Menjadi bertakwa, sebenamya sebuah proses untuk kembali kepada fitrah kita sebagai manusia. Bertingkah laku sebagai manusia yang berbudaya tinggi. Bukan hanya untuk diri sendiri, melainkan untuk seluruh alam karena kita adalah khalifah Allah di muka bumi.
Maka manifestasi sifat takwa adalah berbuat baik pada diri sendiri, berbuat baik pada orang lain, berbuat baik pada lingkungan, dan beramal shalih dengan mengikhlaskan ketaatan hanya kepada Allah semata. Semuanya berpadu dalam sebuah keseimbangan.
Dalam kaitannya dengan ibadah puasa, maka takwa yang seperti itulah yang dipatok sebagai tujuan. Jadi, puasa yang baik dan berhasil adalah puasa yang membawa dampak pada ke empat hal tersebut, yaitu terjadi peningkatan kualitas diri sendiri, peningkatan kualitas hubungan dengan sesama, peningkatan kualitas terhadap lingkungannya, dan peningkatan kualitas hubungan dengan Allah.
Pada saat seseorang mencapai semua itu, maka sebenamya dia telah kembali kepada fitrahnya sebagai manusia yang sesungguhnya insan kamil manusia yang sempurna.
Apakah tanda-tanda yang bisa dijadikan parameter untuk mengukur keberhasilan puasa kita?
1. Badan lebih sehat
2. Emosi lebih rendah
3. Pikiran lebih jemih
4. Sikap lebih bijaksana
5. Hati lebih lembut dan peka
6. lbadahnya lebih bermakna
7. Lebih tenang dan tawadlu' dalam menjalani hidup
Dan masih banyak lagi manfaat lain yang bisa kita ukur dari efek puasa. Namun, dengan mengukur ke 7 parameter itu kita sudah bisa memperoleh gambaran yang komprehensif tentang berhasil tidaknya puasa kita dalam mengubah karakter seseorang menjadi lebih bertakwa.
1. Badan Lebih Sehat
Ketakwaan seseorang, sebagai bentuk hasil puasa, salah satunya bisa diukur dari kondisi kesehatannya. Puasa yang baik adalah puasa yang mampu mengubah pola makan seseorang secara lebih sehat.
Kenapa takwa bisa membawa kita pada kondisi lebih sehat? Sebab, orang yang bertakwa adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya dalam hal makan, minum dan gaya hidupnya. la sudah terbiasa dengan pengendalian diri selama bulan puasa. Karena itu, menjadi mudah baginya untuk mengendalikan diri pada hari hari di luar bulan puasa.
Jadi, ada dua hal yang menyebabkan dia menjadi sehat. Yang pertama, dia telah melakukan puasa dengan benar selama bulan puasa, sehingga terjadi proses penyehatan dalam dirinya. Mulai dari penggelontoran racun-racun dalam tubuh (detoksifikasi), peremajaan sel sel (rejuvenasi) dan penyeimbangan kembali sistem kesehatannya (stabilisasi).
Yang kedua, setelah berpuasa itu, ia masih tetap menjaga pola makan dan gaya hidupnya di luar bulan puasa. Sehingga, badan tetap dalam kondisi terbaik dan keseimbangannya. Akan menjadi lebih baik, jika di luar bulan puasa ia juga masih sering berpuasa. Itu akan menjaga kestabilan kondisi badannya.
2. Emosi lebih rendah
Jika selama berpuasa kita mengikuti cara-cara yang diajarkan oleh Rasulullah saw, maka bisa dipastikan emosi kita bakal lebih rendah. Sebab, berpuasa memang bukan hanya mengendalikan diri untuk tidak makan dan tidak minum, melainkan juga melatih emosi agar selalu dalam kendali akal.
Kondisi lapar dan haus memiliki peran yang cukup besar untuk selalu mengingatkan kita dalam menjaga puasa agar tetap afdhol. Tidak emosional.
Emosi adalah manifestal dari ego seseorang. Emosi biasanya berkait dengan kepentingan pribadi yang tidak kesampaian. Misalnya, marah, benci, dendam, iri, dan dengki.
