Maka pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana kita bisa khusyuk dalam berkomunikasi dengan Allah lewat sistem informasi tersebut? Bagaimana pula kita bisa tahu bahwa dzikir dan do'a telah khusyuk. Dan bisakah semua itu diukur, supaya kita bisa memperoleh kemantapan?
lni memang pertanyaan yang sangat mendasar, dan tidak pernah terjawab dengan tuntas. Meskipun secara kualitatif, sebenarnya Allah telah mengajarkan cara mencapai kekhusyukan, dan sekaligus mengukurnya. Namun demikian, memang muncul berbagai persepsi dan pendapat tentang yang disebut khusyuk. Baik cara mencapainya, maupun cara mengukurnya.
Di antaranya ada yang berpendapat bahwa khusyuk adalah suatu kondisi dimana seseorang bisa berkonsentrasi penuh sehingga tidak ingat lagi akan sekitarnya. Pendapat yang lain mengatakan bahwa yang dimaksud khusyuk adalah suatu kondisi dimana kita bisa merelaksasi pikiran dan jiwa kita sehingga memperoleh jiwa yang tenang.
Dan, ada lagi lainnya yang berpendapat, bahwa yang dimaksud khusyuk adalah ketika kita bisa merasakan sedang dilihat Allah, karena kita tidak bisa melihatNya. Atau, mungkin masih ada lagi pendapat-pendapat lainnya yang berbeda.
Tapi, sebenarnya bagaimanakah yang dimaksud khusyuk menurut versi Al Qur’an? Dan bagaimana cara mencapai kekhusyukan itu? Dalam berbagai ayatNya, Allah menyinggung tentang kekhusyukan. Di antaranya adalah ayat berikut ini.
QS. Al Baqarah (2) : 45-46
Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu'
(yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.
Menurut ayat di atas, yang dimaksud khusyuk adalah orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan bertemu Tuhannya saat berkomunikasi, dan suatu ketika akan 'kembali' bertemu dengamya.
Definisi ini memang agak berbeda dengan kepahaman selama ini. Tapi kalau kita cermati isinya sungguh mendalam. Bahwa seseorang baru akan bisa khusyuk dan disebut telah khusyuk, jika dia menyadari dengan penuh keyakinan bahwa dia bisa bertemu dengan Allah. Baik dalam dzikir dan shalatnya, maupun suatu saat nanti ketika dia mati.
Inilah pondasi paling dasar untuk mencapai kekhusyukan, sekaligus definisinya. Jadi, orang yang tidak memantapkan keyakinan dalam hatinya bahwa dia akan bertemu Allah, disebut tidak khusyuk. Termasuk, dipastikan tidak akan bisa-khusyuk.
Berarti untuk bisa mencapai kekhusyukan tidak bisa instant. Melainkan membutuhkan proses kepahaman sampai memperoleh keyakinan. Bahwa Allah bisa ditemui, kapan pun dan dimana pun. Bahwa Allah demikian dekat dengan kita, lebih dekat dari urat leher kita sendiri. Bahwa Allah meliputi segala makhlukNya termasuk manusia. Bahwa kita harus mengerti konsep tauhid secara holistik. Karena itu, jika tauhidnya salah, dipastikan kita tidak akan bisa khusyuk.
Maka, kita lantas bisa memahami deretan ayat berikut ini, yang bercerita tentang orang yang bisa bertambah khusyuk setelah memahami Al Qur’an, kemudian menjadi beriman dan yakin atas petunjuk yang ada di dalamnya. Orang yang demikian itu bakal tersungkur bersujud, sambil menangis, berdoa dan berdzikir.
QS. Al Israa (17) : 106-110
Dan Al Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakamya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkamya bagian demi bagian.
Katakanlah: "Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama sekali). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata: "Maha Suci Tuhan kami; sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi". Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu'
Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu"
Deretan ayat di atas memberikan gambaran panjang lebar kepada kita tentang kekhusyukan dan cara mencapainya.
Yang pertama, kekhusyukan berkait erat dengan kepahaman kita terhadap isi Al Qur’an. Karena itu, Allah menurunkan Al Qur’an secara berangsur-angsur dan kemudian kita diperintahkan untuk membaca dan memahaminya secara perlahan-lahan.
Kedua, berdasar pada proses pembelajaran itu kita lantas menjadi yakin dan beriman kepada apa yang diajarkan oleh Allah. Berimanlah atau tidak lama sekali! Begitulah konsekuensinya. Tapi bagi orang yang berilmu pengetahuan, tidak bisa tidak, akan gemetar membaca al Quran yang berisi ilmu pengetahuan tingkat tinggi itu. Mereka bakal tersungkur dan bersujud.
Ketiga, dengan sendirinya mereka bakal bertasbih mengagungkan Allah, dengan mengucapkan: Maha Suci Allah. Maka, semakin mantaplah keyakinannya akan kebenaran Allah.
Keempat, puncaknya mereka tersungkur kembali, menangis sambil bersujud kepada Allah yang Maha Agung. Mereka bertambah khusyuk dalam ibadahnya.
Kalimat 'bertambah khusyuk' di atas menunjukkan bahwa proses yang dilalui itu sudah merupakan kekhusyukan. Mulai dari membaca Al Qur’an, memahami, meyakini, beriman, sampai puncaknya tersungkur, bersujud dan menangis.
