Bumi, tempat manusia membangun kekhalifahannya, ternyata sarat dengan sejarah musibah dan bencana. Hubungan bencana dengan perspektif ketuhanan, mencapai puncaknya di zaman Nabi Nuh AS, dimana kisah-kisah drama teologis memiliki akibat-akibat terhadap lingkungan ketika itu, berakhir dengan tenggelamnya bumi di negeri Nabi Nuh. Kisah Nabi Nuh yang monumental itu, pasti tidak berdiri sendiri sebagai peristiwa historis dari jagad bumi, tetapi mengandung penafsiran, baik dari segi geologis, meteorologis, maupun teologis. Dari sana akan banyak terpantul hubungan lingkungan hidup dengan teologi. Begitu juga di zaman Luth, ketika para Malaikat menjungkir balikkan negeri kaumnya itu akibat sodomi dan perzinaan.
Sebuah pemahaman yang memerlukan eksplorasi lebih lauh, hubungan antara kualitas spiritual umat manusia dengan fenomena alam lingkungannya. Sebagaimana pernah tercetus dalam hadits Nabi SAW, “Dunia ini tidak akan kiamat, manakala masih ada seorang yang mengingat (dzikr) nama Allah”.
Hadits ini memantulkan makna betapa erat hubungan gravitasi spiritual dengan dunia material, khususnya dalam menjaga keseimbangan bumi.
Dalam Al-Qur'an disuratkan posisi manusia sebagai khalifah, namun juga memiliki potensi destruktif, sebagaimana diprediksi oleh malaikat tentang ulah manusia yang bisa merusak lingkungan bumi dan menumpahkan darah. Ibnu Araby, seorang ulama sufi terbesar abad 13 dari Spanyol, dalam tafsir sufinya memberikan penafsiran mengenai prediksi malaikat seputar potensi destruktif manusia dalam dua sifat negatif; Sifat nafsu kebinatangan (hewaniyah) yang berujung pada perusakan peradaban bumi di satu sisi; dan di sisi lain munculnya nafsu kebuasan (sabu'iyah) yang memproduksi kekejaman dan peperangan.
Sejauh itu, manusia juga memiliki potensi "kedekatan teologis" paling sempurna di antara makhluk Allah - lebih dekat daripada Malaikat - sehingga manusialah satu-satunya makhluk Allah yang memiliki otoritas peradaban bumi (khalifah) itu. Tetapi untuk membangun peradaban diperlukan adanya aturan-aturan bumi yang universal, dan karenanya kitab-kitab suci diturunkan, agar kelangsungan sejarah bumi tidak anarkis. Karena ketika terbukti anarkisme muncul, baik secara teologis, sosial maupun lingkungan, senantiasa diikuti oleh paradok-paradok alamiah yang sangat berpengaruh bagi ketentraman psikologi dan kehidupan sosio-kultural bumi.
Tinjauan sufistik ketika musibah baik gempa maupun banjir melanda wilayah negeri kita, khususnya di ibukota. Kita dibuat terjengah. Sudah sedemikian parahkah etika peradaban di ibukota? Masih adakah yang "menyaksikan Allah" di tengah air bah yang membanjiri rumah, sawah ladang dan jalan-jalan kita? Tanah longsor, dan gunung meletus, serta hutan yang terbakar, yang menimpa kebanyakan rakyat kecil. Lalu apakah mereka masih punya hak protes keadilan, kepada Allah atau kepada para elit? Pertanyaan-pertanyaan teologis di atas, akan semakin terbuka ketika kita membuka kembali lembaran-lembaran teosofik, sebagaimana wacana para sufi menggambarkan tentang musibah, nikmat, ibadah dan maksiat.
Sebab di sanalah ada nucleus peradaban paling "dini". Ketika kita ingin menelusuri hubungan psikologi manusia dengan Tuhan dan alam semesta. Perspektif sufi yang memandang musibah, termasuk banjir, secara teologis dikembalikan pada solusi "dari dalam", yaitu dari dimensi Ilahiyah. Banjir dan musibah mana pun merupakan "pesta spiritual" bagi kaum sufi. Karena sesungguhnya pada saat yang sama manusia harus menjenguk kembali benang merah spiritual yang tenggelam oleh carut marut ulahnya selama ini. Disebut "pesta" karena eksodus spiritual menuju kepada Allah terkadang muncul ketika musibah menjadi pintu masuknya. Sebagaimana As-Sakandary, Shohibul Hikam, memaparkan, “Terkadang Allah mentakdirkan sang hamba untuk berbuat dosa, agar sang hamba lebih dekat denganNya”.
Dengan kata lain, terkadang ketika kepatuhan-kepatuhan ruhani sebagai pendekatan yang menghubungkan manusia dengan Allah tidak lagi berjalan efektif dengan berbagai alibi penyimpangan spiritual, Allah "memaksakan" sifat-sifatNya yang tampil di bumi, melalui sifat-Nya Yang Maha Perkasa, Yang Maha Menyiksa, Yang Maha Besar, Yang Maha Adil dan Yang Maha Menghina. Sifat-sifat tersebut muncul di saat "bisikan-bisikan halusNya" tidak direspon dengan hormat oleh para hambaNya, maka Allah menyuarakan "bentakan-Nya", demi peradaban manusia itu sendiri. Dalam perspektif sufiologis, ada tiga matra yang bisa kita tampilkan, agar Allah senantiasa "tampak", sekali pun di atas genangan musibah banjir, sebagaimana kita alami saat ini. Ketika manusia menjalani kepatuhan ibadah kepadaNya, mereka harus melihat bahwa kemampuan ibadah itu semata karena karuniaNya yang muncul dalam gerak spiritual hamba. Bukan klaim usaha pcnghambaan, ikhtiar amal, atau pun jerih payahnya. Sebab klaim itu bisa menimbulkan dampak psikologis yang negatif, sehingga seseorang merasa paling agamis, paling suci, paling benar dan paling berprestasi spiritualitasnya.
