Thursday, March 1, 2007

Tata Cara Ibadah Haji



Peninggalan lain dari Keluarga Ibrahim adalah tatacara ibadah haji. Kalau kita cermati, tatacara ibadah haji ini merupakan upaya untuk mengenang apa yang telah dilakukan oleh keluarga Ibrahim. Kenapa demikian? Agaknya Allah ingin memberikan penghargaan kepada keluarga Ibrahim, dan sekaligus agar kita meneladaninya.

Sepanjang hidupnya, beliau memberikan contoh bagaimana seharusnya kita menjalani agama ini : mulai dari mencari dan mengenal Allah, sampai pada bagaimana seharusnya kita mengikhlaskan diri untuk menghamba kepada Sang Perkasa, sebagai puncak kualitas keagamaan kita.

Dalam diskusi ini saya tidak akan terlalu masuk kepada fiqih ibadah Haji, namun lebih kepada pemahaman makna yang berkembang di sekitar tatacara peribadatan itu. Sebagaimana kita ketahui, rukun atau fardhu Haji terdiri dari 4 bagian, yaitu:

1. Mengenakan baju Ihram
2. Wukuf di Arafah
3. Thawaf Ifadah
4. Sa'i antara Shafa dan Marwah

Apakah makna dari berbagai aktivitas yang menjadi rukun haji itu? Saya melihatnya sebagai satu rangkaian pelajaran yang ingin diberikan Allah kepada kita. Agaknya ibadah haji itu merupakan realisasi dari firman Allah di dalam QS An Nisaa' : 125

Dalam ayat itu Allah mengatakan bahwa orang-orang yang paling baik dalam beragama adalah orang-orang yang telah memasrahkan dirinya kepada Allah, dengan penuh keikhlasan, sebagaimana telah dicontohkan oleh nabi Ibrahim dan keluarganya. Sehingga ayat tersebut ditutup oleh Allah dengan ungkapan : Allah telah mengangkat Ibrahim menjadi kesayangannya.

Untuk itulah kita melakukan rangkaian ibadah haji. Agar dalam jarak dekat kita bisa terinduksi alias ketularan kualitas nabi Ibrahim dalam beragama. Dalam kerangka ini saya ingin memberikan makna dalam tatacara peribadatan haji yang dilakukan di tanah haram itu. Secara umum, keempat rukun haji itu memiliki tujuan bertahap untuk menyerap keikhlasan Ibrahim dan keluarganya. Mulai dari pengkondisian, perenungan, penyerapan, dan pemantapan.

Yang pertama, adalah mengenakan baju Ikhram. Ini adalah tahap pengkondisian. Sebelum kita menjalani proses peribadatan, maka kita diwajibkan untuk mengenakan kain putih tak berjahit untuk menutupi tubuh kita, kecuali yang perempuan. Termasuk, pada waktu itu kita tidak boleh berhias dan menggunakan pewangi. Kita mesti tampil apa adanya. Secara sekilas, bisa ditarik kesimpulan umum bahwa Allah menginginkan kita untuk tidak ‘terlalu hirau’ lagi dengan urusan duniawi. Duniawi itu secukupnya saja. Fungsional saja. Karena dunia ini hanya sementara. Hanya berfungsi sebagai sarana saia. Tujuan yang sesungguhnya adalah kehidupan akhirat. Bertemu dengan Allah swt.

Bahkan ada yang memberikan gambaran, bahwa pemakaian baju ikhram itu mengingatkan kita kepada ‘pakaian’ yang kita gunakan pada saat meninggal dan dikuburkan. Pada saat itu kita menghadap Allah hanya menggunakan kain kafan, berwarna putih. Persis seperti saat berikhram.

Diharapkan, dengan berikhram itu kita selalu ingat bahwa kita sedang menunaikan ibadah haji. Karena itu harus tunduk dan khusyuk. Pengkondisian semacam ini dalam beberapa peribadatan islam sangatlah penting. Sebagaimana dalam shalat. Kita mesti mengkondisikan terlebih dahulu hati dan jiwa kita dengan berwudlu, dan berpakaian serta mencari tempat yang suci dan bersih. Lantas memantapkan niat. Maka, diharapkan proses peribadatan selanjutnya bisa kita jalani dengan sepenuh hati dan kekhusyukan.

Yang kedua, wukuf. Makna bahasanya adalah berhenti. Jadi dengan wukuf itu kita diharapkan berhenti sejenak, mulai Dhuhur sampai Maghrib, untuk melakukan perenungan atau kontemplasi di Padang Arafah. ini merupakan puncak ibadah haji.