Dan sebagai penutup dari deretan ayat itu, Allah mengajarkan sebuah tatacara yang semakin memantapkan kekhusyukan:
Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkamya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu"
Jadi substansi dari apa yang disebut khusyuk adalah: paham tentang Allah, kenal, yakin bisa bertemu, yakin bakal kembali kepadaNya, bertasbih dan bersujud sampai menangis, serta berdoa dan berdzikir dalam suara yang lembut...
Selain itu, untuk mencapai kekhusyukan, Allah memberikan contoh tambahan lewat kisah nabi Zakariya dan istrinya. Bahwa orang yang khusyuk, bukan hanya saat shalat. Tapi, seperti nabi Zakariya, yang selalu bersegera dalam berbuat kebaikan, dan harap-harap cemas ketika berdoa.
QS. Al Anbiyaa (21) : 90
Maka Kami memperkenankan do'anya (Zakariya), dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya dan Kami jadikan isterinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdo'a kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu kepada Kami.
Begitulah, kita perlu menyamakan persepsi dulu tentang apa yang disebut sebagai khusyuk. Agar pembahasan selanjutnya bisa lebih nyambung.
Maka, dalam bahasa yang lugas dan sederhana, khusyuk adalah perasaan bisa bertemu Allah ketika berdoa, berdzikir atau sembahyang. Bukan berarti bisa melihat dengan mata, atau mendengar dengan telinga, dan panca indera lainnya. Tetapi 'MERASA BERTEMU'. Dan kemudian bisa curhat, mencurahkan perasaan gundah gulananya, memohon bantuan kepada Allah. Ketika seseorang merasa 'plong' hatinya setelah curhat itu, berarti dia benar-benar telah bertemu Allah. Itulah khusyuk...
Dalam konteks berdzikir, khusyuk juga bermakna merasa bertemu Allah. Cuma, agak beda dengan berdo'a. Kalau berdo'a, isinya meminta pertolongan. Sedangkan dzikir bertujuan untuk membangun keakraban dengan Allah.
Karena itu isi dzikir adalah memuji kebesaran Allah, memuji keagungan Allah, memuji kekuasaan Allah, dan menegaskan ke-Esa-an-Nya.
Untuk apa? Apakah karena Allah senang dipuji-puji, dan diagung-agungkan? Kayaknya bukan. Sebab, bukankah tanpa kita puji, Allah sudah Maha Terpuji dengan segala sifatNya?
Allah cuma ingin mengajarkan positioning kepada kita. Siapakah DIA, dan siapakah kita. Dengan positioning yang tepat itu, kita akan bisa bertemu dengan Allah.
Jadi tujuan dzikir sebenarnya adalah latihan menyambungkan jiwa kita dengan Allah. Melatih untuk selalu bisa bertemu. Dan akhirnya 'MERASA SELALU BERTEMU' dengamya. Hal ini akan kita bahas dalam bagian terpisah di akhir pembahasan Diskusi ini. Bagaimanakah sebaiknya posisi hati kita saat melakukan dzikir. Dan kemudian barulah kita berdoa. Jadi dzikir sangat baik digunakan sebagai pengantar doa. Dalam kesempatan ini saya hanya ingin mengajak pembaca untuk memahami, bahwa kekhusyukan dzikir dan shalat kita itu bisa diukur. Bagaimana caranya?
Selama ini, yang kita tahu adalah mengukur secara' kualitatif seperti telah kita bicarakan di awal bagian ini. Bahwa jika kita sudah 'merasa bertemu' Allah, maka kita sebenarnya sudah melakukan ibadah itu dengan khusyuk. Dan kekhusyukan itu akan membekas, meskipun kita sudah selesai dzikir, do'a ataupun shalat. Itulah khusyuk yang sebaik-baiknya. Khusyuk di dalam shalat, dan khusyuk di luar shalat. Khusyuk saat berdzikir, khusyuk juga di luar dzikir.
Kini, kita bisa mengukur kekhusyukan dengan menggunakan peralatan modern. Di antaranya adalah dengan Kamera Aura. Kenapa kamera aura bisa mengukur kekhusyukan seseorang? Sebab, kamera ini bekerja berdasarkan sensor getaran yang dihasilkan oleh jiwa. Sementara itu, kita tahu bahwa jiwa kita bergetar-getar seiring dengan naik turunnya tingkat kekhusyukan. Di dalam dzikir maupun di luar dzikir. Di dalam sahalat atau pun di luarnya.
Orang yang tidak khusyuk adalah orang yang jiwanya sedang kacau, stress, bergejolak dalam emosi, egois, memberontak dan semacamnya. Sebaliknya orang yang khusyuk adalah orang yang jiwanya sedang tenang, tawadhu', sabar, ikhlas, dan berserah diri kepada Allah.
Dua kondisi yang berbeda itu ternyata menghasilkan getaran jiwa yang bertolak belakang. Orang yang sedang emosi akan memancarkan gelombang berfrekuensi rendah dengan amplitudo kasar. Jika diukur dengan alat perekam gelombang jantung misalnya, akan menghasilkan grafik yang bergejolak kasar pula. Dalam istilah orang awam, orang yang emosinya tinggi dikatakan memiliki hati yang kasar. Ucapan-ucapamya pun kasar, menyakitkan hati orang yang mendengarnya.
Sebaliknya, orang yang penyabar akan menghasilkan gelombang lembut. Hatinya lembut. Ucapan dan tindak tanduknya pun lembut. Menyenangkan dan menyejukkan hati orang-orang yang berada di sekitarnya.
