Sunday, May 20, 2007

Sadisme, Dakwah dan Kesenian Kita

Sadisme ternyata tidak hanya merambah masyarakat preman, tetapi muncul premanisme di kesenian kita. Kalau sadisme preman memang kasar, fisik, dan kelihatan oleh mata kepala.

Tetapi sadisme kesenian kita? Tidak kasat mata, tiba-tiba seorang seniman sudah terluka jiwanya, terbunuh karakternya, dan terkulai masa depannya. Ini tentu lebih sadis lagi.

Sadisme juga muncul di dunia politik ketika seorang yang kritis harus terpasung tangan kakinya. Terbungkam mulutnya dan terkekang aktivitasnya. Sadisme juga muncul dalam agama. Ketika pemikiran agama harus divonis hukuman mati oleh tokoh yang mengatasnamakan tokoh agama atau dengan membunuh karakter pemikiran itu.

Rupanya sudah banyak orang yang tidak sabar untuk mengikuti langkah sadisme George W. Bush yang telah membunuh secara sadis lewat alibi perangnya di Irak. Rupanya, hobi membunuh ini telah benar-benar nyata sebagaimana diramalkan oleh para malaikat. Di saat mereka protes kepada Allah, kenapa harus manusia yang punya hobi menumpahkan darah dan merusak tatanan bumi yang harus dijadikan khalifah?

Mungkin, memang sudah banyak manusia yang keburu nafsu ingin menjadi Tuhan.

Nah, kini banyak orang terpasung karakternya secara sadis oleh kesombongan dan kemunafikan. Inilah yang disebut sebagai amar ma'ruf nahi mungkar sepihak.

Sepihak yang lain, berisi lahan kekuasaan dan wilayah sakralnya. Banyak iri dan dengki atas nama amar ma'ruf nahi mungkar. Bahkan atas nama Tuhan.

Banyak atas nama rakyat lalu rakyat jadi perasan keringat untuk dijadikan pestanya. Banyak jubah lengket di tubuh, tetapi hanyalah kain gombal yang dipenuhi dengan bau apek kebusukan hatinya.
Banyak tasbih diputar-putar di tangan dan dipamerkan atas nama tetapi ternyata hanya ingin menyiarkan kebanggaan hatinya atas amal perbuatan riaknya. Ini sungguh sadis.

Apakah itu sebuah kejahatan? Anda bisa menilai sendiri. Kira-kira kejahatan paling sadis itu yang ada di sebelah mana?

Setiap perjuangan memang membawa dampak iri dan dengki. Setiap kesuksesan juga membuahkan sikap segolongan orang yang sinis. Setiap kejatuhan juga tidak jarang membuahkan sorak sorai pesta para pendengki.

Kesenian kita sesungguhnya telah lama ternoda. Yang menodai adalah para penikmat, industri, dan para seniman itu sendiri. Dan noda paling menyedihkan adalah noda kefasikan dalam dunia seni. Yaitu, seni dan seniman yang hanya mengumbar kata dan kreasi. Tetapi tanpa ruh dan hati, apalagi filosofi masih kosong.

Kesenian yang mengumandangkan ayat-ayat Al-Quran dan dzikir dalam teaterikal sembari menangis-nangis pun bisa lebih berbahaya dan membahayakan eksistensi agama. Karena agama dijadikan alat profanisme, propaganda, dan pelampiasan emosi.

Tentu masyarakat kita akan menilai, bahwa keindahan yang luhur saat ini tidak ada yang melebihi kejujuran dan ketulusan. Dan jika seni disampaikan dengan tidak jujur dan tulus, justru menjadi bagian dan kriminalitas seni itu sendiri.

Dan para seniman mesti bersatu untuk memboikot premanisme psikologis terhadap kreativitas seni. Anda bisa bayangkan, jika Anda seniman, lalu sudah banyak seniman menjadi dewa, tuhan-tuhan kecil, dan berhala. Lalu secara diktator ia menyiapkan penjara, terali besi jiwa, dan pedang-pedang keangkuhannya untuk membabat seluruh kesenian. Itulah tradisi kekuasaan kesenian.

Berkesenianlah yang indah dan merdeka. Karena itu para ulama dan kiai, jika berdakwah mesti dengan seni yang tinggi. Bukan seni yang mengerikan dan sadis.

Malah dakwah Anda akan ditinggal lari umat manusia sebagaimana dalam Al-Quran. Memang, kita sudah kehilangan rasa cinta dan kasih sayang, rasa maaf dan ampunan. Termasuk dalam kesenian kita.