Thursday, March 1, 2007

Buta Hati Di Dunia Buta Di Akhirat



Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahwa sasaran penggarapan peribadatan dalam Islam adalah Hati. Sebelumnya juga telah dijelaskan bagaimana cara melembutkan hati agar bisa memunculkan aura jernih, yang menjadi ciri khas ahli Surga nantinya.

Disisi lain Allah juga memberikan gambaran bahwa hati ternyata menjadi indera utama kita ketika hidup di akhirat nanti. Hal tersebut dikemukakan oleh Allah di dalam ayat berikut,
QS. Al Israa (17) : 72
“Dan barangsiapa di dunia ini buta hatinya, maka di akhirat nanti juga akan buta, dan lebih sesat lagi jalannya.”

Sangat jelas Allah memberikan gambaran dalam ayat di atas bahwa kalau hati kita buta di dunia ini, maka nanti di akhirat kita tidak akan bisa melihat, dan kemudian hidup kita menjadi sangat susah di sana karena tidak tahu jalan. Tersesatlah kita. Kenapa bisa demikian? Bagaimana menjelaskannya?

Indera ke Enam

Manusia sebenarnya memiliki enam indera. yang lima indera disebut sebagai panca indera, sedangkan yang keenam disebut sebagai indera ke enam atau hati. Fungsi dan mekanisme panca indera dan indera ke enam sangatlah berbeda.

Panca indera terdiri dari mata, telinga, hidung, lidah, dan kulit. Mata digunakan untuk melihat. Dan hanya bisa melihat ketika ada pantulan cahaya dari benda yang ingin dilihat ke mata kita. Jika tidak ada pantulan cahaya, meskipun ada benda di depan kita, benda tersebut tidak bisa kita. lihat. Misalnya dalam kegelapan yang sangat, kita pun tidak mampu melihat tangan kita sendiri.

Indera penglihatan ini memiliki berbagai keterbatasannya. la hanya mampu melihat jika ada pantulan ’cahaya Tampak’ pada frekuensi 10 pangkat 14 Hz. Ia tidak bisa melihat benda yang terlalu jauh. la juga tidak bisa melihat benda yang terlalu kecil seperti atom atau elektron. Juga tidak bisa melihat benda-benda di balik tembok. Bahkan mata kita gampang tertipu dengan berbagai kejadian, misalnya fatamorgana. Atau juga pembiasan benda lurus di dalam air, sehingga kelihatan bengkok. Dan lain sebagainya.

Penglihatan oleh mata kita sangatlah kondisional, dan tidak 'menceritakan' fakta yang sesungguhnya kepada otak kita. Ambillah contoh, gunung kelihatan biru bila kita lihat dari jauh. Padahal fakta yang sesungguhnya : pepohonan di gunung itu berwarna hijau. Contoh lain, bintang-bintang di langit kelihatan sangat kecil dan berkedip-kedip. Padahal sesungguhnya ia sangatlah besar, ratusan sampai ribuan kali lebih besar dibanding bumi yang kita tempati dan tidak berkedip-kedip.

Juga jika kita menganggap bahwa besi adalah benda padat yang massif dan diam. Pada kenyataannya, besi itu berisi jutaan elektron yang bergerak berputar-putar dan penuh dengan lubang. Dan masih banyak lagi contoh lainnya yang membuktikan bahwa penglihatan kita ini mengalami distrorsi alias penyimpangan yang sangat besar.

Namun demikian mata inilah yang kita gunakan untuk memahami dunia kita. Ya, dunia di luar diri kita. Mata tidak bisa kita gunakan untuk ‘melihat’ dunia di dalam diri kita, seperti pikiran dan kehendak.

Keterbatasan penglihatan kita ini sebenarnya karunia dari Allah. Bayangkan jika penglihatan kita tidak terbatas. Kita pasti bisa melihat setan, bisa melihat manusia lain di balik tembok, atau melihat elektron-elektron pada air yang mau kita minum, atau melihat molekul-molekul udara yang mau kita hirup untuk bernafas. Hidup kita akan sangat kacau dan menakutkan...

Telinga, demikian pula adanya. Telinga adalah alat kelengkapan kita untuk memahami suara yang berasal dari dunia di luar diri kita. Telinga juga memliki berbagai keterbatasannya. la hanya bisa mendengar suara dengan frekuensi 20 s/d 20.000 Hertz (getaran per detik). Suara yang memiliki frekuensi tersebut akan menggetarkan gendang telinga kita, untuk kemudian diteruskan ke otak oleh saraf-saraf pendengar. Maka, hasilnya kita bisa ‘mendengar’ frekuensi suara yang berasal dari dunia luar kita itu.

