Suatu ketika Imril Qoesh merasa sangat kesepian. Berbulan-bulan lamanya dia tak bertemu sang kekasih tercinta. Laila Majnun namanya.
Pagi hari tiba. Imril mengendap–endap di balik semak dekat rumah Laila. Toh, Laila tak pernah lagi duduk di batu sungai itu. Siang hari, Imril terlihat tergopoh–gopoh menyelinap di gubug sawah milik orang tua Laila. Lagi lagi Laila tak pernah lagi mengantar rantang makan siang untuk para petani di sawah itu.
Petang hari, Imril kembali munduk-munduk di balik semak dekat rumah Laila. Tapi toh Laila tak ada di pancuran air tempat dia biasa mengambil air wudlu. sungai, pematang sawah, pancuran air wudlu, kebun anggur, beranda rumah, toh lagi–lagi Laila tak ada di sana.
Imril gelisah. Cintanya sirna entah ke mana. Imril meratap. Dia menangis tersedu-sedu. Makanan yang tersedia di meja, tak disentuhnya. Imril benar-benar puasa! Tapi sekali lagi Laila tak ada di tempat.
Sampai akhirnya, pemuda "gila cinta" ini nekat, mendekat ke rumah Laila. Di dekapnya dinding kamar Laila. Di situlah, entah berapa kali lamanya, Imril menyebut kekasihnya; Laila, Laila, Laila.....(konon ada menyebut, 2 tahun, tapi banyak yang mengatakan sepanjang sisa hidupnya, Imril masih terlihat menempel di dinding kamar kekasihnya).
Itulah Imril. Itulah si pemuja cinta. Dia benar-benar mencintai cinta. Apapun akan dilakukannya demi cinta.
Pepatah mengatakan; man ahabba syaeq, katsura dzikruh. Waman ahabba syaeq, fahuwa abduh. Barang siapa mencintai sesuatu, dia akan sering menyebut sesuatu itu. Dan barang siapa mencintai sesuatu, dia pasti akan menjadi hamba sesuatu itu.
Imril pasti sangat mencintai Laila. Karena itu dia pasti sering menyebutnya. Imril pasti juga mencintai Laila. Karena itu, dia pasti mau rnenjadi hamba Laila.
Lalu saya, panjenengan semua, siapa yang kita cinta? Umat Islam, pada bulan Ramadan yang pada malam hari banyak menyebut dan berdzikir pada pencipta, yang pada siang harinya banyak beristighfar pada Tuhannya, yang mau diwajibkan menahan lapar dahaga, menahan nafsu, menahan tak berkata kotor. Yang dalam tingkah lakunya dilarang menyakiti, apalagi jotos–jotosan sesama kawan, yang di dalam politiknya dilarang bertanding, tapi memperbanyak bersanding, yang di dalam hatinya dilarang ada iri dan dengki, dan sebagainya.
Dan yang ada dalam dirinya tak boleh ada rasa menang sendiri, pasti mereka-mereka itu tergolong para pecinta itu. Pasti mereka–mereka itu mencintai pencipta, karena setiap kali manusia berdzikir kepada–Nya.
Dan pasti! Mereka–mereka itu mencintai Allah Tuhannya. Karena manusia mau menjadi hamba-Nya Mau diperintahkan untuk puasa, menahan nafsu, dan tidak berkata kotor.
Dan yang pasti mereka itu juga mencintai dzat yang memang patut dicintai. Karena mereka-mereka itu mau meninggalkan apa yang dilarang. Mereka tak pernah tinju–tinjuan, mereka juga tak pernah ingin menang-menangan, apalagi menyombongkan diri.
Karena memang mereka itu; mencintai!
Lalu, saya dan panjenengan semua, sudahkan mencintai dzat yang memang patut dicintai? Sudahkah, kita menyayangi dzat yang agung karena sifat sayangnya? Kalau begitu mari kita terus berdzikir kepada-Nya.
Kalau begitu, mari juga kita menjadi hamba-Nya. "Barangsiapa mencintai Allah, dia pasti akan selalu berdzikir asma-Nya. Dan barang siapa mencintai-Nya, maka dia akan menjadi hambanya."