Puasa yang baik adalah puasa yang mampu mengendalikan emosi. Bukan sekadar 'menahan diri' untuk tidak melampiaskan, melainkan 'mengerti' bahwa hal itu tidak perlu dilampiaskan, sebab hanya akan merugikan semua pihak. Termasuk dirinya sendiri. Lebih banyak mudharatnya dibandingkan manfaatnya.
Nah, 'mengerti' itulah sebenamya manifestasi dari keimanan seseorang. Bukan terpaksa 'menahan diri'. Jika sekadar keterpaksaan, maka lain kali akan dengan mudah kita lakukan.
Atau, kalaupun tidak, pada saat kita terpaksa menahan diri itu, kita sebenamya sedang membangun 'penderitaan'. Padahal, 'kebaikan' mestinya tidak membawa kita kepada belenggu yang menyengsarakan, melainkan membawa kita pada 'kebebasan' yang membahagiakan.
Karena itu, puasa. yang baik adalah puasa yang membawa kita kepada kebahagiaan ketika kita bisa berlaku tidak emosional. Karena kita telah terbebas dari belenggu emosi kita sendiri.
3. Pikiran lebih jernih
Pikiran jernih disebabkan oleh dua hal. Yang pertama, makan yang tidak terlalu banyak sehingga tidak menyebabkan kerja otak terganggu oleh kantuk. Dan yang kedua, emosi yang rendah karena kita 'faham' bahwa emosi tinggi hanya menyebabkan pikiran kita suntuk, jengkel, dan tidak terkontrol.
Sebaliknya, orang yang tidak terlalu kenyang dibarengi dengan emosi rendah, maka pikirannya bakal lebih jemih dalam menghadapi berbagai macam persoalan.
Pikiran yang jernih menyebabkan akal kita berjalan secara proporsional. Orientasinya mengarah kepada kemanfaatan dan kemaslahatan bersama. Sebab jika, hanya bermanfat pada diri sendiri, itu berarti merugikan orang lain. Jika kita merugikan orang lain, maka kita sedang menanam potensial masalah di masa depan, yang nantinya bakal merepotkan kita sendiri.
Jadi berpikir jernih adalah berpikir untuk kebahagiaan kita semua. Jika kita bisa berpikir jemih berarti kita telah berhasil dalam puasa kita. Dengan kata lain kita telah menjadi orang yang bertakwa. Sebab, ini memang menjadi salah satu parameter berhasil tidaknya seseorang untuk mencapai kualitas 'Takwa'
4. Sikap lebih bijaksana
Parameter keberhasilan puasa kita juga terlihat dari sikap yang lebih bijaksana. Bijaksana adalah dampak berikutnya setelah kita bisa berpikir jernih. Orang yang tidak bisa berpikir jernih, bisa dipastikan tidak bijaksana.
Yang ada di benaknya adalah kepentingan-kepentingan sempit. Misalnya, hanya berpihak kepada diri sendiri atau golonganya saja. Orang yang demikian adalah orang yang tidak bijaksana.
Atau, orang-orang yang hanya berpikir untuk kepentingan jangka pendek saja, tidak mau tahu bahwa dalam jangka panjangnya bakal menciptakan problem bagi generasi berikutnya. Dan lain sebagainya, yang intinya tidak bisa berpikir jernih dalam memandang persoalan, dan kemudian membuat keputusan yang berwawasan sempit.
Puasa mengajari kita untuk bersikap bijaksana, sekaligus melatih dalam kurun waktu tertentu. Perintah untuk berlapar dahaga, mengendalikan diri, dan sekaligus ikhtisaban (selalu melakukan evaluasi) berdasarkan iman (faham & yakin) telah mendorong kita menjadi orang yang bijaksana.
Kebijaksanaan tidak bisa dipaksakan, melainkan dilatih berdasarkan kesadaran dan kefahaman. Justru, jika kita melatih dengan rasa terpaksa, maka yang muncul adalah ketidakbijaksanaan. Yaitu, ingin selalu memaksakan kehendak kepada diri sendiri maupun orang lain.
