Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Kami ingin bertanya tentang ilmu, ijazah, dan barakah. Pertama, suatu saat ada seorang kiai mengatakan kepada saya, ilmu itu letaknya di dalam dada, Bukan di buku atau kitab. Artinya, sewaktu menjalankan wirid, harus di luar kepala, harus hafal. Kalau menjalankan atau mengamalkannya masih dengan membaca, berarti masih belum menguasai wirid tersebut.
Kedua, apabila kita diberi sebuah ijazah zikir oleh seorang kiai dan kita berikan kepada orang lain, apakah keberkahan wind tersebut akan pindah kepada orang yang kita beri ijazah itu? Diumpamakan, kita hanya menerima gelasnya, sedangkan isinya diambil oleh orang yang kita beri amalan tersebut. Apakah, meskipun kepada istri atau anak, kita tidak boleh memberikannya? Mohon penjelasan. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Fahrurrozi
Jawaban:
Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Jadikanlah ilmu itu berada di dalam dada (fi shudur), jangan jadikan ilmu itu sebatas tulisan (fis sutur). Jadikanlah ilmu itu disimpan mengukir, mewarnai di dalam hati. Jangan hanya menghiasi atau berada hanya di mulut atau menyimpan ilmu hanya di rak, lemari. Tapi jadikanlah kita ini bagaikan kitab-kitab yang sudah berjalan. Maksudnya, kalau ilmu kita letakkan di dalam sanubari, perilaku kehidupan kita selalu bagaikan kitab-kitab yang berjalan. Itu yang dimaksud sebetulnya. Masalah ijazah, tinggal bagaimana cara memetik pada waktu kita menerima ijazah. Kalau dari guru, ijazah itu boleh diberikan kepada siapa pun, lebih-lebih keluarga, tidak ada masalah. Yang menjadi persoalan bilamana tidak mendapatkan izin dari guru, karena akan mengurangi kedudukan barakahnya. Istilahnya, kurang garamnya.