Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Kalau saya baca dalam beberapa kitab semisal Saif Al-Mukminin, Doa-doa Mustajab, tanya jawab spiritual, dan lain-lain, para mualif atau pengarangnya mengatakan dalam mukadimahnya, doa dan zikir ini telah diijazahkan secara 'ammah (umum) bagi kaum muslimin yang membacanya. Namun selain itu, ada yang mengatakan, kaum muslimin tidak boleh mengamalkan begitu saja apa yang dibaca dalam buku. Meskipun, mualifnya sudah mengijazahkan secara `ammah, kecuali shalawat Nabi.
Mohon penjelasan mengenai persoalan ini. Manakah yang dapat dijadikan pegangan dari kedua fatwa tersebut? Pertanyaan selanjutnya, bolehkah seorang muslim yang sudah mengikuti tarekat mempelajari dan menjadi paranormal. Sama atau tidakkah paranormal dengan kahin yang disebutkan Nabi (saw) dalam sebuah Hadistnya? Atas penjelasan, saya ucapkan terima kasih. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Taufiq, S.Pd.
Jawaban:
Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Saudara Taufiq, masalah ijazah, patut Anda ketahui, ijazah tersebut memiliki sifat 'ammah (umum). Sebagai mualif, ia memberikannya secara bersama-sama kepada kita sebagai umat. Namun agar ijazah tersebut bisa mengantar kita dalam mencapai peningkatan dalam mendekatkan diri kepada Allah (Swt), kita harus mengikuti apa yang telah digariskan atau dicontohkan oleh Baginda Nabi (saw), sahabat, tabiin (generasi ulama setelah sahabat), tabiit-tabi'in (generasi ulama setelah tabiin), yang itu tidak terdapat dalam penjabaran ijazah tersebut dalam buku yang Anda baca. Baik itu I’lan atau peringatan, maupun i'bar atau pemberitahuan dari para mualif tersebut. Sekalipun ijazah itu sudah diberikan secara lámmah, tetap saja kita masih memerlukan guru.
Guru di sini berfungsi sebagai penyambung lidah dalam bentuk ijazah ‘ammah. Guru-guru atau ulama-ulama tersebut adalah orang-orang yang tahu persis dosis dan kemampuan orang yang menerima dan mengamalkan muamalah itu. Di sinilah penting dan tingginya nilai seorang guru. Khususnya untuk menerapkan ijazah-ijazah yang 'ammah di dalam kitab-kitab tersebut. Sebab di dalam kitab-kitab itu, pasti ada satu-dua bab yang memerlukan keterangan lebih mendetail dari seorang guru. Tapi, berapa kalikah wirid itu harus diamalkan, belum tentu disebutkan.
Kalau dilihat dari nilai ibadah, hal itu bagus sekali. Tapi muamalah dalam nilai ibadah juga ada ketentuannya. Misalnya dalam hal shalat sunnah. Kalau kita mau berulang-ulang melaksanakannya, itu akan menjadi perbuatan yang baik, tapi itu menjadi shalat sunnah mutlak. Shalat sunnah seperti qabliyah dan ba'diyah—yang mengiringi shalat lima waktu—itu, walaupun nilainya sangat bagus, namun pada keduanya terdapat pembatasan dalam menjalankannya.
Kita tidak bisa mengambil secara global bahwa semua sunnah menjadi mu'akad (yang dianjurkan), atau nawafil atau yang boleh dijalankan secara bebas, tidak ada batas-batas tertentu. Shalat sunnah seperti qabliyah dan ba'diyah tetap saja mengandung perbedaan dengan sunnah yang lain dalam tata cara menjalankannya. Misalnya, menjalankan shalat Tahajud hingga 100 rakaat. Kalau seseorang merasa mampu, ketika ia bisa menjalankannya itu akan menjadi nilai ibadah yang sangat baik. Tapi Rasulullah (saw) tidak pernah menjalankan shalat Tahajud seperti itu hingga 100 takaat. Di sinilah kemudian Rasulullah menganjurkan, "Silahkan, saya berikan kepada umatku kebebasan untuk meniru aku dalam menjalankan qiyam al-layl (ibadah pada malam hari)." Siapa pun bisa menjalankan shalat Tahajud, bahkan tanpa seorang guru pun. Tapi di sini pun masih ada nilai-nilai yang harus diketahui tentang batalnya shalat dan rukun shalat. Kalau hal seperti ini tidak diajarkan oleh guru dahulu, bagaimana kita akan tahu? Meski, kalau dilihat dari segi Tahajudnya, siapa pun dia, silakan mengamalkannya.