Kebijaksanaan muncul dari keikhlasan. Keikhlasan adalah akibat dari keyakinan. Keyakinan berakar kuat setelah kita memperoleh kefahaman. Dan kefahaman kita dapatkan dari pembelajaran yang intensif sepanjang usia kita. Itulah yang disebut sebagai proses keimanan. Dan keimanan itulah yang menjadi syarat bagi orang berpuasa, yang ingin menuju kepada tingkatan 'bertakwa' alias menjalankan ibadah dengan penuh keikhlasan karena Allah semata
5. Hati lebih lembut dan peka
Parameter ke lima yang bisa digunakan untuk mengukur keberhasilan puasa adalah hati yang lembut dan peka. Hati lembut dan peka sebenamya adalah dua hal yang saling terkait. Jika hatinya lembut, maka pasti juga peka. Sebaliknya jika hatinya peka, dengan sendirinya ia lembut.
Hati lembut dan peka ini adalah hati para nabi dan rasul. Rasulullah saw adalah orang yang hatinya sangat lembut. Punya kepedulian tinggi dan peka terhadap penderitaan orang-orang di sekitarnya. Nabi Muhammad orang yang sulit menolak ketika dimintai tolong. Meskipun beliau sendiri sedang dalam keadaan sulit.
Bukan hanya nabi Muhammad, nabi Ibrahim juga termasuk orang yang berhati lembut dan penyantun. Hal itu dikemukakan oleh Allah, dibanggakan di dalam Al Our'an.
QS. At Taubah (9): 114
“Dan permintaan ampun dan Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya Itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.”
Dan memang begitulah karakter orang-orang yang bertakwa. Secara gamblang Allah menyebutkan di ayat-ayat lain, bahwa orang orang yang bertakwa itu memiliki sifat-sifat terpuji seperti : selalu membantu orang-orang yang sedang menderita, baik ketika keadaan lapang atau sempit. dan lebih dari itu, mereka memiliki sifat 'sulit marah' 'mudah memaafkan'.
QS. Ali Imran (3) : 133 134
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.
Ayat di atas benar-benar menunjukkan karakter yang terkontrol sepenuhnya. Tidaklah mudah untuk bisa menolong orang lain, sementara kita sendiri dalam keadaan terjepit. Juga tidaklah mudah untuk mengendalikan amarah, ketika kita 'disakiti' oleh orang lain. Apalagi dengan gampang memaafkannya. Sungguh itu memerlukan kemampuan kontrol diri yang sangat tinggi. Tapi memang begitulah makna 'takwa', yaitu bisa mengontrol diri dalam seluruh perbuatannya, karena Allah semata.
Bukan karena terpaksa menahan amarah atau pun terpaksa memaafkan. Demikian pula, bukan terpaksa ketika menolong orang lain. Melainkan, dia telah sangat memahami tentang makna keikhlasan dalam menjalankan perintah Allah. Bahwa dengan keikhlasan itu dia telah merendahkan egonya untuk mengagungkan Allah di atas segala galanya, sebagai tujuan satu satunya dalam kehidupan ini ...
6. Ibadahnya lebih bermakna
Seseorang yang telah bisa mengontrol dirinya dengan baik, maka dia bakal bisa meresapi makna ibadahnya. Apalagi tingkatan 'takwa' alias torkontrol itu adalah tingkatan di atas 'iman' yakin atas dasar kefahaman.
Maka, dengan puasa itu kita berlatih untuk membiasakan diri dalam 2 hal. Yang pertama, membiasakan diri untuk menerapkan kefahaman dan keyakinan kita dalam bentuk amalan puasa. Dan yang kedua, adalah membiasakan dan menjaga kestabilan kualitas puasa kita. Jika hal ini kita jalankan dengan istiqomah, hasilnya adalah rasa kedekatan dengan Allah, yang menjadi kekuatan kontrol luar biasa terhadap kelakuan kita sehari-hari.
'Rasa dekat' dengan Allah itulah yang bakal menjadikan seluruh ibadah kita bukan hanya puasa menjadi lebih bermakna. Shalat kita akan 'ketularan' rasa dekat itu. Sehingga, shalat bisa menjadi lebih khusyuk. Lebih bermakna.