Sebuah pemahaman yang memerlukan eksplorasi lebih lauh, hubungan antara kualitas spiritual umat manusia dengan fenomena alam lingkungannya. Sebagaimana pernah tercetus dalam hadits Nabi SAW, “Dunia ini tidak akan kiamat, manakala masih ada seorang yang mengingat (dzikr) nama Allah”.
Hadits ini memantulkan makna betapa erat hubungan gravitasi spiritual dengan dunia material, khususnya dalam menjaga keseimbangan bumi.
Dalam Al-Qur'an disuratkan posisi manusia sebagai khalifah, namun juga memiliki potensi destruktif, sebagaimana diprediksi oleh malaikat tentang ulah manusia yang bisa merusak lingkungan bumi dan menumpahkan darah. Ibnu Araby, seorang ulama sufi terbesar abad 13 dari Spanyol, dalam tafsir sufinya memberikan penafsiran mengenai prediksi malaikat seputar potensi destruktif manusia dalam dua sifat negatif; Sifat nafsu kebinatangan (hewaniyah) yang berujung pada perusakan peradaban bumi di satu sisi; dan di sisi lain munculnya nafsu kebuasan (sabu'iyah) yang memproduksi kekejaman dan peperangan.
Sejauh itu, manusia juga memiliki potensi "kedekatan teologis" paling sempurna di antara makhluk Allah - lebih dekat daripada Malaikat - sehingga manusialah satu-satunya makhluk Allah yang memiliki otoritas peradaban bumi (khalifah) itu. Tetapi untuk membangun peradaban diperlukan adanya aturan-aturan bumi yang universal, dan karenanya kitab-kitab suci diturunkan, agar kelangsungan sejarah bumi tidak anarkis. Karena ketika terbukti anarkisme muncul, baik secara teologis, sosial maupun lingkungan, senantiasa diikuti oleh paradok-paradok alamiah yang sangat berpengaruh bagi ketentraman psikologi dan kehidupan sosio-kultural bumi.
Tinjauan sufistik ketika musibah baik gempa maupun banjir melanda wilayah negeri kita, khususnya di ibukota. Kita dibuat terjengah. Sudah sedemikian parahkah etika peradaban di ibukota? Masih adakah yang "menyaksikan Allah" di tengah air bah yang membanjiri rumah, sawah ladang dan jalan-jalan kita? Tanah longsor, dan gunung meletus, serta hutan yang terbakar, yang menimpa kebanyakan rakyat kecil. Lalu apakah mereka masih punya hak protes keadilan, kepada Allah atau kepada para elit? Pertanyaan-pertanyaan teologis di atas, akan semakin terbuka ketika kita membuka kembali lembaran-lembaran teosofik, sebagaimana wacana para sufi menggambarkan tentang musibah, nikmat, ibadah dan maksiat.
Sebab di sanalah ada nucleus peradaban paling "dini". Ketika kita ingin menelusuri hubungan psikologi manusia dengan Tuhan dan alam semesta. Perspektif sufi yang memandang musibah, termasuk banjir, secara teologis dikembalikan pada solusi "dari dalam", yaitu dari dimensi Ilahiyah. Banjir dan musibah mana pun merupakan "pesta spiritual" bagi kaum sufi. Karena sesungguhnya pada saat yang sama manusia harus menjenguk kembali benang merah spiritual yang tenggelam oleh carut marut ulahnya selama ini. Disebut "pesta" karena eksodus spiritual menuju kepada Allah terkadang muncul ketika musibah menjadi pintu masuknya. Sebagaimana As-Sakandary, Shohibul Hikam, memaparkan, “Terkadang Allah mentakdirkan sang hamba untuk berbuat dosa, agar sang hamba lebih dekat denganNya”.
Dengan kata lain, terkadang ketika kepatuhan-kepatuhan ruhani sebagai pendekatan yang menghubungkan manusia dengan Allah tidak lagi berjalan efektif dengan berbagai alibi penyimpangan spiritual, Allah "memaksakan" sifat-sifatNya yang tampil di bumi, melalui sifat-Nya Yang Maha Perkasa, Yang Maha Menyiksa, Yang Maha Besar, Yang Maha Adil dan Yang Maha Menghina. Sifat-sifat tersebut muncul di saat "bisikan-bisikan halusNya" tidak direspon dengan hormat oleh para hambaNya, maka Allah menyuarakan "bentakan-Nya", demi peradaban manusia itu sendiri. Dalam perspektif sufiologis, ada tiga matra yang bisa kita tampilkan, agar Allah senantiasa "tampak", sekali pun di atas genangan musibah banjir, sebagaimana kita alami saat ini. Ketika manusia menjalani kepatuhan ibadah kepadaNya, mereka harus melihat bahwa kemampuan ibadah itu semata karena karuniaNya yang muncul dalam gerak spiritual hamba. Bukan klaim usaha pcnghambaan, ikhtiar amal, atau pun jerih payahnya. Sebab klaim itu bisa menimbulkan dampak psikologis yang negatif, sehingga seseorang merasa paling agamis, paling suci, paling benar dan paling berprestasi spiritualitasnya.