Saturday, May 5, 2007

Perkawinan Seorang Syarifah

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saya dari keluarga Alatas memiliki adik perempuan bernama Muznah. Adik saya kuliah di sebuah negara di Eropa dan memiliki pacar orang sana. Dalam hubungan itu, laki-laki tersebut bersedia masuk Islam. Tapi ternyata orangtua kami tidak nnerestui. Ayah dan ibu saya sangat marah. Sebab, menurut Ayah, tak mungkin seorang syarifah menikah dengan orang yang baru akan masuk Islam. Itu aib dan tidak boleh terjadi. Bahkan, menurut Ibu, adik saya tak boleh kawin dengan orang kebanyakan meskipun beragama Islam, kecuali dengan sayid juga. Benarkah keyakinan seperti itu? Itulah pula yang mengharuskan saya kawin dengan syarifah dari marga al-Hinduwan. Terima kasih atas jawabannya. Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.

A.A. Alatas

Jawaban:

Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Ada beberapa tokoh, ulama dan sayid yang melarang seperti itu. Bahkan Imam Syafi'i, Hambali dan Hanafi pun melarangnya. Itu bukan semata-mata masalah dunia percintaan. Dunia percintaan adalah wajar, setiap manusia yang normal ingin dibuai, dibelai, disayang oleh lawan jenis yang disukainya. Itu bisa terjadi pada siapa pun.


Tapi memilih pasangan yang sesuai dengan koridor bagi kedua belah pihak itu memang ada dan sebaiknya dipatuhi. Masalahnya, non-Ahlil Bait itu bukan non-Arab. Yang ingin saya katakan di sini, masalah keturunan Baginda Nabi itu tidak terlibat sekadar masalah kebangsaan. Jangan salah menafsirkan dan salah paham.


Orang Jawa yang memiliki keturunan Nabi (saw) itu juga banyak dan sudah menjadi orang Indonesia. Ada juga yang sudah menjadi orang Mesir, Palestina, India, dan sebagainya. Mungkin dia sudah beberapa keturunan di bawahnya. Tapi keturunan adalah keturunan. Sebab, keturunan Nabi Muhammad itu, sebagai tanda kesuciannya, setiap anak-cucu Baginda Nabi dilarang keras memakan harta zakat, meskipun ijmaul ulama memperbolehkannya. Padahal, di sisi lain, selain yang bernasab kepada Baginda Nabi diperbolehkan makan zakat. Ini yang membuat tidak bertemu. Dari sinilah diperkuat para ulama, tentang sifat kedudukan keturunan itu


Yang kedua, terikat dengan adab. Kita sadar bahwa kita mengetahui Islam, termasuk tentang halal-haram dan ajaran agama Islam keseluruhan, tanpa sebab dari Baginda Nabi (saw). Bagaimana adab akhlak kita terhadap Baginda Nabi, paling tidak kita menghargai anak-cucunya. Nilai-nilai akhlak dan adab di sini, atau pernikahan di sini adalah jangan sampai merusak adab dan akhlak yang sebaiknya dan seharusnya dijaga pengikut Rasulullah (saw).