Saturday, March 3, 2007

Berpuasa, Mudah-mudahan Bertaqwa

Seperti pernah kita singgung sebelumnya, bahwa proses keagamaan kita ini sebenamya bakal menapaki 3 tingkatan kualitas. Tingkat yang pertama adalah Beriman (memperoleh keyakinan). Tingkat kedua Bertakwa (memperbanyak amalan). Dan tingkat ketiga adalah BerIslam (berserah diri kepada Allah). Hal ini difirmankan Allah dalam ayat berikut.
OS. Ali Imran (3):102
“Hai Orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepadaNya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam (berserah diri)”

Tingkat beriman adalah tingkatan terendah dalam proses keagamaan.Tingkat ini menggambarkan sebuah proses 'pencarian', yang dilanjutkan dengan 'pernahaman' dan kemudian diakhiri dengan 'keyakinan'. Maka, pada tingkat ini seorang muslim akan banyak berkutat dengan 'pergulatan pemikiran' yang sangat intens.

Seseorang yang tidak pernah mengalami proses pergulatan pemikiran jatuh bangun di dalamnya, maka hampir bisa dipastikan kualitas imannya tidak cukup tangguh. Contoh pergulatan pemikiran dan proses jatuh bangun itu juga dialami para rasul kita: sejak nabi Adam, Ibrahim, Yunus, Ayyub, Sulaiman, Yusuf, Musa, Isa, sampai Muhammad saw. Dan yang sangat banyak disebut kemudian juga dijadikan contoh bagi kita adalah nabi Ibrahim as.
QS. An Nisaa': 125
“Dan siapakah yang 1ebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya”

Tingkat yang ke dua adalah Bertakwa. Inilah tingkatan aplikasi atau amalan. Keyakinan yang telah diperoleh mesti diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Bukanlah hal mudah untuk menjalankan keyakinan kita secara istiqomah atau konsisten. Itulah yang dimaksudkan dengan kalimat ittaqullaaha haqqatuqaatihi bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benamya takwa.

Konsistensi butuh perjuangan sangat keras untuk menegak kannya. Orang yang tidak berusaha keras dalam menegakkan ketakwaannya, bakal banyak tergoda dan kemudian tergelincir dari petunjuk Allah. Maka, dalam beristiqomah itu kita harus memiliki kemampuan untuk mengendalikan diri yang sangat prima.

Tingkatan yang ke tiga adalah aslam atau berserah diri. Inilah buah dari perjuangan yang sangat panjang, istiqomah konsisten. Orang orang yang dapat dengan mudah dan penuh keikhlasan dalam menjalankan dan menjalani agamanya. Orang-orang yang matinya dalam keadaan muthmainnah, sebagaimana digambarkan dalam ayat berikut ini.
QS. Al Fajr (89): 27 - 30
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai Nya. Maka masuklah ke dalam jannah hamba-hamba Ku, dan masuklah ke dalam surga Ku.”

Berkaitan dengan hal tersebut, puasa adalah tatacara ibadah yang bertujuan untuk menjadikan pelakunya menjadi orang yang bertakwa. Yaitu tingkatan kedua di dalam proses beragama kita. Hal itu disebutkan Allah di dalam firmanNya berikut ini.
QS. Al Badarah (2) : 183
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajiban atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”

Ayat diatas dengan sangat gamblang menggambarkan kepada kita bahwa puasa adalah suatu proses untuk meningkatkan kualitas 'iman' menjadi 'takwa'. Karena itu, yang dipanggil untuk memenuhi kewajiban puasa adalah orang-orang yang beriman.

Ada pengertian yang tersirat di dalam ayat tersebut. Yang pertama, kewajiban puasa ini ternyata hanya diperuntukkan orang-orang yang beriman. Kenapa demikian, karena orang-orang beriman adalah orang-orang yang telah memperoleh keyakinan atas dasar 'pencarian' dan kefahaman. Bukan orang yang sekadar ikut-ikutan.

Inilah kata kunci pertama yang menggiring keberhasilan kita menjalankan puasa, dalam arti yang sesungguhnya. Orang-orang yang tidak masuk dalam kategori beriman sangat boleh jadi akan mengalami 'kegagalan' dalam menjalani puasanya.

Dengan kata lain, sebenarnya kita bisa mengatakan bahwa orang orang muslim harus berpuasa dengan kefahaman. Bukan ikut-ikutan, alias asal menjalankan saja. Jika ikut-ikutan yang dilakukan, maka prediksi nabi bahwa puasa kita hanya memperoleh lapar dan dahaga saja, bakal terjadi pada kita.

Dalam haditsnya, bahkan Rasulullah saw memberikan penjelasan yang lebih rinci. Man shaama ramadhaana imaanan wahtisaaban ghufiralahu maa taqaddama mindanbihi. Barangsiapa berpuasa dalam bulan Ramadan dengan iman dan penuh perhitungan, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan akan datang.

Di dalam sabdanya itu Rasulullah memberikan penekanan kepada orang yang berpuasa dengan kata imanan wahtisaaban iman dan penuh perhitungan. Jadi bukan hanya beriman, tetapi ditekankan lagi supaya penuh perhitungan dan evaluasi diri. Insya Allah, Dia bakal mengampuni segala dosa kita yang lalu maupun yang akan datang. Sebuah gambaran tentang berhasilnya puasa kita.

Makna tersirat yang kedua dari QS. 2 : 183 terkandung dalam kata 'diwajibkan' (kutiba 'alaikum). Kenapa puasa ini mesti diwajibkan untuk dijalani manusia. Kenapa bukan disunnahkan saja. Atau bahkan di'boleh'kan (mubah) saja.