Nah, pancaran gelombang itu bisa diukur. Hasilnya menginformasikan berbagai macam data tentang orang tersebut. Di antaranya bisa menunjukkan karakter. Tipikal kepribadian. Dan, bisa menunjukkan kemampuan kontrol diri yang terkait dengan kekhusyukan.
Alhamdulillah, sekitar 2 bulan sebelum menulis diskusi ini saya bisa membeli seperangkat alat Aura. Alat ini bisa memotret 'kepribadian' seseorang, dan juga bisa digunakan merekam secara video pergerakan batinnya.
Selama 2 bulan itu saya berkesempatan untuk mengamati banyak hal berkaitan dengan kekhusyukan dzikir. Bahkan karakter seseorang. Alat ini memang sangat bermanfaat.
Suatu ketika saya mencoba memotret kondisi keponakan saya yang sedang flu berat. Ia masih kanak-kanak. Ternyata, ia memancarkan warna merah. Padahal biasanya, anak-anak memancarkan aura berwarna-warni.
Aura merah memang menunjukkan getaran jiwa yang sedang bermasalah. Baik secara fisik maupun psikis. Di kali lain saya juga memotret seorang anak perempuan yang sedang beranjak dewasa. Usianya hampir 20 tahun. Ia mengaku sedang menanggung masalah yang berat. Ternyata, Ia juga memancarkan warna merah.
Maka, perempuan itu saya ajari berdzikir untuk mengatasi tekanan jiwanya. Ia berdzikir sampai menangis. Penuh penyesalan, memohon ampun kepada Allah. Dan berserah diri minta petunjuk menyelesaikan masalahnya.
Tiba-tiba auranya bergerak ke arah frekuensi tinggi. Dari semula merah, perlahan-lahan berubah ke arah oranye, kuning, hijau, biru, nila, ungu dan bersemu putih. Ia berdzikir penuh kekhusyukan. Dan berserah diri. Kejadian tersebut saya rekam dengan menggunakan kamera video. Hasilnya saya sajikan dalam VCD.
Di kali lain, saya merekam aura laki-laki dewasa yang penuh semangat dan vitalitas hidup. Ada beberapa orang. Ada yang berprofesi jadi pengusaha, ada yang salesman, ada pula yang karyawan di sebuah perusahaan multimedia.
Hasilnya merah agak jingga. Paling tinggi kuning keemasan. Mereka memiliki tipikal yang hampir sama, bersemangat, ambisius, sedikit meledak-ledak, memiliki cita-cita untuk menjadi orang sukses, dan egonya tergolong tinggi seiring dengan kemampuan memimpin dalam ketegasan.
Mereka mengakui, bahwa sifat-sifat mereka memang begitu. Uniknya, ternyata mereka memiliki kemampuan kontrol diri yang berbeda. Sehingga hasilnya auranya juga berbeda ketika disuruh mengendalikan perasaamya.
Saya memang selalu membandingkan aura yang direkam apa adanya, dengan aura yang direkam sambil bermeditasi, berdo'a atau berdzikir. Hasilnya menarik. Dua diantara beberapa orang itu, tidak mampu mengontrol dan meredam perasaannya. Maka selama beberapa menit rekaman itu pun warna mereka tidak berubah. Tetap saja bergerak naik turun di antara warna merah, jingga dan kuning.
Tapi salah satu di antara mereka bisa melakukan dzikir dengan efektif. Ternyata auranya bergerak ke arah frekuensi tinggi. Dari warna merah berubah ke arah jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu, bahkan ke arah warna putih.
lni sekali lagi menunjukkan, jiwa yang emosional dan jiwa yang tentram menghasilkan warna aura berbeda. Dan itu, bisa dikendalikan secara sengaja.
Di kali lain lagi, saya kedatangan tamu dua orang kawan saya. keduanya laki-laki. Profesi mereka adalah peneliti. Ilmuwan. Satunya doktor, dan yang lainnya S-2.
Saya coba merekam warna aura mereka. Saya sudah menduga aura mereka bakal berada di atas rata-rata. Yaitu di atas warna hijau. Sekitar biru, nila, dan ungu. Karena saya membaca dalam berbagai literatur, warna para ilmuwan kebanyakan di sekitar biru dan ungu.
Ternyata betul. Kawan saya yang S-2 di bidang Energi Nuklir itu memancarkan aura dengan dominan warna biru. Kadang-kadang bergeser ke arah ungu. Dan uniknya ketika dipakai berdzikir, auranya meningkat lebih tinggi lagi ke arah putih. Saya tahu, dia memang orang yang cukup tawadhu. Saya akrab dengan dia. Kami suka ngaji bareng.
Kawan yang kedua, seorang doktor Nuklir lulusan Prancis. Dia aktif dalam kegiatan masjid. Bahkan dia adalah ketua takmir masjid di lingkungan rumah tinggalnya. Auranya banyak didominasi warna ungu. Dan sering muncul warna putih ketika dia berdzikir...
Cerita menarik lainnya adalah ketika saya menerima tamu seorang muallaf berkebangsaan Swiss. la sudah sudah bekeluarga, kawin dengan wanita Indonesia. Selama hampir 2 jam kami berdiskusi tentang agama.
