Sunday, May 20, 2007

Ramadhan Seumur Hidup

Ada beberapa persoalan menarik untuk kita renungkan bersama. Kapankah kita ini hidup? Di manakah kita hidup? Sudahkah kita ini hidup? Tahukah kita kalau kita ini hidup?

Banyak jawaban yang selama ini saya terima jika mendapati pertanyaan-pertanyaan di atas. Di antaranya, saya hidup mulai usia 0 tahun, saya hidup di zaman yang serba kompetitif, saya tahu hidup dari nadi dan nafas saya yang terus bergerak ini, dan masih banyak lagi jawaban yang dikemukakan oleh ustadz-ustadz atau murid-murid saya sewaktu mondok di desa dulu.

Benarkah itu semua? Jawaban atas pertanyaan tersebut ,semua benar. Dan memang, jawaban itu tidak ada yang perlu atau pernah disalahkan. Apalagi ada nilai nominalnya. Misalnya skor 7, 8, atau bahkan 10. Karena jawaban untuk pertanyaan itu memang bukan angka-angka, tapi sebuah keyakinan.

Namun alangkah baiknya jika sesekali kita masuk dalam wilayah filosofi yang terdalam dalam perjalana hidup ini. Hidup adalah perjalanan waktu yang sangat cepat. Saking cepatnya sehingga manusia tidak merasakan kalau sebenarnya dan seharusnya manusia harus bersyukur kalau kita sudah hidup.

Jadi filosofinya, hidup adalah perjalanan di atas waktu detik berganti menit, menit berganti jam, jam bergabung jadi satu hingga terbentuklah hari, hari jadi minggu, bulan, tahun, dan seterusnya. Manusia hidup berjalan di atas waktu-waktu itu. Begitu cepatnya, sehingga manusia tidak merasakan kecepatan itu. Tahu-tahu sudah berubah rambut, wajah, body, dan bagian-bagian panca indera kita.

Makna filosofinya, manusia berdiri pada satuan-satuan waktu. Satuan detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, windu, dasawarsa, bahkan abad. Manusia berdiri di sana. Manusia juga menjalankan keseharian di satuan-satuan itu.

Tak hanya manusia yang berjalan pada satuan-satuan waktu untuk hidup. Ibadah kita juga diukur dari satuan-satuan. Sholat misalnya, ukurannya juga satuan. Salat wajib dilakukan lima kali sehari, sholat tarawih ada yang 8, 20, 36 rakaat, Idul Fitri dan Idul Adha setahun sekali, dan lain sebagainya.

Karena berupa satuan itulah, maka sholat kita sebenarnya menjadi titik awal dari "puasa". Yakni "puasa" dari kesibukan-kesibukan, "puasa" dari kepenatan hidup yang terus diburu oleh waktu dan nafsu.

Dengan sholat, manusia akan sedikit terlepas dari rasionalitas hidup dengan mendahului sahur syahadat dan buka sholawat. Karenanya, kalau kita sangat yakin, dengan salat yang dipenuhi ketaqwaan dan cinta kasih pada Allah, maka Idul Fitri (kembali kepada kesucian diri) akan dengan mudah kita terima.
Puasa Ramadan adalah bentuk dari "salat" kita yang lebih dahsyat, lebih punya makna yang luar biasa pada diri kita, lebih sedikit "memaksa" kita untuk berbuat agar lebih "tidak enak" lagi hidup. Sebulan penuh kita akan menikmati sebuah pengalaman rohani yang benar-benar akan membawa pada Idul Fitri yang luar biasa. Bahkan kalau kita bisa lulus, kefitrian kita bisa diibaratkan seperti bayi yang baru lahir. Masya Allah, luar biasa kemurahan gusti Allah.

Untuk bisa menuju pada "salat" - jika kita tetap sedikit memberi ruang pikiran kita berimprovisasi - yang benar-benar menuntut pada kefitrian sejati, self protection kita harus benar-benar dipersiapkan. Terutama soal kesejatian puasa kita.

Misalnya, jika kita bisa makan dengan hanya satu roti, mengapa kita harus bernafsu makan dua, tiga, empat bahkan lima iris roti. Begitu juga jika kita mengartifisialkan irisan roti itu dengan kekayaan, kekuasaan, jabatan, dan lain sebagainya. Maka kesejatian puasa kita selama Ramadan ini akan sia-sia saja.

Namun sebaliknya, jika artifisialisasi di atas mampu kita amanahkan pada hati ini untuk sedikit menahan, maka kapanpun kita akan mampu ber-Ramadan dengan baik. Bukan hanya di bulan Ramadan ini saja, tapi seumur hidup kita akan merasakan ke-Ramadanan ini.

Dan hasil yang akan didapat adalah Idul Fitri. Baik Idul Fitri yang besar maupun Idul Fitri kecil-kecil Semuanya akan kita miliki. Dan semuanya untuk diri kita sendiri. Nah, jika semuanya dilakukan, alangkah nikmatnya hidup ini jika kita mampu melaksanakan dengan penuh kecintaan dan ketakwaan. Allabu Akbar