Demikian pula puasa, lebih bermakna. Zakat dan Haji, juga lebih memberikan makna dalam kehidupan beragama kita. Bukan cuma sekedar kewajiban, melainkan rasa keikhlasan yang mendalam untuk menjalankan perintah itu semata-mata karena Allah. Itulah yang dimaksudkan oleh Allah di dalam QS. Ali Imran: 102, bahwa janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan Islam (berserah diri kepada Allah sepenuh keikhlasan)
7. Lebih tenang dan tawadlu'
Ketika seseorang telah mencapai keikhlasan yang tinggi, hatinya bakal tidak pernah gelisah dan khawatir. la telah dapat merasakan bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan ini adalah KehendakNya belaka. Karena itu, ia bisa mengikhlaskannya.
Tidak mudah untuk mencapai tingkatan ikhlas, dalam arti yang sebenamya. Karena kebanyakan kita ‘mengikhlaskan’ sesuatu karena terpaksa mengikhlaskan. Bukan keikhlasan yang sesungguhnya. Kenapa bisa terjadi demikian? Karena kita tidak faham tentang apa yang kita lakukan. Dan, karena tidak faham, maka kita menjadi tidak yakin. Lantas, karena tidak yakin itu, maka kita menjalaninya dengan setengah hati.
Dalam firmanNya, Allah menjelaskan bahwa orang-orang yang disebut sebagai waliullah itu tidak pernah merasakan khawatir dalam kehidupannya. Apa yang ditemuinya dan apa yang dialaminya selalu memberikan kegembiraan kepadanya.
QS. Yunus (10) : 62 64
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatizan terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (Yaitu) Orang orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat Tibak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji)Allah Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.”
Inilah sebenamya puncak kualitas keagamaan kita di dalam ber islam. Suatu kualitas kepribadian yang tenang, tawadlu' dan tidak pernah merasa khawatir atau pun gelisah, karena keikhlasan yang mendalam. Secara ringkas, kualitas itu disebut sebagai 'berserah diri' kepada Allah atau Islam. Makna Islam, juga bisa berarti selamat, damai, dan sejahtera.
Namun harus diingat, bahwa 'berserah diri' itu berbeda dengan 'pasrah'. Kata yang terakhir ini memiliki konotasi agak negatif, karena lantas tidak melakukan upaya yang maksimal. Sedangkan makna 'berserah diri' berkonotasi positif. Yaitu, melakukan 'kebajikan' sebanyak-banyaknya dengan cara mengikhlaskan untuk Allah semata. makna itu tersirat di dalam firman Allah berikut ini.
QS. An Nisaa'(4):125
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama lbrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya”
Maka manifestasi sifat takwa adalah berbuat baik pada diri sendiri, berbuat baik pada orang lain, berbuat baik pada lingkungan, dan beramal shalih dengan mengikhlaskan ketaatan hanya kepada Allah semata. Semuanya berpadu dalam sebuah keseimbangan.
Dalam kaitannya dengan ibadah puasa, maka takwa yang seperti itulah yang dipatok sebagai tujuan. Jadi, puasa yang baik dan berhasil adalah puasa yang membawa dampak pada ke empat hal tersebut, yaitu terjadi peningkatan kualitas diri sendiri, peningkatan kualitas hubungan dengan sesama, peningkatan kualitas terhadap lingkungannya, dan peningkatan kualitas hubungan dengan Allah.
Pada saat seseorang mencapai semua itu, maka sebenamya dia telah kembali kepada fitrahnya sebagai manusia yang sesungguhnya insan kamil manusia yang sempurna.
Apakah tanda-tanda yang bisa dijadikan parameter untuk mengukur keberhasilan puasa kita?
1. Badan lebih sehat
2. Emosi lebih rendah
3. Pikiran lebih jemih
4. Sikap lebih bijaksana
5. Hati lebih lembut dan peka
6. lbadahnya lebih bermakna
7. Lebih tenang dan tawadlu' dalam menjalani hidup
Dan masih banyak lagi manfaat lain yang bisa kita ukur dari efek puasa. Namun, dengan mengukur ke 7 parameter itu kita sudah bisa memperoleh gambaran yang komprehensif tentang berhasil tidaknya puasa kita dalam mengubah karakter seseorang menjadi lebih bertakwa.
1. Badan Lebih Sehat
Ketakwaan seseorang, sebagai bentuk hasil puasa, salah satunya bisa diukur dari kondisi kesehatannya. Puasa yang baik adalah puasa yang mampu mengubah pola makan seseorang secara lebih sehat.
