Ada beberapa pertanyaan esensial, yang menyentuh tauhid, ketika kita mendiskusikan kenapa kita mesti menghadap Ka'bah pada saat shalat. Dalam kerangka pemikiran Fisika modern, saya telah mengemukakan bahwa penyatuan arah kiblat itu berfungsi untuk memfokuskan getaran-getaran gelombang elektromagnetik dari seluruh energi yang dipancarkan umat Islam, pada saat mereka shalat maupun berthawaf. Agaknya, ini menjadi mekanisme dalam interaksi antara Allah dengan hamba-hambaNya.
Namun untuk lebih meyakinkan, secara filosofis, agaknya kita perlu mendiskusikan kembali tentang keberadaan Allah. Diskusi tentang hal ini seringkali memang sangat rawan. Tetapi, daripada tidak jelas tertangkap oleh pemahaman kita, saya lebih memilih untuk mendiskusikan saja secara terbuka. Toh, Nabi Ibrahim juga mengalami proses yang sama tentang ketauhidan ini. Meskipun awalnya salah salah, toh akhirnya beliau memperoleh kesimpulan yang sangat mendalam dan mengesankan tentang eksistensi Allah. Sehingga, Ibrahim pun jadi kesayangan Allah.
Sebagaimana Ibrahim muda, kita mesti selalu bertanya dimanakah Allah? Selama pertanyaan ini belum terjawab dengan tuntas, maka akan selalu menghantui benak kita. Dan akan mengganggu kualitas peribadatan kita. Ya, karena kita tidak pernah tahu dan tidak pernah yakin dimana Allah berada. Sehingga kontak kita dengan Allah pun menjadi tidak jelas 'jluntrungannya'
Dimanakah Allah? Apakah Dia berada di Surga? Apakah Dia berada di langit, sebagaimana kita selalu berdoa dengan tengadah? Ataukah Dia berada di dalam hati kita? Ataukah Dia berada di akhirat? (Tapi akhirat itu dimana?) Ataukah Dia berada di Ka'bah? yang jelas, Allah mengatakan bahwa Dia bersemayam di Arsy. Tetapi dimana jugakah Arsy Allah itu? Semuanya perlu diperjelas.
Biasanya untuk gampangnya, lantas beberapa di antara kita menyarankan agar tidak memperpanjang diskusi tentang eksistensi Allah, karena bisa menjurus pada kemusyrikan. Tetapi kalau saya, pendapat semacam itu justru berbahaya karena eksistensi Allah dalam benak kita menjadi tidak jelas. Kenapa tidak kita tiru Ibrahim saja. Meskipun salah-salah di awalnya, akhirnya ketemu juga.
Kalau disebut musyrik, Ibrahim juga pernah musyrik, karena menganggap matahari, bulan dan bintang adalah Tuhan. Toh pada akhirnya Allah menunjukkan jalan yang sebenarnya. Semua itu karena Ibrahim pantang menyerah untuk menuju kepada Allah. Dengan tekad yang besar dan usaha terus menerus, tujuannya untuk mencari Allah akhirnya berhasil.
Maka, kembali kepada pertanyaan ‘dimanakah Allah’, marilah kita kumpulkan semua jawaban yang mungkin, kemudian kita bahas, satu per satu.
Apakah Allah tinggal di 'rumah'Nya di Ka'bah, baitullah?' Tentu jawaban ini sangatlah naif. Sudah pasti Allah tidak bertempat tinggal di Ka'bah. Baitullah, atau 'Rumah Allah' itu hanya menunjukkan kepemilikan, bahwa rumah suci itu milik Allah. Sama sekali tidak menunjuk kepada tempat tinggal.
Tidak ada satu ayat pun dan secuil informasi hadits pun yang menyebut bahwa Allah 'tinggal' di Ka'bah, seperti dituduhkan oleh banyak orang di luar Islam, bahwa seakan akan umat Islam ini menyembah Ka'bah dimana Allah bertempat tinggal. Apalagi lantas menyembah batu hitam, Hajar Aswad. Kedudukan Ka'bah dalam peribadatan umat Islam tidak lebih hanya sebagai kiblat, yang secara teknis telah saya uraikan di depan, tentang manfaatnya.