Jika ada suara-suara yang getarannya di luar frekuensi tersebut (lebih tinggi atau pun lebih rendah) maka kita tidak akan bisa mendengarnya. Misalnya suara kelelawar dengan frekuensinya yang sangat tinggi. Atau juga suara belalang. Dan beberapa jenis suara lainnya. Kita juga tidak mampu menangkap suara yang terlalu lemah intensitasnya, seperti orang yang berbisik. Atau, kita juga tidak mampu menangkap suara yang terlalu jauh sumbernya dari kita. Juga tidak mungkin kita mampu menangkap suara-suara pada frekuensi sangat tinggi, seperti pada gelombang radio, dan lain sebagainya.

Pada intinya, telinga kita memiliki keterbatasannya. Sebagaimana mata, juga sering mengalami distorsi alias penyimpangan. Di tempat yang riuh misalnya, telinga kita tidak mampu menangkap pembicaraan dengan volume normal. Dan jika digunakan untuk mendengar suara yang terlalu keras, gendang telinga kita bisa mengalami kerusakan.

Allah memberikan batas pendengaran kita sebagai karunia dan rahmat. Bayangkan jika pendengaran kita tidak dibatasi, maka kita akan bisa mendengarkan suara-suara berbagai binatang malam. Juga kita bisa mendengarkan suara jin, dan lain sebagainya. sehingga kita pasti tidak akan bisa tidur karenanya...

Indera yang ketiga adalah hidung. Indera ini digunakan untuk memahami bau. Gas yang mengandung partikel-partikel bau menyentuh ujung-ujung saraf pembau di lubang hidung kita bagian dalam. Maka, dikatakan kita bisa membaui benda atau masakan tertentu, karena rangsangan yang ditangkap oleh saraf pembau itu akan diteruskan ke otak kita, dan kemudian memberikan ‘kesan’ bau tertentu kepada kita.

Namun ini juga memiliki berbagai keterbatasannya, serta memberikan distorsi yang beragam. Jika kita membaui aroma yang terlalu 'pedas' misalnya, maka hidung kita akan bersin-bersin. Demikian pula jika kita membaui aroma busuk terlalu lama, maka hidung kita akan beradaptasi dan kemudian memberikan kesan bahwa aroma tersebut tidaklah busuk lagi. Dan sebagainya.

Dan kemudian indera pengecap dan peraba, yaitu lidah dan Kulit. Lidah digunakan untuk mengecap rasa, sedangkan kulit digunakan untuk merasakan kasar halusnya sebuah benda. Sebagaimana indera indera sebelumnya, maka kedua indera ini juga memiliki banyak keterbatasan dalam memahami fakta yang ada di luar dirinya. Kalau kulit kita dibiasakan dengan benda kasar terus dalam kurun waktu yang panjang, maka kepekaan kulit kita untuk memahami benda yang halus juga akan berkurang. Kalau kulit dibiasakan dengan suhu panas dalam kurun waktu yang lama, maka ia juga tidak mampu mendeteksi suhu dingin dengan baik. Begitu juga dengan kemampuan lidah kita. Dalam kondisi terlalu pedas, misalnya, kepekaan lidah kita akan sangat berkurang. Dan lain sebagainya.

Dengan berbagai penjelasan di atas, saya hanya ingin menunjukkan kepada pembaca bahwa indera kita bekerja dalam keadaan yang sangat kondisional, dan kurang bisa dipercaya. Juga memiliki keterbatasan-keterbatasan yang sangat sempit dalam memahami fakta yang sesungguhnya. terjadi. Panca indera hanya bisa digunakan untuk melihat ‘Dunia Luar’ dalam kondisi yang sangat terbatas!

Sebenarnya, manusia memiliki indera yang jauh lebih hebat dibandingkan dengan panca inderanya. Itulah Indera ke enam. Setiap orang memiliki indera ke enam yang bisa berfungsi melibat, mendengar, meraba, merasakan, dan membaui sekaligus. Indera ini ada di dalam Hati kita.

Kenapa tidak semua kita bisa menggunakannya? ya, karena kita tidak melatihnya. Sejak kecil, setiap manusia memiliki indera ke enamnya, dan berfungsi dengan baik. Karena itu, seorang bayi bisa melihat dunia Dalamnya. la menangis dan tertawa sendiri, karena melihat ada ‘Dunia Lain’, selain yang bisa ‘dilihat’ oleh panca indera orang dewasa. Seorang anak sampai usia balita bisa melihat dunia jin.