Dia sangat rasional dalam memandang agama. Dan begitulah memang budaya dia mengajarkan. "Saya tidak bisa mengikuti sesuatu yang saya tidak mengerti," tegasnya. Wah, saya senang bisa berdiskusi dengan orang yang berprinsip seperti ini. Bukankah Islam juga mengajarkan prinsip seperti itu. Saya sempat menunjukkan QS. 17:36, bahwa beragama memang tidak boleh ikut-ikutan. Segalanya menjadi lebih jelas patokan standarnya.
Dia sangat percaya diri terhadap apa yang telah diyakininya. Bahkan cenderung berlebihan, sehingga agak sulit menerima pendapat orang lain. Dia merasa dirinya sudah baik dan benar. Maka, dia merasa tidak terlalu perlu untuk shalat dan puasa, meskipun sudah masuk Islam.
Untuk apa shalat, kalau dia sudah bisa mencegah perbuatamya dari yang keji dan mungkar. Bukankah manfaat shalat adalah untuk mencegah dari perbuatan keji dan munkar? Begitu juga untuk apa berpuasa, kalau dia sudah merasa mampu mengendalikan diri lebih sabar dan punya empati pada penderitaan orang lain.
Ah, dia terlalu percaya diri, bahwa ia adalah orang baik dan benar, pikir saya. Saya sudah coba jelaskan kehebatan isi Al Qur’an lewat pedekatan rasional. Dan dia mengatakan, o ya saya no problem dengan Islam dan Al Qur’an. Saya kira semua agama sama saja. Mengajarkan kebaikan.
Akhirnya saya tawarkan kepada dia untuk mencoba kamera aura saya. Dia tertarik. Istrinya juga antusias. Mereka pernah membaca bahwa kualitas jiwa seseorang memang bisa diukur lewat auranya. Bahkan si Istri mengaku pernah berlatih melihat aura dengan mata telanjang.
Maka, keduanya pun saya bawa ke ruang laboratorium Aura. Beberapa menit mereka saya rekam di depan kamera. Sambil bercanda, si suami mencoba menebak warna auranya, penuh percaya diri. Saya kira, minimal warna aura saya kuning. Tapi, apa yang terjadi? Ternyata hasilnya: MERAH.
Dia termangu melihat hasil rekaman auranya di layar komputer. Saya tanya: ada komentar? Dia menggelengkan kepala, dengan pandangan menerawang. Entah apa yang ada di pikirannya..!
Setelah itu saya tunjukkan hasil rekaman orang lain yang bisa mengubah auranya dari merah meningkat menjadi ungu keputih-putihan dengan cara berdzikir. Sedangkan dia, tak pernah bisa beranjak dari warna merah tua, meskipun telah berusaha serileks mungkin...
Cerita tentang aura ini semakin menarik. Beberapa kali kami merekam aura orang yang sedang tidur, dan orang kesurupan. Kami ingin tahu, apakah warna aura orang yang sedang tidur. "Bukankah orang yang tidur berada dalam kondisi rileks sempurna?" begitu pikir kami. Maka kami siapkan sensor aura di tepi pembaringan, untuk pengamatan tersebut.
lni memang pertanyaan yang sangat mendasar, dan tidak pernah terjawab dengan tuntas. Meskipun secara kualitatif, sebenarnya Allah telah mengajarkan cara mencapai kekhusyukan, dan sekaligus mengukurnya. Namun demikian, memang muncul berbagai persepsi dan pendapat tentang yang disebut khusyuk. Baik cara mencapainya, maupun cara mengukurnya.
Di antaranya ada yang berpendapat bahwa khusyuk adalah suatu kondisi dimana seseorang bisa berkonsentrasi penuh sehingga tidak ingat lagi akan sekitarnya. Pendapat yang lain mengatakan bahwa yang dimaksud khusyuk adalah suatu kondisi dimana kita bisa merelaksasi pikiran dan jiwa kita sehingga memperoleh jiwa yang tenang.
Dan, ada lagi lainnya yang berpendapat, bahwa yang dimaksud khusyuk adalah ketika kita bisa merasakan sedang dilihat Allah, karena kita tidak bisa melihatNya. Atau, mungkin masih ada lagi pendapat-pendapat lainnya yang berbeda.
Tapi, sebenarnya bagaimanakah yang dimaksud khusyuk menurut versi Al Qur’an? Dan bagaimana cara mencapai kekhusyukan itu? Dalam berbagai ayatNya, Allah menyinggung tentang kekhusyukan. Di antaranya adalah ayat berikut ini.
QS. Al Baqarah (2) : 45-46
Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu'
(yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.
Menurut ayat di atas, yang dimaksud khusyuk adalah orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan bertemu Tuhannya saat berkomunikasi, dan suatu ketika akan 'kembali' bertemu dengamya.
Definisi ini memang agak berbeda dengan kepahaman selama ini. Tapi kalau kita cermati isinya sungguh mendalam. Bahwa seseorang baru akan bisa khusyuk dan disebut telah khusyuk, jika dia menyadari dengan penuh keyakinan bahwa dia bisa bertemu dengan Allah. Baik dalam dzikir dan shalatnya, maupun suatu saat nanti ketika dia mati.
Inilah pondasi paling dasar untuk mencapai kekhusyukan, sekaligus definisinya. Jadi, orang yang tidak memantapkan keyakinan dalam hatinya bahwa dia akan bertemu Allah, disebut tidak khusyuk. Termasuk, dipastikan tidak akan bisa-khusyuk.