Lantas, apakah Allah berada di surga? Seberapa luaskah surga itu, sehingga dikatakan Allah tinggal di sana. Bukankah Allah Maha Besar? Allah adalah Dzat yang 'Paling Besar' di antara semua eksistensi yang bisa kita sebut. Jika Allah berada di dalam surga, berarti surga itu lebih besar daripada Allah. Maka, berarti Allah tidak Maha Besar. Jadi, pendapat bahwa Allah berada di dalam surga, dalam konsep Islam, tidak bisa diterima.
Kalau begitu, barangkali Allah berada di langit. Buktinya, kita selalu berdo'a kepada Allah dengan cara tengadah. Dan sering pula kita mengatakan 'yang Di Atas', untuk menunjuk keberadaan Allah. Tetapi seberapa luaskah langit itu, sehingga ia bisa 'mewadahi' eksistensi Allah?
Memang sebagaimana telah saya uraikan di depan bahwa langit semesta ini sangatlah besar. Bahkan luar biasa besar, karena diameternya diperkirakan oleh para Astronom sebesar 30 miliar tahun cahaya. Usia kita tidak ada apa-apanya dibandingkan besarnya alam semesta ini. Tetapi apakah ia mampu 'mewadahi' Allah? Terlalu naif jika kita mengatakan bahwa Allah ada di langit.
Dan lagi, dengan berkata begitu, kita sama saja dengan mengatakan bahwa Allah tidak berada di bumi. Sama saja dengan ketika mengatakan bahwa Allah ada di Surga, maka berarti Allah tidak berada di Neraka. Jika kita mengatakan Allah ada di atas, maka berarti Allah tidak berada di bawah. Jika Ia di langit maka tidak di Bumi.
Ada juga yang mengatakan bahwa Allah itu ada di hati kita masing masing. Kalau begitu apakah Allah itu banyak, sehingga berada di setiap hati manusia? Padahal kita semuanya sepakat, bahwa Allah itu hanya Satu.
Atau ada juga yang berpendapat bahwa Allah itu ada di akhirat. Maka, berarti Dia tidak berada di dunia? Dan lagi, dimanakah akhirat itu? Apakah ia ada di galaksi lain? Apakah sekarang belum ada? Tidak. Allah mengatakan bahwa alam akhirat itu sebenarnya sudah ada. Sebagaimana juga surga dan neraka itu sekarang sudah ada. Hanya saja belum ditampakkan.
Sungguh semuanya masih bersifat teka teki dan misterius. Karena itu, biasanya lantas kita berlindung kepada kata kata : bahwa Allah itu gaib keberadaanNya, sehingga kita tidak bisa memikirkanNya, dan apalagi melihat atau mengobservasiNya. Tentu tidak boleh demikian.
Sikap ini tidak sepenuhnya benar. Memang Allah gaib, tetapi bukan tidak bisa dipikirkan, sehingga kita lantas tidak bisa mengenali eksistensi Allah itu. Bahkan Dia sendiri memerintahkan kepada kita untuk mengenal Allah dari berbagai tanda-tandaNya. Kalau kita tidak mengenal Allah, bagaimana kita bisa mendekat dan akrab denganNya?
Jadi dimanakah Allah? Firman Allah berikut ini, bisa memberi-kan gambaran yang sangat baik kepada kita.
QS Nuur <24) : 42
“Dan kepunyaan Allah lah kerajaan langit dan bumi. Dan kepada Allah lah (semuanya) kembali.”
QS. Nisaa' (4) : 126
“Untuk Allah lah segala yang ada di langit dan segala yang ada di bumi, dan adalah Allah Maha Meliputi segala sesuatu”
Kedua ayat tersebut memberikan gambaran kepada kita bahwa segala eksistensi yang ada di alam semesta ini hanyalah milik Allah belaka. Karena itu Allah mengatakan bahwa kepadaNyalah semua itu akan kembali. Dan kemudian, secara. sangat jelas Allah mengatakan bahwa EksistensiNya meliputi segala yang ada itu.
Ini secara frontal telah menjawab pertanyaan 'dimanakah Allah? Bahwa Allah bukan hanya di langit, bukan hanya di surga, bukan hanya di hati kita, bukan hanya di Ka'bah, dan bukan hanya di akhirat. Tetapi, Allah meliputi segala yang ada.
