Apakah negeri, bangsa, dan kehidupan sehari-hari kita sudah sedemikian gelap oleh tebalnya mega-mega sejarah? Jika benar, apakah kegelapan ini warisan masa lampau, ataukah kebodohan dan kezaliman masa kini? Jika tidak demikian, apakah sesungguhnya proses kehidupan berbangsa kita, memang baru (maaf) dalam tahap muallaf sehingga perlu dibimbing seorang mursyid bangsa?
Mari kita melihat dan merespon peta global sejenak. Amerika Serikat yang menjadi pusat gravitasi politik dunia, membuat ulah luar biasa. Secara syariat ada titik utama yang paling terkena imbasnya dari bagian Timur hingga Barat. Kesombongan AS yang membabi buta, Akan berpengaruh pada titik nadi utama di ujung Timur, Indonesia dan Baghdad. Lalu kelak negeri-negeri muslim lainnya. Bagaimana cara orang lain meremukkan bangsa kita? Sebagaimana zaman Orba dulu, penguasa telah meruntuhkan derajat para ulama kita?
Jawabnya mudah saja. Jika suatu bangsa ingin menzalimi bangsa lain, atau seorang penguasa ingin menzalimi publiknya, maka kaum munafik bangsa itu dijadikan boneka. Lalu mereka berteriak seakan-akan mereka adalah reformis, demokrat dan pembaharu, untuk menutupi kebusukan hipokritnya. Ketika seorang penguasa ingin menghancurkan para ulama, maka para ulama yang munafik dijadikan berhala-berhala kecil agar mudah dijadikan boneka untuk memusuhi sesama ulama.
Lalu hari ini, apakah situasi yang sesungguhnya menimpa bangsa ini? Tentu saja, bangsa ini adalah bangsa yang sedang bangkit dari keruntuhan. Sementara ketika ingin membangun rumah agungnya, bangsa ini hanya menggunakan sisa-sisa keruntuhan itu. Lalu bangunan itu lebih parah ketimbang bangunan masa lalu.
Inilah nuansa paling sederhana, yang secara moral kita terjebak dalam sarang rimba yang paling anarkis. Kita sebut anarkis, karena para elit kita, politisi kita, tokoh-tokoh penguasa kita, telah benar-benar dihantui ketakutan terhadap kebenaran dan keadilan. Mereka, jangankan memandang cahaya kebenaran, baru melihat kilatan cahaya itu saja, mereka sudah menutup mata hatinya. Menutup daun-daun telinganya, lari mencari selamat atas nasib keluarga dan kelompoknya.
Begitu pula kaum munafik di negeri ini telah terbagi menjadi dua belahan yang melapisi kegelapan ini. Lapisan pertama, mereka yang meraih posisi baik di parlemen maupun di birokrasi. Lapisan kedua, memang mereka adalah kekuatan laten munafiqin, terdiri para penguasa hitam, petualang politik, dan mereka yang sakit jiwa. Mereka selalu menggerakkan massa untuk dijadikan alibi politik rakyat. Allah di mata dua lapisan ini, adalah Allah dalam kertas, Allah dalam verbalisme dan teriakan takbir belaka, Allah dalam spanduk dan yel-yel, belaka. Cahaya Allah terkuci rapat dalam lorong nafsu kegelapannya.
Hanya segelintir ulama dan kiai yang bisa di hitung dengan jari. Ulama yang masih memiliki cahaya ruhani, lalu menaburkan cahaya itu dalam kegelapan bangsa ini. Segelintir itulah yang memunajatkan keselamatan bangsa ini, bukan keselamatan diri dan keluarganya. Mereka memang minoritas di kalangan kiai dan ulama, tapi mereka yang melihat kehidupan semesta dengan mata hatinya. Mata hati yang melihat cahaya, lalu cahaya itu berkata bahwa semesta bangsa ini sesungguhnya telah gelap gulita. Siapa yang memandang lapisan kebangsaan ini, tapi tidak melihat Allah di sana, maka kekaburan telah menyekat jadi tirai antara mereka dengan Tuhannya. Kekaburan cahaya itu tertutup oleh mega-mega ambisi duniawi. Mereka terseret oleh arus pusat gravitasi dzulumat (kegelapan) yang paling mengerikan.