Berarti untuk bisa mencapai kekhusyukan tidak bisa instant. Melainkan membutuhkan proses kepahaman sampai memperoleh keyakinan. Bahwa Allah bisa ditemui, kapan pun dan dimana pun. Bahwa Allah demikian dekat dengan kita, lebih dekat dari urat leher kita sendiri. Bahwa Allah meliputi segala makhlukNya termasuk manusia. Bahwa kita harus mengerti konsep tauhid secara holistik. Karena itu, jika tauhidnya salah, dipastikan kita tidak akan bisa khusyuk.
Maka, kita lantas bisa memahami deretan ayat berikut ini, yang bercerita tentang orang yang bisa bertambah khusyuk setelah memahami Al Qur’an, kemudian menjadi beriman dan yakin atas petunjuk yang ada di dalamnya. Orang yang demikian itu bakal tersungkur bersujud, sambil menangis, berdoa dan berdzikir.
QS. Al Israa (17) : 106-110
Dan Al Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakamya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkamya bagian demi bagian.
Katakanlah: "Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama sekali). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata: "Maha Suci Tuhan kami; sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi". Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu'
Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu"
Deretan ayat di atas memberikan gambaran panjang lebar kepada kita tentang kekhusyukan dan cara mencapainya.
Yang pertama, kekhusyukan berkait erat dengan kepahaman kita terhadap isi Al Qur’an. Karena itu, Allah menurunkan Al Qur’an secara berangsur-angsur dan kemudian kita diperintahkan untuk membaca dan memahaminya secara perlahan-lahan.
Kedua, berdasar pada proses pembelajaran itu kita lantas menjadi yakin dan beriman kepada apa yang diajarkan oleh Allah. Berimanlah atau tidak lama sekali! Begitulah konsekuensinya. Tapi bagi orang yang berilmu pengetahuan, tidak bisa tidak, akan gemetar membaca al Quran yang berisi ilmu pengetahuan tingkat tinggi itu. Mereka bakal tersungkur dan bersujud.
Ketiga, dengan sendirinya mereka bakal bertasbih mengagungkan Allah, dengan mengucapkan: Maha Suci Allah. Maka, semakin mantaplah keyakinannya akan kebenaran Allah.
Keempat, puncaknya mereka tersungkur kembali, menangis sambil bersujud kepada Allah yang Maha Agung. Mereka bertambah khusyuk dalam ibadahnya.
Kalimat 'bertambah khusyuk' di atas menunjukkan bahwa proses yang dilalui itu sudah merupakan kekhusyukan. Mulai dari membaca Al Qur’an, memahami, meyakini, beriman, sampai puncaknya tersungkur, bersujud dan menangis.
Dan sebagai penutup dari deretan ayat itu, Allah mengajarkan sebuah tatacara yang semakin memantapkan kekhusyukan:
Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkamya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu"
Jadi substansi dari apa yang disebut khusyuk adalah: paham tentang Allah, kenal, yakin bisa bertemu, yakin bakal kembali kepadaNya, bertasbih dan bersujud sampai menangis, serta berdoa dan berdzikir dalam suara yang lembut...
Selain itu, untuk mencapai kekhusyukan, Allah memberikan contoh tambahan lewat kisah nabi Zakariya dan istrinya. Bahwa orang yang khusyuk, bukan hanya saat shalat. Tapi, seperti nabi Zakariya, yang selalu bersegera dalam berbuat kebaikan, dan harap-harap cemas ketika berdoa.
QS. Al Anbiyaa (21) : 90
Maka Kami memperkenankan do'anya (Zakariya), dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya dan Kami jadikan isterinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdo'a kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu kepada Kami.
Begitulah, kita perlu menyamakan persepsi dulu tentang apa yang disebut sebagai khusyuk. Agar pembahasan selanjutnya bisa lebih nyambung.
Maka, dalam bahasa yang lugas dan sederhana, khusyuk adalah perasaan bisa bertemu Allah ketika berdoa, berdzikir atau sembahyang. Bukan berarti bisa melihat dengan mata, atau mendengar dengan telinga, dan panca indera lainnya. Tetapi 'MERASA BERTEMU'. Dan kemudian bisa curhat, mencurahkan perasaan gundah gulananya, memohon bantuan kepada Allah. Ketika seseorang merasa 'plong' hatinya setelah curhat itu, berarti dia benar-benar telah bertemu Allah. Itulah khusyuk...
Dalam konteks berdzikir, khusyuk juga bermakna merasa bertemu Allah. Cuma, agak beda dengan berdo'a. Kalau berdo'a, isinya meminta pertolongan. Sedangkan dzikir bertujuan untuk membangun keakraban dengan Allah.
Karena itu isi dzikir adalah memuji kebesaran Allah, memuji keagungan Allah, memuji kekuasaan Allah, dan menegaskan ke-Esa-an-Nya.
Untuk apa? Apakah karena Allah senang dipuji-puji, dan diagung-agungkan? Kayaknya bukan. Sebab, bukankah tanpa kita puji, Allah sudah Maha Terpuji dengan segala sifatNya?
Allah cuma ingin mengajarkan positioning kepada kita. Siapakah DIA, dan siapakah kita. Dengan positioning yang tepat itu, kita akan bisa bertemu dengan Allah.