Perenungan ini bersifat umum, untuk mengevaluasi diri kita. Juga, seluruh perjalanan kehidupan kita, sampai hari ini. Berapa banyak kebaikan-kebaikan yang telah kita amalkan. Sebaliknya, berapa besar dosa-dosa dan kesalahan yang telah kita lakukan. Kita memohon ampunan kepada Allah, Dzat Sang Maha Penyayang dan Maha Pengampun. Sekaligus, kita juga memohon bimbingan agar seluruh perjalanan hidup kita selalu berada di jalan yang diridhoiNya. Dan, akhirnya kembali kepadaNya dalam keadaan yang khusnul khotimah.

Tahap ketiga, adalah thawaf. Pada tahap ini kita memantapkan perenungan pada saat wukuf dengan gerakan-gerakan berputar sambil berdoa kepada Allah. Esensinya mirip ibadah shalat. Karena itu permulaan Thawaf juga dimulai dengan semacam takbiratul ihram : bismillaabi wallaabu akbar (Dengan Nama Allah, dan Allah Maha Besar). Dan juga dengan cara mengangkat tangan, ke arah Ka'bah atau hajar Aswad.

Kalau kita bandingkan keduanya, antara shalat dan Thawaf memang sangat mirip. Kedua-duanya harus didahului dengan wudlu. Kedua-duanya juga harus diisi dengan berdoa dan berkonsentrasi dalam kekhusyukan. Kedua peribadatan itu juga dimulai dengan takbir dan mengangkat tangan menghadap ke arah Ka'bah. Dan keduanya juga melakukan gerakan-gerakan yang berdasar pada gerak melingkar.

Hal ini akan saya jabarkan pada bagian-bagian berikutnya, bahwa ternyata gerakan melingkar dalam sebuah medan gaya bisa menyebabkan munculnya energi yang sangat bermanfaat buat kita.

Sehingga saya katakan bahwa disinilah kita melakukan penyerapan energi ilahiah itu lewat kedekatan dan interaksi gerak melingkar dengan Ka'bah. Putaran orang berthawaf itu ternyata telah menghasilkan energi gelombang elektromagnetik yang sangat besar, bersifat positip, dan mampu mengobati berbagai ketidak seimbangan energi dalam jiwa maupun tubuh manusia.

Dan yang keempat, adalah sa'i antara Shafa dan Marwah. Bagian keempat ini lebih bersifat pemantapan keimanan kita. Seakan akan Allah mengingatkan kepada kita betapa luar biasanya keikhlasan nabi Ibrahim dan keluarganya dalam menjalankan perintah Allah.

Bisa kita bayangkan, betapa nabi Ibrahim pernah diperintahkan Allah untuk meninggalkan istri dan anak kesayangannya di sebuah padang tandus, cikal bakal kota Mekkah itu. Tidak terbayangkan bagaimana mereka bisa hidup di daerah seperti itu. Akan tetapi, karena semua itu adalah perintah Allah, sang Maha Tahu dan Maha Bijaksana, maka mereka pun menjalaninya dengan taat dan penuh keikhlasan.

Awalnya Ibrahim dan Siti Hajar pun gelisah. Sehingga diceritakan, ketika Hajar telah ditinggalkan oleh Ibrahim, ia bersama bayi Ismail kesulitan air. Maka ia berlarian kesana kemari untuk mencari sumber air, antara bukit Shafa dan Marwah. Akhirnya memang terbukti, bahwa Allah selalu memberikan jalan keluar yang berada diluar jangkauan pemikiran, kepada mereka yang taat dan ikhlas kepadaNya. Sumur Zam-zam pun menjadi salah satu ‘keajaiban’ dunia, karena tidak pernah kering dan meluber, selama ribuan tahun. Momentum itulah yang oleh Allah diabadikan dalam Sa'i. Seolah-olah kita diingatkan betapa dahsyatnya kualitas keimanan dan keikhlasan Ibrahim beserta keluarganya. Sehingga sudah seharusnya kita meneladaninya. Apalagi, ketika Ibrahim pun ikhIas saat diperintah oleh Allah untuk mengorbankan anak kesayangannya, Ismail. Lagi-lagi, itu menunjukkan betapa luar biasa kesungguhan Ibrahim dalam beragama dan menghambakan diri kepada Allah, sang Maha Perkasa. Karena itu, sangatlah pantas ketika Allah menyebut Ibrahim sebagai nabi kesayanganNya. Dan, kita pun disuruh mempelajari keteladanan itu dengan cara berhaji.