Kenapa takwa bisa membawa kita pada kondisi lebih sehat? Sebab, orang yang bertakwa adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya dalam hal makan, minum dan gaya hidupnya. la sudah terbiasa dengan pengendalian diri selama bulan puasa. Karena itu, menjadi mudah baginya untuk mengendalikan diri pada hari hari di luar bulan puasa.
Jadi, ada dua hal yang menyebabkan dia menjadi sehat. Yang pertama, dia telah melakukan puasa dengan benar selama bulan puasa, sehingga terjadi proses penyehatan dalam dirinya. Mulai dari penggelontoran racun-racun dalam tubuh (detoksifikasi), peremajaan sel sel (rejuvenasi) dan penyeimbangan kembali sistem kesehatannya (stabilisasi).
Yang kedua, setelah berpuasa itu, ia masih tetap menjaga pola makan dan gaya hidupnya di luar bulan puasa. Sehingga, badan tetap dalam kondisi terbaik dan keseimbangannya. Akan menjadi lebih baik, jika di luar bulan puasa ia juga masih sering berpuasa. Itu akan menjaga kestabilan kondisi badannya.
2. Emosi lebih rendah
Jika selama berpuasa kita mengikuti cara-cara yang diajarkan oleh Rasulullah saw, maka bisa dipastikan emosi kita bakal lebih rendah. Sebab, berpuasa memang bukan hanya mengendalikan diri untuk tidak makan dan tidak minum, melainkan juga melatih emosi agar selalu dalam kendali akal.
Kondisi lapar dan haus memiliki peran yang cukup besar untuk selalu mengingatkan kita dalam menjaga puasa agar tetap afdhol. Tidak emosional.
Emosi adalah manifestal dari ego seseorang. Emosi biasanya berkait dengan kepentingan pribadi yang tidak kesampaian. Misalnya, marah, benci, dendam, iri, dan dengki.
Puasa yang baik adalah puasa yang mampu mengendalikan emosi. Bukan sekadar 'menahan diri' untuk tidak melampiaskan, melainkan 'mengerti' bahwa hal itu tidak perlu dilampiaskan, sebab hanya akan merugikan semua pihak. Termasuk dirinya sendiri. Lebih banyak mudharatnya dibandingkan manfaatnya.
Nah, 'mengerti' itulah sebenamya manifestasi dari keimanan seseorang. Bukan terpaksa 'menahan diri'. Jika sekadar keterpaksaan, maka lain kali akan dengan mudah kita lakukan.
Atau, kalaupun tidak, pada saat kita terpaksa menahan diri itu, kita sebenamya sedang membangun 'penderitaan'. Padahal, 'kebaikan' mestinya tidak membawa kita kepada belenggu yang menyengsarakan, melainkan membawa kita pada 'kebebasan' yang membahagiakan.
Karena itu, puasa. yang baik adalah puasa yang membawa kita kepada kebahagiaan ketika kita bisa berlaku tidak emosional. Karena kita telah terbebas dari belenggu emosi kita sendiri.
3. Pikiran lebih jernih
Pikiran jernih disebabkan oleh dua hal. Yang pertama, makan yang tidak terlalu banyak sehingga tidak menyebabkan kerja otak terganggu oleh kantuk. Dan yang kedua, emosi yang rendah karena kita 'faham' bahwa emosi tinggi hanya menyebabkan pikiran kita suntuk, jengkel, dan tidak terkontrol.
Sebaliknya, orang yang tidak terlalu kenyang dibarengi dengan emosi rendah, maka pikirannya bakal lebih jemih dalam menghadapi berbagai macam persoalan.
Pikiran yang jernih menyebabkan akal kita berjalan secara proporsional. Orientasinya mengarah kepada kemanfaatan dan kemaslahatan bersama. Sebab jika, hanya bermanfat pada diri sendiri, itu berarti merugikan orang lain. Jika kita merugikan orang lain, maka kita sedang menanam potensial masalah di masa depan, yang nantinya bakal merepotkan kita sendiri.
