Shalat adalah sebuah meditasi energi. Kenapa dikatakan demikian? Karena shalat harus dilakukan dengan penuh kekhusyukan dan konsentrasi agar kita bisa berkomunikasi dengan Allah. Selain itu, doa-doa yang kita baca dalam shalat ternyata menghasilkan energi positif, yang kekuatannya bergantung pada kekhusyukan kita.
Harus kita ingat, bahwa tujuan utama Shalat kita adalah berdzikir kepada Allah. Agar dzikir kita tersebut bermakna, maka kita harus bisa menghadirkan Allah dalam setiap kalimat maupun gerakan gerakan shalat yang sedang kita jalani. Kalau yang terjadi justru kita ingat segala macam, maka tujuan utama shalat kita itu menjadi tidak tercapai.
Apa yang harus kita lakukan agar meditasi energi kita berhasil. Yang pertama, harus kita pahami bahwa kuncinya adalah hati. Hati lebih berfungsi untuk merasakan dan memahami. Sedangkan pikiran (otak) lebih berfungsi, untuk berpikir, mengingat, menganalisa. Pikiran (otak) ada di dalam kepala, sedangkan Hati ada di dalam dada. Dengan pemahaman ini, berarti kita harus mempasifkan pikiran kita yang ada di kepala, dan kemudian mengaktifkan hati yang ada di dalam dada.
Rasakanlah bahwa ketegangan yang terjadi tidak di kepala melainkan di dada. Atau dengan kata lain, janganlah berpikir tentang apa pun termasuk Allah, tetapi rasakanlah atau 'fahami' kehadiran Allah.
Dengan bahasa yang berbeda, bisa juga dikatakan: pasifkanlah panca indera. Kemudian aktifkanlah indera ke enam atau hati. Kenapa demikian? Karena Allah tidak bisa kita lihat dengan mata, atau kita dengar dengan telinga, atau dengan potensi panca indera kita. Yang bisa kita lakukan adalah 'merasakan' atau 'memahami' kehadiran Allah dengan hati atau dengan indera ke enam.
QS. Al A'raaf (7) : 179
“Dan sesungguhnya Kami, jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebi sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.”
Lihatlah, dalam ayat, ini Allah menyejajarkan penggunaan hati, dengan mata dan dengan telinga Artinya, Allah ingin memberikan kesan kepada kita bahwa fungsi hati adalah seperti panca indera, tetapi dengan mekanisme yang berbeda. Hati digunakan untuk memahami. Artinya, meskipun seseorang tidak bisa melihat dia tetap bisa memahami sesuatu dengan hatinya. Demikian pula, meskipun seseorang tidak bisa mendengar, dia tetap bisa memahami suatu persoalan, dengan cara yang lain.
Pemahaman yang ditangkap oleh hati lebih substansial dibandingkan dengan pancaindera. Memang kebanyakan manusia memahami sekitarnya lewat panca indera. Tetapi kita tahu bahwa orang yang melihat belum tentu memahami apa yang dia lihat. Orang yang mendengar juga belum tentu memahami apa yang dia dengar. Demikian pula orang yang meraba, belum tentu memahami apa yang dia raba. Tetapi kejadiannya bisa sebaliknya, bahwa seseorang bisa memahami pesoalan tertentu tanpa dia harus melihat, atau mendengar atau merabanya.
Karena itu, secara logika praktis, kita bisa melakukan meditasi tertentu, dan kemudian memahami ‘suatu persoalan’ secara langsung tanpa menggunakan panca indera kita. Cara inilah yang kita gunakan untuk mengkhusyukkan shalat kita. Panca indera kita pasifkan, dan yang kita aktifkan hati kita.
Cara ini juga yang digunakan Allah untuk menurunkan wahyu kepada para nabi dan rasul. Beliau-beliau memperoleh pemahaman wahyu itu tanpa harus melewati panca indera kemudian ke otak, melainkan langsung dipahami oleh hati. Hati yang sudah sangat tajam dan lembut, akan memperoleh pemahaman langsung yang lebih akurat dibandingkan pemahaman lewat panca indera. Karena panca indera dengan berbagai keterbatasannya seringkali malah menipu pemahaman kita.
Jadi yang kita lakukan dalam shalat kita itu, pada dasarnya adalah mencoba merasakan kehadiran Allah, sambil melakukan resonansi energi doa-doa yang kita baca untuk membuka hati kita. Mekanisme ini meniru mekanisme turunnya wahyu kepada para rasul, seperti saya jelaskan di atas. Demikian pula, cara ini seperti yang dilakukan oleh nabi Muhammad ketika berada di Sidratul Muntaha, saat Mi'raj di langit yang ke tujuh.
Maka apakah yang sedang terjadi ketika seseorang khusyuk di dalam shalatnya? Dia sebenarnya sedang melatih hatinya untuk bergetar mengikuti getaran-getaran lembut yang dipancarkan oleh doa-doa yang sedang dia ucapkan. Tetapi tentu saja, doa yang penuh dengan pemahaman. Bukan sekedar hafalan.
Jika ini yang terjadi dalam shalat kita, maka hati (indera ke enam) kita ini seperti sedang direparasi oleh Allah. Bintik-bintik hitam seperti kata Rasulullah akibat dosa-dosa kita itu, secara bertahap akan menghilang, sesuai dengan tingkat kekhusyukan kita. Jika sebelumnya hati kita tidak bisa beresonansi (bergetar) akibat banyak melakukan dosa, maka kekhusyukan shalat kita itu akan melembutkannya. Seperti sebuah pijat relaksasi yang kita lakukan terhadap badan kita ketika kita terlalu tegang atau capai. Maka, kekakuan hati kita akan mulai sirna. Hati menjadi lebih gampang bergetar oleh doa dan ayat-ayat yang kita baca pada saat shalat. Sebagaimana disebutkan Allah bahwa hati orang orang yang beriman itu gampang bergetar ketika disebut nama Allah.
Bahkan Allah mengatakan, bukan hanya hatinya yang lembut, tetapi kulitnya juga akan ikut melembut. Ketika tercapai tingkatan ini, maka efek psikologisnya hidup kita akan menjadi tentram. Orang yang hidupnya tentram, sabar, tidak grusa grusu, dan penuh keikhlasan, akan menemui keteraturan dan kedamaian selama di dunia dan di akhirat. Masalah boleh berdatangan dalam hidupnya, tetapi ia menghadapinya dengan penuh ketenangan, dan tawakal kepada Allah Sang Maha Perkasa dan Maha Menyayangi.