu dan telah meninggalkan aku terbaring di atas debu dan darah. Dengan tiba-tiba engkau telah menusukkan sebatang duri ke dalam hatiku, yang tak akan pernah keluar lagi, kecuali sebagai tanaman yang makan dari lempungku. Engkau telah berangkat melakukan perjalanan ke suatu tempat yang tak ada orang pernah kembali. Aku tak dapat berbuat lebih baik daripada mengepakkan sayapku lalu terbang menyusulmu ke sana."
Dengan berkata seperti itu, ia memerintahkan untuk menyiapkan tandunya lalu langsung pergi ke makam Yusuf. Di sana tak ada sesuatu tanda untuk mengenalinya, kecuali undukan tanah yang lembab. Di atasnya Zulaikha yang mulia menjatuhkan diri melekat laksana bayang-bayang. Ia mencium tempat di mana tubuh tercinta itu telah dibaringkan untuk beristirahat, dan meratapi kehilangannya dari kedalaman hatinya.
"Aduhai," keluhnya, "Engkau tersembunyi di bawah bagaikan akar-akar pohon mawar, sementara aku di atas sebagai cabang-cabangnya yang berbunga. Engkau adalah harta di bawah bumi, sementara aku adalah awan yang menurunkan hujan mutiara. Engkau telah meluncur bagai air yang mengalir ke dalam tanah, sedang aku ditinggal di puncak sebagai duri dan sekam. Ingatan kepadamu membuat darah menggelegah sepanjang lempungku. Kehilanganmu membuat sekam keberadaanku menyala, asapnya melingkar ke angkasa, membawa air mata kepada setiap mata!"
Demikianlah ratapan yang keluar bersama setiap nafas dari hatinya yang patah oleh kesedihan, ketika ia terbaring mengerang dan menggeliat di atas tanah. Akhirnya, ketika ratapannya telah melampaui segala batas, ia berlutut seakan hendak mencium bumi dalam penghormatan. Kemudian, dengan membenamkan jari-jarinya ke dalam kantong matanya, ia merenggutkan kedua biji matanya keluar dari tengkoraknya dan melemparkannya ke bumi, sambil berteriak,
"Tempat yang terbaik bagi umbi bakung adalah di tanah! Apa gunanya mata bagiku dalam taman yang penglihatan kepada wajahmu telah direnggutkan?"
Kemudian, sambil menekan wajahnya yang berlumuran darah ke tanah, ia menciumnya dalam doa sederhana lalu mengembuskan nafasnya yang terakhir.
Beruntunglah pecinta yang menghembuskan nafas terakhirnya dalam persatuan.
***
Teman-teman Zulaikha mengangkat dan meratapi nasibnya yang menyedihkan, meratapinya sebagaimana Zulaikha telah meratapi Yusuf. Ketika akhirnya ratapan mereka mereda, mereka pun bersiap-siap untuk mengurus penguburannya. Mula-mula mereka memandikannya dalam hujan air mata, sebagaimana daun bunga mawar dimandikan oleh hujan musim semi. Kemudian bagai kuncup melati, ia dibungkus dengan rapi dalam kain kafan hijau. Akhirnya mereka membaringkannya di sisi Yusuf. Tak ada yang pernah demikian bahagia untuk disatukan dalam kematian dengan si kekasih.
Betapa bahagianya Zulaikha sebagai pecinta, yang dipisahkan sedemikian rupa dari kekasihnya, mati demi menggabungkan jiwanya dengan Yusuf di tempat peristirahatannya yang sendirian! Tak ada orang yang pernah melangkah dengan lebih heroik kepada kematiannya sendiri daripada singa betina ini. Mula-mula ia membuat dirinya menjadi buta terhadap semua yang bukan kekasihnya, kemudian ia letakkan hidup baginya sendiri.
Semoga seribu rahmat dicurahkan kepadanya, dan semoga mata penglihatannya menjadi terang dengan melihat kekasihnya.