Jadi tujuan dzikir sebenarnya adalah latihan menyambungkan jiwa kita dengan Allah. Melatih untuk selalu bisa bertemu. Dan akhirnya 'MERASA SELALU BERTEMU' dengamya. Hal ini akan kita bahas dalam bagian terpisah di akhir pembahasan Diskusi ini. Bagaimanakah sebaiknya posisi hati kita saat melakukan dzikir. Dan kemudian barulah kita berdoa. Jadi dzikir sangat baik digunakan sebagai pengantar doa. Dalam kesempatan ini saya hanya ingin mengajak pembaca untuk memahami, bahwa kekhusyukan dzikir dan shalat kita itu bisa diukur. Bagaimana caranya?
Selama ini, yang kita tahu adalah mengukur secara' kualitatif seperti telah kita bicarakan di awal bagian ini. Bahwa jika kita sudah 'merasa bertemu' Allah, maka kita sebenarnya sudah melakukan ibadah itu dengan khusyuk. Dan kekhusyukan itu akan membekas, meskipun kita sudah selesai dzikir, do'a ataupun shalat. Itulah khusyuk yang sebaik-baiknya. Khusyuk di dalam shalat, dan khusyuk di luar shalat. Khusyuk saat berdzikir, khusyuk juga di luar dzikir.
Kini, kita bisa mengukur kekhusyukan dengan menggunakan peralatan modern. Di antaranya adalah dengan Kamera Aura. Kenapa kamera aura bisa mengukur kekhusyukan seseorang? Sebab, kamera ini bekerja berdasarkan sensor getaran yang dihasilkan oleh jiwa. Sementara itu, kita tahu bahwa jiwa kita bergetar-getar seiring dengan naik turunnya tingkat kekhusyukan. Di dalam dzikir maupun di luar dzikir. Di dalam sahalat atau pun di luarnya.
Orang yang tidak khusyuk adalah orang yang jiwanya sedang kacau, stress, bergejolak dalam emosi, egois, memberontak dan semacamnya. Sebaliknya orang yang khusyuk adalah orang yang jiwanya sedang tenang, tawadhu', sabar, ikhlas, dan berserah diri kepada Allah.
Dua kondisi yang berbeda itu ternyata menghasilkan getaran jiwa yang bertolak belakang. Orang yang sedang emosi akan memancarkan gelombang berfrekuensi rendah dengan amplitudo kasar. Jika diukur dengan alat perekam gelombang jantung misalnya, akan menghasilkan grafik yang bergejolak kasar pula. Dalam istilah orang awam, orang yang emosinya tinggi dikatakan memiliki hati yang kasar. Ucapan-ucapamya pun kasar, menyakitkan hati orang yang mendengarnya.
Sebaliknya, orang yang penyabar akan menghasilkan gelombang lembut. Hatinya lembut. Ucapan dan tindak tanduknya pun lembut. Menyenangkan dan menyejukkan hati orang-orang yang berada di sekitarnya.
Nah, pancaran gelombang itu bisa diukur. Hasilnya menginformasikan berbagai macam data tentang orang tersebut. Di antaranya bisa menunjukkan karakter. Tipikal kepribadian. Dan, bisa menunjukkan kemampuan kontrol diri yang terkait dengan kekhusyukan.
Alhamdulillah, sekitar 2 bulan sebelum menulis diskusi ini saya bisa membeli seperangkat alat Aura. Alat ini bisa memotret 'kepribadian' seseorang, dan juga bisa digunakan merekam secara video pergerakan batinnya.
Selama 2 bulan itu saya berkesempatan untuk mengamati banyak hal berkaitan dengan kekhusyukan dzikir. Bahkan karakter seseorang. Alat ini memang sangat bermanfaat.
Suatu ketika saya mencoba memotret kondisi keponakan saya yang sedang flu berat. Ia masih kanak-kanak. Ternyata, ia memancarkan warna merah. Padahal biasanya, anak-anak memancarkan aura berwarna-warni.
Aura merah memang menunjukkan getaran jiwa yang sedang bermasalah. Baik secara fisik maupun psikis. Di kali lain saya juga memotret seorang anak perempuan yang sedang beranjak dewasa. Usianya hampir 20 tahun. Ia mengaku sedang menanggung masalah yang berat. Ternyata, Ia juga memancarkan warna merah.
Maka, perempuan itu saya ajari berdzikir untuk mengatasi tekanan jiwanya. Ia berdzikir sampai menangis. Penuh penyesalan, memohon ampun kepada Allah. Dan berserah diri minta petunjuk menyelesaikan masalahnya.
Tiba-tiba auranya bergerak ke arah frekuensi tinggi. Dari semula merah, perlahan-lahan berubah ke arah oranye, kuning, hijau, biru, nila, ungu dan bersemu putih. Ia berdzikir penuh kekhusyukan. Dan berserah diri. Kejadian tersebut saya rekam dengan menggunakan kamera video. Hasilnya saya sajikan dalam VCD.
Di kali lain, saya merekam aura laki-laki dewasa yang penuh semangat dan vitalitas hidup. Ada beberapa orang. Ada yang berprofesi jadi pengusaha, ada yang salesman, ada pula yang karyawan di sebuah perusahaan multimedia.
Hasilnya merah agak jingga. Paling tinggi kuning keemasan. Mereka memiliki tipikal yang hampir sama, bersemangat, ambisius, sedikit meledak-ledak, memiliki cita-cita untuk menjadi orang sukses, dan egonya tergolong tinggi seiring dengan kemampuan memimpin dalam ketegasan.
Mereka mengakui, bahwa sifat-sifat mereka memang begitu. Uniknya, ternyata mereka memiliki kemampuan kontrol diri yang berbeda. Sehingga hasilnya auranya juga berbeda ketika disuruh mengendalikan perasaamya.
