Puasa kita sudah sampai pada sepuluh hari ketiga. Dan seperti tahun yang sudah-sudah, psikologis masyarakat kita benar-benar sudah disibukkan dengan lebaran. Alam pikiran masyarakat kita sudah gupuh dengan kebutuhan lebaran.
Gupuh dengan membeli kue, baju baru, sarung baru, ngecat rumah, sofa baru, dan yang baru-baru lainnya. Semangat Idul Fitri (kembali pada kesucian) hanya sebatas diartifisialkan pada benda-benda dan kebutuhan baru.
Fenomena ini lebih dikenal dengan mudik (kembali ke asalnya). Ada yang untuk dirinya sendiri dan ada juga yang untuk lingkungannya.
Caranya pun berbeda-beda. Yang inti, mudik ini pasti ditandai dengan memberikan sesuatu baru yang nantinya akan benar-benar dikembalikan pada dirinya sendiri, keluarga, dan lingkungannya. Untuk yang satu ini, masyarakat kita juga mau berkorban apa saja untuk bisa mudik dengan mencukupi kebutuhan "kebaruan" menjelang lebaran ini.
Memang ada sesuatu yang luar biasa jika mudik ini tercapai. Ada semacam kenikmatan dan kepuasan yang tidak bisa kita lukiskan dan sulit kita terjemahkan dengan kata-kata. Pokoknya...Masya Allah.
Itu bagi yang tempat tinggalnya menetap di suatu tempat. Bagi masyarakat perantauan, mudik ini juga menjadi sebuah tujuan utama. Dan untuk mencapai tujuannya itu, usaha apapun dilakukan. Misalnya saja, untuk bisa mudik ke kampung halaman di desa sana, mereka mbelani mati-matian. Jangankan uyel-uyelan berebut kendaraan, jika mata sudah sepet nyolong pun akan dilakukan demi bisa mudik. Pokoknya tujuan sampai di kampung halaman terpenuhi.
Kita tentu bisa melihat bagaimana masyarakat pemudik kita berjubel dengan aneka barang bawaannya. Bagaimana berebut naik bus, berdiri berjam-jam di kereta api, bahkan ada yang nekat naik di atas kereta, dan lain sebagainya. Hanya untuk bertemu dengan keluarga di kampung halaman, sakit-sakit dua hari di kendaraan pun tetap dibelanbelani. Mereka hanya ketagihan dengan nikmatnya berkumpul saat lebaran. Meski kadang – maaf – mereka juga ada yang tidak pernah puasa.
Jika sedikit kita masuk pada dunia tasawuf, fenomena mudik ini merupakan fasilitas Allah yang diberikan setahun sekali pada manusia untuk sedikit dinikmati menjelang lebaran ini. Fasilitas itu berupa kenikmatan manusia untuk berusaha menuju asalnya dia lahir. Tempat asal di mana manusia berkumpul kala masih kanak-kanak. Sehingga hanya dengan berkumpul setelah Ramadan - dalam hal ini Idul Fitri - ada semacam ketenangan batin dan kebahagiaan yang luar biasa jika kita sampai pada tujuan itu.
Bercengkrama, berkumpul, bersenda gurau, dan menikmati fasilitas hidup bersama orang-orang dekatnya dan lain sebagainya. Nikmatnya mudik ini bagi orang-orang yang punya nurani dan kepekaan hidup dirasakan sebagai kenikmatan yang luar biasa. Tak heran jika jalan apapun akan ditempuh perantau untuk bisa sampai ke rumah di kampung halaman.
Mudik adalah fenomena kembalinya manusia pada sangkan paran, tempat cikal bakal hidup, dan asal mula tanah kelahiran manusia. Sehingga konotasinya, sejauh apapun manusia merantau (mengembara), maka keinginan dan ingatan yang paling kuat adalah asal muasal di mana dia dilahirkan.
Mudik merupakan fenomena ilaihi raji'un. Kembali kepada Allah. Kembali pada siapa yang menciptakan manusia seperti kita ini. Karena itu, sangat sayang jika kita menggunakan fasilitas Allah yang berupa kenikmatan mudik hanya ke kampung halaman saja.
Sementara fasilitas mudik hakiki yang diberikan Allah pada manusia belum kita nikmati seluruhnya. Padahal mudik ke kampung halaman menjelang lebaran ini hanya seper sekian dari kenikmatan fasilitas mudik hakiki kepada yang menciptakan kita. Apalagi jika kita benar-benar berusaha sebagaimana usaha kita untuk mudik ke kampung halaman. Kapan kita benar-benar mudik kepada Allah? Siapa ikut, nikmatnya tak terkirakan lho?
