Saturday, May 5, 2007

Mencari Kemuktabaran Thoriqoh

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Dalam Muktamar Tarekat Mu'tabarah an-Nandhiyyah tahun 1988 di Mranggen, Semarang, diputuskan, pengurus NU dari pusat sampai ranting diharuskan, bahkan diwajibkan untuk mengikuti tarekat apa pun, asal yang muktabar (resmi). Bagaimana sebenarnya hukum mengikuti tarekat itu? Wajib, sunnah, atau mubah. Lalu bagaimana jika dikaitkan dengan pengurus NU, apakah wajib di sini memiliki pengertian mengikat? Bagaimanakah cara menilai tarekat yang muktabar? Jika ada jemaah wirid, apa itu bisa disebut pengikut tarekat, jika memiliki cara-cara seperti tarekat, misalnya baiat? Ada berapakah jumlah tarekat muktabarah itu? Jika ikut tarekat yang tidak muktabar, apakah bersalah atau berdosa? Atas perhatian dan jawaban saya ucapkan terima kasih. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

H. Muhammad Marzuki

Jawaban:

Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Saudara yang terhormat, saya senang menerima pertanyaan Anda. Semoga Anda senantiasa dilindungi oleh Allah Swt. Patut diketahui, wajib, sunnah, atau mubahnya hukum mengikuti tarekat, terkait dengan wajib, sunnah, atau mubahkah hukumnya menghilangkan sifat kealpaan dan kelupaan manusia kepada Allah. Mesti diingat, salah satu sifat manusia adalah lupa kepada Tuhannya. Inilah peranan kewajiban seseorang masuk tarekat. Dengan tujuan menghilangkan sifat-sifat kealpaan dan kelupaan diri kepada Tuhannya. Sifat-sifat itu perlu diberantas. Karena inilah sumber perbuatan-perbuatan tidak terpuji yang dilakukan manusia. Termasuk terhadap pelanggaran hukum agama dan sebagainya. Kalau kealpaan dan kelupaan itu bisa diberantas, minimal dia akan merasa selalu dilihat dan didengar oleh Allah Swt.


Contoh kecil, banyak orang yang tahu bahwa paku kecil yang tercecer di jalan, entah berkarat atau tidak, itu berbahaya. Begitu melihat, dia tahu bahwa itu paku, tapi belum menjadi bukti bahwa dia adalah orang yang ingat kepada Allah kalau belum mau mengangkat dan membuang ke tempat yang tidak membahayakan. Sebab daerah itu biasa dilalui anak-anak untuk bermain atau orang yang lewat di sana. Sebenarnya bahwa pengurus NU kebanyakan adalah pengikut tarekat hanyalah penekanan. Hal ini bersifat ke dalam.


Selanjutnya, untuk menilai muktabar atau tidaknya sebuah tarekat, harus dilakukan seperti kita mempelajari ilmu Hadist. Ada jalur sanad-sanadnya, mulai dari ulama, auliya, sahabat, Rasulullah, dan tentu bermuara ke Allah sendiri. Lantas semua yang ada di dalamnya itu tidak boleh melanggar semua isi Al-Qur'an dan Hadist. Tinggal bagaimana orang yang membicarakan itu. Kalau dia masih TK, pasti pembicaraannya seperti anak-anak, demikian halnya anak SD, SMP, atau SMA. Sebagaimana pendidikannya. Demikian juga dalam hal perilakunya.


Jemaah wirid bisa dinamakan pengikut tarekat. Karena Al-Qur'an dan Hadist itu adalah pedoman orang-orang ahli tarekat. Yang penting tarekat itu adalah buah syariat. Bukan syariat itu buah tarekat.


Contoh mudahnya adalah masalah wudhu. Wudhu adalah penghantar kita melaksanakan shalat. Setelah shalatnya selesai dengan ketentuan, syariatnya, rukunnya, batalnya atau tidaknya, barulah kita dapat mengetahui semuanya, termasuk buah dari shalat itu apa. Di sinilah tarekat itu berbicara. Buah orang shalat adalah semakin jauh terhadap ahli nar (ahli neraka). Dan cinta seseorang itu kepada Allah dan Rasul-Nya, lebih tinggi, lebih tinggi, dan begitu seterusnya. Dan sebaliknya, kemaksiatan akan makin terhapus.


Di Indonesia, kita mengenal ada sebanyak 41 buah tarekat muktabarah. Tetapi pecahannya banyak. Saya ingin menjawab pertanyaan Bapak ini dengan perumpamaan. Andaikan Bapak mau pergi ke Jakarta, kemudian ada kereta serta bus jurusan ke Jakarta, lalu ada orang yang sembarang naik truk asal sampai ke Jakarta misalnya, apakah itu bisa disebut disiplin. Mengapa harus mengikuti yang belum jelas sedangkan yang jelas-jelas ada sudah tersedia?


Jelasnya, fungsi, definisi, dan kedudukan suatu tarekat harus dilihat dari kedudukan mata rantainya kepada Rasulullah, hingga mendapat predikat apakah sebuah tarekat itu muktabar atau tidak, sebagaimana istilah Hadist itu adalah kesahihannya.