Saya memang selalu membandingkan aura yang direkam apa adanya, dengan aura yang direkam sambil bermeditasi, berdo'a atau berdzikir. Hasilnya menarik. Dua diantara beberapa orang itu, tidak mampu mengontrol dan meredam perasaannya. Maka selama beberapa menit rekaman itu pun warna mereka tidak berubah. Tetap saja bergerak naik turun di antara warna merah, jingga dan kuning.
Tapi salah satu di antara mereka bisa melakukan dzikir dengan efektif. Ternyata auranya bergerak ke arah frekuensi tinggi. Dari warna merah berubah ke arah jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu, bahkan ke arah warna putih.
lni sekali lagi menunjukkan, jiwa yang emosional dan jiwa yang tentram menghasilkan warna aura berbeda. Dan itu, bisa dikendalikan secara sengaja.
Di kali lain lagi, saya kedatangan tamu dua orang kawan saya. keduanya laki-laki. Profesi mereka adalah peneliti. Ilmuwan. Satunya doktor, dan yang lainnya S-2.
Saya coba merekam warna aura mereka. Saya sudah menduga aura mereka bakal berada di atas rata-rata. Yaitu di atas warna hijau. Sekitar biru, nila, dan ungu. Karena saya membaca dalam berbagai literatur, warna para ilmuwan kebanyakan di sekitar biru dan ungu.
Ternyata betul. Kawan saya yang S-2 di bidang Energi Nuklir itu memancarkan aura dengan dominan warna biru. Kadang-kadang bergeser ke arah ungu. Dan uniknya ketika dipakai berdzikir, auranya meningkat lebih tinggi lagi ke arah putih. Saya tahu, dia memang orang yang cukup tawadhu. Saya akrab dengan dia. Kami suka ngaji bareng.
Kawan yang kedua, seorang doktor Nuklir lulusan Prancis. Dia aktif dalam kegiatan masjid. Bahkan dia adalah ketua takmir masjid di lingkungan rumah tinggalnya. Auranya banyak didominasi warna ungu. Dan sering muncul warna putih ketika dia berdzikir...
Cerita menarik lainnya adalah ketika saya menerima tamu seorang muallaf berkebangsaan Swiss. la sudah sudah bekeluarga, kawin dengan wanita Indonesia. Selama hampir 2 jam kami berdiskusi tentang agama.
Dia sangat rasional dalam memandang agama. Dan begitulah memang budaya dia mengajarkan. "Saya tidak bisa mengikuti sesuatu yang saya tidak mengerti," tegasnya. Wah, saya senang bisa berdiskusi dengan orang yang berprinsip seperti ini. Bukankah Islam juga mengajarkan prinsip seperti itu. Saya sempat menunjukkan QS. 17:36, bahwa beragama memang tidak boleh ikut-ikutan. Segalanya menjadi lebih jelas patokan standarnya.
Dia sangat percaya diri terhadap apa yang telah diyakininya. Bahkan cenderung berlebihan, sehingga agak sulit menerima pendapat orang lain. Dia merasa dirinya sudah baik dan benar. Maka, dia merasa tidak terlalu perlu untuk shalat dan puasa, meskipun sudah masuk Islam.
Untuk apa shalat, kalau dia sudah bisa mencegah perbuatamya dari yang keji dan mungkar. Bukankah manfaat shalat adalah untuk mencegah dari perbuatan keji dan munkar? Begitu juga untuk apa berpuasa, kalau dia sudah merasa mampu mengendalikan diri lebih sabar dan punya empati pada penderitaan orang lain.
Ah, dia terlalu percaya diri, bahwa ia adalah orang baik dan benar, pikir saya. Saya sudah coba jelaskan kehebatan isi Al Qur’an lewat pedekatan rasional. Dan dia mengatakan, o ya saya no problem dengan Islam dan Al Qur’an. Saya kira semua agama sama saja. Mengajarkan kebaikan.
Akhirnya saya tawarkan kepada dia untuk mencoba kamera aura saya. Dia tertarik. Istrinya juga antusias. Mereka pernah membaca bahwa kualitas jiwa seseorang memang bisa diukur lewat auranya. Bahkan si Istri mengaku pernah berlatih melihat aura dengan mata telanjang.
Maka, keduanya pun saya bawa ke ruang laboratorium Aura. Beberapa menit mereka saya rekam di depan kamera. Sambil bercanda, si suami mencoba menebak warna auranya, penuh percaya diri. Saya kira, minimal warna aura saya kuning. Tapi, apa yang terjadi? Ternyata hasilnya: MERAH.
Dia termangu melihat hasil rekaman auranya di layar komputer. Saya tanya: ada komentar? Dia menggelengkan kepala, dengan pandangan menerawang. Entah apa yang ada di pikirannya..!
Setelah itu saya tunjukkan hasil rekaman orang lain yang bisa mengubah auranya dari merah meningkat menjadi ungu keputih-putihan dengan cara berdzikir. Sedangkan dia, tak pernah bisa beranjak dari warna merah tua, meskipun telah berusaha serileks mungkin...
Cerita tentang aura ini semakin menarik. Beberapa kali kami merekam aura orang yang sedang tidur, dan orang kesurupan. Kami ingin tahu, apakah warna aura orang yang sedang tidur. "Bukankah orang yang tidur berada dalam kondisi rileks sempurna?" begitu pikir kami. Maka kami siapkan sensor aura di tepi pembaringan, untuk pengamatan tersebut.