Jadi berpikir jernih adalah berpikir untuk kebahagiaan kita semua. Jika kita bisa berpikir jemih berarti kita telah berhasil dalam puasa kita. Dengan kata lain kita telah menjadi orang yang bertakwa. Sebab, ini memang menjadi salah satu parameter berhasil tidaknya seseorang untuk mencapai kualitas 'Takwa'
4. Sikap lebih bijaksana
Parameter keberhasilan puasa kita juga terlihat dari sikap yang lebih bijaksana. Bijaksana adalah dampak berikutnya setelah kita bisa berpikir jernih. Orang yang tidak bisa berpikir jernih, bisa dipastikan tidak bijaksana.
Yang ada di benaknya adalah kepentingan-kepentingan sempit. Misalnya, hanya berpihak kepada diri sendiri atau golonganya saja. Orang yang demikian adalah orang yang tidak bijaksana.
Atau, orang-orang yang hanya berpikir untuk kepentingan jangka pendek saja, tidak mau tahu bahwa dalam jangka panjangnya bakal menciptakan problem bagi generasi berikutnya. Dan lain sebagainya, yang intinya tidak bisa berpikir jernih dalam memandang persoalan, dan kemudian membuat keputusan yang berwawasan sempit.
Puasa mengajari kita untuk bersikap bijaksana, sekaligus melatih dalam kurun waktu tertentu. Perintah untuk berlapar dahaga, mengendalikan diri, dan sekaligus ikhtisaban (selalu melakukan evaluasi) berdasarkan iman (faham & yakin) telah mendorong kita menjadi orang yang bijaksana.
Kebijaksanaan tidak bisa dipaksakan, melainkan dilatih berdasarkan kesadaran dan kefahaman. Justru, jika kita melatih dengan rasa terpaksa, maka yang muncul adalah ketidakbijaksanaan. Yaitu, ingin selalu memaksakan kehendak kepada diri sendiri maupun orang lain.
Kebijaksanaan muncul dari keikhlasan. Keikhlasan adalah akibat dari keyakinan. Keyakinan berakar kuat setelah kita memperoleh kefahaman. Dan kefahaman kita dapatkan dari pembelajaran yang intensif sepanjang usia kita. Itulah yang disebut sebagai proses keimanan. Dan keimanan itulah yang menjadi syarat bagi orang berpuasa, yang ingin menuju kepada tingkatan 'bertakwa' alias menjalankan ibadah dengan penuh keikhlasan karena Allah semata
5. Hati lebih lembut dan peka
Parameter ke lima yang bisa digunakan untuk mengukur keberhasilan puasa adalah hati yang lembut dan peka. Hati lembut dan peka sebenamya adalah dua hal yang saling terkait. Jika hatinya lembut, maka pasti juga peka. Sebaliknya jika hatinya peka, dengan sendirinya ia lembut.
Hati lembut dan peka ini adalah hati para nabi dan rasul. Rasulullah saw adalah orang yang hatinya sangat lembut. Punya kepedulian tinggi dan peka terhadap penderitaan orang-orang di sekitarnya. Nabi Muhammad orang yang sulit menolak ketika dimintai tolong. Meskipun beliau sendiri sedang dalam keadaan sulit.
Bukan hanya nabi Muhammad, nabi Ibrahim juga termasuk orang yang berhati lembut dan penyantun. Hal itu dikemukakan oleh Allah, dibanggakan di dalam Al Our'an.
QS. At Taubah (9): 114
“Dan permintaan ampun dan Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya Itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.”
Dan memang begitulah karakter orang-orang yang bertakwa. Secara gamblang Allah menyebutkan di ayat-ayat lain, bahwa orang orang yang bertakwa itu memiliki sifat-sifat terpuji seperti : selalu membantu orang-orang yang sedang menderita, baik ketika keadaan lapang atau sempit. dan lebih dari itu, mereka memiliki sifat 'sulit marah' 'mudah memaafkan'.
QS. Ali Imran (3) : 133 134
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.
Ayat di atas benar-benar menunjukkan karakter yang terkontrol sepenuhnya. Tidaklah mudah untuk bisa menolong orang lain, sementara kita sendiri dalam keadaan terjepit. Juga tidaklah mudah untuk mengendalikan amarah, ketika kita 'disakiti' oleh orang lain. Apalagi dengan gampang memaafkannya. Sungguh itu memerlukan kemampuan kontrol diri yang sangat tinggi. Tapi memang begitulah makna 'takwa', yaitu bisa mengontrol diri dalam seluruh perbuatannya, karena Allah semata.
