Tuesday, March 6, 2007

Sifat Yang Membelenggu

Ada sifat-sifat yang membelenggu kebebasan, ketika kita sedang bergerak berpusar menuju Arsy Allah. Sifat-sifat ini muncul dari dalam diri kita sendiri, sebagai bagian dari sifat kefasikan yang diilhamkan Allah kepada setiap manusia.

Agar kita bisa bergerak cepat menuju pusat pusaran, maka kita harus membebaskan diri dari belenggu itu. Sebab, selain menghabiskan energi, belenggu itu bisa memelantingkan kita. Bukan menuju pusat, tetapi ke arah luar pusaran.

Kalau itu terjadi, kita bakal semakin terjebak oleh keterbatasan dimensi-dimensi ruang, waktu, materi, energi, dan informasi. Kita tidak menjadi universal, tetapi parsial. Terkotak-kotak dalam sempitnya kehidupan dunia. Dalam ego pribadi kita. Dalam ego kelompok. Dalam ego kebendaan.

Dalam ego kekuasaan. Dan dalam berbagai macam ego kesenangan semu...

Sulitnya, sifat-sifat itu seringkali tidak kita sadari sebagai belenggu. Melainkan sebagai bagian dari eksistensi kita. Sehingga kita menganggapnya sebagai kewajaran yang harus terjadi.

Pernah kita bahas dalam TERPESONA DI SIDRATUL MUNTAHA, bahwa semakin tinggi dimensi langit, kemampuan pandang kita akan semakin tuas. Akan tetapi sekaligus semakin detil. Aneh memang. Biasanya, kalau semakin luas, akan kehilangan detilnya.
Ini seperti kasus yang kita bahas di depan, bahwa semakin menuju pusat, kita akan semakin meliputi segala sesuatu. Dan sekaligus semakin dekat dengan segala sesuatu. Kenapa? Karena kita tidak bergerak di dimensi dunia secara horisontal, melainkan bergerak lintas dimensi menuju langit ke tujuh. Seperti yang dialami oleh Rasulullah saw saat Mi'raj. Dan berujung di Sidratul Muntaha.

Di puncak langit itulah Rasulullah bisa melihat berbagai rahasia yang tidak pernah beliau ketahui. Di antaranya, betiau bisa melihat wajah jibril dalam bentuk yang sesungguhnya. Waktu itu, beliau juga bisa menyaksikan surga. Sebuah wilayah misterius yang belum pernah dilihat oleh siapa pun. Kecuali sesudah melewati hari kiamat.

Dan, lebih jauh, beliau diperlihatkan berbagai rahasia alam semesta yang tiada bandingnya. Pemandangan yang tidak bisa diakses oleh siapa pun, kecuali mereka bisa berada di puncak langit tersebut. Inilah perjalanan menembus seluruh dimensi ruang, waktu, materi, energi, dan informasi. Beliau berada sangat dekat dengan pusat pusaran alam semesta. Dengan Arsy Allah. Karena itu bisa mengakses berbagai rahasia dengan lebih leluasa.

QS. An Najm (53) : 13-18
Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain,
(yaitu) di Sidratil Muntaha.
Di dekatnya ada surga tempat tinggal,
Ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya.
Penglihatannya tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya.
Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.

Rasulullah saw telah berada sangat dekat dengan pusat pusaran alam semesta, dengan cara melakukan perjalanan khusus, menembus semua dimensi. Hal itu ditegaskan oleh Allah dalam ayat terakhir di atas: Sungguh dia (Muhammad) telah menyaksikan sebagian 'tanda-tanda' Tuhannya yang paling besar.

Dalam cerita yang berbeda, nabi Khidhr digambarkan bisa menembus dimensi informasi, yang nabi Musa pun tidak tahu. Karena itu, oleh Allah, nabi Musa disuruh berguru kepada nabi Khidhr. Beliau adalah orang yang kualitas kejiwaannya sudah sangat dekat dengan Arsy Allah. Sehingga dalam cerita tersebut, beliau dijadikan contoh.

Kenapa nabi Musa disuruh berguru kepada Khidhr, dan dianggap belum bisa menembus dimensi informasi? Sebaliknya, kenapa nabi Khidhr, sebagaimana juga Nabi Muhammad, bisa mendekat pusat pusaran, dan menyibak dimensi tersebut. Kuncinya ada pada sifat-sifat kemanusiaamya. Ada sifat-sifat yang bisa membelenggu gerakan kita menuju pusat. Salah satu contohnya ditunjukkan dalam kisah nabi Musa dan Nabi Khidhr tersebut.

Nabi Musa dikenal sebagai nabi yang berilmu tinggi, dengan mukjizat yang menakjubkan. Badannya tegap, fisiknya kuat, akalnya cerdas, memiliki mukjizat-mukjizat yang mengagumkan.

Beliau digambarkan bisa 'berdialog' secara langsung dengan Allah di gunung Sinai. Dan kemudian diberi mukjizat tongkat yang bisa berubah menjadi ular, telapak tangan yang bercahaya, dan tongkat yang bisa membelah lautan, ataupun memancarkan sumber mata air ketika dipukulkan ke batu.

QS. An Nisaa' (4) : 164
Dan (kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung.

QS. Ay Syu'araa' (26) : 63
Lalu Kami wahyukan kepada Musa: "Pukullah lautan itu dengan tongkatmu". Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar.

QS. Al Bagarah (2) : 60
Dan (ingatlah ) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman: "Pukullah batu itu dengan tongkatmu". Lalu memancarlah daripadanya dua betas mata air. Sungguh tiap-tiap suku telah mengetahui tempat minumnya (masing-masing) Makan dan minumlah rezki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan.

Namun demikian, beliau dianggap masih perlu menghilangkan salah satu sifat yang bisa membelenggu kedekatannya dengan Arsy Allah. Yaitu, perasaan bahwa beliau telah memiliki ilmu tinggi.

Suatu ketika beliau berpidato di hadapan umatnya. Kemudian ada yang bertanya: siapakah yang berilmu paling tinggi di antara manusia? Nabi Musa menjawab, bahwa beliaulah orangnya. Karena ia telah memperoleh berbagai mukjizat dari Allah, bisa menundukkan Fir'aun, dan bahkan bisa berbicara langsung dengan Allah.

Maka turunlah perintah Allah kepada nabi Musa agar beliau berguru kepada Khidhr. Seorang hamba Allah yang hidup menyepi, tak ingin menonjolkan diri, tapi memiliki ilmu tinggi. Beliau telah memperoleh rahasia dimensi informasi yang tak diketahui oleh nabi Musa.

Disanalah nabi Musa baru tahu bahwa ilmu Allah demikian luasnya. Apa yang telah dikuasainya, ternyata hanya sebagian kecil dari luasnya ilmu Allah. Beliau belum berada di puncak langit. Beliau baru berada di langit ke enam - dalam kisah Mi'raj nabi. Masih banyak rahasia yang belum beliau kuasai. Untuk mendekati pusat informasi itu beliau masih harus berguru kepada nabi Khidhr. Dan salah satu sifat yang masih membelenggu beliau adalah perasaan bahwa beliau telah berilmu tinggi. Paling tinggi diantara manusia.

QS. Al Kahfi (18) : 82
Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaamya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya".