Saturday, May 5, 2007

Jin Wali Yang Menjadi Khodam

Assalamualaikum Warahmatullahi wabarakatuh. Salam takzim. Saat ini saya menginginkan pembantu jin Islam. Karena itu saya mohon penjelasan. Pertama, bagaimana caranya agar saya mendapatkan jin Islam, yang sesuai dengan syariat? Kedua, jika sudah memiliki jin tersebut, apakah saya memiliki kewajiban tertentu dengan jin itu. Ketiga, saya pernah membaca majalah dari Jawa Timur, di dalamnya terdapat banyak tawaran masalah jin. Apakah ini sesuai atau malah menyimpang dari syariat, karena di sana ada keharusan membayar mahar yang mahal?


Keempat, seandainya saya memiliki pembantu jin Islam, apa ada larangan atau pantangan khusus, di luar syariat Islam? Kelima, jika sewaktu-waktu sudah tidak diperlukan lagi, bagaimanakah cara melepaskannya? Keenam, perlukah jin itu ruangan khusus di rumah, dan apakah perilaku jin Islam tersebut sesuai dengan syariat Islam, atau mengikuti tuannya? Demikian pertanyaan saya, mohon maaf bila terdapat kalimat yang kurang berkenan. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

M.S. Jamaluddin

Jawaban:

Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Allah (Swt) berfirman bahwa Dia (Swt) tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah. Tugas jin dan manusia dalam menaati syariatillah sama. Perbedaannya, kalau manusia banyak yang diangkat jadi nabi dan rasul, sedangkan jin tidak ada yang menjadi nabi dan rasul. Tapi yang menjadi waliyullah dari kalangan jin itu sendiri tidaklah sedikit.


Perlu diketahui, jin itu memiliki alam tersendiri. Jisimnya, sangat lembut. Kehidupan mereka banyak ditunjang oleh penuhnya udara, tapi jin-jin itu sendiri tidak memiliki daya tarik bumi. Maka kehidupan mereka lebih peka dan sensitif sekali di dalam masalah udara. Mereka bisa mengecil, bisa pula membesar.


Karena alamnya berbeda, dari sinilah mereka dipanggil oleh Allah (Swt) dalam firmannya,
"Hai sekalian jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus penjuru langit dan bumi, lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan"
(QS: 55.33).


Mengapa tidak dipanggil oleh Allah (Swt) dengan hanya Ya ma'syaral insi? Hal itu tentu karena alam kita yang berbeda. Kedua, asal udaranya penuh, maka mereka bisa terbang untuk berlomba-lomba menuju ke langit. Namun, setelah kelahiran Baginda Nabi (saw), semua yang tadinya bisa terbang, menjadi terbatas. Mereka tidak bisa mendekati langit. Seperti diterangkan dalam beberapa Hadist, atau dalam kitab Maulud Ad-Dibai, yang menyatakan, setan dan jin itu tidak lagi bisa masuk ke langit, karena dilempar dengan bola api yang membakar.


Di antara mereka kemudian oleh Allah ada yang diberi sifat kewalian dan mendapatkan keistimewaan. Hal ini tidak ada bedanya dengan manusia. Kecuali masalah kerasulan dan kenabian tadi. Tapi, selain itu, di dalam menjalankan syariatillah, haji ke Baitillahilharam dan sebagainya itu tetap sama. Adapun mereka yang ada di planet lain, pasti bisa datang. Istitaah atau kemampuan dalam berhaji itu juga ada dalam bangsa jin. Karena jauh di planet-planet yang lain di mana mereka bertempat, kalau mau menjalankan ibadah itu, pasti mereka melakukannya dengan "transmigrasi" dahulu. Menggunakan peralatan-peralatan yang mereka miliki, sebab mereka harus menembus planet-planet.


Adapun masalah khadam, perlu saya jelaskan, khaddam adalah hamba Allah dari kalangan malaikat yang disuruh oleh Allah dan diberi mandat untuk menjaga asma dan ayat-ayat Allah. Tapi bukan untuk kepentingan Allah (Swt), melainkan buat menjaga dan melayani orang-orang yang mau menjalankan asmaillah atau doa-doa yang dari Al-Qur'an atau doa-doa dari Baginda Nabi Muhammad (saw), ataupun asmaillah dari salah satu Asmaul Husna.


Maka barang siapa bisa menjalankan asmaillah tersebut, akan diberi prioritas atau kelebihan oleh Allah (Swt). Jadi tidak ada yang muskil, asal tauhid kita dijadikan pegangan.


Satu contoh yang mudah saja, Allah menciptakan sesuatu bukan untuk sekadar hiasan. Sekecil apa pun yang diciptakan oleh Allah bukan tidak ada artinya. Semuanya ada artinya, tinggal kemampuan manusia dalam menggali apa yang diciptakan. Misalnya pohon-pohonan. Dari pohon, sesuatu yang jelas tidak ada mulutnya, tidak bisa bicara, kita diberi ilmu oleh Allah untuk mengetahui khasiat-khasiat pohon. Mulai dari akar, daun, kulit, hingga kayunya.


Apalagi ayat-ayat yang di dalam Al-Qur'an bukan hanya untuk dibaca dan dimengerti artinya, tapi tersisip juga khasiat-khasiat, yang tentu melebihi khasiat yang dimiliki pohon-pohon itu.
Munculnya kemusyrikan orang-orang yang berhasil meramu obat-obatan, karena setelah pasiennya sembuh mereka tidak kembali kepada Allah. Melainkan justru meyakini bahwa obat itu yang menyembuhkan. Inilah yang menjadikan syirik. Tapi, kalau kita mengatakan sebatas penyebab, tak masalah. Itu sudah seharusnya. Artinya, semua itu Allah yang menentukan.


Dalam kaitan pembantu atau khadam, tak ubahnya seperti kita mempunyai pembantu rumah tangga yang sangat tergantung pada beban dan keperluan kita. Dalam hal tolong-menolong, keduanya memiliki keterbatasan, baik yang menolong maupun yang ditolong. Berbeda dengan Allah, Allah (Swt) tidak mempunyai sifat kekurangan. Mahasempurna dalam segala sifatnya.


Apakah jin tidak sama dengan kita, manusia? Jin pun mempunyai kekurangan dan kelemahan, tak ubahnya manusia. Tapi keduanya diberi Allah kelebihan yang bisa digunakan untuk saling mengisi kekurangan satu sama lain. Kekurangan yang untuk mengatasinya tidak bisa digunakan akal atau fisik manusia, bisa diatasi jin muslim dan mukmin yang mempunyai kelebihan.


Maka ada istilah "wakalah", atau wakil. Para malaikat yang diberi mandat oleh Allah (Swt) dan menjaga asmanya atau ayatnya itu mengambil wakalah dari para jin pilihan yang benar-benar dijamin amanahnya oleh Allah (Swt). Bukan jin sembarangan. Mereka itulah yang kemudian lebih umum disebut khadam.


Adapun kalau orang mau minta khadam atau pembantu, tidaklah mudah, dan tidak sembarangan. Kalau kita berpikir lebih jauh, coba kita koreksi dulu diri kita masing-masing. Satu contoh, jin yang jadi wakalah para malaikat dalam menjaga ayat, asma, atau doa yang diangkat oleh Allah, adalah jin-jin yang menjadi waliyullah besar, tinggi kedudukannya di sisi Allah. Sedangkan kita sendiri itu "pangkatnya" apa? Kita bisa digolongkan sebagai hamba Allah yang saleh saja sudah beruntung, apalagi bisa menjadi waliyullah.


Seperti banyak diterangkan dalam kitab Khazinatul Asrar atau kitab-kitab yang lain, untuk mempunyai khaddam jin itu syaratnya sangat berat. Jin-jin yang waliyullah tersebut bilamana mendatangi orang yang menghendakinya mensyaratkan, pertama, tidak musyrik atau menyekutukan Allah. Kedua, tidak boleh meninggalkan sunnah-sunnah Baginda Nabi Muhammad (saw). Dan, ketiga, tidak boleh batal wudlu. Segala syarat tersebut merupakan cara mendekatan diri kepada Allah (Swt). Sabda Rasulullah, "Barang siapa cinta kepada Allah, akan dicintai oleh yang lainnya. Barang siapa takut kepada Allah, akan ditakuti oleh lainnya. Dan barang siapa taat kepada Allah, akan ditaati oleh yang lainnya."


Wajar-wajar saja kalau mendapatkan pembantu dari kalangan jin, caranya sesulit itu. Para jin itu kita simpulkan sebagai pelengkap dari kekurangan yang ada pada manusia. Maka patut kita bertanya pada diri sendiri. Mampukah kita memenuhi syarat-syarat yang diajukan para khadam itu?


Yang kedua, dan lebih penting lagi, sudahkah kita mempersiapkan tauhid kita sehingga pada waktu mempunyai khadam tidak malah terjerumus pada kemusyrikan dan jauh dari Allah (Swt). Khususnya para waliyullah, kebanyakan tidak mau menggunakan khadam. Sebab, mereka tak perlu lagi. Kelihatannya enteng, tapi sesungguhnya berat. Para wali itu takut jika dirinya merasa kebutuhannya kepada Allah menjadi kurang.


Barang siapa menginginkan khadam, boleh-boleh saja, asal jangan sampai membawa dirinya ke jalan kesyirikan. Dan untuk mendatangkan itu, memang ada maharnya, membayar. Tapi yang saya ketahui, mahar yang dimaksud dalam bentuk puasa, bacaan kita, atau tirakat kita kepada Allah. Pendekatan kita kepada Allah dan bagaimana kita bisa memerangi nafsu kita. Kedekatan kita kepada Allah itulah yang termasuk mahar, kalau kita ingin mempunyai khadam.


Selanjutnya, mampukah kita menerima syarat-syarat mahar bila kita bertemu dan diizinkan Allah untuk berjumpa? Satu contoh, ada yang maharnya tidak boleh meninggalkan qiyamullail, ibadah pada malam hari, khususnya Tahajud, dan bacaan pendekatan dirinya kepada Allah dengan membaca tasbih sekian ribu, atau ayat tertentu sekian ribu. Ada juga yang syaratnya tangannya harus terbuka, tidak boleh menolak siapa pun yang minta pertolongan. Itu syarat yang diajukan oleh khadam-khadam tersebut.


Sedangkan masalah mahar berupa uang, saya tidak bisa menjawab secara tegas. Karena orang-orang yang demikian mungkin memiliki alasan sebagai pengganti tirakatnya dan sebagainya. Tapi yang jelas di dalam Al-Qur'an dilarang tegas, "Jangan menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang murah."


Kalau ingin melepaskan hubungan kita dengan para khadam itu, pertama, mengganti bacaan tertentu yang digariskan dengan bacaan-bacaan yang tidak ada kaitannya dengan urusan per-khadĂ m-an tersebut. Yang kedua, harus ada ikrar antara pengambil dan yang diambil, seperti kita mempunyai pembantu manusia. Misalnya, kita tidak mampu lagi menggaji. Bacaan itu seperti doa-doa yang langsung saja kepada Allah, yang di sana tidak ada masalah dengan khadam dan sebagainya, dan dibaca hanya karena Allah.


Jin, ada tempatnya tersendiri dalam alam tersendiri, dan tidak akan mengikuti tuannya. Mereka akan datang apabila dibutuhkan, sesuai dengan fungsi kedudukan ayat dan asma tersebut. Karena, jin itu sendiri menghargai manusia, ataupun para malaikat, yang juga menghargai manusia.