Jika Anda tidak yakin, bertanyalah pada para pemimpin dan elit bangsa ini. Di manakah Allah berada ketika mereka sedang berbuih sampah di antara kemunafikan dirinya? Di manakah Allah ketika mereka sedang ketakutan yang memojokkan krisis psikologinya? Saya yakin, yang Anda dengar dari jawaban mereka adalah kegagapan, kegalauan, dan alibi-alibi untuk menutupi kecurangannya.
Mari kita melihat dan merespon peta global sejenak. Amerika Serikat yang menjadi pusat gravitasi politik dunia, membuat ulah luar biasa. Secara syariat ada titik utama yang paling terkena imbasnya dari bagian Timur hingga Barat. Kesombongan AS yang membabi buta, Akan berpengaruh pada titik nadi utama di ujung Timur, Indonesia dan Baghdad. Lalu kelak negeri-negeri muslim lainnya. Bagaimana cara orang lain meremukkan bangsa kita? Sebagaimana zaman Orba dulu, penguasa telah meruntuhkan derajat para ulama kita?
Jawabnya mudah saja. Jika suatu bangsa ingin menzalimi bangsa lain, atau seorang penguasa ingin menzalimi publiknya, maka kaum munafik bangsa itu dijadikan boneka. Lalu mereka berteriak seakan-akan mereka adalah reformis, demokrat dan pembaharu, untuk menutupi kebusukan hipokritnya. Ketika seorang penguasa ingin menghancurkan para ulama, maka para ulama yang munafik dijadikan berhala-berhala kecil agar mudah dijadikan boneka untuk memusuhi sesama ulama.
Lalu hari ini, apakah situasi yang sesungguhnya menimpa bangsa ini? Tentu saja, bangsa ini adalah bangsa yang sedang bangkit dari keruntuhan. Sementara ketika ingin membangun rumah agungnya, bangsa ini hanya menggunakan sisa-sisa keruntuhan itu. Lalu bangunan itu lebih parah ketimbang bangunan masa lalu.
Inilah nuansa paling sederhana, yang secara moral kita terjebak dalam sarang rimba yang paling anarkis. Kita sebut anarkis, karena para elit kita, politisi kita, tokoh-tokoh penguasa kita, telah benar-benar dihantui ketakutan terhadap kebenaran dan keadilan. Mereka, jangankan memandang cahaya kebenaran, baru melihat kilatan cahaya itu saja, mereka sudah menutup mata hatinya. Menutup daun-daun telinganya, lari mencari selamat atas nasib keluarga dan kelompoknya.
Begitu pula kaum munafik di negeri ini telah terbagi menjadi dua belahan yang melapisi kegelapan ini. Lapisan pertama, mereka yang meraih posisi baik di parlemen maupun di birokrasi. Lapisan kedua, memang mereka adalah kekuatan laten munafiqin, terdiri para penguasa hitam, petualang politik, dan mereka yang sakit jiwa. Mereka selalu menggerakkan massa untuk dijadikan alibi politik rakyat. Allah di mata dua lapisan ini, adalah Allah dalam kertas, Allah dalam verbalisme dan teriakan takbir belaka, Allah dalam spanduk dan yel-yel, belaka. Cahaya Allah terkuci rapat dalam lorong nafsu kegelapannya.
Hanya segelintir ulama dan kiai yang bisa di hitung dengan jari. Ulama yang masih memiliki cahaya ruhani, lalu menaburkan cahaya itu dalam kegelapan bangsa ini. Segelintir itulah yang memunajatkan keselamatan bangsa ini, bukan keselamatan diri dan keluarganya. Mereka memang minoritas di kalangan kiai dan ulama, tapi mereka yang melihat kehidupan semesta dengan mata hatinya. Mata hati yang melihat cahaya, lalu cahaya itu berkata bahwa semesta bangsa ini sesungguhnya telah gelap gulita. Siapa yang memandang lapisan kebangsaan ini, tapi tidak melihat Allah di sana, maka kekaburan telah menyekat jadi tirai antara mereka dengan Tuhannya. Kekaburan cahaya itu tertutup oleh mega-mega ambisi duniawi. Mereka terseret oleh arus pusat gravitasi dzulumat (kegelapan) yang paling mengerikan.
Jika Anda tidak yakin, bertanyalah pada para pemimpin dan elit bangsa ini. Di manakah Allah berada ketika mereka sedang berbuih sampah di antara kemunafikan dirinya? Di manakah Allah ketika mereka sedang ketakutan yang memojokkan krisis psikologinya? Saya yakin, yang Anda dengar dari jawaban mereka adalah kegagapan, kegalauan, dan alibi-alibi untuk menutupi kecurangannya.