Allah sekaligus berada di Akhirat, tetapi juga di dunia. Di surga tetapi juga di neraka. Di langit, namun juga di bumi. Di hati kita, tetapi sekaligus juga di hati seluruh. makhlukNya. Allah bersama segala benda yang bisa kita sebutkan (mulai dari atom dan molekul, seluruh makhluk hidup di muka bumi, hingga benda-benda langit yang tersebar di alam semesta ini) sampai pada hal-hal yang tidak bisa kita sebutkan, yaitu hal hal yang gaib. Tidak ada satu tempat pun yang Allah tidak berada di sana. Allah meliputi segala makhlukNya!
Kalimat terakhir ini sungguh sangat tepat dan sarat makna. Dengan mengatakan bahwa Allah meliputi segala makhlukNya, maka Dia telah memproklamirkan kepada seluruh makhlukNya bahwa DzatNya adalah Maha Besar. Bagaimana mungkin Dia bisa meliputi segala sesuatu, kalau Dia sendiri tidak Maha Besar.
Bayangkan saja, misalnya, Allah meliputi surga. Berarti Allah harus lebih besar dari surga. Padahal menurut QS Ali Imran 133, surga itu luasnya seluas langit dan bumi (ardhuhas samaawaati wal ardhi). Berarti Allah jauh melebihi ruang dan waktu yang terangkum dalam alam semesta, atau langit dan bumi ciptaanNya tersebut.
Tidak ada satu ruang kosong pun di mana Allah tidak berada di sana. Allah berada bersama saya, juga sedang bersama Anda. Tetapi sekaligus juga mengisi ruang antara saya dan Anda. Dan seluruh ruang di luar kita. Bagi Allah : di sini, di situ, di sana, tidak ada bedanya, karena Allah meliputi semuanya.
Demikian pula, bagi Allah: Barat dan Timur, atas dan bawah, kanan dan kiri, belakang dan depan, juga tidak ada bedanya. Karena Barat dan Timur adalah milik Allah, di mana Allah berada di sana dalam waktu yang bersamaan. Juga, karena Allah meliputi segala makhluk ciptaanNya itu.
Jadi keberadaan Allah terhadap ruang adalah mutlak. Sehingga, sebenarnya, pertanyaan 'Allah ada di mana' adalah sebuah pertanyaan yang keliru. Karena Allah tidak terikat ruang. Dia berada di mana-mana dalam waktu yang bersamaan.
Pertanyaan 'dimana' hanya bisa dikenakan kepada sesuatu yang berada di dalam ruang. Padahal yang terjadi pada Allah adalah sebaliknya : ruang itulah yang berada di dalam Allah!
Demikian pula mengenai waktu. Allah tidak terikat waktu. Allah juga tidak berada di dalam dimensi waktu. Bagi Allah: sekarang, besok, kemarin, 1 miliar tahun yang lalu, atau 1 miliar tahun yang akan datang, tidak ada bedanya. Sama persis. Allah berada di 1 miliar tahun yang lalu, sekaligus berada di 1 miliar tahun yang akan datang. Kenapa bisa begitu ? ya, karena Allah tidak berada di dalam dimensi waktu, tapi sebaliknya dimensi 'waktu' itulah yang berada di dalam Allah. Karena itu pertanyaan 'Kapan' bagi Allah tidaklah ada artinya. Allah adalah sebuah 'Kemutlakan' bagi dimensi ruang dan waktu. Ini sekaligus juga bisa menjelaskan kenapa Allah itu Maha Tahu. Karena Allah berada dimasa lalu dan masa depan sekaligus. Sehingga kejadian dulu dan akan datang bagi Allah tidak ada bedanya. Begitu juga Allah berada di sana dan di sini sekaligus, sehingga kejadian di mana pun bagi Allah tidak ada bedanya. Semua itu terjadi di dalam Allah
Maka, sebenarnya shalat menghadap kemana pun bagi kita adalah sama saja. Kita pasti menghadap Allah, karena Allah Maha Luas dan Maha Mengetahui, seperti difirmankan Allah,
QS. Al Baqarah (2) : 115
“Dan kepunyan Allah lah Timur dan Barat, maka kemana pun kamu mengadap disitulah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas dan Maha mengetahui.”