Gupuh dengan membeli kue, baju baru, sarung baru, ngecat rumah, sofa baru, dan yang baru-baru lainnya. Semangat Idul Fitri (kembali pada kesucian) hanya sebatas diartifisialkan pada benda-benda dan kebutuhan baru.
Fenomena ini lebih dikenal dengan mudik (kembali ke asalnya). Ada yang untuk dirinya sendiri dan ada juga yang untuk lingkungannya.
Caranya pun berbeda-beda. Yang inti, mudik ini pasti ditandai dengan memberikan sesuatu baru yang nantinya akan benar-benar dikembalikan pada dirinya sendiri, keluarga, dan lingkungannya. Untuk yang satu ini, masyarakat kita juga mau berkorban apa saja untuk bisa mudik dengan mencukupi kebutuhan "kebaruan" menjelang lebaran ini.
Memang ada sesuatu yang luar biasa jika mudik ini tercapai. Ada semacam kenikmatan dan kepuasan yang tidak bisa kita lukiskan dan sulit kita terjemahkan dengan kata-kata. Pokoknya...Masya Allah.
Itu bagi yang tempat tinggalnya menetap di suatu tempat. Bagi masyarakat perantauan, mudik ini juga menjadi sebuah tujuan utama. Dan untuk mencapai tujuannya itu, usaha apapun dilakukan. Misalnya saja, untuk bisa mudik ke kampung halaman di desa sana, mereka mbelani mati-matian. Jangankan uyel-uyelan berebut kendaraan, jika mata sudah sepet nyolong pun akan dilakukan demi bisa mudik. Pokoknya tujuan sampai di kampung halaman terpenuhi.
Kita tentu bisa melihat bagaimana masyarakat pemudik kita berjubel dengan aneka barang bawaannya. Bagaimana berebut naik bus, berdiri berjam-jam di kereta api, bahkan ada yang nekat naik di atas kereta, dan lain sebagainya. Hanya untuk bertemu dengan keluarga di kampung halaman, sakit-sakit dua hari di kendaraan pun tetap dibelanbelani. Mereka hanya ketagihan dengan nikmatnya berkumpul saat lebaran. Meski kadang – maaf – mereka juga ada yang tidak pernah puasa.
Jika sedikit kita masuk pada dunia tasawuf, fenomena mudik ini merupakan fasilitas Allah yang diberikan setahun sekali pada manusia untuk sedikit dinikmati menjelang lebaran ini. Fasilitas itu berupa kenikmatan manusia untuk berusaha menuju asalnya dia lahir. Tempat asal di mana manusia berkumpul kala masih kanak-kanak. Sehingga hanya dengan berkumpul setelah Ramadan - dalam hal ini Idul Fitri - ada semacam ketenangan batin dan kebahagiaan yang luar biasa jika kita sampai pada tujuan itu.
Bercengkrama, berkumpul, bersenda gurau, dan menikmati fasilitas hidup bersama orang-orang dekatnya dan lain sebagainya. Nikmatnya mudik ini bagi orang-orang yang punya nurani dan kepekaan hidup dirasakan sebagai kenikmatan yang luar biasa. Tak heran jika jalan apapun akan ditempuh perantau untuk bisa sampai ke rumah di kampung halaman.
Mudik adalah fenomena kembalinya manusia pada sangkan paran, tempat cikal bakal hidup, dan asal mula tanah kelahiran manusia. Sehingga konotasinya, sejauh apapun manusia merantau (mengembara), maka keinginan dan ingatan yang paling kuat adalah asal muasal di mana dia dilahirkan.
Mudik merupakan fenomena ilaihi raji'un. Kembali kepada Allah. Kembali pada siapa yang menciptakan manusia seperti kita ini. Karena itu, sangat sayang jika kita menggunakan fasilitas Allah yang berupa kenikmatan mudik hanya ke kampung halaman saja.
Sementara fasilitas mudik hakiki yang diberikan Allah pada manusia belum kita nikmati seluruhnya. Padahal mudik ke kampung halaman menjelang lebaran ini hanya seper sekian dari kenikmatan fasilitas mudik hakiki kepada yang menciptakan kita. Apalagi jika kita benar-benar berusaha sebagaimana usaha kita untuk mudik ke kampung halaman. Kapan kita benar-benar mudik kepada Allah? Siapa ikut, nikmatnya tak terkirakan lho?