Sunday, May 20, 2007

Ajal Sang Pecundang

Siapakah sesungguhnya pecundang di muka bumi ini? Jangan-jangan Anda adalah pecundang itu. Jangan-jangan mereka yang seringkali teriak maling adalah maling itu sendiri. Jangan-jangan yang suka membuat isu perdamaian justru yang membuat kekacauan. Jangan-jangan yang suka meneriaki teroris justru biangnya teroris. Jangan-jangan mereka yang ingin jadi pahlawan itu, justru para pecundang.

Mari kita renungkan bagaimana perjudian marak? Kenapa dan bagaimana semua bisa terjadi? Hanya satu jawabannya. “Memang demikianlah watak dunia, karena itu Anda jangan merasa asing dengan remang-remang dunia, kerumitan dan kegelapan dunia, sepanjang Anda masih ada di dunia.”

Para pecundang adalah mereka yang menganggap dunia merupakan kehidupan abadi. Dunia adalah kehidupan yang selama-lamanya bisa dihuni, karena itu mereka menumpuk harta, mengoleksi wanita, menjadikan syahwatnya liar, dan mereka guyur jiwanya dengan miras-miras yang bisa menambah kemabukan di tengah keremangan duniawi ini.

Para pecundang sesungguhnya berada di antara batas radar atau tidak, bahwa hidup ini terbatas, dan setelah itu hanya kuburan. Hanya saja mereka tidak tahu, bahwa ajal yang berakhir dengan kiamat bagi dunia ini, berakhir secara su'ul khotimah (akhir yang gelap). Seandainya dunia ini pun penuh dengan kebajikan, dan kegelapan tersingkir jauh-jauh dari dunia, jelas dunia pun kiamat, karena dunia tidak akan mampu menahan kebajikan yang penuh. Sebaliknya jika dunia ini penuh dengan kegelapan, tanpa peradaban dan cahaya, pasti dunia juga kiamat.

Hanya saja garis hitam bagi dunia adalah akhir dari kehidupan sang pecundang yaitu tergolek dalam kegelapan. Ketika kegelapan memayungi atmosfir dunia secara total, tibalah apa yang disebut dengan kiamat.

Maka, para pecundang mesti bercermin lagi, bukan dengan membalik kaca cermin, atau bercermin di mosaik yang retak-retak. Jangan bercermin pada cermin bening di tengah malam gelap gulita! Tapi harus bercermin pada cermin yang benar, ada cahaya, dan tidak ada lagi hambatan yang bisa menghadang antara pantulan wajahnya dengan kenyataan hidupnya.

Teriakan ajal sang pecundang selalu mengerikan, sia-sia, sangsi, dan sangat menjijikkan jika didengar oleh hati yang hidup. Sebab hati para pecundang sudah mati, sudah menjadi fosil yang yang membatu, dan hanya menjadi makian sepanjang sejarah.