Bukan karena terpaksa menahan amarah atau pun terpaksa memaafkan. Demikian pula, bukan terpaksa ketika menolong orang lain. Melainkan, dia telah sangat memahami tentang makna keikhlasan dalam menjalankan perintah Allah. Bahwa dengan keikhlasan itu dia telah merendahkan egonya untuk mengagungkan Allah di atas segala galanya, sebagai tujuan satu satunya dalam kehidupan ini ...
6. Ibadahnya lebih bermakna
Seseorang yang telah bisa mengontrol dirinya dengan baik, maka dia bakal bisa meresapi makna ibadahnya. Apalagi tingkatan 'takwa' alias torkontrol itu adalah tingkatan di atas 'iman' yakin atas dasar kefahaman.
Maka, dengan puasa itu kita berlatih untuk membiasakan diri dalam 2 hal. Yang pertama, membiasakan diri untuk menerapkan kefahaman dan keyakinan kita dalam bentuk amalan puasa. Dan yang kedua, adalah membiasakan dan menjaga kestabilan kualitas puasa kita. Jika hal ini kita jalankan dengan istiqomah, hasilnya adalah rasa kedekatan dengan Allah, yang menjadi kekuatan kontrol luar biasa terhadap kelakuan kita sehari-hari.
'Rasa dekat' dengan Allah itulah yang bakal menjadikan seluruh ibadah kita bukan hanya puasa menjadi lebih bermakna. Shalat kita akan 'ketularan' rasa dekat itu. Sehingga, shalat bisa menjadi lebih khusyuk. Lebih bermakna.
Demikian pula puasa, lebih bermakna. Zakat dan Haji, juga lebih memberikan makna dalam kehidupan beragama kita. Bukan cuma sekedar kewajiban, melainkan rasa keikhlasan yang mendalam untuk menjalankan perintah itu semata-mata karena Allah. Itulah yang dimaksudkan oleh Allah di dalam QS. Ali Imran: 102, bahwa janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan Islam (berserah diri kepada Allah sepenuh keikhlasan)
7. Lebih tenang dan tawadlu'
Ketika seseorang telah mencapai keikhlasan yang tinggi, hatinya bakal tidak pernah gelisah dan khawatir. la telah dapat merasakan bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan ini adalah KehendakNya belaka. Karena itu, ia bisa mengikhlaskannya.
Tidak mudah untuk mencapai tingkatan ikhlas, dalam arti yang sebenamya. Karena kebanyakan kita ‘mengikhlaskan’ sesuatu karena terpaksa mengikhlaskan. Bukan keikhlasan yang sesungguhnya. Kenapa bisa terjadi demikian? Karena kita tidak faham tentang apa yang kita lakukan. Dan, karena tidak faham, maka kita menjadi tidak yakin. Lantas, karena tidak yakin itu, maka kita menjalaninya dengan setengah hati.
Dalam firmanNya, Allah menjelaskan bahwa orang-orang yang disebut sebagai waliullah itu tidak pernah merasakan khawatir dalam kehidupannya. Apa yang ditemuinya dan apa yang dialaminya selalu memberikan kegembiraan kepadanya.
QS. Yunus (10) : 62 64
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatizan terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (Yaitu) Orang orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat Tibak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji)Allah Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.”
Inilah sebenamya puncak kualitas keagamaan kita di dalam ber islam. Suatu kualitas kepribadian yang tenang, tawadlu' dan tidak pernah merasa khawatir atau pun gelisah, karena keikhlasan yang mendalam. Secara ringkas, kualitas itu disebut sebagai 'berserah diri' kepada Allah atau Islam. Makna Islam, juga bisa berarti selamat, damai, dan sejahtera.
Namun harus diingat, bahwa 'berserah diri' itu berbeda dengan 'pasrah'. Kata yang terakhir ini memiliki konotasi agak negatif, karena lantas tidak melakukan upaya yang maksimal. Sedangkan makna 'berserah diri' berkonotasi positif. Yaitu, melakukan 'kebajikan' sebanyak-banyaknya dengan cara mengikhlaskan untuk Allah semata. makna itu tersirat di dalam firman Allah berikut ini.
QS. An Nisaa'(4):125
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama lbrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya”