Maukah kita beragama dengan terpaksa? Saya kira hampir setiap orang akan mengatakan tidak mau. Akan tetapi, pada kenyataannya banyak di antara kita beragama dengan terpaksa. Terpaksa oleh apa? Banyak hal yang bisa membuat kita terpaksa untuk melakukan aktivitas keagamaan kita.
Ada yang terpaksa menjalankan agama Islamnya karena keluarganya dikenal orang sebagai keluarga yang agamis. Ada juga yang terpaksa shalat karena malu pada mertuanya atau atasannya. Dan ada pula yang ‘terpaksa’ menjalankan agama sebagai taktik politik, dan untuk meraih tujuan tertentu semata. ya, sangat banyak di sekitar kita orang menjalani agama dengan terpaksa atau 'dipaksa' oleh lingkungan eksternalnya.
Namun selain itu, sebenamya ada keterpaksaan yang berasal dari dalam diri kita sendiri. Keterpaksaan semacam ini biasanya disebabkan oleh ketidak mengertian kita terhadap apa yang kita lakukan. Jika kita tidak mengerti tentang makna dan manfaat shalat, misalnya, tentu kita lantas melaksanakan shalat itu dengan rasa terpaksa.
Yang sering kita temui, keterpaksaan kita dalam menjalankan ibadah karena kita diancam dengan 'dosa'. Kalau kita tidak menjalankan
perintah, kita divonis akan masuk neraka. Nah, ketakutan inilah yang menyebabkan kita terpaksa menjalani agama kita.
Sehingga yang terjadi dalam proses kehidupan beragama kita sangatlah menyedihkan. Dengan memeluk agama, kita justru merasa terbelenggu! Barangkali ada yang tidak setuju dengan pemyataan ini. Tetapi marilah kita secara jujur melihat dan bertanya ke dalam hati kita sendiri. Pernahkah kita merasa terbelenggu oleh aturan agama kita? Kalau kita mau jujur, pasti kita akan mengatakan : ya, sering!
Kapan kita merasa terbelenggu? Mungkin ketika kita sedang sibuk bekerja, lantas terdengar kumandang adzan. Banyak di antara kita, yang barangkali berpikir : “Ah, nanti saja, sekarang masih sibuk ... “ Pikiran ini, sebenamya, secara tidak langsung menyatakan bahwa shalat itu bukanlah sebuah kerinduan untuk menjalaninya. Melainkan sebuah kewajiban yang ‘membelenggu’ aktifitas dan keasyikan kita. ‘Ah, shalat ini merepotkan saja’ barangkali begitu kalau dinyatakan secara vulgar.
Bukti keterbelengguan kita oleh 'agama' juga bisa dirasakan ketika kita didatangi oleh seorang peminta-minta. Ketika kita sedang asyik menikmati radio di dalam mobil, tiba-tiba ada gelandangan yang meminta uang di perempatan lampu merah. Sebenarnya Rasulullah mengajarkan kepada kita untuk menolongnya, tetapi barangkali yang terbetik dalam pikiran kita saat itu adalah : ‘Ah, gelandangan ini mengganggu saja’
Nah, kalau kita perluas, contoh-contoh keterpaksaan itu demikian banyak dalam keseharian kita. Mulai dari menjalankan ibadah shalat, puasa, zakat, haji, sampai kepada berbagai perbuatan amar makruf nahi munkar, serta tolong menolong dalam kehidupan. Dengan kata lain, perintah agama ini terasa membelenggu ‘keasyikan dan kenikmatan’ kehidupan kita. Lantas muncul kesimpulan bahwa agama adalah belenggu?! Lho, benarkah demikian? Tentu tidak demikian. Tetapi, kalau tidak benar, dimanakah letak kesalahan berpikir kita?
Semestinya, logika umum kita mengatakan bahwa beragama ini dimaksudkan untuk mencari kenikmatan hidup. Bukan untuk mencari persoalan hidup. Apalagi merasa terbelenggu,dan sempit kehidupannya. Kalau kita merasa agama ini sebagai belenggu, maka pasti ada yang salah dengan pemikiran dan proses beragama kita. Allah sendiri mengajarkan kepada kita untuk berdoa mohon kenikmatan, misalnya dalam surat berikut ini .
QS. Al Fatihah : 6-7
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalannya orang-orang yang Engkau beri kenikmatan, bukan jalannya orang-orang yang Engkau murkai, dan bukan jalannya orang-orang yang tersesat”
Jadi bisa kita simpulkan, agama Islam ini justru adalah sebuah jalan yang memberikan 'pembebasan' kepada kita dari berbagai belenggu dunia. Sehingga, ujung-ujungnya kita. akan memperoleh kenikmatan di sepanjang hidup kita. Bukan hanya nanti pada akhir kehidupan kita, tetapi sekarang pun dan sepanjang kita. menjalani agama ini.
Bagaimana caranya agar kita tidak merasa terbelenggu oleh Islam, tetapi justru memperoleh kenikmatan dalam beragama? Kuncinya hanya satu, yaitu jalanilah agama ini dengan keikhlasan. Bukan dengan keterpaksaan. Kalau kita menjalani agama ini dengan terpaksa, maka segala aktivitas kita itu akan sia-sia saja. Percuma! Persoalannya, keikhlasan itu kan tidak bisa dipaksa-paksakan. Karena itu, kita harus memahami secara benar tujuan kita melakukan ibadah tersebut.
Rasulullah sendiri mengatakan : betapa banyaknya orang yang menjalani puasa, tidak memperoleh makna puasanya, kecuali banyak mendapat lapar dan dahaga. Kenapa bisa demikian? Ya, karena kita tidak mengerti apa maksud kita melakukan puasa itu. Dikiranya, puasa itu hanya sekadar 'kewajiban' untuk tidak makan, tidak minum, tidak berhubungan seksual, dan menahan segala yang membatalkan puasa. Tidak! Kalau hanya itu yang kita pahami, maka benarlah apa yang dikatakan Rasulullah tentang tidak bermanfaatnya puasa tersebut bagi kita.
Sesungguhnya, kita harus memahami makna puasa itu sendiri. Bahwa puasa adalah sebuah proses untuk mencapai jiwa yang terkendali, alias takwa. Maka, seharusnya puasa kita hayati sebagai sebuah latihan yang sungguh-sungguh dengan target-target yang jelas. Bukan sekadar menggelinding apa adanya, karena orang orang di sekitar kita juga berpuasa.
Kalau kita sudah memiliki pemahaman yang benar, maka puasa kita. Insya Allah tidak terpaksa lagi. Bukan sekadar agar tidak berdosa, atau sekadar menggugurkan kewajiban. Tetapi betul-betul kita lakukan dengan keikhlasan dan kecintaan yang tulus untuk memperoleh kualitas ketakwaan yang tinggi, yang disebut sebagai takwa yang sungguh sungguh ittaqullaaha haqqatuqaatihii ... ).
Contoh ini bisa kita perluas kepada aktivitas-aktivitas peribadatan yang lain seperti shalat, zakat, haji, dan lain sebagainya. Kalau kita amati orang shalat misalnya, barangkali sinyalemen Rasulullah tentang sia-sianya kita beribadah itu, bisa jadi juga berlaku. Kalau diucapkan barangkali menjadi demikian : “Betapa banyaknya orang shalat yang tidak inemperoleh makna shalat, kecuali hanya olahraga saja.”
Ya, barangkali kita juga bisa bertanya kepada diri sendiri: apakah kita sudah memahami tujuan kita melakukan shalat? Jangan jangan kita masih berpikiran bahwa shalat kita itu hanya sekadar memenuhi kewajiban dari Allah saja. Seakan-akan Allah butuh untuk kita sembah. Sama sekali tidak!
Biar kita tidak shalat. Biar kita tidak puasa, tidak berhaji, tidak berzakat dan tidak mengamalkan seluruh ibadah yang 'dianjurkan' Allah, Dia sama sekali tidak terganggu KemuliaanNya dan KebesaranNya. Sebagaimana Allah mengatakan dalam kitabNya.
QS. Ibrahim (14) : 8
“Dan Musa berkata : jika kamu dan orang-orang yang ada di bumi semuanya mengingkari (Allah) maka sesungguhnva Allah Maha Kaya Jagi Maha Terpuji
Allah tidak punya ‘kepentingan’ terhadap ibadah kita yang punya kepentingan adalah diri kita sendiri Allah hanya ‘menganjurkan’ kepada kita untuk menjalankan ibadah, karena itu baik buat kita. Kalau kita tidak menjalankannya Allah sama sekali tidak dirugikan. Tetapi justru kita sendirilah yang akan rugi. Kenapa demikian? Karena, sesungguhnya seting kehidupan ini telah dibuat dengan aturan main tertentu. Agar lebih jelas, saya berikan gambaran.
Kehidupan manusia dan agama ini bisa diumpamakan seperti antara sebuah mobil dan buku manualnya. Manusia diumpamakan mobil, agama diumpamakan buku petunjuk (buku manual).
Jika kita membeli mobil, maka kita selalu memperoleh buku petunjuk tentang bagaimana kita harus mengoperasikan dan merawatnya. Misalnya, kapan kita harus mengganti oli kapan harus mengganti timing belt, bagaimana mengganti filter BBM, bahkan sampai bagaimana kita harus mengoperasikan dan mengendarai mobil kita. Kalau kita tidak benar dalam melakukan tata cara tersebut, maka dijamin mobil kita akan rusak lebih cepat dari yang seharusnya!
Manusia juga demikian adanya. Al Quran adalah buku manual kehidupan manusia. Di dalam Al Quran kemudian diperjelas dengan Hadits Allah mengajarkan bagaimana caranya kita menjalani kehidupan ini. Kenapa demikian? Karena ternyata, banyak manusia hidup yang tidak tahu bagaimana caranya 'hidup'. Mereka 'awur-wuran' dalam menjalani hidup, sehingga porak porandalah kehidupan mereka.
Allah sama sekali tidak dirugikan oleh kebodohan dan kebengalan kita. Tetapi karena Allah sangat menyayangi kita, maka Allah mengingatkan dan memberi tahu agar kita tidak terperosok ke dalam persoalan-pesoalan yang membuat kita menderita hidup di dunia, dan kemudian juga di Akhirat. Dengan kata lain, jika ingin hidup selamat di dunia dan di akhirat, ikutilah petunjuk Allah yang diajarkan lewat Rasulullah Muhammad saw.
Kenapa kita harus percaya kepada petunjuk agama? Pertanyaan tersebut saya balik : kenapa kita harus percaya kepada buku manual yang disertakan ketika kita beli mobil ? Tentu Anda akan menjawab.: ya, karena pabrik itulah pembuatnya, tentu dia lebih tahu bagaimana seharusnya kita merawat mobil tersebut. Nah, jawabannya sama persis : ya, kita sepantasnya percaya kepada Al Quran dan Hadits, karena Allahlah yang menciptakan kita, maka Dia sangat memahami bagaimana seharusnya kita ini menjalani hidup.