Kali pertama, kami rekam seorang wanita. Dan kali berikutnya dua orang laki-laki. Pada kondisi biasa si wanita itu selalu memancarkan aura berwarna hijau, biru, ungu, atau tak jarang berwarna keputih-putihan.
Ketika rekaman itu dimulai, auranya masih bergeser-geser di antara warna biru dan ungu. Dia masih dalam kondisi sadar penuh, selama beberapa menit. Lantas, dia terlihat mulai memasuki kantuknya. Warnanya mulai bergeser ke arah nila dan ungu. Puncaknya, ketika dia tak mampu menahan kantuknya, dan sempat tertidur untuk beberapa saat. Ternyata, auranya terpancar berwarna ungu sempurna. Oh, ternyata benar dugaan kami bahwa tidur adalah relaksasi sempurna. Dan itu diwakili oleh warna ungu.
Kondisi ini sesuai dengan berbagai literatur tentang meditasi. Bahwa puncak sebuah meditasi adalah relaksasi sempurna. Karena itu meditasi bisa menyebabkan terjadinya proses pemulihan kebugaran badan. Kalau kita capai, kita bisa beristirahat dengan cara tidur. Maka kebugaran kita akan kembali. Tetapi, kebugaran itu pun bisa kita dapatkan dengan cara bermeditasi. Hasilnya, badan kita juga kembali bugar.
Nah, kondisi ini ternyata bisa dideteksi dengan kamera aura. Orang yang berada di dalam kondisi bugar, rileks sempurna, akan memancarkan warna ungu. Kondisi jiwa dan fisiknya sedang dalam kualitas terbaiknya.
Warna ungu, juga kita dapatkan dari orang-orang yang usai menjalani terapi pijat. Dan olah raga pagi. Kondisi badan dan pikiramya sedang benar-benar rileks.
Pada orang-orang yang memilki aura dasar berwarna merah, ketika dia dalam kondisi tidur, ternyata juga memancarkan warna ungu. Beberapa kali kami melakukan pengamatan tersebut.
Sehingga kami memperoleh kesimpulan yang berharga, bahwa warna aura memang bisa digeser ke arah frekuensi tinggi -warna ungu- dengan cara merelaksasi pikiran dan tubuh kita.
Jika seseorang mengalami ketegangan fisik maupun jiwa, maka pancaran auranya akan begeser ke arah merah. Sebaliknya, kalau berada dalam kondisi rileks jiwa dan raganya, aura bakal bergeser ke arah ungu.
Kasus orang kesurupan, ternyata mirip dengan kejadian orang tidur. Kebetulan, ketika sedang melakukan pemotretan di sebuah perguruan tinggi di Malang, ada orang yang sedang kesurupan. Maka, orang tersebut kami potret dan kami rekam secara video. Hasilnya menarik. la memancarkan warna ungu. lni mengindikasikan bahwa orang tersebut memang sedang kesurupan. Hilang kesadaran. Seperti orang yang tidur pulas. Yang aktif adalah jin yang masuk ke dalam dirinya. Dan ketika, usai disembuhkan dengan bacaan doa-doa dari dalam Al Qur’an, rekaman auranya menunjukkan warna-warni yang dinamis lagi. Ia telah kembali memperoleh kesadarannya.
Pertanyaan lain muncul berkait dengan warna putih. Darimanakah munculnya warna putih? Karena kami berkali-kali melihat pancaran warna putih pada orang-orang tertentu yang sedang kami rekam.
Warna putih bukanlah warna yang frekuensinya di atas ungu. Putih akan muncul jika seluruh warna digabungkan menjadi satu. Sebagaimana spektrum pelangi jika disatukan lewat prisma akan menghasilkan warna putih. Tentu saja ini sangat menarik untuk diamati. Dan pada kasus orang tidur, yang mengambarkan kondisi rileks sempurna, ternyata warnanya bukan putih melainkan ungu.
Jadi, kapankah warna putih muncul? Ternyata dari orang-orang yang banyak berdzikir dan berdo'a kepada Allah. Orang-orang yang khusyuk. Warna putih adalah warna keselarasan. Bergabungnya seluruh spektrum dalam skala yang seimbang dan harmonis.
Warna putih seringkali saya amati terjadi pada orang-orang yang bisa berdzikir dengan khusyuk. Bahkan meskipun semula ia memancarkan aura merah. Jika, kemudian ia bisa berdzikir dengan khusyuk, maka warna aura itu akan bergeser kearah ungu. Dan memuncak di warna putih jernih.
Saya jadi teringat adzan Subuh. Salah satu kalimat yang diucapkan muadzin adalah: ashshalatu khairum minamaum. Bahwa shalat adalah lebih baik daripada tidur.
Selama ini kita bertanya-tanya, benarkah shalat itu lebih baik dari pada tidur? Apa kelebihan shalat daripada tidur. Dan bagaimana mengukurnya? Ternyata, hal itu telah bisa dibuktikan lewat kamera aura! Warna putih tidak muncul dari orang yang serileks apa pun. Bahkan tidak muncul dengan cara meditasi apa pun. Ia hanya muncul karena kepasrahan dan kekhusyukan seorang hamba yang bermunajat kepada Tuhannya...
Karena itu, ketika mendengar kalimat tersebut kita diajari untuk mengucapkan: Shiddiq ya rasulullah - Benar engkau ya rasulullah... Subhanallah...!