Saturday, May 5, 2007

Menyembah ke Ka'bah dan Tempat Allah

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Ada sebuah pertanyaan yang sudah lama ingin saya sampaikan. Sampai-sampai saya tidak tahu apakah pertanyaan ini datangnya dari pemikiran saya yang bodoh dan daif, ataukah dari bisikan-bisikan setan, yang setiap saat bisa saja menggerogoti akidah saya.

Di antara kaidah-kaidah akidah Islam kita adalah pernyataan laysa kamitslihi syay'un, yang kurang lebih berarti, Allah tidak serupa dengan semua ciptaan-Nya, yang membutuhkan tempat, dan seterusnya. Yang ingin saya tanyakan, bagaimana penafsiran dan kedudukan Ka'bah (Rumah Allah), padahal Allah tidak membutuhkan rumah atau tempat, sehingga yang kita sembah adalah Allah, bukan Rumah-Nya. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Syaifuddin


Jawaban:

Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Pertanyaan Saudara ini wajar bagi orang seperti Saudara, yang ingin membuka segala hal tentang ketauhidan, termasuk di dalamnya masalah Ka'bah. Dengan harapan, untuk menjaga keimanan dan iktikad agar tidak menyimpang dari tuntunan-tuntunan yang telah diajarkan oleh Rasulullah melalui para ulama, yang telah mengumpulkannya dari Al-Qur'an dan Hadist Nabi. Kita patut bersyukur karena kitab-kitab tauhid seperti Al-Aqidatu Al-Awwam, Aqáidu al-Khamsi, dan yang lainnya, telah diterjemahkan oleh ulama-ulama mutaqaddimin, ulama-ulama terdahulu, sampai generasi yang sekarang ini.

Benar, Allah (Swt) tidak bertempat. Sebab tempat adalah buatan atau ciptaan, tempat adalah makhluk. Mustahil bagi Allah memerlukan tempat. Namun jaiz, atau wajar, bagiNya (Swt) menempatkan seseorang yang mau bersembah sujud dan menghadap kepada-Nya, seperti menempatkan Nabi Musa di Gunung Tursina, atau Nabi Besar Muhammad SAW di Sidratul muntaha. Begitu pula menempatkan kaum mukminin kelak, bertemu Yang Mahakuasa, di janah atau surga. Atau, menempatkan kaum mukminin untuk bersimpuh atau bersembah sujud kepada-Nya menghadap ke Baitul Haram atau Ka'bah.

Itu semata-mata menempatkan kaum mukminin untuk menghadap, tetapi bukan berarti Allah (Swt) bertempat di Sidratulmuntaha, di Gunung Tursin, di dalam Ka'bah, atau bahkan di surga. Siapa pun yang oleh Allah diberi anugerah bisa "melihat"-Nya, khususnya Baginda Nabi (saw) sendiri ketika berada di Sidratulmuntaha, tetap melihat Allah dengan sifat-Nya yang mukhalafatu lil hawaditsi, tidak serupa dengan makhluk. Nabiyullah Musa pun sama, melihat Allah tetap dalam mukhalafatu lil hawaditsi. Kita pun bersimpuh, bersembah sujud menghadap ke Baitul Haram, termasuk juga "melihat" Allah dengan tetap beriktikadkan mukhalafatu lil hawaditsi.

Adapun masalah nama, juga jaiz bagi Allah (Swt) menamakan apa pun, seperti Arasy, Arsyurrahman, atau memberi nama bangunan yang berbentuk kubus, persegi empat, dengan sebutan Ka'bah. Nah, tempat tersebut, sekitar Masjid al-Haram, adalah tempat yang dimuliakan oleh Allah (Swt), untuk memuliakan hamba-Nya yang beriman. Begitu sayangnya Allah (Swt) kepada kaum mukminin. Karena itu, tempat tersebut disucikan oleh Allah (Swt) dengan ketentuan-ketentuan hukum yang tidak boleh dilanggar. Tidak boleh orang berbuat sembarangan, bahkan setetes darah pun diharamkan mengalir di tanah haram. Ini merupakan anugerah penghormatan dari Allah (Swt) kepada hambaNya yang beriman.

Saya ambil misal yang mudah saja. Seseorang akan kedatangan waliyullah yang memiliki kedudukan dan maqam kewalian sangat tinggi. Dia pasti akan berusaha menghormati semaksimal mungkin. Ini dilakukan setidaknya atas dasar kecintaannya yang dalam. Tidak cukup itu, terkadang sisa makanan dan minuman sang waliyullah itu pun diambil untuk mendapatkan wasilah barakah-Nya. Itu hal yang wajar kalau kita dari kalangan bawah menghormat auliaillah atau para ulama yang begitu tinggi kedudukannya.

Begitu juga jika seorang raja atau kepala negara akan mengunjungi sebuah kota atau wilayahnya. Wajar jika kemudian anak penduduk negeri itu berusaha menyambut kedatangannya dengan penghormatan yang sangat tinggi.

Tapi, dalam kasus yang Saudara tanyakan, sungguh berbeda. Sebab, justru Allah-lah yang menghormati hambaNya. Begitu hormat dan cintanya Allah (Swt) kepada hambaNya yang beriman. Ini merupakan sesuatu yang sangat luar biasa dan istimewa. Karena itu, tanah tersebut kemudian diberi nama tanah haram. Itulah salah satu hakikat yang tersimpan dalam Baitulharam.

Pada zaman Rasulullah (saw) sendiri, beliau pernah shalat di dalam Ka'bah. Dan pejabat-pejabat tinggi yang berkunjung ke Baitul Haram, sebagian mendapat kehormatan masuk ke Baitullah dan shalat dua rakaat di dalamnya. Dan perlu diketahui, Ka'bah bukan sebuah perantara bagi kita untuk menghadap kepada Allah. Bangunan tersebut semata-mata dijadikan altar bagi orang-orang yang mau menghadap Allah (Swt). Di mana pun orang berada, tetap diharuskan menghadap ke Ka'bah. Namun altar itu bukan disembah, melainkan menjadi tempat di mana kita bersimpuh, tempat yang disediakan oleh Allah bagi hamba-Nya untuk bersembah sujud.

Tentang kalimat laysa kamitslihi syay'un, itu bermakna bahwa Allah (Swt) tidak diserupai oleh sesuatu, karena yang lain adalah makhluk. Maka Allah (Swt) memiliki sifat mukhalafatu lil hawaditsi, berbeda dengan makhluknya. Tidak mempunyai sifat sebagaimana sifat makluk-Nya. Dan mukhalafah-nya Allah (Swt) juga meliputi zat, sifat, dan perbuatan-Nya. Laysa kamitslihi syay'un, atau tak ada satu pun sifat makhluk yang bisa dibandingkan dengan segala sifat Allah. Itu merupakan penjelasan sifat mukhalafatun hawaditsi dan ke-wandaniyah-an atau keesaan Allah (Swt).