Disini terkandung makna bahwa puasa itu demikian pentingnya buat manusia. Segala ibadah wajib, sebenamya bukanlah untuk Allah, melainkan untuk kepentingan diri kita sendiri. Karena, Allah adalah Dzat yang tidak memerlukan sesuatu pun. Hal itu ditegaskanNya dalam berbagai firmanNya, di antaranya berikut itu.

QS. An Nisaa'(4):131

“Dan kepunyaan Allah lah apa yang di langit dan yang di bumi, dan sesungguhnya Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah. Tetapi jika kamu kafir, maka (ketahuilah), sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”

Dengan kata lain, Dia tidak membutuhkan sesuatu pun karena segala sesuatu memang sudah menjadi milikNya. Maka, seandainya pun seluruh manusia tidak menyembah Allah, Dia tidak akan berkurang sedikit pun KeagunganNya. Sebaliknya, manusia itu sendiri yang akan mengalami kerugian, karena sesungguhnya desain penciptaannya tidak bisa dilepaskan dari Eksistensi Allah.

QS. Ibrahim (14): 8
“Dan Musa berkata jika kamu dan orang-orang yang ada di muka bumi semuanya mengingkari (Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”

QS. Al An'aam (6):133
“Dan Tuhanmu Maha Kaya lagi mempunyai rahmat jika Dia menghendaki niscaya Dia memusnahkan kamu dan menggantimu dengan siapa yang dikehendaki Nya setelah kamu (musnah), sebagaimana Dia telah menjadikan kamu dari keturunan orang-orang lain.”

Jadi, makna ibadah wajib itu haruslah kita fahami secara benar, bahwa semua itu untuk kepentingan mendasar manusia. Yang jika kita tidak melakukan itu akan mengalami problem dalam kehidupan kita.

Begitulah puasa. lbadah ini bukan untuk kepentingan Allah, karena Allah memang tidak perlu 'dipuasai'. Justru puasa adalah untuk kepentingan manusia itu sendiri. Yang jika tidak melaksanakannya, kita bakal mengalami problem dalam kehidupan kita. Baik secara fisik, psikis, sosial, maupun spiritual.

Dengan demikian, perintah puasa ini justru adalah salah satu bentuk Kasih Sayang Allah kepada kita. Allah mewajibkan puasa karena Dia menyayangi kita. Karena Dia tidak ingin hidup kita menderita dan menemui berbagai kesulitan. Hal ini kita bahas lebih mendetil dalam bab-bab lain, bahwa puasa sebenamya memiliki manfaat yang luar biasa bagi kehidupan manusia.

Makna tersirat yang ketiga dalam QS. 2 : 183 terdapat pada kelompok kata kamaa kutiba alladziina min qablikum (sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu).

Kita lantas bertanya-tanya, kenapa puasa ini juga diwajibkan kepada orang-orang terdahulu? Hal ini semakin menegaskan kepada kita bahwa puasa memang penting untuk manusia secara universal. Bukan hanya umat nabi Muhammad saja. Karena itu, jangan heran jika kita menemui perintah puasa itu juga sudah dijalankan sejak manusia pertama ada.

Dan sampai sekarang, kita menemui berbagai umat manusia di belahan bumi dari berbagai macam bangsa dan agama juga mengenal dan menjalankan ibadah puasa. Meskipun dalam tatacara yang agak berbeda. Tetapi esensinya sama, yaitu pengendalian diri dan berpantang terhadap hal-hal tertentu.

Bahkan di beberapa negara Timur, seperti India, China dan Tibet misalnya, selama ribuan tahun puasa digunakan sebagai teknik pengobatan terhadap berbagai macam penyakit. Dengan demikian kita merasakan, betapa puasa memang adalah ibadah universal bagi manusia di muka bumi ini. Dan sekali lagi, diyakini memiliki manfaat yang amat besar.

Makna yang ke empat yang tersirat dalam ayat tersebut adalah kelompok kata yang terakhir, yaitu la'allakum tattaquun mudah mudahan kamu menjadi orang yang bertakwa. Alias orang yang memiliki pengendalian diri prima.

Inilah tujuan dari beribadah puasa. Untuk menjadi orang yang bertakwa alias memiliki kontrol diri yang prima. Orang-orang yang selalu berbuat kebajikan, dan mampu mengendalikan diri untuk terlepas dari perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah.

Yang menarik, kata bertakwa itu didahului dengan kalimat mudah mudahan. Artinya, tidak semua orang yang berpuasa bakal menjadi orang-orang yang bertakwa. Hanya orang-orang yang mengikuti cara Rasulullah saw saja yang bakal mencapai keberhasilan tujuan puasa, yaitu yang imanan wahtisaaban dengan kefahaman dan evaluasi terus menerus.

Orang yang demikian bakal menjadi orang yang bertakwa. Atau dalam terminologi hadits tersebut, dikatakan sebagai orang yang diampuni dosa-dosa masa lalunya dan dosa masa depannya. Hal ini persis dengan yang difirmankan Allah di dalam al Qur'an berikut ini.
QS. Thalaaq (65): 5
“Itulah perintah Allah yang diturunkan Nya kepada kamu, dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipatgandakan Pahala baginya.”

Jadi yang disebut orang bertakwa adalah orang yang memiliki kemampuan mengendalikan diri secara sempurna. Sehingga, karenanya, dia mengalami pertobatan nasuha, yaitu pertobatan yang sempurna. Orang yang demikian ini tidak akan dengan sengaja berbuat kesalahan lagi. Apalagi pembangkangan terhadap fitrahnya sendiri mengabdi kepada Allah.

Tentu saja, Allah akan menghapus dosa-dosa masa depannya, karena ia adalah orang yang mampu mengontrol perbuatan-perbuatan di masa depan. Kalau pun berbuat salah, itu adalah kesalahan yang tidak disengaja ...