Akan tetapi seiring dengan pertambahan waktu, kemampuan indera ke enam kita itu menurun drastis. Sebabnya adalah orang tua kita tidak melatih indera ke enam kita itu. Mereka lebih melatih panca indera kita untuk memahami ‘Dunia Luar’. Orang tua kita lebih risau jika kita tidak bisa memfungsikan panca indera ketimbang indera yang ke enam. Padahal kemampuan indera ke enam ini jauh lebih dahsyat.

Kita bisa membuktikannya pada beberapa orang yang mengalami masalah dengan penglihatannya, tetapi ia memiliki 'perasaan' (feeling) yang lebih kuat dibandingkan dengan orang normal.

Dan yang menarik, Allah mengatakan di dalam ayat di atas bahwa kehidupan akhirat nanti akan sangat dipengaruhi oleh kemampuan indera ke enam. Barang siapa buta hatinya di dunia, maka di akhirat nanti akan buta juga, bahkan lebih sesat lagi jalannya. Kenapa demikian? Karena memang panca indera kita itu tidaklah bisa diandalkan untuk memahami kenyataan. Apalagi untuk 'bertemu' Allah.

Apa yang kita lihat sekarang ini, bukanlah fakta yang sebenarnya dari kehidupan ini. Apa yang kita dengar, juga bukanlah fakta yang sebenarnya dari alam sekitar ini. Semua yang kita pahami lewat panca indera kita di dunia ini sebenarnya bukanlah fakta yang sesungguhnya. Fakta yang sesungguhnya akan terungkap ketika kita hidup di akhirat. Allah berfirman di dalam QS. At Thaariq : 9
“Pada hari terbongkar segala rahasia....”

QS. Qaaf (50) : 42
“Pada hari mereka mendengar suara dengan sebenarnya. Itulah hari keluar dari kubur”

QS. Qaaf (50) : 22
“Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini maka Kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam”

Ketiga ayat tersebut di atas memberikan gambaran kepada kita bahwa pendengaran dan penglihatan yang sebenarnya itu adalah ketika, kita berada di alam akhirat. Pendengaran dan penglihatan di dunia ini serba menipu. Pada saatnya nanti, yang tidak nampak kini, akan dinampakkan oleh Allah.

Kenapa demikian? Karena alam akhirat adalah alam berdimensi 9 di langit yang ketujuh yang memungkinkan kita untuk melihat alam berdimensi lebih rendah langit 1 sampai dengan langit 6 dengan lebih gamblang.

Kita, manusia, hidup di langit pertama yang berdimensi 3. Sedangkan bangsa jin, menempati langit kedua yang berdimensi 4. Dan malaikat adalah makhluk Allah yang bisa bergerak lintas dimensi, sampai ke langit yang ketujuh. (Pembahasan lebih lanjut tentang dimensi langit ini akan saya paparkan di lain kesempatan, karena penjelasannya panjang).

Akan tetapi secara ringkas, saya ingin mengatakan bahwa di alam akhirat yang berdimensi 9 itu kita, tidak bisa menggunakan panca indera kita. Seperti halnya, kita tidak bisa melihat jin dan malaikat dengan mata kita. Bisanya hanya dengan indera ke enam. Apalagi untuk 'melihat' Allah. Mata kita tidak berfungsi. Allah hanya bisa 'dilihat' dengan mata batin, alias Hati.

Karena itu, orang yang tidak melatih hatinya saat hidup di dunia sehingga hatinya tertutup maka mereka akan dibangkitkan Allah di akhirat nanti dalam keadaan buta. Hal ini diungkapkan Allah dalam ayat-ayat berikut.
QS. Thahaa, (20) : 124
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.”

QS. Israa (17) : 97
“Dan barangsiapa yang ditunjuki Allah, dialah yang mendapat petunjuk dan barangsiapa yang Dia sesatkan maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penolong-penolong bagi mereka selain dari Dia. Dan Kami akan mengumpulkan mereka pada hari kiamat (diseret) atas muka mereka dalam keadaan buta, bisu dan pekak. Tempat kediaman mereka adalah neraka Jahannam. Tiap-tiap kali nyala api Jahannan, itu akan padam Kami tambah lagi bagi mereka nyalanya.”

Bagaimana cara melatih hati kita agar terbuka? Banyak banyaklah melakukan berbagai peribadatan yang diajarkan Rasulullah kepada kita, seperti shalat yang khusyuk, puasa, dzikir, berhaji, dan lain sebagainya dengan tulus dan ikhlas.