Seluruh semesta raya ini tidak ada artinya apa-apa dibanding Allah. Berarti segala yang ada, tidak ada yang mampu menampung Allah. Segalanya tidak bisa menjadi tempat semayam Allah. Kecuali hati hamba-Nya yang beriman. Maka di sanalah Allah bersinggasana.
Hati orang yang beriman adalah rumah Allah. Dan karena itu, hati kita adalah amanah Ilahi untuk dijaga, dirawat, dan dirias agar menjadi elok. Hati kita adalah ruang di mana pertemuan dialogis (munajat) antara hamba dengan Rabb berlangsung.
Apabila hati kita tidak bersih, ruang jiwanya tidak bercahaya, sudut-sudutnya tidak aman dari ancaman syetan, tentu tidak ada lagi harapan untuk sebuah istana Ilahi dalam hati kita.
Dalam menjaga dan membangun rumah Tuhan dalam jiwa, ada dua cara yang dilahirkan oleh tradisi keagamaan kita yang agung.
Pertama tradisi tazkiyatun nafs yaitu tradisi membersihkan kejahatan jiwa yang dimulai dengan tobat. Dalam jiwa kita ada sisi gelap yang dipenuhi oleh virus-virus paling menjijikkan. Dimulai dengan virus iri-dengki, lalu berkembang menjadi virus takabbur, riya, ujub, mencintai dunia, kedzaliman, kefasikan, kemunafikan, dan kemudian akan menjurus pada kekufuran.
Semua virus itu harus dibersihkan melalui taubat dan dzikrullah. Dari sinilah muncul paradigma kedua melalui tathirul qulub. Yaitu menyucikan hati melalui riasan etika atau akhlak hamba dengan Allah ta'ala.
Penyucian hati berbeda dengan pembersihan jiwa. Kalau penyucian hati lebih menekankan pada riasan pasca pertobatan, lalu ia memasuki wilayah spiritual dengan riasan-riasan maqamat demi maqamat. Sedangan pembersihan jiwa adalah upaya untuk melakukan asketisme secara total. Baik lewat tobat, zuhud, wara', dan sebagainya.
Dua proses itu lama sekali tidak tergantung dengan lifestyle dan penampilan orang per orang. Orang yang dengan jubah dan jenggot serta tasbih di tangannya belum tentu ia orang suci atau sufi. Jangan-jangan karena ia pamer jubah dan jenggot malah muncul riya' dan takabur atas nama syiar. Siapa tahu justru mereka yang berpenampilan perlente dengan dasi dan jas dandy serta sepatu mengkilat malah lebih dekat dengan Allah ketimbang Anda yang memakai baju-baju religius?
Jangan-jangan mereka yang pakai rok mini itu memiliki keakraban asketik dengan Allah dibanding Anda yang berjilbab. Siapa tahu?
Dalam wilayah ruhani, baju dan bendera harus dibuang. Bahkan prestasi amaliyah sebagai tempat gantungan masa depan di akhirat pun harus dikubur habis-habis. Pada saat yang sama, hanya Allahlah tempat bergantung. Bukan amal, bukan prestasi, dan bukan pula hasrat-hasrat luhur. Bahwa kita memang sedang beramal bagus. Itulah indikator bahwa kita berada dalam lindungan Ilahi.
Tetapi sebaliknya ketika kita berbuat mungkar dan maksiat itu pertanda kita sedang dihina oleh Allah. Astaghfirullah!
Kelak jika dua cara pembersihan dan penyucian hati itu berlangsung, kita akan memasuki ruang zinatul asrar. Yaitu ruang rahasia yang menjadi manifestasi kemahaindahan Ilahi. Maka di sana rumah Tuhan, bukan saja bersih, tetapi telah menjadi arasy yang hakiki.